KISAH INTEROGATOR YANG DUNGU

Oleh Bersihar Lubis

Syahdan, Joesoef Ishak diinterogasi selama sebulan oleh Kejaksaan Agung menyusul terbitnya roman Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta Toer. Joesoef adalah pemilik Hasta Mitra (1980), yang menerbitkan karya Pram yang kemudian dilarang itu. Ia disekap di penjara pada 1965 dan 1966 dan meringkuk lagi di penjara Salemba sejak 1967 selama 10 tahun. Atas keberaniannya menerbitkan karya Pram, ia menerima hadiah “Jeri Laber Pour la Liberte de l’edition” dari Perhimpunan Para Penerbit Amerika, Partner Pen American Center, pada April 2004 di New York.

Saat tampil berbicara pada “Hari Sastra Indonesia” di Paris pada Oktober 2004 lalu, Joesoef pun bertutur tentang jalannya interogasi tersebut. Mulanya, ia mengusulkan supaya Kejaksaan Agung menggelar sebuah simposium ahli untuk membicarakan secara obyektif karya Pram. Tapi ternyata ditolak. Alasannya, interogator lebih paham dari siapa pun bahwa Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa adalah karya sastra Marxis. Anehnya, ketika Joesoef diinterogasi, aparat kejaksaan meminta Joesoef menunjukkan baris-baris mana yang menunjukkan adanya teori Marxis dalam buku Pram. Sikap sok tahu yang menyedihkan itu pun terungkap.

Ketika Joesoef diminta meneken berita acara pemeriksaan, para interogator tersenyum. “Buku-buku Pram luar biasa. Apakah Bapak mempunyai eksemplar tersisa? Istri saya belum membacanya. Bisakah Bapak mengirimkan satu eksemplar ke rumah saya?” kata si interogator. “Pak Joesoef hendaknya maklum bahwa apa yang saya lakukan hanyalah melaksanakan perintah atasan,” kata si interogator. “Saya telah disiksa oleh kedunguan interogator, dan interogator telah disiksa oleh atasan mereka yang lebih tinggi tingkat kedunguannya,” kata Joesoef.

Kisah lama ini diceritakan di sini berkaitan dengan langkah Kejaksaan Agung menerbitkan surat keputusan pada 5 Maret 2007. Isinya, melarang peredaran buku teks pelajaran SMP dan SMU serta setingkat karena tidak mencantumkan kebenaran sejarah tentang pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun pada 1948 dan peristiwa pemberontakan PKI pada 1965. Gerakan 30 September (G-30-S) 1965 memang tercantum, tapi tanpa menyebut keterlibatan PKI. “Itu pemutarbalikan fakta sejarah,” kata Jaksa Agung Muda Intelijen Muchtar Arifin, 9 Maret lalu.

Pelarangan itu pun menimbulkan pertanyaan. Apakah didasarkan pada telaah ilmiah dari para sejarawan? Seandainya ada bahasan ilmiah yang melibatkan sejarawan seperti Anhar Gonggong, Asvi Warman Adam, dan lainnya, mungkin pelarangan itu sedikitnya telah bertolak dari pandangan ilmiah.

Jika buku sejarah yang dilarang oleh Jaksa Agung tersebut tidak mencantumkan PKI sebagai pemberontak pada 1965, tidak mengherankan. Banyak sekali buku publikasi domestik dan luar negeri yang meragukan keterlibatan PKI, meskipun versi pemerintah menyebut PKI tetap terlibat. Akibatnya, di tengah masyarakat muncul beragam versi yang berbeda, sehingga menurut Jaksa Agung Muda Muchtar dapat menimbulkan keresahan dan pada akhirnya akan mengganggu ketertiban umum.

Mungkin, Muchtar khawatir terhadap munculnya sensor horizontal dari pihak di luar kekuasaan, seperti istilah John H. McGlynn dalam makalahnya “Shapes of Censoring during The New Order” (2004) pada “Hari Sastra Indonesia” di Paris. Misalnya, “sweeping buku-buku kiri” pada awal 2000. Namun, bagaimana bisa disebut berbahaya jika karya buku dan seni hanyalah karya pribadi yang tidak mempunyai pasukan tentara atau polisi, juga tidak punya pasukan penumpas?

Sebaliknya, pemerintah lupa bahwa pada zaman teknologi informasi global ini, arus buku, karya seni, film, dan budaya massa dunia bisa diakses dan merasuk ke Indonesia tanpa bisa disetop. Aneh bahwa pemerintah sekarang berambisi bertindak sebagai ilmuwan, pendeta, ulama, sejarawan, kritikus sastra, dan penjaga peradaban, padahal masalah korupsi, kemiskinan, dan pengangguran masih membukit di pelupuk mata.

Menurut Benedetto Croce, filsuf sejarah kelahiran Italia (1866-1952), “Every true story is contemporary history (setiap sejarah yang benar adalah sejarah masa kini).” Artinya, kebenaran buku sejarah itu relatif. Dianggap benar pada masa Orde Baru bisa sebaliknya pada masa reformasi. Buku sejarah adalah gambaran mengenai masa lampau, walau tidak sama persis dengan masa lampau.

Gambaran yang obyektif sukar dicapai, maksimal hanya bisa mendekatinya. Lagi pula, setiap tulisan sejarah selalu mencerminkan ide si penulis bertolak dari visi dan tafsirnya sendiri. Akibatnya, topik yang sama bisa berbeda di antara beberapa penulis. Pendapat penulis pun bisa dipengaruhi oleh suasana zamannya. Misalnya, soal keterlibatan PKI dalam G-30-S, mungkin versi itu ditulis atas keinginan penguasa. Sementara itu, sejarawan lain menganggapnya tidak relevan karena keterlibatan PKI dalam G-30-S tak didukung bukti dan fakta sejarah.

Situasi sosio-budaya selalu mengalir, sehingga ide, penilaian, dan tafsir sejarah bisa berubah dan muncul berbagai versi berbeda. Ada versi pemerintah, ada versi sejarawan yang independen. Buku sejarah yang ditulis tak berhak memonopoli kebenaran, apalagi hendak memperbaiki buku sejarah yang ada, termasuk versi pemerintah. Yang beruntung adalah generasi kemudian yang mewarisi kekayaan sejarah, dan terpulang pada mereka untuk memahaminya secara arif dan rasional.

Memonopoli kebenaran sejarah itu absurd. Apalagi sejarah selalu ditulis tidak pada saat terjadi, tapi jauh setelah peristiwa itu terjadi. Merekayasa sejarah yang telah terjadi akan cenderung mereduksi sejarah.
koran

* Bersihar Lubis, penulis, tinggal di Depok
** Digunting dari Harian Koran Tempo edisi 17 Maret 2007.