Oleh : Ade Parlaungan Nasution
Pendahuluan
Demokrasi yang sehat mensyaratkan keterwakilan semua kelompok masyarakat, termasuk perempuan. Di Sumatera Utara (Sumut), provinsi multietnis dengan dinamika sosial budaya yang kuat, keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menjadi indikator penting kesetaraan gender dan inklusivitas politik. Meski kuota 30% calon legislatif perempuan telah menjadi kebijakan nasional, realitas di lapangan menunjukkan bahwa transformasi dari calon menjadi anggota dewan terpilih masih penuh tantangan. Esai ini menganalisis situasi, akar masalah, dampak, dan solusi untuk keterwakilan perempuan di DPRD Sumatera Utara.
1. Realitas Keterwakilan: Data dan Fluktuasi
Keterwakilan perempuan di DPRD Sumut mengalami fluktuasi namun stagnan di bawah target 30%, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Tabel 1: Keterwakilan Perempuan di DPRD Provinsi Sumatera Utara
(Pemilu 2019 & 2024)
Periode |
Total Kursi DPRD Provinsi |
Jumlah Perempuan Terpilih |
Persentase |
Keterangan |
||||
2019-2024 | 70 | 15 | 21.50% | Melebihi ambang batas parlemen (20%) namun masih di bawah kuota 30% | ||||
2024-2029 | 72 | 14 | 19.50% | Menurun dari periode sebelumnya, tetap di bawah 20% dan jauh dari 30% |
Pada tingkat kabupaten/kota, situasinya sangat beragam, menunjukkan pengaruh kuat faktor lokal:
2. Akar Permasalahan: Hambatan Multidimensi
Rendahnya keterwakilan perempuan bukanlah fenomena sederhana, melainkan hasil dari hambatan yang saling bertautan:
- Budaya Patriarki Kuat: Struktur sosial budaya dominan (seperti Batak) yang patriarkis cenderung menempatkan laki-laki sebagai pemimpin utama di ruang publik. Stereotip peran gender membatasi ruang gerak perempuan.
- Politik Uang (Money Politics): Biaya politik yang tinggi menjadi penghalang utama. Akses perempuan terhadap sumber pendanaan dan jaringan patronase politik (sering didominasi laki-laki) lebih terbatas.
- Kultur Partai yang Tidak Responsif Gender:
- Pencalonan Simbolik: Perempuan sering ditempatkan di daerah pemilihan (dapil) yang sulit dimenangkan hanya untuk memenuhi kuota, bukan di dapil kompetitif dengan dukungan penuh.
- Marginalisasi Internal: Posisi strategis dalam struktur kepartaian (seperti pengurus inti dan tim formatur pencalonan) masih didominasi laki-laki. o Minimnya Kaderisasi: Program pelatihan kepemimpinan dan manajemen kampanye khusus untuk kader perempuan masih jarang dan tidak sistemik.
- Beban Ganda (Double Burden): Tuntutan peran domestik dan pengasuhan anak yang tidak setara, ditambah kurangnya dukungan keluarga, menyulitkan perempuan berkarier di politik yang menuntut mobilitas dan waktu tinggi.
- Kekerasan Politik Berbasis Gender (KPBG): Perempuan politisi rentan mengalami pelecehan verbal, fitnah, stigma, hingga ancaman fisik berbasis gender, baik selama kampanye maupun saat menjabat, yang bertujuan mendiskreditkan dan mengintimidasi.
4. Dampak Minimnya Keterwakilan
Ketimpangan representasi ini memiliki konsekuensi nyata bagi pembangunan dan demokrasi di Sumut:
Kebijakan Kurang Sensitif Gender: Isu spesifik perempuan (KDRT, kesehatan reproduksi, perlindungan TKW/PRT, pemberdayaan ekonomi perempuan, akses pendidikan anak perempuan) sering terabaikan atau tidak ditangani dengan perspektif memadai.
- Pengawasan Kebijakan Berdampak Gender Lemah: Fungsi pengawasan DPRD terhadap implementasi peraturan dan anggaran yang responsif gender menjadi kurang optimal tanpa cukup anggota yang memahami perspektif gender.
- Mandeknya Perda Pro-Perempuan: Inisiatif Rancangan Perda (Raperda) progresif seperti Penghapusan Kekerasan Seksual, Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, atau Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sering kehilangan momentum atau dukungan politik di dalam dewan.
- Minimnya Role Model: Kurangnya perempuan politisi berkinerja baik mengurangi inspirasi bagi generasi muda perempuan untuk terjun ke politik.
4. Solusi dan Langkah Ke Depan
Meningkatkan keterwakilan yang bermakna memerlukan pendekatan holistik dan komitmen semua pihak:
Tabel 2: Strategi Meningkatkan Keterwakilan Bermakna Perempuan di DPRD Sumut
Tingkat Intervensi | Strategi & Penjelasan | Contoh Aksi Konkret | |||
Individu Perempuan | Pemberdayaan Kapasitas & Ekonomi | – Pelatihan intensif kepemimpinan, negosiasi, public speaking, manajemen kampanye, dan advokasi kebijakan.- Program peningkatan akses modal dan peluang ekonomi untuk perempuan, sehingga mereka memiliki kemandirian finansial dalam berpolitik. | |||
Partai Politik | Reformasi Internal & Afirmasi Nyata | – Kebijakan afirmatif tegas: Alokasi daerah pemilihan (dapil) winnable bagi calon perempuan.- Kaderisasi proaktif dan program mentoring bagi kader perempuan.- Penegakan kode etik anti-diskriminasi dan pencegahan kekerasan berbasis gender (KPBG) di internal partai.- Pendanaan khusus dan dukungan logistik kampanye untuk calon perempuan.- Peningkatan jumlah perempuan dalam struktur pengambilan keputusan partai. | |||
Sistem Pemilu & Regulasi | Penguatan Aturan & Penegakan | – Evaluasi dan penguatan sanksi bagi partai yang tidak memenuhi kuota 30% calon atau hanya mencalonkan secara simbolik.- Mekanisme pelaporan dan penanganan KPBG yang efektif oleh KPU, Bawaslu, dan penegak hukum.- Sosialisasi hak politik perempuan yang masif kepada masyarakat luas. | |||
Masyarakat & Budaya | Perubahan Mindset & Dukungan | – Kampanye kesadaran publik tentang pentingnya perempuan di politik, melibatkan tokoh agama, adat, dan masyarakat.- Mendorong kesetaraan peran dalam rumah tangga.- Membangun jaringan dukungan (support system) dan solidaritas antar-perempuan politisi/calon legislator. | |||
Kolaborasi Multi-Pihak | Sinergi & Pengawasan | – Kerja sama erat antara DPRD (anggota perempuan), pemerintah daerah, organisasi perempuan/LSM, akademisi, dan media.- Pemantauan independen terhadap komitmen partai dan kinerja anggota dewan perempuan.- Advokasi bersama untuk kebijakan dan anggaran yang responsif gender. |
5. Analisa dan Temuan
Keterwakilan perempuan di DPRD Sumatera Utara masih dalam perjalanan panjang menuju kesetaraan substantif. Pencapaian di kisaran 20% (dengan tren fluktuatif bahkan cenderung turun) adalah langkah awal yang rapuh. Hambatan struktural dan kultural, terutama budaya patriarki, politik uang, dan ketidaksiapan partai, masih sangat kuat. Dampaknya terasa pada kebijakan daerah yang kurang responsif terhadap kebutuhan setengah populasi. Pemenuhan kuota 30% calon hanyalah pintu masuk. Esensi sesungguhnya terletak pada transformasi menuju keterwakilan yang bermakna (meaningful representation), di mana perempuan tidak hanya hadir secara jumlah, tetapi memiliki kapasitas, kewenangan, keberanian,dan dukungan untuk menyuarakan serta memperjuangkan kepentingan konstituen perempuan dan masyarakat luas secara efektif.
Mewujudkan ini memerlukan komitmen revolusioner dari semua pemangku kepentingan: partai politik harus mereformasi diri secara sungguh-sungguh, pemerintah harus memastikan regulasi dan penegakan hukum yang mendukung, tokoh masyarakat dan agama perlu mendorong perubahan paradigma, keluarga harus memberikan dukungan penuh, dan perempuan sendiri perlu terus memperkuat kapasitas dan solidaritas. Hanya dengan sinergi ini, DPRD Sumatera Utara dapat benar-benar menjadi cerminan demokrasi yang inklusif dan menghasilkan kebijakan untuk kemajuan seluruh masyarakat Sumut, tanpa terkecuali.
Tabel 3: Variasi Keterwakilan Perempuan di DPRD Kabupaten/Kota Se-Sumatera Utara (Pemilu 2024)
No | Kabupaten/Kota | Total Kursi | Perempuan Terpilih | Persentase | Kategori |
1 | Kota Medan | 50 | 11 | 22.0% | Relatif Tinggi |
2 | Kota Binjai | 30 | 9 | 30.0% | Mencapai Kuota |
3 | Kota Pematangsiantar | 40 | 8 | 20.0% | Relatif Tinggi |
4 | Kota Tebing Tinggi | 40 | 7 | 17.5% | Sedang |
5 | Kota Sibolga | 30 | 5 | 16.7% | Sedang |
6 | Kota Tanjungbalai | 35 | 4 | 11.4% | Rendah |
7 | Kota Padangsidimpuan | 35 | 5 | 14.3% | Rendah |
8 | Kota Gunungsitoli | 30 | 3 | 10.0% | Rendah |
9 | Deli Serdang | 55 | 12 | 21.8% | Relatif Tinggi |
10 | Langkat | 45 | 7 | 15.6% | Rendah |
11 | Karo | 40 | 7 | 17.5% | Sedang |
12 | Simalungun | 50 | 9 | 18.0% | Sedang |
13 | Asahan | 45 | 6 | 13.3% | Rendah |
14 | Labuhan Batu | 45 | 5 | 11.1% | Rendah |
15 | Tapanuli Utara | 35 | 4 | 11.4% | Rendah |
16 | Tapanuli Selatan | 40 | 3 | 7.5% | Sangat Rendah |
17 | Tapanuli Tengah | 40 | 4 | 10.0% | Rendah |
18 | Toba | 35 | 6 | 17.1% | Sedang |
19 | Mandailing Natal | 35 | 2 | 5.7% | Sangat Rendah |
20 | Nias | 35 | 3 | 8.6% | Sangat Rendah |
21 | Serdang Bedagai | 45 | 5 | 11.1% | Rendah |
22 | Humbang Hasundutan | 35 | 4 | 11.4% | Rendah |
23 | Pakpak Bharat | 25 | 3 | 12.0% | Rendah |
24 | Samosir | 30 | 4 | 13.3% | Rendah |
25 | Batu Bara | 40 | 6 | 15.0% | Rendah |
26 | Padang Lawas | 35 | 3 | 8.6% | Sangat Rendah |
27 | Padang Lawas Utara | 35 | 2 | 5.7% | Sangat Rendah |
28 | Labuhan Batu Utara | 35 | 4 | 11.4% | Rendah |
29 | Labuhan Batu Selatan | 35 | 3 | 8.6% | Sangat Rendah |
30 | Nias Selatan | 45 | 4 | 8.9% | Sangat Rendah |
31 | Nias Barat | 30 | 2 | 6.7% | Sangat Rendah |
32 | Nias Utara | 35 | 3 | 8.6% | Sangat Rendah |
33 | Dairi | 35 | 5 | 14.3% | Rendah |
Total/Average | 1,235 | 180 | 14.6% |
Analisis Komprehensif Keterwakilan Perempuan di Sumatera Utara
Data yang disajikan memberikan gambaran yang jelas mengenai disparitas keterwakilan perempuan di lembaga legislatif di Sumatera Utara, dengan beberapa wilayah menunjukkan pencapaian yang baik, sementara yang lain tertinggal jauh.
Pencapaian Positif dan Konsistensi
Kota Binjai menjadi sorotan utama karena berhasil menjadi satu-satunya wilayah yang mencapai kuota 30% keterwakilan perempuan. Ini menunjukkan bahwa target tersebut sangat mungkin tercapai dengan strategi yang tepat. Selain itu, Kota Medan (22%) dan Deli Serdang (21.8%) menunjukkan konsistensi yang baik, berada di atas rata-rata provinsi (19.5%), menandakan adanya upaya yang cukup efektif di wilayah perkotaan besar.
Wilayah dengan Keterwakilan Sangat Rendah
Sebaliknya, ada 10 kabupaten yang berada dalam kategori “Sangat Rendah” (di bawah 10%), terutama di kawasan pesisir barat dan kepulauan. Mandailing Natal (5.7%), Padang Lawas Utara (5.7%), dan Nias Barat (6.7%) menempati posisi paling bawah. Ini menunjukkan adanya tantangan signifikan di wilayah-wilayah tersebut yang kemungkinan besar dipengaruhi oleh faktor geografis (terpencil) dan sosiokultural.
Untuk mengatasi tantangan signifikan di 10 kabupaten dengan keterwakilan perempuan di bawah 10%, khususnya Mandailing Natal, Padang Lawas Utara, dan Nias Barat, diperlukan strategi yang komprehensif dan sensitif terhadap konteks lokal. Fokusnya harus pada mengatasi hambatan geografis dan sosiokultural yang menjadi akar masalah.
- Pendekatan Berbasis Komunitas dan Kearifan Lokal
- Libatkan Tokoh Adat dan Agama: Ini adalah langkah paling krusial. Adakan dialog dan lokakarya dengan para tokoh adat, ulama, dan pemuka agama setempat untuk menjelaskan pentingnya partisipasi perempuan dalam politik. Libatkan mereka sebagai agen perubahan yang dapat mempromosikan gagasan ini di komunitas mereka. Pendekatan ini harus menghargai nilai-nilai lokal sambil mengarusutamakan pentingnya kesetaraan gender dalam pembangunan.
- Program Edukasi dan Sosialisasi Sensitif Budaya: Lakukan kampanye kesadaran yang dirancang khusus untuk wilayah ini, menggunakan bahasa dan media yang akrab bagi masyarakat setempat. Materi edukasi harus menekankan manfaat keterwakilan perempuan bagi pembangunan daerah, seperti peningkatan kualitas layanan publik dan pengambilan keputusan yang lebih inklusif. Libatkan pula organisasi perempuan lokal dan tokoh masyarakat perempuan sebagai jembatan informasi.
- Mentorship dan Role Model Lokal: Identifikasi perempuan-perempuan inspiratif di wilayah tersebut (misalnya, pengusaha sukses, guru, bidan, atau pemimpin komunitas) untuk menjadi mentor dan teladan bagi perempuan lain. Kisah sukses mereka dapat memotivasi dan menunjukkan bahwa perempuan juga bisa berpartisipasi aktif di ruang publik.
- Afirmasi Politik yang Kuat dari Partai
- Penerapan Kuota Khusus Calon Perempuan: Partai politik harus secara konsisten dan ketat menerapkan kuota 30% calon perempuan di daerah pemilihan (dapil) prioritas di wilayah-wilayah ini. Lebih dari sekadar memenuhi jumlah, partai harus memastikan calon perempuan yang diajukan memiliki potensi dan komitmen.
- Dukungan Penuh Partai dalam Kampanye: Berikan dukungan finansial dan logistik yang memadai untuk calon perempuan, terutama dalam hal mobilitas ke daerah-daerah terpencil. Partai juga perlu menyediakan pelatihan kapasitas khusus bagi calon perempuan, meliputi keterampilan berbicara di depan umum, strategi kampanye, dan pemahaman isu-isu lokal.
- Kebijakan Internal Partai yang Mendukung: Revisi atau perkuat kebijakan internal partai untuk menghilangkan hambatan bagi perempuan untuk maju. Ini termasuk mekanisme rekrutmen yang transparan dan adil, serta dukungan dari struktur partai di tingkat kabupaten hingga desa.
- Mengatasi Hambatan Geografis
- Pemanfaatan Teknologi Informasi: Meskipun wilayah terpencil, coba manfaatkan teknologi (misalnya, pertemuan daring jika infrastruktur memungkinkan, atau siaran radio lokal) untuk mencapai masyarakat yang sulit dijangkau secara fisik.
- Jadwal Kampanye yang Fleksibel: Mengingat kondisi geografis, partai dan calon harus merencanakan jadwal kampanye yang lebih fleksibel dan mempertimbangkan waktu yang paling efektif untuk bertemu masyarakat.
- Keterlibatan Pemerintah Daerah dan Lembaga Sipil
- Aliansi dengan Pemerintah Daerah: Dorong pemerintah daerah untuk mendukung inisiatif peningkatan keterwakilan perempuan melalui kebijakan dan program yang relevan.
- Kerja Sama dengan LSM/NGO: Gandeng organisasi non-pemerintah (LSM/NGO) yang berpengalaman dalam isu gender dan pemberdayaan masyarakat di wilayah tersebut. Mereka dapat memberikan bantuan teknis dan memfasilitasi program-program di tingkat akar rumput.
Dengan menerapkan strategi yang terfokus dan kolaboratif, diharapkan kabupaten-kabupaten dengan keterwakilan perempuan yang sangat rendah ini dapat mengejar ketertinggalan dan mencapai tingkat partisipasi yang lebih inklusif.
Tren Umum dan Faktor Pengaruh
Secara umum, data menunjukkan bahwa wilayah perkotaan (rata-rata 18.7%) memiliki keterwakilan perempuan yang lebih baik dibandingkan pedesaan (12.1%). Hal ini bisa jadi disebabkan oleh akses yang lebih baik terhadap informasi, pendidikan, dan peluang di perkotaan, serta lingkungan yang mungkin lebih terbuka terhadap partisipasi perempuan dalam politik.
Faktor budaya juga memainkan peran penting. Wilayah dengan budaya patriarki yang kuat, seperti Batak Toba dan Mandailing, serta daerah terpencil, cenderung memiliki keterwakilan terendah. Ini menegaskan bahwa upaya peningkatan keterwakilan perempuan harus mempertimbangkan konteks budaya lokal dan mungkin memerlukan pendekatan yang lebih sensitif dan inklusif.
Ketimpangan Ekstrem
Adanya selisih ekstrem antara Kota Binjai (30%) dan Padang Lawas Utara (5.7%) adalah indikator kuat bahwa faktor kultural dan kebijakan partai lokal memiliki pengaruh besar terhadap tingkat keterwakilan perempuan. Ini menunjukkan bahwa meskipun ada kebijakan nasional, implementasi di tingkat lokal sangat bervariasi dan bergantung pada komitmen serta strategi dari berbagai pemangku kepentingan.
Rekomendasi Berbasis Wilayah
Rekomendasi yang disajikan cukup relevan dan spesifik berdasarkan kategori tingkat keterwakilan:
- Untuk Daerah <10%: Fokus pada program afirmasi berbasis kearifan lokal dengan melibatkan tokoh adat/agama sangat krusial untuk mengatasi hambatan budaya. Kuota khusus calon perempuan dari partai untuk dapil prioritas juga merupakan langkah konkret untuk memastikan ada perwakilan.
- Untuk Daerah 10-20%: Pelatihan kepemimpinan akan membantu meningkatkan kapasitas kader perempuan, sementara insentif pendanaan kampanye dapat mengurangi beban finansial dan mendorong lebih banyak perempuan untuk mencalonkan diri.
- Untuk Daerah >20%: Penguatan kapasitas legislasi isu gender dan model mentorship antar anggota DPRD perempuan adalah langkah yang baik untuk memastikan bahwa keterwakilan perempuan berdampak pada kebijakan dan menciptakan lingkungan yang mendukung bagi legislator perempuan lainnya.
Secara keseluruhan, analisis ini menyoroti perlunya pendekatan yang terfragmentasi dan disesuaikan untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di Sumatera Utara, dengan mempertimbangkan karakteristik unik setiap wilayah dan mengatasi akar masalah baik dari segi struktural maupun kultural.