Kesiapan Sumber Daya Manusia Dalam Transisi Energi Yang Berkeadilan Di Indonesia

ABSTRAK

Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang melaksanakan transisi energi. Komitmen terhadap hal tersebut terwujud dalam Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan. Sektor energi berkontribusi terhadap penyerapan signifikan lapangan pekerjaan dengan kualifikasi high skilled lebih besar dibanding sektor lain. Transisi energi akan menghadirkan kesempatan sekaligus tantangan yang memerlukan kesiapan dari sumber daya manusia. Dampak dari transisi energi salah satunya adalah munculnya pergeseran terhadap kebutuhan dan keahlian pekerjaan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada penyerapan tenaga kerja pada subsektor batubara dan migas diproyeksikan akan mengalami penurunan, sementara kenaikan secara drastis penyerapan tenaga kerja diproyeksikan akan terjadi pada sektor ketenagalistrikan, energi terbarukan, dan efisiensi energi. Tenaga kerja Indonesia dengan kualifikasi high skilled masih berkisar 10%. dan 70% tenaga kerja Indonesia memiliki kualifikasi medium, sedangkan 20% masih berada pada kualifikasi rendah. Rendah kualifikasi tersebut menunjukkan kesiapan sumber daya manusia di Indonesia memerlukan perhatian yang lebih. Kondisi tersebut dapat ditunjukkan melalui kompetensi yang dimiliki. Transisi energi memerlukan dukungan mulai dari research and development hingga decommissioning serta peningkatan kompetensi seperti project development, perencanaan dan desain sistem, konstruksi, pengujian dan commissioning, serta operasi dan maintenance. Dalam menyiapkannya, diperlukan dukungan terhadap proses pengembangan keahlian dapat dilakukan dengan mengidentifikasi skill kesenjangan, dukungan regulasi dan kebijakan, ketersediaan sarana pendidikan, dukungan kelembagaan, serta pengembangan demand untuk keahlian yang mendukung transisi energi

Kata kunci: Kesiapan sumber daya manusia; transisi energi berkeadilan; peluang dan tantangan dalam transisi energi berkeadilan

 

PENDAHULUAN

Transisi energi tidak hanya diartikan sebagai peralihan dari bahan bakar fosil ke energi yang terbarukan, namun lebih kompleks kepada berbagai aspek seperti sosial, ekonomi, lingkungan, pemanfaatan teknologi serta implementasi ilmu pengetahuan. Sebagai konsekuensi dari transisi energi, berbagai aspek akan mengalami dampak baik secara langsung maupun tidak langsung. Karena itu, dibutuhkan strategi dan mekanisme yang tepat untuk mengidentifikasi tantangan saat ini dan tantangan di masa ke depan, agar transisi energi rendah karbon yang adil dan merata dapat terlaksana dengan baik (Widodo, 2022)

Presiden Joko Widodo telah menyampikan pandangannya pada S20 High Level Policy Webinar on Just Energy Transition dengan menekankan pentingnya untuk mempersiapkan aspek  sumber daya manusia (SDM) untuk mendukung proses transisi energi berkeadilan yang dicanangkan. Komitmen Indonesia dalam pengurangan emisi demi mencapai Net-Zero Emission (NZE) selaras dengan perhatian yang diberikan terhadap keseimbangan antara pengurangan emisi, pertumbuhan ekonomi, keadilan dan pembangunan ketahanan iklim. Untuk dapat mencapai hal tersebut, terdapat empat pilar utama yang menjadi fokus perhatian yaitu pelaksanaan langkah-langkah efisiensi energi, penggunaan listrik (yang telah dekarbonisasi) di sektor transportasi dan bangunan, peralihan bahan bakar dari batubara ke gas dan energi terbarukan di industri, pembangkit listrik, transportasi dan industri.

Terkait sumber daya manusia, transisi energi akan menghadirkan kesempatan sekaligus tantangan. Transisi energi dapat menciptakan lapangan pekerjaan baru seiring dengan penambahan dan peralihan suplai dan demand energi (Garrett-Peltier, 2017). Namun hal ini selaras dengan tuntutan adanya peningkatan kompetensi untuk memenuhi kebutuhan dari  transisi energi berkeadilan (KESDM, 2022b). lebih lanjut, transisi energi tersebut akan berdampak kepada sektor energi berbasis fosil seperti batubara (IESR, 2022). Dengan latar belakang tersebut, artikel ini akan mengulas dampak dari transisi energi dan kesiapan sumber daya manusia untuk mendukung transisi energi berkeadilan di Indonesia serta berbagai hal yang diperlukan guna pendukung sumberdaya manusia yang siap dalam menghadapi transisi energi berkeadilan.

 

PEMBAHASAN

Konsep Transisi Energi Berkeadilan

Perubahan iklim merupakan permasalahan global yang menjadi perhatian berbagai negara. Sebagai upaya membatasi tingkat  pemanasan global tidak lebih dari 1,5°C, setiap negara memiliki kesiapan yang berbeda-beda. Berkaitan dengan hal tersbeut, Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan dibentuk untuk dapat menfasilitasi perbedaan kesiapan tersebut.

Pada hakekatnya, Just Energy Transition Partnership  merupakan sebuah mekanisme pembiayaan dengan skema kemitraan. Implementasi dari skema tersbeut adalah bantuan pembiayaan dari negara-negara yang kaya kepada negara berkembang yang bergantung pada batu bara sebagai bentuk dukungan terhadap negara tersebut dapat menghentikan ketergantungan terhadap penggunaan batu bara dan secara bertahap akan mengalami transisi energi. Bantuan pendanaan ini tidak hanya terbatas kepada proses transisi energi, nmaun juga dampak dari transisi energi tersebut khususnya dampak sosial. Beberapa langkah yang ditempuh dalam transisi energi yang berlangsung mencapai keadilan bagi pekerja dan masyarakat antara lain dengan adanya Reskilling (pelatihan keterampilan baru), upskilling (peningkatan keterampilan), dan penciptaan lapangan kerja baru

Transisi Energi Berkeadilan menuntut pemerintah Indonesia untuk dapat menerbitkan regulasi yang menjadi landasan dilaksanakannya transisi ke energi terbarukan yang sumbernya melimpah di Indonesia. Prinsip keadilan bukan hanya memberikan bantuan dana untuk mendekarbonisasi sektor energi seperti Just Energy Transition Partnership. Prinsip keadilan di sini juga seharusnya memberikan kesempatan yang sama bagi negara berkembang untuk dapat memanfaatkan transisi energi dalam menciptakan iklim yang baik serta kesejahteraan secara ekonomi dan sosial.

Natalia  (2023) menyampaikan bahwa energi berkeadilan adalah pemanfaatan energi yang memberikan manfaat untuk memenuhi kebutuhan manusia dengan tetap memperhatikan kondisi lingkungan sebagai sumber penghasil energi.  Hal ini sejalan dengan pendapat Wang & Lo (2021) yang menelaah konsep dari transisi Berkeadilan dan menemukan bahwa konsep tersebut dapat dilihat dari berbagai perspektif meliputi transisi berkeadilan yang berorientasi pada tenaga kerja, lingkungan, iklim, dan energI sebagai strategi pemerintah maupun persepsi masyarakat. Hal ini sejalan dengan Jakob and Steckel (2016) yang menegaskan bahwa aspek keadilan dalam transisi energi menggunakan pendekatan rekonsiliasi dengan mempertimbangkan kelompok yang paling rentan. Transisi energi yang adil perlu mempertimbangkan dan mengatasi masalah yang mungkin terdampak dari transisi tersebut, seperti pengangguran, degradasi lingkungan, dan ketidaksetaraan.

Keadilan dalam transisi energi harus diwujudkan dalam tiga aspek, yaitu: (i) Distributional, (ii) Recognition, dan (iii) Procedural (McCauley et al, 2023).  Aspek distributional menegaskan bahwa imbalan, sumber daya, hak, kewajiban, dan hal-hal lain yang relevan dialokasikan secara adil di antara para aktor yang relevan. Aspek distributional mengidentifikasi skala dampak pada beberapa faktor; (i) distribusi pendapatan dan mata pencaharian, (ii) dampak kesehatan, (iii) fasilitas lingkungan. Sedangkan aspek recognition menekankan pada bagaimana individu dan kelompok tertentu harus terwakili (termasuk kelompok marjinal, masyarakat adat, dan perempuan). Identifikasi pemangku kepentingan menjadi sangat penting untuk memenuhi aspek recognition. Transisi energi yang berkeadilan juga harus mencakup prosedur yang adil dalam tata kelola dan proses pengambilan keputusan. Prosedur ini juga dapat menjadi landasan bagi inklusivitas, kearifan lokal, mengurangi hambatan informasi, serta memastikan keterwakilan dalam proses tersebut. Sejalan dengan hal tersebut, Oxfam (2022) juga menegaskan kembali aspek remedial justice di mana masyarakat harus mendapatkan kompensasi yang adil atas kerugian yang diakibatkan oleh proyek-proyek energi atau kerugian dan kerusakan akibat perubahan iklim.

Transisi yang berkeadilan membutuhkan paket kebijakan terutama dalam hal pembiayaan. Berkaitan dengan hal tersebut, diperlukan adanya visi jangka panjang dengan mempertimbangkan  kompleksitas dampak pada dimensi sosialnya. Pembiayaan transisi energi berkeadilan memberikan perlindungan sosial bagi berbagai pihak ayng terdampak dari proses transisi dan tidak hanya sebatas pemberian kompensasi berupa insentif kepada energi bersih maupun disinsentif untuk sektor energi kotor.

People-Centered dalam proses Transisi Energi

Dalam upaya mencapai Net Zero Emission (NZE) di 2060, diperlukan keterlibatan dari masyarakat  untuk dapat memahami rumusan konsep serta penguasaan terhadap kompetensi yang dibutuhkan dalam  transisi energi. Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM menegaskan bahwa people-centered akan menjadi pemicu pertumbuhan yang inklusif dalam transisi energi yang berkelanjutan. Sumber Daya Manusia (SDM) punya peran penting dalam kesuksesan menjalankan transisi energi (Dadan. 2022)

Proses transisi energi perlu untuk memperhatikan secara detail dampak kesejahteraan sosial sehingga pendekatan people-centered pada transisi energi diperlukan untuk dapat memberikan manfaat yang besar dalam transisi sistem energi di Indonesia. Distribusi dari manfaat dan pembiayaan secara adil dalam transformasi sistem energi dipastikan dalam People-centered kepada seluruh aspek masyarakat yang terdampak proses transisi.

Global Commission on People-Centered Energy Transitions (2021) merekomendasikan perlindungan dalam pendekatan people-centered dari prinsip menjadi aksi yang lebih konkrit. Rekomendasi perlindungan yang diberikan meliputi dukungan terhadap pekerjaan yang layak dan berkualitas dengan manfaat kesejahteraan sosial, perlindungan pekerja dan masyarakat yang terkena dampak dalam masa transisi, kesetaraan dan inklusi sosial dari kebijakan transisi, dan keterlibatan warga negara dan pemuda.

Komposisi Tenaga Kerja Sektor Energi di Indonesia

Secara global, sektor energi diperkirakan menyerap 2% (65 juta orang) dari total tenaga kerja (IEA, 2022b). Dari jumlah tersebut, 21 juta bekerja di sektor suplai (minyak, gas, batubara, dan bioenergi), 20 juta di sisi ketenagalistrikan (pembangkit, transmisi, dan distribusi), dan 24 juta diantaranya dikontribusikan dari sisi end use, termasuk efisiensi energi di sektor industri dan bangunan gedung. Dari total angka tersebut, clean energy sector, seperti solar generation, berkontribusi pada separuh lapangan pekerjaan yang tersedia.

Seyogyanya sektor energi memerlukan banyak tenaga kerja dengan kualifikasi high skilled. Kajian yang dilakukan IEA menunjukkan bahwa sektor energi menggunakan 45% high skilled worker, lebih tinggi dibandingkan agregat keseluruhan sektor yang hanya 24%. Proporsi high skilled worker ini tentu akan lebih tinggi di beberapa area, seperti research and development untuk inovasi sektor energi yang akan memiliki peranan krusial untuk mencapai target net-zero emission yang telah ditentukan.

Sektor energi berkontribusi besar terhadap penyerapan tenaga kerja di Indonesia. Menurut IEA, sekitar 1.3 juta orang, setara dengan 1% proporsi tenaga kerja, bekerja di sektor energi (IEA, 2022a). Pekerjaan di sektor energi ini meliputi sisi hulu/suplai energi, ketenagalistrikan, hingga di sisi hilir/demand. Diprediksi bahwa lebih dari 700 ribu orang bekerja di sisi hulu/suplai energi. Sektor batubara mendominasi penyerapan tenaga kerja pada sisi ini, lebih dari 400 ribu orang bekerja di bidang ini. Bidang minyak dan gas bumi diperkirakan menyerap tenaga kerja sejumlah 150 ribu orang. Sekitar 270 ribu orang bekerja pada sektor ketenagalistrikan. Pada sektor tersebut, sisi pembangkitan mendominasi penyerapan tenaga kerja. Pembangkit batubara diperkirakan menyerap 70 ribu orang tenaga kerja, sedangkan 65 ribu orang bekerja pada pembangkit berbasis energi terbarukan.

Sektor pertambangan batubara perlu mendapatan perhatian khusus. Pada tahun 2020, diperkirakan ada sekitar 250 ribu orang yang bekerja secara langsung pada penambangan batubara. Selain karena melibatkan tenaga kerja yang masif, batubara juga salah satu komoditas yang diperkirakan akan berimbas karena transisi energi. Penurunan demand batubara berdampak pada mata rantai batubara dari produksi, transportasi hingga sisi penggunaanya. Produksi batubara di Indonesia terkonsentrasi di beberapa wilayah/provinsi saja. Batubara dihasilkan oleh beberapa provinsi saja di Indonesia. Kajian yang dilakukan oleh IESR (2022) menyebutkan 95% produksi batubara nasional dikontribusikan dari beberapa provinsi yaitu: Kalimantan Timur (48%), Kalimantan Selatan (32%), Sumatra Selatan (9%), Kalimantan Utara (3%), dan Kalimantan Tengah (3%). Pertambangan batubara di beberapa wilayah tersebut berkontribusi terhadap lebih dari 15% Produk Domestik Regional Bruto. Sektor pertambangan berkontribusi terhadap 11% penyerapan tenaga kerja di Kalimantan Timur dan 4% s.d 6% di provinsi lainnya.

 

Dampak Transisi Energi terhadap  komposisi tenaga kerja di sektor energi

Diperkirakan transisi energi akan berdampak terhadap perubahan komposisi tenaga kerja di sektor energi. Sektor ketenagalistrikan diprediksi dapat menyerap lebih dari 500 ribu tenaga kerja baru. Di sisi lain, pekerjaan di pertambangan batubara diperkirakan akan menurun. Meskipun demikian, kajian tersebut memperkirakan transisi energi di Indonesia akan menyerap lebih dari 250 ribu tenaga kerja baru.

Transformasi ekonomi di beberapa wilayah yang saat ini masih bergantung pada batubara menjadi salah satu elemen penting untuk mewujudkan transisi energi yang berkeadilan. Berdasarkan pada pengalaman di berbagai negara, transformasi ini dapat dicapai dengan beberapa enabling factor. Faktor tersebut antara lain dukungan regulasi dan kebijakan untuk investasi serta dukungan terhadap sektor non batubara. Dukungan terhadap pekerja yang terdampak, penyiapan infrastuktur, dan pembiayaan juga berimplikasi penting untuk beralih kepada sektor lain secara gradual (IESR, 2022).

Transisi energi memerlukan kompetensi khusus untuk merespon perubahan demand dan teknologi. Di sektor ketenagalistrikan misalnya, kompetensi utama tersebut antara lain project development, perencanaan dan desain sisstem, konstruksi, pengujian dan commissioning, serta operasi dan maintenance. Selain itu, keahlian seperti perencanaan sistem ketenagalistrikan, grid management, serta information and communication technology diperlukan untuk mendukung transisi di sektor terebut. Saat ini, renewable energy engineering masih tersedia secara terbatas di 31 vocational schools di Indonesia (ADB, 2022). Penyediaan energi terbarukan dan integrasi ke grid diperlukan untuk pengaturan jaringan dan mengikuti perkembangan teknologi seperti energy storage. Terbatasnya bidang keahlian ini dapat mengakibatkan terbengkalainya instalasi energi terbarukan yang telah terbangun

 

Kesiapan Sumber Daya Manusia dalam Transisi Energi berkeadilan

Investasi yang dilakukan untuk transisi energi akan diterjemahkan menjadi kebutuhan sumber daya manusia. Hal ini terutama berlaku untuk investasi energi terbarukan yang umumnya lebih padat karya daripada industri fosil. Menurut ILO (2022), tenaga kerja Indonesia dengan kualifikasi high skilled berkisar 10%. Berdasarkan laporan tersebut, 70% tenaga kerja Indonesia memiliki kualifikasi medium, sedangkan 20% masih berada pada kualifikasi rendah. Rendah kualifikasi tersebut menunjukkan kesiapan sumber daya manusia di Indonesia memerlukan perhatian yang lebih.

IESR (2023) memperkirakan bahwa investasi untuk mencapai emisi net-zero pada tahun 2050 akan menghasilkan sekitar 800.000 pekerjaan baru pada tahun 2030 hanya di sektor ketenagalistrikan (tidak termasuk pekerjaan di kendaraan listrik, material berkelanjutan). Lapangan kerja akan meningkat menjadi 3,2 juta lapangan kerja pada tahun 2050. Ketidaksiapan dalam mempersiapkan hal ini akan menjadi krusial bagi ratusan ribu orang yang saat ini bekerja di industri pasokan bahan bakar fosil. Suatu perangkat kebijakan yang lebih komprehensif dan koordinasi yang lebih baik di antara para pembuat kebijakan, terutama untuk melibatkan badan-badan yang bertanggung jawab atas pengembangan tenaga kerja, sangat diperlukan. Jika tidak, Indonesia mungkin kehilangan manfaat ekonomi (tenaga kerja) dari transisi energi.

Transisi energi dipandang mampu menambahkan lapangan pekerjaan, sebagaimana dituangkan dalam rekomendasi Global Commission on People-Centred Clean Energy Transitions. Komisi tersebut terdiri atas para Menteri, termasuk Menteri ESDM Republik Indonesia, dan berbagai ahli di dunia untuk mencari cara terbaik agar masyarakat terlibat dalam transisi energi. Komisi ini bertujuan untuk menanggulangi dampak sosio-ekonomi transisi energi, meningkatkan partisipasi publik, merekomendasikan kebijakan transisi energi kepada policy maker, serta membahas isu-isu krusial seputar transisi energi (KESDM, 2021). Terdapat empat pilar dalam The Global Commission yang mencakup: pekerjaan yang layak dan perlindungan pekerja, pembangunan sosial dan ekonomi, pemerataan, keterlibatan sosial dan keadilan, dan partisipasi publik (Global Commission on People-Centred Clean Energy Transitions, 2021).

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang andal guna memenuhi kebutuhan dunia usaha, industri, dan penelitian. Penyiapan ini sekaligus sebagai bentuk kesiapan Indonesia dalam menghadapi tantangan transisi energi di masa mendatang. Menurut Prahoro (2023) transisi energi yang fokus pada pengembangan EBT harus mulai menyertakan pembaruan teknologi kesiapan SDM yang ada. Hal ini butuh koordinasi dengan badan yang bergerak di bidang pendidikan. BPSDM Kementerian ESDM sendiri tengah mengambil peran dalam penyiapan SDM yang mumpuni melalui sertifikasi dan pelatihan di bidang energi terbarukan. Lebih lanjut Prahoro (2023) menjelaskan bahwa Transformasi digital akan berdampak besar untuk dunia kerja ke depan dan butuh SDM yang lebih kompeten dengan kompetensi multi disiplin

Desentralisasi transisi energi memerlukan dukungan pada setiap siklusnya (Bray etal., 2022). Siklus ini dimulai dari research and development teknologi baru, yang akan menghasilkan produksi-konsumsi energi, hingga decommissioning. Sukses tidaknya pelaksanaan transisi energi ini sangat tergantung pada keahlian spesifik pada tiap langkah siklus tersebut. Beberapa contoh keahlian yang dibutuhkan dalam mendukung Desentralisasi transisi energi yang berkeadilan sebagai berikut.

Sejumlah upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kompetensi dalam rangka transisi energi dapat dilakukan antara lain dengan dukungan kebijakan, pendidikan, training, struktur, peningkatan kesadaran, serta pengembangan demand untuk keahlian terkait transisi energi (Interregeurope, 2021). Transisi energi yang berkeadilan diperlukan untuk memelihara kebijakan yang inklusif dan menyiapkan tenaga kerja yang berpotensi terdampak transisi energi. Di beberapa negara lain, coal commission dibentuk salah satunya untuk menyiapkan aspek ketenagakerjaan ini. Beberapa negara yang telah membentuk komisi ini antara lain Kanada, Chile, Republik Ceko, Jerman, Spanyol, dan Afrika Selatan (IESR, 2022).

Pada konteks nasional, sejumlah langkah penyiapan sumber daya manusia dalam rangka penyiapan transisi energi telah diupayakan, diantaranya penyiapan SDM yang mumpuni melalui sertifikasi dan pelatihan di bidang energi terbarukan (KESDM, 2022b). Selain itu, training pemeliharaan infrastruktur energi terbarukan juga telah diberikan kepada masyarakat lokal. Selain mendorong partisipasi publik, langkah ini diharapkan mampu menciptakan peluang pekerjaan terkait penyediaan akses energi bersih.

Program lain yang telah digulirkan oleh pemerintah antara lain pengembangan masyarakat melalui Gerakan Inisiatif Listrik Tenaga Surya dan Patriot Energi (KESDM, 2022a). Pemerintah juga mendorong lahirnya inovasi dan investasi baru untuk mendukung transisi energi melalui keberadaan startup di bidang energi baru terbarukan dan konservasi energi. Upaya ini dilakukan untuk mendorong perekonomian melalui promosi dan pengembangan EBT.

 

Tantangan Persiapan Sumber Daya Manusia dalam Transisi Energi 

Berbagai macam program telah dilaksanakan untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia, namun terdapat hambatan atau tantangan dalam mempersiapkan tenaga kerja yang berkualitas. Tantangan pertama berkaitan dengan  pengembangan Energi Baru Terbarukan. Pengembangan Energi Baru Terbarukan seharusnya dapat meningkatkan peluang ketersediaan lapangan kerja baru. Namun karena hambatan dalam birokrasi dan administrasi untuk memperoleh izin usaha dari instansi pemerintahan, menyebabkan perkembangan lapangan kerja berbasis Energi Baru Terbarukan menjadi lambat dan tersedia dengan jumlah yang minim.

Hal lain yang menjadi tantangan adalah sulitnya mencari tenaga kerja yang memiliki ilmu dan kemampuan yang sesuai dengan kebutuhan di bidang Energi Baru Terbarukan. Sementara itu, beberapa proyek membutuhkan kriteria tertentu untuk melamar pekerja di bidang Energi Baru Terbarukan. Sedangkan tenaga kerja yang tersedia hanya bermodalkan pengetahuan secara umum. Hal ini akhirnya menimbulkan ketidakcocokan antara tenaga kerja yang dibutuhkan dengan kemampuan tenaga kerja yang tersedia. Contohnya, terkait dengan teknologi baru seperti hidrogen, saat ini belum ada tenaga pengajar yang memahami tentang teknologi hidrogen di kalangan Sekolah Menengah Kejuruan atau pendidikan lain yang sederajat. Selain itu, kebanyakan tenaga pengajar di lingkungan Sekolah Menengah Kejuruan atau lainnya yang sederajat, tidak berasal dari jurusan susuai dengan bidangnya. Dikarenakan itu, dalam hal ini, perlu adanya peningkatan kapasitas dari tenaga pengajar yang dapat dilakukan dengan cara kolaborasi dengan pihak luar sebagai tenaga pengajar atau sebagai pemateri.

Dalam prosesnya, terdapat pekerjaan baru yang memungkinkan banyak bermunculan, terlebih di bidang kelistrikan misalnya seperti operator listrik pembangkit berbasis energi terbarukan. Seiring dengan meningkatnya pekerjaan baru ini, diharapkan akan bertambah juga tenaga-tenaga ahli di bidang kelistrikan yang berasal dari masyarakat tempatan. Dalam hal ini, Pemerintah diharapkan dapat mendorong program pelatihan untuk peningkatan kapasitas operator tidak hanya dalam aspek teknis instalasi (installing) tetapi juga dalam melakukan perawatan (maintenance), misalnya untuk teknologi tenaga surya.

Dalam bidang akademik, perlu dilakukan kolaborasi dan kerjasama multisektor supaya dapat  mendukung pengembangan kurikulum dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia dalam bilang energi terbarukan. Hal yang dapat dilakukan misalnya adanya pengembangan pelatihan tenaga didik di Sekolah Menengah Kejuruan dan sederajat yang didukung juga dengan program praktik magang bagi peserta didik yang relevan. Kolaborasi dengan instansi dari pihak luar juga diperlukan untuk mengajar dan melatih para tenaga pengajar di Sekolah Menengah Kejuruan dan sederajat. Tenaga ahli yang dimaksud tidak harus berlatar belakang sarjana atau harus memiliki gelar, namun yang memiliki latar belakang teknis.

Terkait dengan tenaga kerja baru, uji kompetensi di bidang energi terbarukan yang berfokus pada operasi dan maintenance dapat dilakukan. Para pengusaha harus dapat berkomitmen untuk menyediakan kuota pekerjaan untuk para lulusan baru misalnya dari Sekolah Menengah Kejuruan dan sederajat dan memberikan pelatihan baru bagi tenaga kerja yang terkena dampak transisi energi baru (reskilling)

 

KESIMPULAN

Komitmen Indonesia dalam melaksankan transisi energi terwujud dalam Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan. Hal ini diperlukan sebgai langkah nyata dalam pelaksanannya di sektor energi.  Transisi energi akan menghadirkan kesempatan sekaligus tantangan yang memerlukan kesiapan dari sumber daya manusia. Dampak dari transisi energi salah satunya adalah munculnya pergeseran terhadap kebutuhan dan keahlian pekerjaan.

Penyerapan tenaga kerja pada subsektor batubara dan migas diproyeksikan akan mengalami penurunan, sementara kenaikan secara drastis penyerapan tenaga kerja diproyeksikan akan terjadi pada sektor ketenagalistrikan, energi terbarukan, dan efisiensi energi. Demi mendukung kondisi yang ditimbulkan dari transisi energi yang berlangsung, diperlukan berbagai bentuk kesiapan seperti dari seisi sumber daya manusia. Kesiapan sumberdaya manusia untuk mendukung proses transisi tersebut dapat ditunjukkan melalui kompetensi yang dimiliki. Transisi energi memerlukan dukungan mulai dari research and development hingga decommissioning serta peningkatan kompetensi seperti project development, perencanaan dan desain sistem, konstruksi, pengujian dan commissioning, serta operasi dan maintenance.

Tenaga kerja Indonesia dengan kualifikasi high skilled masih berkisar 10%. dan 70% tenaga kerja Indonesia memiliki kualifikasi medium, sedangkan 20% masih berada pada kualifikasi rendah. Rendah kualifikasi tersebut menunjukkan kesiapan sumber daya manusia di Indonesia memerlukan perhatian yang lebih. Dalam menyiapkan sumber daya manusia yang siap dalam menghadapi transisi energi, diperlukan dukungan terhadap proses pengembangan keahlian. Berbagai hal ayng dapat dilakukan seperti dengan melaksukan identifikasi skill, dukungan regulasi dan kebijakan, ketersediaan sarana pendidikan, dukungan kelembagaan, serta pengembangan demand untuk keahlian yang mendukung transisi energi

 

Referensi

 

ADB. 2022. Developing a Skilled Workforce for Indonesia’s Clean Energy Transition. https://development.asia/insight/developing-skilled-workforce-indonesias-clean-energy-transition. Diakses  8 Desember 2023.

Adianti et  all. 2023. Memastikan Transisi Energi Berkeadilan di Indonesia: Menelaah Kesiapan Sumber Daya Manusia di Wilayah Nusa Tenggara Timur . Indonesian Research Institute Decarbonization

Bray, R., Montero, A. M., & Ford, R. 2022. Skills deployment for a ‘just’net zero energy transition. Environmental Innovation and Societal Transitions, 42, 395–410.

Celios. 2023. Percepatan Transisi Energi Berkeadilan: Tantangan dan Peluang untuk Daerah, Juli 2023

Dadan. 2022. G20 Event Series: Ensuring People-Centred Transitions For All di Jakarta

Garrett-Peltier, H. 2017. Green versus brown: Comparing the employment impacts of energy efficiency, renewable energy, and fossil fuels using an input-output model. Economic Modelling, 61, 439–44

Garrett-Peltier, H. 2017. Green versus brown: Comparing the employment impacts of energy efficiency, renewable energy, and fossil fuels using an input-output model. Economic Modelling, 61, 439–447.

Global Commission on People-Centred Clean Energy Transitions. 2021. Recommendations of the Global Commission on People-Centred Clean Energy Transitions. https:// ww.iea.org/reports/recommendations-of-the-global-commission-on-people-centred-clean-energy-transitions. Diakses  8 Desember 2023.

IEA. 2021. World Energy Outlook 2021. https://www.iea.org/reports/world-energy- outlook-2021. Diakses  8 Desember 2023.

IEA. 2022a. An Energy Sector Roadmap to Net Zero Emissions in Indonesia. In An Energy Sector Roadmap to Net Zero Emissions in Indonesia. https://doi.org/10.178a7/4a9e9439-en

IEA. 2022b. World Energy Employment. In World Energy Employment. https://doi.org/10.1787/5d44ff7f-en

IESR. 2022. Redefining Future Jobs: Implication of coal phase-out to the employment sector and economic transformation in Indonesia’s coal region. IESR. https://iesr.or.id/en/pustaka/redefining-future-jobs. Diakses  8 Desember 2023.

ILO. 2022. International Labour Organization. https://ilostat.ilo.org/data

Interregeurope. (2021). Skills for the Energy Transition (Issue February). Interregeurope. https://www.interregeurope.eu/sites/default/files/inline/Skills_for_the_energy_transition_-_Policy_brief.pdf. Diakses  8 Desember 2023.

Jakob and Steckel. 2016. The Just Energy Transition. WWF

Julius. C. 2023. Mempersiapkan Sumber Daya Manusia Untuk Transisi Energi. Institute For Esensial Service Reform.  https://iesr.or.id/mempersiapkan-sumber-daya-manusia-untuk-transisi-energi. Diakses  8 Desember 2023.

KESDM. 2021. Dukung Rekomendasi Global Commission IEA, Menteri ESDM: Transisi Energi Harus Ciptakan Ruang Lapangan Kerja. KESDM. https://ebtke.esdm. go.id/post/2021/12/08/3032/dukung.rekomendasi.global.commission.iea. menteri.esdm.transisi.energi.harus.ciptakan.ruang.lapangan.kerja?lang=id

KESDM. 2022a. Pendekatan People-Centered Picu Kesuksesan Jalannya Transisi Energi. KESDM. https://ebtke.esdm.go.id/post/2022/04/07/3141/pendekatan.people centered.picu.kesuksesan.jalannya.transisi.energi. Diakses  8 Desember 2023.

KESDM. 2022b. Pengembangan SDM Jadi Faktor Penentu Transisi Energi. KESDM. https://ebtke.esdm.go.id/post/2022/02/28/3096/pengembangan.sdm.jadi. faktor.penentu.transisi.energi. Diakses  8 Desember 2023.

Kurniawan. R. 2022. Pengembangan Sumber Daya Manusia Untuk Mendukung Transisi Energi. Buletin Pertamina Energy Institute Volume 8 Nomor 4 Tahun 2022

Kusuma. N. 2023. Mengenal Kemitraan Transisi Energi berkeadilan. GreenNetwork. https://greennetwork.id/kabar/mengenal-kemitraan-transisi-energi-berkeadilan/. Diakses  8 Desember 2023.

McCauley et al. 2023. Preliminary Finding on Justice of Indonesia Energy Transition

Natalia. B. 2023, Diskusi Transisi Energi Berkeadilan. https://balitbangnovdasumsel.com/berita/1100. Diakses  8 Desember 2023.

Oxfam. 2022. Towards a Just Energy Transition: Implications for communities in lower- and middle- income countries

Prahoro. 2023. Pengembangan SDM Jadi Faktor Penentu Transisi Energi. Webinar Transisi Energi Dunia. Kementrian ESDM. PPSDM KEBTKE

Proydi. P. d. 2022. ETWG G20. Jakarta

Widodo. J. 2022. S20 High Level Policy Webinar on Just Energy Transition. Diakses  8 Desember 2023.