BOLA LIAR UPAH MINIMUM

Oleh : Ade P. Nasution

Upah tenaga kerja secara teori dapat ditentukan melalui 3 (tiga) metode yaitu berdasarkan hukum pasar (interaksi supply dan demand), kemampuan finansial perusahaan dan berdasarkan biaya hidup. Di Indonesia, secara umum upah buruh baik UMK (upah minimum Kota) maupun UMS (Upah Minimum Sektoral) ditentukan berdasarkan tingkat biaya kebutuhan hidup. Tingkat kebutuhan Biaya Hidup yang merupakan refleksi dari pengeluaran konsumsi pekerja, yang saat ini di implikasikan menjadi Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) . Dari besaran angka KHM yang didapat kemudian secara bersama-sama dibahas dan dirundingkan oleh pihak serikat pekerja, asosiasi pengusaha dan pemerintah yang kemudian menghasilkan Upah Minimum Kota/Kabupaten.

Di beberapa negara seperti China dan Vietnam, Upah minimum sepenuhnya ditentukan oleh Pemerintah. Uniknya lagi, di China dan Vietnam, mempunyai struktur upah minimum yang berstandard ganda, yaitu upah minimum yang tinggi untuk perusahaan investasi asing dan sebaliknya untuk perusahaan domestik. Di Indonesia, penetapan upah minimum ditentukan dengan mempertimbangan faktor-faktor seperti pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi,  perbandingan dengan daerah lain dan Indeks Harga Konsumen, yang setiap besaran Upah minimum berbeda disetiap kota/kabupaten tergantung pada kondisi daerah yang bersangkutan. Sebagai perbandingan: untuk tahun 2005, Upah minimum Kota Batam adalah sebesar Rp. 635,000, sedangkan di Kabupaten Karimun sebesar Rp. 577,500, Kabupaten Natuna Rp. 557,000 Kabupaten Kepulauan Riau Rp. 573,500, Kabupaten Lingga Rp. 557,000  dan Kota Tanjung Pinang Rp. 576,000

Upah Minimum Kota/Kabupaten di Indonesia yang ditetapkan biasanya berlaku untuk satu tahun, namun di negara lain seperti Malaysia, Vietnam dan China, Upah Minimum biasanya berlaku untuk minimal 5 (lima) tahun yang kemudian akan diadakan revisi bila dibutuhkan. Upah minimum yang mempunyai jangka waktu lebih panjang, biasanya menunjukkan kondisi stabilitas ekonomi suatu negara. Berbagai keuntungan dari Upah minimum yang relatif panjang yaitu  memberikan kepastian kepada investor asing mengenai upah tenaga kerja yang stabil dan memberikan rasa aman investor asing dari ancaman demonstrasi buruh yang biasanya selalu dikhawatirkan oleh pengusaha investor asing.

Upah Minimum secara filosofi adalah suatu jaring pengaman (safety net) yang paling terendah yang harus dibayarkan kepada buruh. Dengan perkataan lain, Upah minimum merupakan upah yang paling terendah yang boleh dibayarkan pengusaha yang mempunyai batasan untuk seorang pekerja yang yang bekerja selama 0 tahun dan berstatus lajang. Dari Batasan ini, maka perhitungan Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) pun diasumsikan sebagai kebutuhan hidup minimum seorang pekerja lajang dalam 1 (satu) bulan. Dalam Penetapan Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) ada 4 (empat) komponen utama yaitu Makanan dan Minuman, Perumahan dan Fasilitas, Sandang dan Aneka Kebutuhan. Di Indonesia, Penetapan Kebutuhan hidup Minimum didapatkan melalui survey yang dilakukan oleh Dinas Tenaga Kerja Kab/Kota yang dilakukan di pasar-pasar terpilih yang biasanya tempat pekerja berbelanja kebutuhan hidup. Survey KHM dilakukan secara periodik per bulan

Bagi negara-negara yang kondisi ekonominya relatif stabil yang ditandai dengan nilai kurs yang relatif stabil, dan tingkat inflasi yang moderat serta investasi sosial pemerintah yang terencana. Permasalahan besaran angka bukan menjadi persoalan pokok. UMK kota Batam yang sebesar Rp. 635,000 menurut pengamatan kami, digerogoti oleh dua komponen pengeluaran buruh yang dominan yaitu komponen transportasi dan perumahan yang mengambil porsi sekitar 50 %. Hal ini terkadang diperparah dengan kenaikan harga komponen lainnya seperti makanan dan minuman dan sandang serta aneka kebutuhan. Disamping itu kondisi ekonomi makro indonesia seperti kenaikan BBM dan kebijakan tata niaga perdagangan semakin mengurangi kekuatan upah yang diterima buruh. Faktor-faktor  ketidakstabilan harga, moda transportasi yang mahal dan tentu saja iklim ekonomi makro nasional yang saat ini gonjang-ganjing yang akhirnya mempengaruhi kekuatan upah yang diterima oleh pekerja. Menghadapi berbagai perubahan-perubahan dalam indikator ekonomi seperti tingkat inflasi, kenaikan BBM dan indikator lainnya, beberapa perusahaan biasanya melakukan penyesuaian tingkat upah pekerjanya. Namun dari hasil pengamatan dilapangan, lebih banyak perusahaan tetap mempertahankan Upah minimum yang telah ditetapkan walaupun terjadi perubahan-perubahan dalam tingkat harga konsumsi dan BBM.

Sesuai namanya, Upah Minimum adalah upah yang terendah yang harus dibayarkan pengusaha kepada buruh untuk kegiatan pekerjaan yang bersifat umum yang diberlakukan pada karyawan lajang dan mempunyai masa kerja 1 tahun. Namun kenyataannya, masih banyak perusahaan di kota Batam yang hanya memberikan standard upah minimum yang ditetapkan ini menjadi upah real (take home pay) yang diterima buruh, walaupun si buruh tersebut telah kawin dan mempunyai anak dan telah melewati masa kerja 1 tahun. Dari hasil survey yang dilakukan oleh Sarma Sinaga dkk (2004) di seluruh kawasan industri di Kota Batam, mereka menemukan ada 3 (tiga) kondisi dalam penerapan UMK di Kota Batam. Di Kawasan Industri Muka Kuning Misalnya, secara kuantitatif upah yang diterima buruh perbulannya berkisar dari Rp. 800,000 s/d Rp. 1,500,000, sedangkan diluar kawasan ini, ada perusahaan yang membayar sesuai UMK yang berlaku Rp. 635,000  namun ada juga perusahaan yang membayar upah buruh dibawah standard UMK yang berkisar dari Rp. 500,000 s/d Rp. 600,000.

Kedepan, tahun 2006, penetapan UMK  menjadi begitu rumit, mengingat berbagai persoalan ekonomi yang mengarah kepada instabilitas seperti kenaikan Harga BBM, melemahnya mata uang rupiah dan indikator ekonomi makro lainnya yang labil yang kesemuanya ini akan mempaengaruhi kondisi ekonomi mikro seperti daya beli yang lemah dan  kelangsungan perusahaan. Tentu saja, kondisi ini membuat baik buruh maupun pengusaha menghadapi dilema. Buruh, tentu saja akan berupaya untuk bernegoisasi menaikkan upahnya untuk mengatasi kenaikan-kenaikan harga barang konsumsi dan biaya hidup sedangkan pengusaha akan mengupayakan tidak terjadi kenaikan upah, karena dengan berbagai alasan seperti beratnya beban perusahaan akibat kenaikan harga BBM dan  semakin tidak kondusifnya iklim investasi di Kota Batam yang akan menebar ancaman serius : hengkang atau relokasi ke negara yang lebih kondusif.

Pembahasan Upah minimum Kota Batam yang sudah mulai dilaksanakan mulai bulan Agustus ini, tampaknya akan diperpanas dengan kegiatan Pemilihan Langsung Walikota Batam yang akan dimulai pada September 2005 ini. Bersama kemiskinan dan isu SARA, Topik Upah Minimum Buruh merupakan komoditas politik yang paling laku dijual oleh Calon Walikota untuk mendapatkan simpati pemilih dari kalangan tertentu. Kita berharap, bagi calon walikota dan pendukungnya untuk tidak mempolitisir permasalahan upah minimum hanya untuk kepentingan sesaat.

Dari uraian diatas, kita melihat bahwa memang tidak ada jalan keluar (way out) permasalahan apabila persoalan ini diserahkan hanya kepada perundingan buruh dan pengusaha. Persoalan besar dalam Upah minimum kota batam sebenarnya sudah diidentifikasikan yaitu komponen perumahan dan transportasi yang menjadi faktor inflatoir yang menggeroti upah buruh. Solusi yang paling realistik adalah adanya intervensi Pemerintah Kota Batam dalam bentuk investasi publik dalam penyediaaan sarana trasportasi dan perumahan murah bagi pekerja yang merupakan 80 % penduduk Kota Batam. Pemerintah kota Batam tidak boleh melupakan perannya sebagai stabilitasator dalam pembangunan masyarakat. Disamping itu Pemerintah kota batam dalam menyikapi ketidak pastian ekonomi nasional, harus menyiapkan dana-dana darurat dalam APBD-nya yang biasanya ada dalam pos anggaran tak tersangka yang tujuan penggunaannya ditujukan untuk penanggulangan bencana alam, dan penanggulangan akibat krisis ekonomi yang bisa berbentuk dalam intervensi pasar dan subsidi.