UPAH MINIMUM KOTA : ANTARA RETORIKA DAN KONSISTENSI

duit

Oleh :  Ade P. Nasution

Setiap menjelang akhir tahun, pemerintah kota dan propinsi selalu disibukkan dengan hingar bingar pembahasan dan penetapan UMK, yang selalu saja meledakkan ketegangan baik dalam pembahasan maupun kegiatan demonstrasi pekerja/buruh yang mengganggap kurang terakomodirnya kepentingan mereka dalam pemenuhan kehidupan layak.

Data-data makroekonomi dan mikroekonomi yang dipakai sebagai salah satu indikator dalam penetapan besaran angka Upah minimum tahun ini menunjukkan indikator yang kurang baik dalam proses pencapaian kehidupan layak bagi pekerja sebagai contoh adalah nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, krisis ekonomi yang melanda Eropa dan Amerika yang berpengaruh terhadap Investasi asing, yang diperparah dengan berbagai kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak konsisten. Selain faktor-faktor ini juga diperparah dengan kenaikan BBM dan Tarif Dasar Listrik. Dalam persoalan ini kenaikan BBM dan kenaikan tariff dasar listrik adalah factor eksternal yang terkadang luput dari kajian namun harus dapat diantisipasi agar upah buruh dapat bertahan.

Ini adalah simalakama bagi kelompok pengusaha dan kelompok pekerja/buruh untuk mencapai titik keseimbangan kepentingan antara kedua kelompok tersebut. Dan adalah sangat wajar apabila dalam perundingan penetapan upah minimum, baik pengusaha maupun pekerja dengan keseriusan dan dengan segala perjuangan mempertahankan angka yang mereka tetapkan karena pada masing angka-angka itulah berada titik keseimbangan kepentingan mereka. Kekompok buruh tentu saja bekepentingan tehadap kenaikan upah yang mereka anggap wajar untuk menutupi upah yang defisit akibat kenaikan harga-harga, demikian juga pengusaha yang berupaya untuk mempertahankan stuktur biaya terhadap marjin keuntungan mereka.

Secara teori ekonomi, baik kapitalis maupun sosialis, persoalan kepentingan pengusaha dan pekerja tidak pernah akan mencapai kata sepakat jika tidak di intervensi oleh pemerintah, oleh sebab itu di dalam setipa Negara yang menganut faham demokrasi kapitalis seperti Indonesia sudah selayaknya peran pemerintah baik sebagai stabilisator maupun sebagai penggerak sangat vital perannya dalam berbagai kebijakan terutama mengenai ekonomi tenaga kerja sebagaimana peran pemerintah menggerakkan program menuntaskan kemiskinan dan kebodohan.

Tulisan ini bermaksud untuk mengkritisi peran pemerintah baik pemerintah provinsi kepulauan riau maupun pemerintah Kota/kabupaten. Mulai dari tahun 2005 ketika tebentuknya Dewan Pengupahan Provinsi Kepulauan Riau, penetapan besaran UMK Kabupaten/Kota sesuai dengan UU No.13 Tahu 2003 tentang Ketenagakerjaan ditetapkan oleh Gubernur setelah mendapat rekomendasi dari Bupati/Walikota. Dan Dewan Pengupahan Provinsi.
Penetapan besaran UMK oleh Gubernur selalu saja ada rekomendasi dan kondisi-kondisi yang harus dilaksanakan sebagaimana hasil kompromi ketika terjadi perdebatan di Dewan pengupahan Provinsi, sebagai contoh adalah rekomendasi yang menyertai SK Gubernur tentang Penetapan UMK Kota Batam ketika waktu itu Gubernur kepri adalah Ismeth Abdullah yang merekomendasikan pengadaan Bus karyawan dan pembangunan Rumah susun sewa murah yang tujuannya adalah untuk meringankan beban perkerja dalam bidang perumahan dan transportasi yang sampai sekarang dianggap sebagai faktor inflatoir yang menggerogoti kekuatan daya beli pekerja/buruh.

Disamping itu dalam setiap kesempatan penetapan upah, Surat Keputusan tentang penetapan UMK selalu saja membuat rekomendasi yang selalu menyebutkan untuk mengupayakan tahapan tercapainya Upah Minimum sama dengan kebutuhan Hidup layak, bayangkan kalau tahapan pencapaian menuju KHL ini dimulai dari tahun 2006 sampai tahun 2013 ? . Namun hal ini tidak pernah dapat dicapai bahkan secara kuantitatif malah bukan terjadi proses peninggakatan malah terjadi dekadensi persentasi.

Menurut saya kesalahannya adalah cara pandang pemerintah, baik itu pemerintah provinsi kepulauan Riau maupun pemerintah kota/kabupaten di provinsi kepulauan riau bahwa persoalan upah buruh hanya sekedar retorika. Persoalan upah buruh bukan persoalan sistemik yang perlu untuk di tindaklanjuti dan yang dipandang hanya bersifat ad hoc walaupun jelas-jelas berisi rekomendasi dan serangkaian kegiatan yang tercantum dalam surat keputusan Gubernur. Akibat cara pandang pemerintah diatas jelas menimbulkan reaksi pada kelompok buruh dengan mengadakan demonstrasi dari yang damai sampai penuh dengan bentrok yang tentunya dapat mempengaruhi sisi pandang investor asing tentang stabilitas kehidupan sosial dan ekonomi kota Batam yang memang telah dirancang sebagai daerah lokasi penanaman investasi asing yang terkemuka di kawasan asia.

Persoalan klasik lainnya adalah adanya rekomendasi gubernur tentang komitmen untuk pengendalian harga dan distribusi barang kebutuhan konsumsi pokok, yang merupakan biang keladi terjadinya inflasi yang menurut sindiran teman-teman mengatakan bahwa berapapun upah kalau harga kebutuhan pangan melonjak terus toh tak ada gunanya. Dari berbagai analisis, ditemukan belum adanya praktik nyata dalam pengendalian harga barang konsumsi di lapangan dan trend nya pun cenderung mengarah keatas setiap tahunnya.

Yang terbaru adalah usulan pengelompokan kelompok usaha sebagaimana yang tercantum dalam rekomendasi SK Gubernur tentang penetapan UMK Tahun 2012 lalu yang sampai saat ini belum ada standarisasi atau pedoman yang mengatur pengelompokan Usaha padahal telah 1 tahun berjalan. Akibat kelalaian ini tentu saja menimbulkan persoalan baru yang berdampak terhadap kewibawaan pemerintah terutama Gubernur karena SK yang telah ditandatangani itu harus direvisi maupun harus ditambahkan dengan Surat keputusan lainnya.

Perlu diketahui bahwa Batam adalah model bagi wilayah penanaman modal asing bagi Indonesia dan sering disebut sebagai halaman depan Republik Indonesia yang tentunya harus berbeda dengan daerah lain yang tidak punya berbagai keistimewaan, yang diharapkan setidaknya mampu menunjukkan pada dunia bahwa Kota Batam dan Provinsi Kepulauan Riau mampu memanajemeni secara sistematik dan terencana terhadap persoalan tenaga kerja yang merupakan modal dasar dan sering dibangga-banggakan kepada pelaku bisnis investasi mancanegara