EKONOMI KULTURAL SEBAGAI KRITIK ATAS EKONOMI NEOKLASIK

 

Banyak orang beranggapan bahwa sistem ekonomi yang ada di semua negara pasca usainya perang dingin pasti akan mengadopsi ekonomi liberal atau ekonomi neoklasik. Anggapan ini didasarkan pada runtuhnya system ekonomi sosialis yang secara menarik disebut oleh Francis Fukuyama sebagai akhir sejarah (the End Of History). Dengan perkataan lain hanya ada system tunggal ekonomi yang tersisa didunia yaitu system kapitalis yang merupakan dasar ekonomi aliran neoklasik. Hal ini berdasarkan pengamatan Fukuyama, sejak kejatuhan ideology komunisme, lonjakan besar terjadi dalam perubahan ideology Negara-negara dunia. Sebagai contoh dari tahun 1975 sampai dengan 1990 saja terdapat kenaikan Negara yang mengganti system ideologi sebanyak 30 negara dan pada saat ini hampir seluruh Negara di dunia sudah memakai system demokrasi liberal kapitalisme.

Disamping itu, Fukuyama menemukan fakta bahwa Negara-negara yang merubah system ideologinya ke liberalism kapitalisme (sebelumnya memakai system fasisme atau komunis) secara statistik mengalami kemajuan ekonomi yang luar biasa seperti yang ditunjukkan oleh Spanyol, Pilipina, Afrika selatan, Peru dan banyak Negara lainnya.

Namun dalam perjalanannya ada yang kelihatan tidak sesuai dengan hasil “mainstream kinerja ekonomi suatu Negara dan tingkat kesejahteraan masyarakatnya ketika pada akhirnya beberapa Negara asia seperti Jepang, China dan Korea mampu mengimbangi kedigdayaan ekonomi Amerika Seriakt dan Negara-negara Eropa. Melihat tipikal dari Negara Jepang, Korea dan China kita semua tahu bahwa Negara Negara tersebut tumbuh dari reruntuhan perang dunia ke II ditambah lagi dengan perang saudara dan perang kebudayaan yang dialami oleh Korea dan China. Dan kalau dibandingkan dengan Amerika dan Negara-negara eropa, perang dunia ke II idak begitu mengganggu struktur perekonomian domestik mereka.

Belakangan Amerika akhirnya sadar bahwa Jepang sebagai salah satu anggota “dunia bebas” selama perang dingin, telah mempraktikkan demokrasi dan kapitalisme sesuai dengan rangkaian norma-norma kulturalnya yang berbeda dengan yang dilakukan oleh Amerika. Para pelaku jaringan bisnis Jepang (keiretsu) saling membeli diantara mereka sendiri ketimbang dijual ke asing, walaupun penuh dengan proteksi dan kepentingan domestic yang kalau menurut hitungan ekonomi bahkan merugi. Hal ini tentu berbeda dengan ajaran teori ekonomi neoklasik, dimana jepang membelot demi mempertahankan kepentingan kebangsaan yang menunjukkan jepang menjunjung tinggi superioritas dan warisan budaya mereka seperti penghormatan terhadap otoritas dan nilai-nilai keluarga sebagai vitalitas sosial dan tindakan ini tidak bisa dimengerti oleh Anerika dan eropa yang lebih mementingkan hak-hak inidividu dengan mengorbankan kepetingan masyararakat umum.

Di Korea Selatan, salah satu kontribusi terpenting dari pertumbuhan ekonomi tinggi Korea Selatan adalah pengaruh positifnya terhadap modernisasi sikap, cara berpikir dari tingkah laku penduduknya). Ajaran Konfusianisme telah memberikan pengaruh yang begitu besar dalam proses modernisasi sosio-ekonomi dan politik dengan melihat latar belakang historis Korea Selatan yang suram dan proses yang dialaminya. Implementasi ajaran Konfusius telah memberikan sumbangan positif bagi pertumbuhan ekonomi yang cepat dalam rangka proses modernisasi di Korea Selatan. Ajaran Konfusius yang dilihat sebagai faktor pertumbuhan ekonomi yang cepat di Korea Selatan adalah ajaran mengenai kepatuhan dan kesetiaan, pemahaman bahwa negara adalah agen moral yang aktif dalam pembangunan masyarakat, penghormatan atas status dan hierarki, penekanan pada pengembangan diri dan pendidikan, dan perhatian terhadap harmoni sosial

Sebenarnya dari jauh-jauh hari hal ini telah diingatkan, bahwa kehidupan ekonomi, menurut Adam Smith tertanam secara mendalam pada kehidupan social, dan ia tidak bisa difahami jika terpisah dari adat dan budaya, moral dan kebiasaan-kebiasaan masyatakat dimana proses ekonomi terjadi.

                       Perdebatan dan pemikiran mengenai ekonomi pada akhir-akhir ini menunjukkan bahwa keberhasilan dinamika ekonomi yang tumbuh cepat di asia timur terjadi bukan karena mengikuti aturan-aturan neo klasik, tetapi malah melanggarnya. Menurut kaum neomerkantilis, keberhasilan itu bukan disebabkan oleh karena kinerja pasar bebas yang tak terbatas, tetapi karena dalam setiap kasus pemerintah mereka selalu mendukung upaya pengembangan melalui kebijakan-kebijakan industry yang tepat.

                       Sementara Amerika terlena dengan dengan ekonomi berorientasi pasar, kebikajan ekonomi di dunia diluar amerika berjalalan diatas asumsi yang sangat berbeda dengan aturan-aturan ekonomi neoklasik. Banyak pemerintah Asia, misalnya melindungi industry-industri domestic dengan penetapan tariff import yang tinggi, membatasi penanaman modal asing, mempromosikan eksport melalui kredit murah dan subsidi penuh, menjamin berbagai lisensi untuk mendukung perusahaan, mengorganisir kartel-kartel untuk memobilisasi biaya penelitian dan pengembangan dan mengalokasikan pembagian pasar.

Apa yang masih problematis dalam ekonomi neoklasik adalah ia telah melupakan fondasi-fondasi kunci tertentu yang menjadi dasar ekonomi klasik. Adam Smith percaya bahwa masyarakat dikendalikan oleh hasrat mementingkan diri sendiri untuk mencapai kondisi mereka yang lebih baik. Tetapi Smith tidak pernah menggagas bahwa aktivitas ekonomi bias direduksi untuk memaksimalkan kegunaan rasional. Dalam bukunya “ Theory of Moral Sentiments” menggambarkan motivasi ekonomi sebagai suatu yang sangat kompleks dan tertancap dalam kebiasaan-kebiasaan dan aturan-aturan sosial yang lebih luas.

Definisi paling mendasar dari teori kegunaan (utilities) adalah mengejar kesenangan atau menghindari kesakitan. Definisi ini seruang dan sebangun dengan pemahaman commonsense tentang motivasi ekonomi, manusia selalu ingin mengkonsumsi jumlah paling besar dari hal-hal baik yang ada dalam kehidupan. Namun ada saatnya orang mengejar tujuan-tujuan yang lain ketimbang kegunaan misalnya ada orang yang rela menerobos masuk rumah terbakar untuk menyelamatkan orang lain, mati dalam pertempuran atau sengaja meninggalkan karier dan jabatan agar mereka bias berkomunikasi dengan keheningan alam disuatu tempat disebuah pegunungan. Orang tidak hanya melulu mengisi dompet mereka, mereka juga memenuhi otaknyadengan berbagai gagasan tentang keadilan atau ketidak adilan dan mereka membuat pilihan-pilihan penting yang sesuai. Tidak mungkin ada demikian banyak perang jika yang diperjuangkan hanyalah sumber-sumber ekonomi, setiap konfrontasi, konflik dan perang selalu melibatkan tujuan-tujuan non utilitarian seperti pengakuan, agama, keadilan, prestise dan kehormatan.

Sebagian ekonom berusaha menjelaskan masalah ini dengan memperluas definisi kegunaan yang melampaui kesenangan dan uang dengan mempertimbangkan motivasi-motivasi lain misalnya seperti kesenangan fisik yang diterima seseorang karena melakukan hal yang baik atau kesenangan yang didapatkan seseorang ketika memberikan sesuatu yang bias dikonsumsi oleh orang lain.

Ilmu ekonomi selalu saja ditandai dengan pendekatan reduksionis dan terpecah-pecah yang merupakan ciri khas dari kebanyakan ilmu-ilmu sosial. Para ahli ekonomi biasanya gagal mengetahui bahwa ekonomi hanyalah satu aspek saja dari suatu keseluruhan susunan ekologis dan social, suatu system yang hidup yang terdiri dari manusia dan interaksinya yang terus menerus satu sama lain dan dengan sumber daya alamnya.

Kesalahan yang paling mendasar pada ilimu-ilmu sosial adalah membagi-bagi susunan ini menjadi potongan-potongan, yang dianggapnya mandiri dan dihadapi dalam bidang akademik yang terpisah. Dengan demikian seorang ilmuwan ekonomi cenderung mengabaikan kekuatan factor-faktor lain seperti faktor politik, sosial dan budaya kedalam model-model yang mereka buat. Pendekatan-pendekatan yang parsial ini juga kerap tercermin dalam kebijakan yang diambil oleh pemerintah.

Indonesia yang sejak tahun 1970-an telah menelan bulat-bulat teori neo klasik dengan berbagai kebijakan seperti pembukaan investasi asing besar-besaran, dalam semua bidang industry, pemberlakuan pasar bebas baik bilateral maupun regional, dan kebijakan industry yang bersifat subsitusi import memang berdampak positif dalam jangka waktu pendek dan menengah.

Namun dalam jangka panjang, kebijakan tersebut diatas justru menghancurkan negeri ini secara dramatis, sebagaimana yang kita alami pada tahun 2015 ini dimana fondasi ekonomi kita sangat lemah dan ini ditunjukkan oleh berbagai indikator-indikator ekonomi seperti transaksi neraca berjalan, nilai tukar mata uang rupiah, cadangan devisa dan indicator lainnya yang menunjukkan adanya pelemahan dalam bidang ekonomi.

Mata pencaharian secara budaya Indonesia yang secara umum di ketahui seperti petani dan nelayan sama sekali tidak terakomodasi dalam kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah selama ini, dampaknya saat ini untuk memenuhi kebutuhan konsumsi saja Negara kita tidak mampu memenuhi permintaan dan terpaksa mengimport dari luar negeri termasuk komoditas selama ini yang diupayakan oleh rakyat yaitu beras dan gula.

Demikian juga dengan sikap budaya, seperti gotong royong dan kekeluargaan yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia, tidak diterapkan lagi dalam system ekonomi Indonesia, memang pernah ada gotong royong dalam penyelesaian masalah kebangkrutan perbankan, namun itu jelas salah kaprah, karena perbankan bukan sector ekonomi yang sekunder, karena yang sekunder adalah aktivitas ekonomi sektor riel yang di lakoni oleh mayoritas penduduk termasuk petani, nelayan dan pengusaha kecil.

Berkaca dari keberhasilan Jepang dan korea selatan dalam mengaplikasikan aspek budaya kedalam aktivitas ekonomi yang tekah menjungkirbalikkan teori ekonomi barat, ada point penting dalam penerapannya yaitu konsistensi para pemimpin bangsa untuk membawa masyarakatnya maju dan mampu bersaing dengan Negara-negara lain tanpa harus melupakan budaya luhur yang dianut oleh masyarakat dan bangsanya.

NASUTION, Ade P. STUDI POTENSI DAN PELUANG EKONOMI KERAKYATAN DI KOTA BATAM. DIMENSI, 2016, 22.22.