BURUH : SUATU TINJAUAN KEMBALI

 Oleh :  Ade P. Nasution

Pengertian buruh pada saat ini di mata masyarakat awam sama saja dengan pekerja, atau tenaga kerja. Padahal dalam konteks sifat dasar pengertian dan terminologi diatas sangat jauh berbeda. Secara teori, dalam kontek kepentingan, didalam suatu perusahaan terdapat 2 (dua) kelompok yaitu kelompok pemilik modal (owner) dan kelompok buruh, yaitu orang-orang yang diperintah dan dipekerjanan yang berfungsi sebagai salah satu komponen dalam proses produksi.  Dalam teori Karl Marx tentang nilai lebih, disebutkan bahwa kelompok yang memiliki dan menikmati nilai lebih disebut sebagai majikan dan kelompok yang terlibat dalam proses penciptaan nilai lebih itu disebut Buruh. Dari segi kepemilikan kapital dan aset-aset produksi, dapat kita tarik benang merah, bahwa buruh tidak terlibat sedikitpun dalam kepemilian asset, sedangkan majikan adalah yang mempunyai kepemilikan aset. Dengan  demikian seorang manajer atau direktur disebuah perusahaan sebetulnya adalah buruh walaupun mereka mempunyai embel-embel gelar keprofesionalan.

Buruh berbeda dengan pekerja. Pengertian pekerja lebih menunjuk pada proses dan bersifat mandiri. Bisa saja pekerja itu bekerja untuk dirinya dan menggaji dirinya sendiri pula. Contoh pekerja ini antara lain Petani, nelayan, dokter yang dalam prosesnya pekerja memperoleh nilai tambah dari proses penciptaan nilai tambah yang mereka buat sendiri. Istilah tenaga kerja di populerkan oleh pemerintah orde baru, untuk mengganti kata buruh yang mereka anggap kekiri-kirian dan radikal. Pengertian Tenaga Kerja mempunyai makna yang sangat luas yang bersifat umum dan terkadang rancu dengan istilah angkatan kerja.

Pengertian-pengertian buruh sesuai gambaran diatas, menunjukkan bahwa mulai dari operator, mandor sampai manajer adalah buruh. Sepanjang dia memperoleh gaji/kompensasi sebagai akibat pekerjaannya dalam suatu proses produksi. Hal ini begitu kontradiktif dengan eksistensi buruh secara faktual saat ini. Buruh saat ini identik dengan pekerja level bawah yang biasanya terdiri dari operator produksi dan paling tinggi mandor. Kekeliruan terminologi dan pengertian ini pula yang menyebabkan, dari seluruh buruh yang bekerja di Indonesia, hanya 3 % buruh yang menjadi anggota serikat buruh/serikat pekerja, yang tentu saja menunjukkan betapa rendahnya posisi tawar buruh ketika berhadapan dengan kelas pemilik modal. Disamping itu, sebaran keanggotaan serikat buruh/serikat pekerja hanya terbatas dari manajemen menengah ke manajemen bawah. Sedangkan top manajemennya, mengganggap bergabung ke dalam serikat buruh/serikat pekerja bukan sesuatu yang menguntungkan hal ini mungkin disebabkan pendapatan yang lebih tinggi dan akses mereka ke pemilik perusahaan. Walaupun  dalam berbagai kasus, terkadang top manajemen  bahkan sama nasibnya dengan tingkat manajemen paling bawah., terancam kehilangan pekerjaan ketika suatu perusahaan akan dilikuidasi atau pun tutup. Di Indonesia, saat ini tercatat masih sangat sedikit kalangan pekerja dalam kelompok top manajer yang bergabung dalam serikat buruh/serikat pekerja beberapa perusahaan mulai menempatkan para manajernya sebagai pengurus serikat buruh/serikat pekerja diantaranya perusahaan Bir Bintang dan City Bank.

Saat ini, wilayah perjuangan buruh titik klimaksnya hanya sekedar perjuangan akan upah. Demonstrasi buruh yang memacetkan lalu lintas dan terkadang harus berdarah-darah hanya dibayar dengan sedikit kenaikan upah minimum yang biasanya selalu digerogoti oleh tingkat inflasi.

Disisi lain, karena kuantitas buruh yang cukup besar, keberadaan  buruh sering dieksploitasi oleh pihak-pihak lain terutama oleh kepentingan politik. Banyak partai politik mengarahkan pola gerakannya untuk merekrut buruh sebagai alat kepentingan politik mereka dan berupaya merebut suara mereka dengan menjanjikan perbaikan untuk nasib buruh, yang kita sama-sama tahu bahwa nasib buruh dari hari ke hari tetap saja sebagai alat produksi yang dapat dibuang dan diganti setiap  saat.

Dalam kancah perpolitikan di Indonesia, sebenarnya ada partai politik yang berbasiskan massa buruh bahkan partainya memakai nama buruh. Walaupun basis massa nya jelas, namun partai tersebut ternyata tidak di didukung oleh buruh itu sendiri. Justru buruh itu ikut partai lain yang jelas-jelas tidak meletakkan perjuangan buruh sebagai proiritas programnya. Bahkan pada saat ini, ada kecenderungan, bahwa serikat buruh/serikat pekerja menjadi underbow bayangan sebuah partai politik.

Andai saja serikat buruh/serikat pekerja mempunyai kekuatan teroganisir dan mempunyai pola perkaderan yang militan, kaum buruh bisa membuat perubahan-perubahan paradigma politik yang saat ini jelas tidak berfihak terhadap buruh. Berdasarkan analisa kinerja partai politik di Parlemen (DPRD) selama ini dan arah politik ekonomi mereka, kelompok buruh bisa menarik benang merah secara tegas, mana partai politik yang tidak membela kepentingan buruh dan mana yang membela. Sehingga ke depan akan ada pembelajaran politik kepada para politikus agar mereka tidak bisa berbohong lagi, karena bagi partai politik yang tidak membela kepentingan buruh maka kedepan mereka akan tidak dipilih oleh buruh lagi. Beberapa kasus di Batam misalnya, buruh selalu menjadi korban, baik itu dalam kasus Livatech maupun dalam penetapan Peraturan Daerah (Perda) Ketenagakerjaan kota Batam yang tertunda terus hanya karena beberapa  pasal yang dinilai memberatkan kelompok kapital.

Pemahaman akan proses industrialiasasi yang minim dan gerakan perburuhan serta perkaderan yang lemah dalam gerakan buruh serta banyaknya para ketua-ketua Serikat buruh/serikat pekerja menjadi petualang politik, menyebabkan gerakan politik buruh menjadi tidak tentu arah. Ikatan kepentingan dan sosial  sebagai buruh dikalahkan oleh ikatan ideologis para buruh itu sendiri. Ikatan ideologis itu ternyata tidak membuat partai buruh yang ada menjadi besar, tetapi justru partai-partai yang memakai ideologi keagamaan dan nasionalis  yang dapat merebut konsituen buruh. Walaupun dalam perjalanannya dari waktu ke waktu, partai keagamaan dan nasionalis ini ternyatatidak mampu berbuat yang terbaik bagi kepentingan buruh, bahkan ketika kader partai tersebut menjadi pejabat birokrat di dalam pemerintahan