1.   Pendahuluan

Latar Belakang dan Tujuan

Pendapatan pajak merupakan tulang punggung keuangan negara, esensial untuk membiayai belanja publik, investasi infrastruktur, dan program sosial yang mendukung pembangunan ekonomi berkelanjutan. Di tengah kondisi ekonomi global yang dinamis, negara-negara di Asia Tenggara menunjukkan beragam lintasan pertumbuhan dan kapasitas fiskal yang berbeda. Memahami peran pendapatan pajak dalam pendapatan nasional, yang diukur sebagai rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), sangat penting untuk menilai keberlanjutan fiskal dan kemampuan pemerintah dalam memobilisasi sumber daya domestik.

Laporan ini bertujuan untuk menyajikan analisis komparatif yang komprehensif mengenai kinerja pendapatan pajak di antara negara-negara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN). Analisis ini akan mengidentifikasi tren utama, disparitas, dan faktor-faktor fundamental yang memengaruhi kinerja fiskal di kawasan ini. Variabilitas dalam tahapan pembangunan ekonomi dan struktur fiskal di seluruh ASEAN memerlukan pendekatan komparatif yang bernuansa. Ini berarti bahwa ulasan tidak hanya terpaku pada perbandingan angka semata, tetapi juga berupaya memahami pendorong kontekstual di balik kinerja pajak. Misalnya, perbedaan signifikan dalam PDB per kapita antara negara-negara seperti Singapura (ekonomi berpenghasilan tinggi) dan Myanmar atau Laos (ekonomi berpenghasilan menengah ke bawah dengan tantangan pembangunan yang substansial) secara intrinsik akan menghasilkan sistem pajak dan kapasitas perolehan pendapatan yang sangat berbeda. Oleh karena itu, perbandingan rasio pajak terhadap PDB tanpa mempertimbangkan struktur ekonomi yang mendasari, seperti ketergantungan pada sumber daya alam, ukuran ekonomi informal, atau tingkat industrialisasi, akan menjadi analisis yang dangkal. Tujuan utama adalah menjelaskan mengapa perbedaan-perbedaan ini ada dan apa implikasinya bagi kebijakan.

Ruang Lingkup

Laporan ini akan berfokus pada sepuluh negara anggota ASEAN: Brunei Darussalam, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam. Analisis akan mencakup pendapatan pajak sebagai persentase PDB untuk tahun 2022 dan 2023, di mana data tersedia. Selain itu, laporan ini akan menguraikan jenis-jenis pajak utama yang berlaku di setiap negara, membahas kebijakan fiskal dan reformasi pajak terkini, serta menganalisis faktor-faktor ekonomi dan sosial utama yang memengaruhi pendapatan pajak. Laporan ini akan diakhiri dengan rekomendasi kebijakan strategis untuk peningkatan mobilisasi pendapatan di kawasan ini.

2. Gambaran Umum Negara-negara Asia Tenggara

Daftar Negara Anggota ASEAN

ASEAN, yang didirikan pada tahun 1967, terdiri dari sepuluh negara anggota: Brunei Darussalam, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam. Secara kolektif, negara-negara ini membentuk blok ekonomi yang signifikan di Asia, mewakili pasar dengan PDB lebih dari $2,9 triliun dan populasi 647 juta jiwa pada tahun 2023.

Karakteristik Ekonomi Singkat

Asia Tenggara adalah wilayah dengan keragaman yang luar biasa, mencakup ekonomi yang sangat maju seperti negara-kota Singapura hingga ekonomi berkembang seperti Myanmar, Laos, dan Kamboja. Keragaman struktur ekonomi dan tingkat pendapatan di ASEAN menunjukkan bahwa pendekatan “satu ukuran untuk semua” terhadap kebijakan pajak atau strategi mobilisasi pendapatan tidak akan efektif. Karakteristik ekonomi unik setiap negara akan secara inheren memengaruhi kapasitas pajak dan jenis pajak yang dapat dipungut secara efektif.

  • Indonesia: Sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara, PDB Indonesia mencapai $1.371,171 miliar pada tahun 2023 (estimasi PBB). Negara ini ditandai oleh populasi yang besar dan beragam suku bangsa, termasuk Jawa, Sunda, Batak, Melayu, dan Minangkabau. Iklimnya didominasi tropis, mendukung hutan hujan lebat dan keanekaragaman flora dan fauna.
  • Malaysia: Negara berpenghasilan menengah yang menargetkan status negara berpenghasilan tinggi pada tahun 2030, dengan PDB $399,649 miliar pada tahun 2023 (estimasi PBB). Ekonominya sangat dipengaruhi oleh perdagangan dan memiliki populasi yang beragam, dengan mayoritas suku Melayu, Tionghoa, Dayak Iban, dan India. Iklimnya tropis dengan kelembaban tinggi.
  • Singapura: Sebuah negara-kota yang sangat maju, dengan PDB $501,428 miliar pada tahun 2023 (estimasi PBB) Dikenal karena sektor keuangannya yang kuat dan statusnya sebagai pusat bisnis global yang strategis. Negara ini memiliki iklim tropis dan populasi yang padat.
  • Thailand: Ekonomi utama di kawasan ini, dengan PDB $514,945 miliar pada tahun 2023 (estimasi PBB). Ekonominya didorong oleh pariwisata dan manufaktur. Thailand memiliki iklim tropis basah dan populasi yang sebagian besar adalah orang Thai.
  • Filipina: Mengalami pertumbuhan PDB yang kuat, mencapai $437,146 miliar pada tahun 2023 (estimasi PBB) Ekonominya menunjukkan ketahanan pasca-pandemi.
  • Brunei Darussalam: Negara kecil yang kaya minyak, dengan PDB $15,463 miliar pada tahun 2024 (estimasi Bank Dunia). Ekonominya sangat bergantung pada pendapatan minyak dan gas.
  • Vietnam: Ekonomi yang tumbuh pesat, dengan PDB $429,717 miliar pada tahun 2023 (estimasi PBB). Dikenal karena ekspornya yang kuat dan integrasi yang meningkat ke dalam rantai pasokan global.
  • Laos: Negara yang terkurung daratan dengan ekonomi berkembang, dengan PDB yang lebih kecil dibandingkan ekonomi utama lainnya di kawasan ini.
  • Kamboja: Ekonomi berkembang, dengan PDB $46,352 miliar pada tahun 2024 (estimasi Bank Dunia). Ekonominya secara bertahap pulih pasca-COVID-19, didorong oleh sektor jasa dan ekspor barang.
  • Myanmar: Negara berpenghasilan menengah ke bawah dengan PDB $62 miliar pada tahun 2022. Ekonominya menghadapi tantangan signifikan dan masalah keandalan data karena ketidakstabilan politik.

Perbedaan fundamental dalam basis ekonomi ini berarti bahwa komposisi pendapatan pajak, bukan hanya total rasio pajak terhadap PDB, akan sangat bervariasi. Misalnya, negara kaya minyak seperti Brunei akan memiliki struktur pendapatan yang berbeda dari pusat manufaktur seperti Vietnam atau ekonomi berorientasi jasa seperti Singapura. Hal ini menggarisbawahi perlunya pendekatan kebijakan yang disesuaikan daripada resep yang seragam.

3. Analisis Komparatif Rasio Pajak terhadap PDB

Rasio pendapatan pajak terhadap PDB adalah indikator kunci kemampuan pemerintah untuk memobilisasi sumber daya domestik untuk belanja publik dan pembangunan. Data untuk tahun 2022 dan 2023 menunjukkan variasi yang signifikan di antara negara-negara Asia Tenggara.

Data Rasio Pajak terhadap PDB (2022-2023)

Berikut adalah ikhtisar rasio pajak terhadap PDB untuk negara-negara Asia Tenggara pada tahun 2022 dan 2023, berdasarkan data yang tersedia:

Tabel 1 Perbandingan indikator fiskal utama untuk negara-negara anggota ASEAN berdasarkan data terbaru yang tersedia:

Negara Anggota ASEAN Pendapatan Pajak (% dari PDB) (Tahun Terbaru) Total Pendapatan Pajak (USD Juta) (Tahun Terbaru) Total Pendapatan Pemerintah (USD Juta) (Tahun Terbaru) Keterangan Tambahan
Brunei Darussalam 1.8% (2023) 277.842 (2023) ~2,400 (2023) (BND 6,345.380 juta dikonversi dari ; asumsi 1 USD = 1.35 BND) Sangat bergantung pada pendapatan minyak & gas.
Filipina 13.1% (2024) 3,801,000 (2024) (PHP 3.801 triliun dikonversi dari ) 4,419,000 (2024) (PHP 4.419 triliun dikonversi dari ) Pendapatan pajak mendominasi total pendapatan pemerintah (86%).
Indonesia 11.8% (2024) 127,500 (2024) 180,000 (2024) (Rp2.802,5 triliun dikonversi dari ; asumsi 1 USD = 15.500 IDR) Target pendapatan pajak 2024. Realisasi hingga Mei 2024 38.23% dari target.
Kamboja 13.5% (2022) 2,600 (2024) 7,997 (2024) Peningkatan pendapatan pajak signifikan.
Laos 13.0% (2023) 1,949.450 (2023) ~6,000 (2024) (46.17 triliun kip dikonversi dari ; asumsi 1 USD = 7.700 LAK, estimasi kasar) Peningkatan pendapatan domestik yang kuat di 2024.
Malaysia 12.4% (2024) 51,000 (2024) (RM241 miliar dikonversi dari ; asumsi 1 USD = 4.7 MYR) 68,500 (2024) (RM322.1 miliar dikonversi dari ; asumsi 1 USD = 4.7 MYR) Pajak langsung kontributor utama.
Myanmar 4.4% (2021) 365.783 (2022) ~8,300 (2021) (MMK 17.511.178,090 juta dikonversi dari ; asumsi 1 USD = 2.100 MMK, estimasi kasar) Pendapatan pajak rendah, bergantung pada non-pajak.
Singapura 11.9% (FY2023/24) 80,300 (FY2023/24) 89,000 (FY2023/24) (~77.6% dari Pendapatan Operasional $116.62 miliar) Sistem pajak yang kuat dan efisien.
Thailand 13.2% (2023) 67,624.756 (2023) 76,000 (2024) (2.79 triliun baht dikonversi dari ; asumsi 1 USD = 36.7 THB) Kebijakan pemerintah mempengaruhi target pendapatan.
Vietnam 11.4% (2024) 79,240 (2024) 79,240 (2024) Peningkatan signifikan dalam pendapatan negara.

Catatan: Konversi mata uang ke USD adalah perkiraan berdasarkan nilai tukar terkini untuk memberikan skala perbandingan. Metrik utama untuk perbandingan adalah persentase PDB.

Tren dan Disparitas Regional

Rasio pajak terhadap PDB di Asia Tenggara secara umum berada di bawah rata-rata ekonomi maju (sekitar 26,9%) dan bahkan ekonomi pasar berkembang (19,3%). Rata-rata di kawasan Asia-Pasifik yang lebih luas adalah 19,6% pada tahun 2023.

Rasio Lebih Rendah: Brunei Darussalam menonjol dengan rasio pajak terhadap PDB yang sangat rendah, terutama karena basis pajaknya yang sempit dan ketergantungan yang besar pada pendapatan minyak dan gas. Saat ini, tidak ada pajak penghasilan pribadi atau Pajak Barang dan Jasa (GST) yang diterapkan di Brunei. Malaysia juga menunjukkan rasio yang lebih rendah dibandingkan negara-negara dengan status pembangunan yang serupa.

Rasio Moderat: Sebagian besar negara ASEAN lainnya (Indonesia, Kamboja, Laos, Filipina, Singapura, Thailand, Vietnam) berada dalam kisaran sekitar 10-15%, mencerminkan upaya berkelanjutan untuk memperkuat pengumpulan pendapatan.

Tren: Secara keseluruhan, pendapatan pajak di kawasan Asia-Pasifik telah meningkat selama tiga tahun berturut-turut pada tahun 2023, didorong oleh penerimaan PPN yang lebih tinggi dan pemulihan pariwisata internasional.3Banyak ekonomi telah melihat pendapatan pajak melebihi tingkat pra-pandemi.

Rasio pajak terhadap PDB yang secara konsisten lebih rendah di banyak negara Asia Tenggara, terutama dibandingkan dengan rata-rata global untuk tingkat pendapatan yang serupa, menunjukkan potensi fiskal yang belum dimanfaatkan secara signifikan. Potensi fiskal ini sangat penting untuk mendanai prioritas pembangunan, infrastruktur, dan program sosial. Misalnya, ketika Brunei memiliki rasio pajak terhadap PDB sekitar 1,8% sementara rata-rata ekonomi pasar berkembang mencapai 19,3%, hal ini menunjukkan bahwa pemerintah Brunei memiliki pendapatan diskresioner yang lebih sedikit untuk diinvestasikan dalam layanan publik dan infrastruktur, yang dapat menghambat pembangunan berkelanjutan jangka panjang dan ketahanan terhadap guncangan eksternal. Potensi fiskal yang belum dimanfaatkan ini merupakan peluang kebijakan utama.

Ketergantungan pada pajak tidak langsung, seperti PPN, untuk pertumbuhan pendapatan, seperti yang terlihat dalam tren Asia-Pasifik yang lebih luas, menunjukkan strategi umum untuk mobilisasi pendapatan. Namun, hal ini juga menimbulkan pertanyaan tentang keadilan pajak dan potensi dampak regresif pada segmen populasi berpenghasilan rendah. Pajak konsumsi seperti PPN, meskipun efisien untuk pendapatan, dapat secara tidak proporsional memengaruhi rumah tangga berpenghasilan rendah karena mereka menghabiskan sebagian besar pendapatan mereka untuk barang dan jasa. Hal ini memunculkan kekhawatiran tentang ketidaksetaraan pendapatan dan perlunya jaring pengaman sosial pelengkap atau transfer yang ditargetkan untuk mengurangi efek regresif, seperti yang disarankan oleh rekomendasi IMF untuk pengecualian PPN. Ini menyoroti adanya pertukaran antara efisiensi pendapatan dan keadilan sosial.

4. Struktur Pajak Utama di Negara-negara Asia Tenggara

Jenis-jenis Pajak Utama per Negara

Setiap negara di Asia Tenggara memiliki struktur pajak yang unik, mencerminkan prioritas ekonomi nasional dan kekayaan sumber daya yang berbeda. Berikut adalah ikhtisar jenis pajak utama yang berlaku di setiap negara:

Tabel 2: Ikhtisar Jenis Pajak Utama di Negara-negara Asia Tenggara

Negara Jenis Pajak Utama Karakteristik/Tarif Utama
Brunei Darussalam Pajak Penghasilan Badan (CIT) 18.5% tarif tetap; Tidak ada Pajak Penghasilan Pribadi, Pajak Keuntungan Modal, atau GST.
Kamboja Pajak Gaji Bulanan; Pajak Penghasilan Badan; Pajak Tunjangan Tambahan Pajak Gaji: 0-20% progresif untuk penduduk, 20% tetap untuk non-penduduk; Pajak Tunjangan Tambahan: 20% tetap.
Indonesia Pajak Penghasilan Badan (CIT); Pajak Penghasilan Pribadi (PIT); Pajak Pertambahan Nilai (PPN) & Pajak Penjualan Barang Mewah; Pajak Bumi dan Bangunan; Bea Materai CIT: 22% tetap (insentif untuk perusahaan terdaftar); PIT: progresif hingga 35%.
Laos Pajak Penghasilan Pribadi (PIT); Pajak Keuntungan; Pajak Pemotongan Dividen PIT: progresif hingga 25%; Pajak Keuntungan: 1-3% dari pendapatan kotor; Pajak Pemotongan Dividen: 10%; Bunga deposito bank dibebaskan.
Malaysia Pajak Penghasilan Pribadi (PIT); Pajak Penghasilan Badan (CIT); Pajak Penjualan dan Jasa (SST); Pajak Keuntungan Properti Riil (RPGT); Bea Materai; Bea Cukai; Pajak Pemotongan; Cukai; Pajak Tanah; Pajak Penilaian; Pajak Pariwisata PIT: progresif hingga 30%; CIT: 24% standar, 17% untuk UKM; SST: 5-10% penjualan, 6% jasa.
Myanmar Pajak Penghasilan Pribadi (PIT); Pajak Perusahaan; Pajak Komersial; Bea Materai; Pajak Keuntungan Modal; Cukai; Pajak Bea Cukai; Pajak Properti Lokal Pajak Perusahaan: 25% standar (20% untuk perusahaan terdaftar); Pajak Komersial: berbagai tarif (tidak ada sistem PPN); Pajak Keuntungan Modal: 10%.
Filipina Pajak Penghasilan (PIT & CIT); Pajak Pertambahan Nilai (PPN); Cukai; Pajak Pemotongan; Pajak Hibah; Pajak Properti Riil (RPT); Pajak Bisnis; Pajak Transfer; Bea Materai Dokumen (DST); Pajak Keuntungan Modal (CGT) CIT: 20-25%; PPN: 12% standar.
Singapura Pajak Penghasilan (PIT & CIT); Pajak Properti; Pajak Barang dan Jasa (GST); Bea Cukai dan Cukai; Bea Materai; Pajak Kendaraan CIT: 17% tetap; PIT: progresif hingga 24%; GST: 9%; Tidak ada pajak keuntungan modal; Sistem pajak satu tingkat.
Thailand Pajak Penghasilan Pribadi (PIT); Pajak Penghasilan Badan (CIT); Pajak Pertambahan Nilai (PPN); Pajak Bisnis Spesifik; Bea Materai; Bea Cukai; Cukai CIT: 30% standar (tarif lebih rendah untuk UKM/perusahaan terdaftar); Keuntungan modal diperlakukan sebagai pendapatan biasa untuk CIT.
Vietnam Pajak Penghasilan Badan (CIT); Pajak Pemotongan Kontraktor Asing (FCWT); Pajak Pertambahan Nilai (PPN); Pajak Penjualan Khusus (SST); Bea Impor dan Ekspor; Pajak Penghasilan Pribadi (PIT); Pajak Keuntungan Pengalihan Modal (CAPT); Pajak Properti; Pajak Sumber Daya Alam; Pajak Perlindungan Lingkungan CIT: 20% standar (tarif berjenjang untuk usaha kecil); SST: pada barang/jasa mewah/spesifik.

Perbandingan Sistem Pajak

Terdapat spektrum yang jelas dalam pendekatan pajak di kawasan ini. Negara-negara seperti Singapura dan Malaysia, meskipun memiliki pajak penghasilan, juga sangat bergantung pada pajak berbasis konsumsi (GST/SST) serta pajak properti dan kendaraan. Myanmar menggunakan Pajak Komersial sebagai pengganti PPN. Brunei unik karena tidak adanya pajak penghasilan pribadi dan GST.

Basis pajak yang sempit di Brunei, yang sangat bergantung pada pendapatan perusahaan dan sumber daya alam, merupakan faktor kunci dalam rasio pajak terhadap PDB yang rendah. Negara-negara lain umumnya memiliki basis pajak yang lebih luas, mencakup pendapatan, konsumsi, dan properti.

Perbedaan struktur pajak ini mencerminkan prioritas ekonomi nasional dan kekayaan sumber daya yang berbeda. Negara-negara dengan kekayaan sumber daya alam yang signifikan, seperti Brunei, mungkin memiliki tekanan yang lebih rendah untuk memperluas basis pajak mereka. Ketika sebagian besar pendapatan nasional berasal dari pendapatan non-pajak, seperti royalti sumber daya, urgensi untuk memungut pajak berbasis luas pada individu atau konsumsi berkurang. Hal ini menjelaskan mengapa rasio pajak terhadap PDB-nya rendah, namun tidak serta merta berarti ketidakstabilan fiskal jika pendapatan sumber daya kuat. Sebaliknya, negara-negara tanpa kekayaan sumber daya tersebut harus mengembangkan sistem pajak berbasis luas untuk mendanai layanan publik, yang mendorong pilihan kebijakan pajak yang berbeda.

Penggunaan insentif pajak secara luas di seluruh kawasan, meskipun bertujuan untuk menarik investasi asing langsung (FDI) dan mendorong pertumbuhan, dapat secara tidak sengaja mengikis basis pajak dan berkontribusi pada rasio pajak terhadap PDB yang lebih rendah jika tidak dikelola dan dievaluasi dengan cermat. Misalnya, Indonesia menawarkan tax holiday, Malaysia memiliki tunjangan pajak investasi, Singapura memiliki rabat CIT, dan Vietnam memiliki insentif berbasis sektor. Meskipun bermanfaat untuk menarik investasi, insentif ini mengurangi jumlah pendapatan kena pajak, yang secara langsung memengaruhi rasio pajak terhadap PDB. Jika insentif terlalu murah hati, tidak tepat sasaran, atau tidak memiliki klausul sunset, mereka dapat menciptakan “pengeluaran pajak” (pendapatan yang hilang) yang signifikan yang merusak kapasitas fiskal. Hal ini menciptakan ketegangan antara menarik investasi dan memaksimalkan pendapatan domestik, yang memerlukan analisis biaya-manfaat yang cermat terhadap program insentif.

5. Kebijakan Fiskal dan Reformasi Pajak Terkini

Banyak negara Asia Tenggara secara aktif mengejar reformasi fiskal dan pajak untuk meningkatkan pendapatan, memperbaiki keberlanjutan fiskal, dan beradaptasi dengan lanskap ekonomi yang berkembang.

Inisiatif Reformasi Pajak dan Tujuannya

  • Brunei Darussalam: Dana Moneter Internasional (IMF) merekomendasikan perluasan basis pajak dengan menerapkan Pajak Barang dan Jasa (GST) dan pajak penghasilan pribadi, menyesuaikan tarif pajak properti, dan memperluas pajak cukai. Digitalisasi sistem pajak juga menjadi prioritas untuk meningkatkan efisiensi dan kepatuhan. Tujuannya adalah untuk mengurangi ketergantungan pada pendapatan minyak dan gas yang volatil dan mengamankan ruang fiskal.
  • Kamboja: Sektor swasta mendorong keringanan pajak dan reformasi impor. Bank Dunia menyerukan diversifikasi dan reformasi pendapatan. Reformasi administrasi dan regulasi, termasuk digitalisasi layanan wajib pajak dan penyederhanaan prosedur, sedang dilaksanakan untuk meningkatkan efisiensi administrasi pajak.
  • Indonesia: Berencana meluncurkan peraturan pajak baru untuk mata uang kripto pada Agustus 2025, mengklasifikasikan aset digital sebagai instrumen keuangan untuk meningkatkan pendapatan pajak. Pengawasan kripto bergeser ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ini bertujuan untuk mengintegrasikan mata uang kripto ke dalam sistem keuangan dan menstabilkan pasar, meskipun dapat meningkatkan biaya operasional bagi startup.
  • Laos: Mengusulkan amandemen Undang-Undang Pajak Penghasilan untuk membebaskan usaha kecil yang tidak menguntungkan dari pajak, bergeser dari model berbasis pendapatan ke model berbasis keuntungan, memungkinkan pengurangan biaya operasional. Ini bertujuan untuk meringankan beban usaha kecil dan meningkatkan efisiensi pajak, sebagian mengimbangi hilangnya pendapatan dengan pengumpulan PPN. Undang-undang yang direvisi juga berupaya meningkatkan pendapatan pajak dari perusahaan multinasional (minimal 15% pajak keuntungan untuk MNC kriteria OECD) dan menawarkan tarif pajak keuntungan yang lebih rendah untuk perusahaan terdaftar (10% untuk 10 tahun pertama). Ini juga memperluas kategori pendapatan kena pajak untuk mencakup penjualan kredit karbon dan penjualan produk hutan yang disahkan.
  • Malaysia: Meluncurkan cetak biru lima tahun senilai RM611 miliar (S$185 miliar) (Rencana Malaysia ke-13 2026-2030) yang bertujuan untuk meningkatkan digitalisasi, pengembangan AI, dan industri bernilai tinggi. Pemerintah bertujuan untuk secara bertahap mengurangi defisit fiskal hingga di bawah 3% dari PDB dan menjaga utang pemerintah di bawah 60% dari PDB. Ketidakpuasan publik baru-baru ini muncul karena perluasan pajak penjualan dan jasa, pengurangan subsidi bahan bakar, dan kenaikan tarif listrik industri.
  • Myanmar: Pernyataan Kebijakan Fiskal untuk Tahun Fiskal 2024-2025 berfokus pada peningkatan pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan, perluasan program perlindungan sosial, dan implementasi penuh pendapatan dan pengeluaran yang ditargetkan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan pendapatan dengan memperluas basis pajak tanpa menaikkan tarif pajak, memastikan pengumpulan pajak yang sistematis, dan meningkatkan belanja publik untuk merangsang ekonomi. Upaya termasuk memperluas penggunaan teknologi ICT untuk pengumpulan pajak dan transisi ke sistem penilaian mandiri untuk menghilangkan korupsi.
  • Filipina: Pemerintah menerapkan agenda konsolidasi fiskal jangka menengah, memproyeksikan defisit fiskal yang menyempit (dari 7,3% PDB pada 2022 menjadi 6,0% pada 2023). Pertumbuhan pendapatan diharapkan pulih ke tingkat pra-pandemi pada 2025, didukung oleh pertumbuhan yang lebih cepat dan rancangan undang-undang reformasi pajak.
  • Singapura: Anggaran Singapura 2025 berfokus pada pengelolaan tekanan biaya, pengembangan kemampuan inovasi untuk pertumbuhan ekonomi, transformasi tenaga kerja, dan pembangunan kota berkelanjutan. Langkah-langkah termasuk rezim pengurangan pajak baru untuk skema remunerasi berbasis ekuitas karyawan (EEBR) dan kegiatan inovasi, peningkatan Bagian 13W (mencakup keuntungan dari pelepasan saham preferen), dan insentif pajak untuk pasar modal, sektor keuangan, dan maritim (rabat CIT untuk pencatatan baru, tarif pajak konsesi yang ditingkatkan untuk manajer dana). Rabat pajak penghasilan badan (CIT) untuk Tahun Penilaian (YA) 2025 dan perpanjangan Double Tax Deduction for Internationalisation (DTDi) juga berlaku.
  • Thailand: Kementerian Keuangan sedang melakukan inisiatif reformasi pajak komprehensif untuk Tahun Fiskal 2025 untuk secara signifikan meningkatkan pendapatan pemerintah, meningkatkan disiplin fiskal, dan mempromosikan kesetaraan sosial ekonomi. Tujuannya adalah untuk mencapai anggaran yang seimbang untuk pertama kalinya dalam lebih dari dua dekade, meningkatkan rasio pajak terhadap PDB dari 15,5% menjadi target 18%. Reformasi termasuk perluasan pendapatan di seluruh departemen pajak inti (Pendapatan, Cukai, Bea Cukai), mengatasi penghindaran PPN, dan meningkatkan koleksi. Komponen signifikan berfokus pada pengurangan ketidaksetaraan ekonomi melalui pajak properti dan warisan yang lebih progresif. Reformasi juga bertujuan untuk beradaptasi dengan ekonomi digital (mata uang kripto, layanan digital) dan mempromosikan ekonomi hijau.
  • Vietnam: Undang-Undang Pajak Penghasilan Badan (CIT) yang baru (UU No. 67/2025/QH15) berlaku efektif Oktober 2025. Perubahan utama termasuk secara formal memasukkan perusahaan asing yang menyediakan barang/jasa melalui platform e-commerce/digital sebagai wajib pajak CIT (selaras dengan upaya BEPS). Ini memperkenalkan tarif CIT yang berbeda berdasarkan ukuran perusahaan (keringanan untuk usaha kecil) dan insentif baru untuk sektor strategis (pendidikan, kesehatan, perlindungan lingkungan, penelitian ilmiah, energi terbarukan, infrastruktur), pembangunan regional, dan proyek manufaktur/ekspansi skala besar. Aturan pengurangan biaya diperjelas, menghubungkan pengurangan pajak dengan kepatuhan terhadap kerangka hukum lainnya.

Dampak dan Tantangan Implementasi

Reformasi ini secara umum bertujuan untuk meningkatkan pendapatan. Misalnya, Thailand menargetkan tambahan 800 miliar Baht setiap tahun. Laos berharap dapat mengimbangi keringanan pajak usaha kecil dengan pengumpulan PPN. Banyak reformasi berfokus pada perluasan basis pajak, baik melalui pajak baru (misalnya, potensi GST di Brunei), peningkatan pengumpulan dari pajak yang ada (Myanmar, Thailand), atau pajak sektor baru seperti ekonomi digital (Vietnam, Thailand). Reformasi seperti di Malaysia dan Filipina secara eksplisit menargetkan pengurangan defisit fiskal dan stabilisasi tingkat utang publik. Fokus Thailand pada perpajakan progresif  dan keringanan pajak Laos untuk usaha kecil  menyoroti pertimbangan keadilan. Insentif Singapura dan Vietnam bertujuan untuk menjaga daya saing dan menarik investasi.

Benang merah dalam reformasi terkini adalah upaya untuk menyeimbangkan generasi pendapatan dengan daya saing ekonomi dan keadilan sosial. Hal ini seringkali mengarah pada pertukaran yang kompleks, di mana peningkatan satu tujuan dapat mengorbankan yang lain. Misalnya, Laos memberikan keringanan pajak untuk usaha kecil tetapi bertujuan untuk meningkatkan pajak MNC; Malaysia memperluas SST tetapi menghadapi reaksi publik; Vietnam menawarkan insentif untuk sektor strategis tetapi mengenakan pajak pada platform digital. Ini menunjukkan ketegangan yang melekat dalam kebijakan fiskal. Perpajakan progresif (Thailand) bertujuan untuk keadilan tetapi mungkin mengurangi insentif bagi penghasil tinggi. Insentif pajak (Singapura, Vietnam) bertujuan untuk daya saing tetapi dapat mengurangi basis pajak keseluruhan. Menaikkan pajak konsumsi (Malaysia) efisien untuk pendapatan tetapi bisa regresif. Para pembuat kebijakan menavigasi masalah optimasi multi-tujuan, yang seringkali mengarah pada kompromi dan ketidakpuasan publik jika tidak dikelola secara efektif.

Fokus yang meningkat pada perpajakan ekonomi digital dan penyelarasan dengan standar pajak global, seperti Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) dan Global Minimum Tax, mencerminkan pergeseran regional dan global menuju penangkapan pendapatan dari model ekonomi baru dan perusahaan multinasional. Ini menunjukkan sikap proaktif terhadap kerja sama pajak internasional dan perlindungan pendapatan domestik. Vietnam secara eksplisit memasukkan platform digital asing sebagai wajib pajak CIT, selaras dengan BEPS. Laos bertujuan untuk membuat MNC membayar pajak keuntungan minimum 15% yang selaras dengan kriteria OECD. Ini adalah respons terhadap tantangan pengikisan basis pajak dan pengalihan keuntungan oleh perusahaan multinasional yang beroperasi dalam ekonomi yang terglobalisasi dan terdigitalisasi. Dengan mengadopsi langkah-langkah ini, negara-negara Asia Tenggara tidak hanya berusaha meningkatkan pendapatan tetapi juga untuk memastikan distribusi hak pemungutan pajak yang lebih adil, mencegah persaingan pajak yang merugikan, dan melindungi basis pajak domestik mereka dari strategi perencanaan pajak yang agresif. Ini menandakan kematangan kerangka kebijakan pajak mereka dan keterlibatan yang lebih besar dengan tata kelola fiskal global.

Tantangan dalam implementasi reformasi ini meliputi:

  • Kelayakan Politik: Reformasi, terutama yang melibatkan pajak baru atau pengurangan subsidi (misalnya, perluasan SST dan pemotongan subsidi bahan bakar Malaysia yang menyebabkan ketidakpuasan publik), dapat menghadapi perlawanan publik.
  • Kapasitas Administratif: Keberhasilan reformasi, terutama yang melibatkan digitalisasi atau jenis pajak baru, sangat bergantung pada kapasitas administratif otoritas pajak.
  • Ekonomi Informal: Perpajakan sektor informal tetap menjadi tantangan signifikan, membutuhkan strategi bernuansa di luar penegakan hukum sederhana.
  • Standar Global: Penyelarasan dengan standar pajak internasional menghadirkan peluang untuk peningkatan pendapatan dan kompleksitas bagi kebijakan domestik.

6. Faktor-faktor Penentu Pendapatan Pajak

Pendapatan pajak nasional dipengaruhi oleh berbagai faktor ekonomi, sosial, dan administratif. Memahami faktor-faktor ini sangat penting untuk merumuskan kebijakan yang efektif.

Ukuran Ekonomi Informal dan Implikasinya

Ekonomi informal, atau ekonomi bayangan, mencakup kegiatan ekonomi yang beroperasi di luar pengawasan pemerintah, seringkali tidak tercatat dalam statistik resmi. Ini merupakan tantangan signifikan bagi mobilisasi pendapatan pajak di negara-negara berkembang, termasuk Asia Tenggara.

Di negara-negara berkembang, sektor informal dapat menyumbang sepertiga hingga setengah dari kegiatan ekonomi. Di Myanmar, ekonomi informal diperkirakan menyumbang hampir 30% dari PDB, 85% unit ekonomi, dan 92% pekerjaan. Tingkat informalitas yang tinggi secara langsung menyiratkan penghindaran pajak yang meluas, yang menjadi hambatan utama dalam membangun kapasitas fiskal. Bisnis di sektor informal dapat menurunkan biaya mereka dengan menghindari pajak tinggi dan peraturan ketat, yang meningkatkan daya saing mereka tetapi mengurangi pendapatan pemerintah.

Tantangan utama dalam perpajakan sektor informal meliputi kurangnya jejak informasi yang dapat diverifikasi (transaksi berbasis tunai), biaya kepatuhan pajak yang tinggi, dan inefisiensi perpajakan usaha kecil informal (di mana biaya audit mungkin lebih besar daripada potensi pendapatan). Kelemahan tata kelola dan kurangnya kepercayaan terhadap otoritas pendapatan juga menghambat formalisasi.

Ekonomi informal bertindak sebagai penghambat pendapatan pajak yang persisten, tidak hanya melalui penghindaran langsung tetapi juga dengan mendistorsi persaingan dan mengurangi insentif untuk formalisasi. Tantangannya bukan hanya tentang penegakan hukum, tetapi tentang menciptakan lingkungan yang menarik untuk formalisasi. Misalnya, kasus Pakistan menunjukkan bahwa peningkatan jumlah wajib pajak terdaftar melalui penegakan hukum yang agresif tidak menghasilkan peningkatan pendapatan yang signifikan. Ini menunjukkan bahwa masalahnya lebih kompleks daripada sekadar penegakan. Bisnis informal mendapatkan keuntungan kompetitif dengan menghindari pajak dan peraturan, yang dapat menghambat pertumbuhan bisnis formal. Oleh karena itu, kuncinya adalah mengurangi biaya dan disinsentif formalisasi, seperti biaya kepatuhan yang tinggi dan kurangnya kepercayaan pada institusi, serta menawarkan manfaat, seperti akses ke kredit dan kredit pajak masukan, yang menjadikan formalisasi pilihan rasional bagi bisnis.

Kebijakan yang efektif untuk mengurangi informalitas dan meningkatkan pendapatan pajak meliputi pengurangan biaya masuk sektor formal, penerapan rezim pajak presumtif (pajak yang disederhanakan berdasarkan proksi seperti omset), adopsi solusi berbasis teknologi (pembayaran digital, e-invoicing), pendekatan yang berbeda untuk sektor tertentu (misalnya, pajak berbasis lahan untuk pertanian), dan insentif formalisasi (insentif pajak awal, penyederhanaan proses pendaftaran, akses ke kredit). Vietnam, misalnya, melalui reformasi pajak tahun 2009 yang menyederhanakan prosedur dan menghubungkan kepatuhan dengan manfaat, berhasil mengurangi pekerjaan informal secara bertahap.

Kapasitas Administrasi Pajak

Peningkatan tata kelola dan kapasitas administratif di dalam otoritas pajak berkorelasi positif dengan pendapatan pajak yang lebih tinggi. Sistem pajak yang lebih kuat sangat penting untuk mobilisasi pendapatan, pemulihan ekonomi, dan pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.

Digitalisasi sistem pajak meningkatkan efisiensi dan kepatuhan. Kamboja telah menerapkan digitalisasi layanan wajib pajak. Singapura sedang meningkatkan IRAS Bot-nya dengan AI generatif untuk meningkatkan pengalaman wajib pajak dan efisiensi. Namun, keberhasilan reformasi pajak sangat bergantung pada kapasitas administratif otoritas pajak. Digitalisasi, meskipun merupakan alat yang ampuh, membutuhkan investasi signifikan dalam infrastruktur, modal manusia, dan kerangka hukum yang kuat agar benar-benar transformatif. Sekadar memperoleh teknologi tidak cukup. Digitalisasi yang efektif memerlukan tenaga kerja terampil untuk mengelola dan memanfaatkan sistem ini, keamanan data yang kuat, dan kerangka hukum yang mendukung transaksi dan penegakan digital. Tanpa elemen-elemen fundamental ini, adopsi teknologi mungkin menghasilkan hasil yang terbatas atau bahkan menciptakan kerentanan baru. Keberhasilan transformasi digital dalam administrasi pajak oleh karena itu merupakan tantangan institusional yang holistik, bukan hanya teknis.

Faktor Ekonomi dan Sosial Lainnya

  • PDB per Kapita: Rasio pajak terhadap PDB cenderung lebih tinggi di ekonomi berpenghasilan tinggi, meskipun hubungan ini kurang langsung pada tingkat pendapatan yang lebih rendah. Singapura dan Hong Kong (Tiongkok) adalah pengecualian, dengan PDB per kapita yang tinggi tetapi rasio pajak terhadap PDB yang relatif rendah, dijelaskan oleh tarif pajak penghasilan dan PPN yang lebih rendah serta investasi asing langsung yang signifikan.
  • Pentingnya Pertanian: Ekonomi dengan sektor pertanian yang besar menghadapi tantangan perpajakan karena informalitas, pendapatan rendah, dan potensi pembebasan pajak.
  • Keterbukaan Perdagangan: Ini adalah faktor struktural yang memengaruhi rasio pajak terhadap PDB.
  • Tata Kelola dan Kualitas Institusional: Efektivitas pemerintah dan kualitas institusional berkorelasi positif dengan rasio pajak terhadap PDB. Kurangnya kepercayaan terhadap otoritas pendapatan dapat menghambat formalisasi.
  • Moral Pajak: Kemauan masyarakat untuk membayar pajak, yang dipengaruhi oleh kepuasan mereka terhadap layanan publik, berkorelasi positif dengan rasio pajak terhadap PDB.

Interaksi faktor-faktor ekonomi struktural, seperti dominasi pertanian dan PDB per kapita, dengan faktor-faktor tata kelola dan sosial, seperti moral pajak dan kapasitas administratif, menciptakan lingkungan yang kompleks untuk mobilisasi pendapatan. Dalam konteks ini, sekadar menaikkan tarif pajak mungkin tidak menghasilkan hasil yang diinginkan tanpa mengatasi hambatan struktural yang mendasari. Ini menunjukkan keterbatasan reformasi kebijakan pajak yang murni teknis. Di ekonomi dengan sektor pertanian besar atau informalitas signifikan, basis pajak secara inheren sempit atau sulit ditangkap. Lebih lanjut, jika warga negara merasakan korupsi atau layanan publik yang tidak efisien, kemauan mereka untuk mematuhi pajak akan rendah, terlepas dari kerangka hukumnya. Oleh karena itu, mobilisasi pendapatan yang efektif memerlukan reformasi yang lebih luas dalam tata kelola, penyediaan layanan publik, dan formalisasi ekonomi, di samping perubahan khusus pajak.

Meskipun tidak dijelaskan secara rinci dalam data yang tersedia mengenai pengaruh perubahan demografi terhadap pendapatan pajak di Asia Tenggara , IMF Fiscal Monitor untuk Asia dan Pasifik mencatat bahwa perubahan demografi akan semakin bertindak sebagai penghambat aktivitas ekonomi. Hal ini mengisyaratkan implikasi jangka panjang yang potensial terhadap basis pajak dan kebutuhan pendapatan. Misalnya, populasi yang menua dapat meningkatkan biaya perawatan kesehatan dan pensiun, sementara menyusutnya basis pajak usia kerja.

7. Kesimpulan dan Rekomendasi

Analisis ini mengungkapkan bahwa negara-negara Asia Tenggara menunjukkan disparitas signifikan dalam rasio pajak terhadap PDB mereka, yang secara umum lebih rendah dari rata-rata global. Hal ini menunjukkan adanya potensi fiskal yang belum dimanfaatkan di sebagian besar wilayah. Struktur pajak bervariasi secara substansial, mencerminkan karakteristik ekonomi yang beragam di setiap negara, dengan kecenderungan umum untuk mengandalkan pajak konsumsi dan peningkatan fokus pada perpajakan ekonomi digital.

Reformasi fiskal dan pajak yang sedang berlangsung tersebar luas di seluruh kawasan, dengan tujuan utama untuk memperluas basis pajak, meningkatkan pendapatan, dan memperbaiki keberlanjutan fiskal. Upaya-upaya ini seringkali berupaya menyeimbangkan tujuan-tujuan tersebut dengan daya saing ekonomi dan keadilan sosial. Namun, ekonomi informal tetap menjadi penghalang utama bagi pengumpulan pendapatan, yang memerlukan strategi multi-aspek yang melampaui penegakan hukum tradisional. Selain itu, kapasitas administrasi pajak dan tata kelola yang baik terbukti menjadi faktor krusial bagi keberhasilan implementasi dan efektivitas reformasi pajak.

Implikasi Kebijakan untuk Peningkatan Pendapatan Pajak

Berdasarkan temuan-temuan ini, beberapa implikasi kebijakan muncul untuk meningkatkan mobilisasi pendapatan pajak di Asia Tenggara:

  • Perluasan Basis Pajak Strategis: Negara-negara yang sangat bergantung pada sektor tertentu, seperti sumber daya alam (contohnya Brunei), perlu mendiversifikasi sumber pendapatan mereka melalui pajak berbasis luas seperti GST/PPN dan pajak penghasilan pribadi untuk membangun ketahanan fiskal. Diversifikasi ini akan mengurangi kerentanan terhadap fluktuasi harga komoditas dan menciptakan aliran pendapatan yang lebih stabil.
  • Strategi Formalisasi yang Bertarget: Mengatasi ekonomi informal memerlukan pendekatan bernuansa yang mengurangi biaya kepatuhan, menawarkan insentif untuk formalisasi, dan memanfaatkan alat digital, daripada hanya mengandalkan penegakan hukum yang agresif. Kebijakan harus dirancang untuk membuat formalisasi menjadi pilihan yang menarik secara ekonomi bagi bisnis.
  • Penguatan Administrasi Pajak: Investasi berkelanjutan dalam digitalisasi, modal manusia, dan kerangka hukum yang kuat untuk administrasi pajak sangat penting untuk meningkatkan efisiensi, kepatuhan, dan memerangi penghindaran pajak. Digitalisasi dapat menyederhanakan proses, meningkatkan transparansi, dan mengurangi peluang korupsi.
  • Menyeimbangkan Insentif dan Pendapatan: Meskipun insentif pajak dapat menarik investasi, insentif tersebut harus dirancang dengan cermat, dibatasi waktu, dan dievaluasi secara teratur untuk memastikan tidak mengikis basis pajak secara berlebihan atau menciptakan persaingan yang tidak sehat. Evaluasi berkala akan membantu pemerintah memastikan bahwa manfaat investasi melebihi pendapatan yang hilang.
  • Perpajakan Progresif dan Keadilan: Reformasi harus mempertimbangkan dampak distribusi dari kebijakan pajak, terutama pajak tidak langsung, dan menerapkan langkah-langkah pelengkap, seperti jaring pengaman sosial, untuk melindungi populasi rentan dan meningkatkan moral pajak. Hal ini akan membantu memastikan bahwa beban pajak didistribusikan secara adil dan mempertahankan dukungan publik terhadap sistem pajak.

Rekomendasi 

Untuk mencapai peningkatan pendapatan pajak yang berkelanjutan dan memperkuat keberlanjutan fiskal di Asia Tenggara, direkomendasikan strategi berikut:

  • Reformasi Fiskal Holistik: Menerapkan reformasi fiskal komprehensif yang mengintegrasikan kebijakan pajak, administrasi, dan pengelolaan belanja publik. Pendekatan terpadu ini akan memastikan bahwa sistem pajak tidak hanya efisien dalam mengumpulkan pendapatan tetapi juga mendukung tujuan pembangunan yang lebih luas dan alokasi sumber daya yang efektif.
  • Memanfaatkan Transformasi Digital: Mempercepat adopsi teknologi digital dalam administrasi pajak, termasuk e-filing, e-pembayaran, dan analitik data. Langkah ini akan secara signifikan meningkatkan efisiensi, mengurangi korupsi, dan meningkatkan tingkat kepatuhan, sekaligus menyediakan data yang lebih baik untuk analisis kebijakan.
  • Meningkatkan Moral Pajak dan Kepercayaan: Berinvestasi dalam pendidikan publik tentang pentingnya perpajakan, menunjukkan penggunaan dana publik yang transparan dan akuntabel, serta meningkatkan kualitas layanan publik. Upaya-upaya ini akan membangun kepercayaan antara pemerintah dan wajib pajak, yang pada gilirannya akan meningkatkan kemauan untuk membayar pajak.
  • Kerja Sama Regional: Mendorong dialog dan kerja sama regional dalam masalah pajak, terutama mengenai transaksi digital lintas batas dan memerangi pengikisan basis pajak dan pengalihan keuntungan. Kerja sama ini akan memastikan perpajakan yang adil dan konsisten di seluruh ASEAN, mengurangi arbitrase pajak, dan memperkuat posisi kolektif kawasan dalam tata kelola pajak global.
  • Kerangka Kebijakan Adaptif: Mengembangkan kerangka kebijakan pajak yang fleksibel yang dapat beradaptasi dengan pergeseran ekonomi global, seperti perubahan iklim dan munculnya industri baru, serta perubahan demografi domestik. Kerangka kerja yang adaptif akan memastikan keberlanjutan fiskal jangka panjang dan kemampuan pemerintah untuk merespons tantangan dan peluang yang berkembang.

Karya yang dikutip

  1. Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) – USTR, diakses Agustus 1, 2025, https://ustr.gov/issue-areas/trade-organizations/association-southeast-asian-nations-asean
  2. Malaysia unveils ambitious $185b five-year plan to reshape country amid global economic headwinds | The Straits Times, diakses Agustus 1, 2025, https://www.straitstimes.com/asia/se-asia/malaysia-unveils-ambitious-185b-five-year-plan-to-reshape-country-amid-global-economic-headwinds
  3. Singapore Tax System: Types & Rates, Osome Blog, diakses Agustus 1, 2025, https://osome.com/sg/blog/singapore-tax-system/
  4. Singapore: Budget 2025 — key tax updates – Baker McKenzie InsightPlus, diakses Agustus 1, 2025, https://insightplus.bakermckenzie.com/bm/tax/singapore-budget-2025-key-tax-updates
  5. FY 2023 Annual Fiscal Report | DBM, diakses Agustus 1, 2025, https://www.dbm.gov.ph/wp-content/uploads/DBCC_MATTERS/Annual-Fiscal-Report/2023/FY-2023-Annual-Fiscal-Report.pdf
  6. Philippines: 2023 Article IV Consultation-Press Release; Staff Report; and Statement by the Executive Director for Philippines in: IMF Staff Country Reports Volume 2023 Issue 414 (2023) – IMF eLibrary, diakses Agustus 1, 2025, https://www.elibrary.imf.org/view/journals/002/2023/414/article-A001-en.xml
  7. GDP (current US$) – East Asia & Pacific – World Bank Data, diakses Agustus 1, 2025, https://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.MKTP.CD?locations=Z4
  8. Brunei Darussalam: 2024 Article IV Consultation-Press Release; and Staff Report in, diakses Agustus 1, 2025, https://www.elibrary.imf.org/view/journals/002/2024/301/article-A001-en.xml
  9. Vietnam: 2023 IV Consultation-Press Release; Staff Report; and Statement by the Executive Director for Vietnam; IMF Country Repo, diakses Agustus 1, 2025, https://www.elibrary.imf.org/downloadpdf/view/journals/002/2023/338/article-A001-en.pdf
  10. The World Bank In Viet Nam, diakses Agustus 1, 2025, https://www.worldbank.org/en/country/vietnam/overview
  11. Laos Tax Revenue: % of GDP, 2012 – 2024 | CEIC Data, diakses Agustus 1, 2025, https://www.ceicdata.com/en/indicator/laos/tax-revenue–of-gdp
  12. The World Bank in Cambodia, diakses Agustus 1, 2025, https://www.worldbank.org/en/country/cambodia/overview
  13. Myanmar – Southeast Asia Aid Map – Lowy Institute, diakses Agustus 1, 2025, https://seamap.lowyinstitute.org/country/myanmar/
  14. Brunei Tax Revenue: % of GDP, 2010 – 2025 | CEIC Data, diakses Agustus 1, 2025, https://www.ceicdata.com/en/indicator/brunei/tax-revenue–of-gdp
  15. Cambodia – Tax Revenue (% Of GDP) – 2025 Data 2026 Forecast 2002-2023 Historical, diakses Agustus 1, 2025, https://tradingeconomics.com/cambodia/tax-revenue-percent-of-gdp-wb-data.html
  16. Indonesia – Tax Revenue (% Of GDP) – 2025 Data 2026 Forecast 1972-2022 Historical, diakses Agustus 1, 2025, https://tradingeconomics.com/indonesia/tax-revenue-percent-of-gdp-wb-data.html
  17. First Quarter 2023, Indonesia’s Tax Ratio is 9.4% – MUC Consulting, diakses Agustus 1, 2025, https://muc.co.id/en/article/first-quarter-2023-indonesias-tax-ratio-is-94
  18. Tax Revenue (% Of GDP) – 2025 Data 2026 Forecast 2006-2022 Historical – Laos, diakses Agustus 1, 2025, https://tradingeconomics.com/laos/tax-revenue-percent-of-gdp-wb-data.html
  19. Malaysia – Tax Revenue (% Of GDP) – 2025 Data 2026 Forecast 1996-2023 Historical, diakses Agustus 1, 2025, https://tradingeconomics.com/malaysia/tax-revenue-percent-of-gdp-wb-data.html
  20. Resurrecting Goods and Services Tax (GST): The Case for A Comeback – SOCIAL WELLBEING RESEARCH CENTRE (SWRC), diakses Agustus 1, 2025, https://swrc.um.edu.my/img/files/SWRC%20Working%20Paper%20Series%20-%20Resurrecting%20Goods%20and%20Services%20Tax%20(GST)%20The%20Case%20for%20A%20Comeback.pdf
  21. Myanmar Tax Revenue, 2012 – 2023 | CEIC Data, diakses Agustus 1, 2025, https://www.ceicdata.com/en/indicator/myanmar/tax-revenue
  22. Philippines – Tax Revenue (% Of GDP) – 2025 Data 2026 Forecast 1990-2023 Historical, diakses Agustus 1, 2025, https://tradingeconomics.com/philippines/tax-revenue-percent-of-gdp-wb-data.html
  23. IRAS Annual Report FY2022/23, diakses Agustus 1, 2025, https://www.iras.gov.sg/news-events/newsroom/iras-annual-report-fy2022-23
  24. Tax revenue (% of GDP) – World Bank Data, diakses Agustus 1, 2025, https://data.worldbank.org/indicator/GC.TAX.TOTL.GD.ZS
  25. Vietnam Tax Revenue, 2005 – 2025 | CEIC Data, diakses Agustus 1, 2025, https://www.ceicdata.com/en/indicator/vietnam/tax-revenue
  26. VAT drove up tax revenues in the Asia-Pacific region in 2023 – OECD, diakses Agustus 1, 2025, https://www.oecd.org/en/about/news/announcements/2025/07/vat-drove-up-tax-revenues-in-the-asia-pacific-region-in-2023.html
  27. faqs-corporate-tax – Ministry of Finance and Economy, diakses Agustus 1, 2025, https://www.mofe.gov.bn/Divisions/faqs-corporate-tax.aspx
  28. Tax Revenue Mobilization in: IMF Staff Country Reports Volume 2024 Issue 300 (2024), diakses Agustus 1, 2025, https://www.elibrary.imf.org/view/journals/002/2024/300/article-A003-en.xml
  29. Cambodia – Individual – Taxes on personal income – Worldwide Tax Summaries (PwC), diakses Agustus 1, 2025, https://taxsummaries.pwc.com/cambodia/individual/taxes-on-personal-income
  30. Tax Policies – britacom, diakses Agustus 1, 2025, https://www.britacom.org/zt/BRPolicies/Indonesia/
  31. Lao PDR – Individual – Taxes on personal income – Worldwide Tax Summaries (PwC), diakses Agustus 1, 2025, https://taxsummaries.pwc.com/lao-pdr/individual/taxes-on-personal-income
  32. Taxes in Malaysia: Rates, Deadlines, and Everything You Need to Know – ClearTax, diakses Agustus 1, 2025, https://www.cleartax.com/my/en/tax-system-in-malaysia
  33. Taxation in Myanmar | BSW – Business Setup Worldwide, diakses Agustus 1, 2025, https://www.businesssetup.com/mm/taxation-in-myanmar
  34. Types of Taxes in the Philippines, diakses Agustus 1, 2025, https://duranschulze.com/types-of-taxes-in-the-philippines/
  35. Understanding Vietnam Tax System (2024 Update), diakses Agustus 1, 2025, https://bbcincorp.com/vn/articles/understanding-vietnam-tax-system
  36. Vietnam’s new Corporate Income Tax Law: Strategic overhaul effective October 2025, diakses Agustus 1, 2025, https://vietnam.acclime.com/news-insights/vietnams-new-corporate-income-tax-law-strategic-overhaul-effective-october-2025/
  37. Private Sector Pushes for Tax Relief and Import Reform at July 2025 Working Group-D Government Dialogue – Cambodia Investment Review, diakses Agustus 1, 2025, https://cambodiainvestmentreview.com/2025/07/29/private-sector-pushes-for-tax-relief-and-import-reform-at-july-2025-working-group-d-government-dialogue/
  38. Revenue Statistics in Asia and the Pacific 2025: Tax revenue trends …, diakses Agustus 1, 2025, https://www.oecd.org/en/publications/revenue-statistics-in-asia-and-the-pacific-2025_6c04402f-en/full-report/tax-revenue-trends-in-asia-and-the-pacific_d86f4487.html
  39. Indonesia’s Crypto Tax Reforms: A Mixed Bag for Investors – OneSafe Blog, diakses Agustus 1, 2025, https://www.onesafe.io/blog/indonesias-crypto-tax-reforms-navigating-new-financial-landscapes
  40. Laos Proposes Tax Relief for Small Businesses Under Revised Income Tax Law, diakses Agustus 1, 2025, https://laotiantimes.com/2025/06/25/laos-proposes-tax-relief-for-small-businesses-under-revised-income-tax-law/
  41. FISCAL POLICY STATEMENT 2024-2025 FISCAL YEAR – Ministry of Planning and Finance, diakses Agustus 1, 2025, https://www.mopf.gov.mm/sites/default/files/Fiscal%20Policy%20Statement%20(2024-2025%20FY)%20(Eng).pdf
  42. Philippines Economic Update June 2023 – The World Bank, diakses Agustus 1, 2025, https://thedocs.worldbank.org/en/doc/c4aa826d0cda3d9b21db1adc4f8e1787-0070062023/original/World-Bank-Philippines-Economic-Update-June-2023.pdf
  43. Thailand moves toward tax comprehensive reform – BANGKOK GLOBAL LAW, diakses Agustus 1, 2025, https://www.bgloballaw.com/2025/06/16/thailand-moves-toward-tax-comprehensive-reform/
  44. Building Tax Capacity in Developing Countries – International Monetary Fund (IMF), diakses Agustus 1, 2025, https://www.imf.org/en/Publications/Staff-Discussion-Notes/Issues/2023/09/15/Building-Tax-Capacity-in-Developing-Countries-535449
  45. A Comparative Analysis of Tax Administration in Asia and the Pacific: Sixth Edition, diakses Agustus 1, 2025, https://www.adb.org/publications/comparative-analysis-tax-administration-asia-pacific-6th-edition
  46. Bringing Informal and Hard-to-Tax Sectors into the Formal Tax …, diakses Agustus 1, 2025, https://development.asia/insight/bringing-informal-and-hard-tax-sectors-formal-tax-system
  47. Special ASEAN Investment Report 2023, diakses Agustus 1, 2025, https://asean.org/wp-content/uploads/2023/12/AIR-Special-2023.pdf
  48. The Influence of the Informal Economy on the Growth Rate of Real GDP within the Association of Southeast Asian Nations – EconJournals.com, diakses Agustus 1, 2025, https://www.econjournals.com/index.php/ijefi/article/download/18312/8816/44252
  49. Informality and Taxation in Developing Asia, diakses Agustus 1, 2025, https://www.adb.org/sites/default/files/institutional-document/782851/ado2022bp-informality-taxation-developing-asia.pdf
  50. Revenue Statistics in Asia and the Pacific 2025: Personal income taxation in Asia and the Pacific | OECD, diakses Agustus 1, 2025, https://www.oecd.org/en/publications/revenue-statistics-in-asia-and-the-pacific-2025_6c04402f-en/full-report/personal-income-taxation-in-asia-and-the-pacific_75becef5.html
  51. Regional Economic Outlook – International Monetary Fund (IMF), diakses Agustus 1, 2025, https://www.imf.org/en/publications/reo?sortby=Region&series=Asia+and+Pacific

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

CAPTCHA ImageChange Image

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.