Pembangunan berkelanjutan mensyaratkan partisipasi dan manfaat yang setara bagi seluruh lapisan masyarakat, tanpa memandang gender. Dalam konteks ini, analisis gender menjadi instrumen krusial untuk mengidentifikasi kesenjangan yang ada, memahami akar penyebabnya, dan merumuskan kebijakan yang responsif terhadap kebutuhan spesifik perempuan dan laki-laki. Provinsi Sumatera Utara, sebagai salah satu provinsi dengan dinamika pembangunan yang kompleks di Indonesia, menghadapi tantangan dan peluang unik di mana isu gender memegang peranan signifikan dalam menentukan capaian dan keberlanjutan pembangunan.
Penting untuk dipahami bahwa meskipun kemajuan ekonomi dan pendidikan dapat terjadi, struktur sosial yang mendasari, seperti budaya patriarki yang persisten di berbagai wilayah Sumatera Utara, terus membentuk peran dan peluang gender. Hal ini menyiratkan bahwa intervensi kebijakan harus melampaui kerangka hukum semata dan menangani sikap budaya yang mengakar kuat. Budaya patriarki yang mengakar dalam masyarakat Batak, misalnya, secara konsisten disoroti sebagai penghalang fundamental terhadap kesetaraan gender di berbagai sektor, termasuk representasi politik, kepemilikan lahan, dan pilihan pendidikan. Jika norma-norma budaya ini begitu mengakar, maka instrumen kebijakan seperti Peraturan Daerah (Perda) tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) atau kuota khusus dapat menghadapi resistensi yang signifikan atau diimplementasikan secara dangkal. Efektivitas kebijakan tersebut mungkin terbatas jika tidak secara memadai mengatasi dan mengubah sikap budaya yang mendasari ini. Oleh karena itu, strategi pembangunan gender yang berhasil di Sumatera Utara tidak dapat hanya mengandalkan mandat legislatif dari atas ke bawah atau insentif ekonomi. Strategi tersebut harus menggabungkan pendekatan yang sensitif budaya, melibatkan komunitas, inisiatif pendidikan jangka panjang, dan kampanye kesadaran publik yang bertujuan untuk mengubah pola pikir masyarakat dan menantang peran gender tradisional. Pendekatan ini menunjukkan kebutuhan akan pendekatan yang lebih holistik dan transformatif yang melengkapi kerangka hukum dengan intervensi sosial dan budaya.
Tujuan dari analisis ini adalah untuk memotret kondisi gender di Sumatera Utara dengan menganalisis data dan isu gender terkini dalam berbagai dimensi pembangunan, termasuk kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan politik. Selain itu, laporan ini akan mengidentifikasi capaian, tantangan, serta akar penyebab kesenjangan gender, dan pada akhirnya, memberikan rekomendasi kebijakan yang berbasis bukti untuk mendorong kesetaraan gender yang lebih baik di provinsi ini.
Definisi dan Pengukuran Kesenjangan Gender
Indeks Ketimpangan Gender (IKG) adalah ukuran kerugian yang disebabkan oleh ketidaksetaraan gender dalam tiga dimensi krusial: kesehatan reproduksi, pemberdayaan, dan pasar tenaga kerja. Penurunan nilai IKG mengindikasikan adanya perbaikan dalam kesetaraan gender. Data menunjukkan bahwa IKG Sumatera Utara telah mengalami tren penurunan yang positif secara konsisten. Pada tahun 2022, IKG tercatat sebesar 0,442, kemudian turun menjadi 0,425 pada tahun 2023, dan kembali menunjukkan perbaikan signifikan menjadi 0,399 pada tahun 2024. Penurunan ini terutama dipengaruhi oleh perbaikan dimensi kesehatan reproduksi dan dimensi pasar tenaga kerja. Ini merupakan indikator makro yang sangat penting, menandakan bahwa upaya pemerintah dan masyarakat dalam mendorong kesetaraan gender mulai menunjukkan hasil yang konkret.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) mengukur capaian pembangunan manusia dari tiga dimensi dasar: umur panjang dan hidup sehat (yang diwakili oleh Angka Harapan Hidup saat Lahir/UHH), pengetahuan (yang diwakili oleh Harapan Lama Sekolah/HLS dan Rata-rata Lama Sekolah/RLS), dan standar hidup layak (yang diwakili oleh pengeluaran per kapita disesuaikan). Pada tahun 2023, IPM Sumatera Utara mencapai 75,13, menempatkannya dalam kategori pembangunan manusia “Tinggi” dan berada di posisi ke-8 secara nasional, di atas rata- rata nasional. Meskipun capaian IPM ini tinggi dan menunjukkan kemajuan pembangunan manusia secara umum, penting untuk melihat bagaimana komponen-komponennya terdistribusi secara gender, karena IPM sendiri tidak secara langsung mengukur kesenjangan gender, melainkan potensi pembangunan manusia secara keseluruhan.
Meskipun IKG menunjukkan tren penurunan yang positif dan IPM secara keseluruhan berada dalam kategori “Tinggi”, penting untuk memahami bahwa capaian IPM yang tinggi mungkin menyembunyikan disparitas gender yang persisten dalam sub-indikator spesifik atau pada tingkat lokal. IPM mengukur pencapaian pembangunan manusia secara keseluruhan, sedangkan IKG secara khusus mengukur ketidaksetaraan antara gender. Fakta bahwa IKG masih di atas nol (0,399 pada tahun 2024), meskipun telah membaik, menunjukkan bahwa masih ada ruang signifikan untuk perbaikan dalam kesetaraan gender, bahkan dengan IPM yang tinggi. Ini berarti bahwa sementara Sumatera Utara menunjukkan perkembangan yang baik secara keseluruhan, manfaat dan peluang pembangunan belum sepenuhnya terdistribusi secara merata antara perempuan dan laki-laki. Oleh karena itu, para pembuat kebijakan tidak boleh berpuas diri dengan IPM yang tinggi, melainkan harus menggali lebih dalam komponen IKG dan data yang terpilah di tingkat lokal untuk mengidentifikasi area spesifik di mana perempuan masih menghadapi kerugian, memastikan bahwa pembangunan benar-benar inklusif dan adil.
Tabel 1: Indeks Ketimpangan Gender (IKG) Provinsi Sumatera Utara (2022-2024)
Tahun | Nilai IKG | Perubahan Poin dari Tahun Sebelumnya |
2022 | 0,442 | – |
2023 | 0,425 | -0,017 |
2024 | 0,399 | -0,026 |
Sumber: BPS Provinsi Sumatera Utara |
Konsep Pengarusutamaan Gender (PUG)
Pengarusutamaan Gender (PUG) adalah strategi yang dirancang untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender dengan mengintegrasikan perspektif gender ke dalam seluruh proses pembangunan, mulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemantauan, hingga evaluasi. Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah menunjukkan komitmennya terhadap PUG melalui penetapan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Daerah. Perda ini secara eksplisit bertujuan untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender dengan memastikan bahwa perspektif gender terintegrasi dalam setiap tahapan proses pembangunan daerah.
Potret Kesenjangan Gender di Sumatera Utara: Analisis Sektoral
A. Kesehatan dan Kesejahteraan
Angka Harapan Hidup (AHH) merupakan indikator fundamental kesehatan dan kesejahteraan penduduk. Data tahun 2024 menunjukkan perbedaan AHH antara laki-laki dan perempuan di Sumatera Utara, dengan AHH laki-laki sebesar 68,36 tahun dan perempuan 72,30 tahun. Secara keseluruhan, Umur Harapan Hidup (UHH) di Sumatera Utara pada tahun 2023 mencapai 69,98 tahun dan menunjukkan tren peningkatan yang positif dari tahun ke tahun. Pola ini, di mana perempuan memiliki angka harapan hidup yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki, adalah fenomena yang umum diamati secara global. Meskipun demikian, perbedaan gender ini tetap relevan dalam perencanaan dan penyediaan layanan kesehatan yang responsif.
Tabel 2: Angka Harapan Hidup (AHH) Menurut Jenis Kelamin di Sumatera Utara (2024)
Tahun | Jenis Kelamin | AHH (Tahun) |
2024 | Laki-laki | 68,36 |
2024 | Perempuan | 72,30 |
Sumber: BPS | ||
Perbaikan dimensi kesehatan reproduksi telah menjadi salah satu faktor utama yang berkontribusi pada penurunan IKG di Sumatera Utara. Indikator persentase perempuan pernah kawin usia 15–49 tahun yang saat melahirkan hidup pertama berusia kurang dari 20 tahun menunjukkan penurunan dari 15,5% pada tahun 2022 menjadi 15,1% pada tahun 2023. Hal ini menunjukkan keberhasilan intervensi kesehatan reproduksi dalam menunda usia perkawinan dan kehamilan pertama. Lebih lanjut, sebuah studi di Tapanuli Selatan mengindikasikan bahwa program pembangunan berbasis gender memiliki dampak positif terhadap peningkatan kompetensi pengetahuan reproduksi perempuan. Program-program ini mencakup edukasi komprehensif tentang menstruasi, kontrasepsi, perawatan prenatal dan pascapersalinan, serta hak-hak reproduksi perempuan. Namun, meskipun ada kemajuan, tantangan terkait praktik persalinan aman masih ada. Pada tahun 2023, 2,29% kelahiran di Sumatera Utara masih dibantu oleh dukun beranak, dengan persentase yang lebih tinggi di wilayah Kepulauan Nias.
Isu kesehatan spesifik gender juga menjadi perhatian. Remaja di Sumatera Utara, khususnya di Medan, sangat rentan terhadap masalah kesehatan reproduksi seperti kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi, dan penyakit menular seksual. Sebuah studi menunjukkan bahwa 40% remaja di Kota Medan telah melakukan hubungan seks pranikah, dan banyak yang memiliki pengetahuan yang kurang tentang reproduksi sehat. Penyuluhan kesehatan reproduksi terbukti efektif dalam meningkatkan pengetahuan remaja tentang organ reproduksi, cara menjaga kesehatan reproduksi, dan masalah yang mungkin timbul. Selain itu, isu kekerasan seksual juga mencuat, dengan laporan bahwa penyiksaan seksual sering menimpa perempuan di tahanan dan ruang tertutup di Medan. Kompleksitas isu kesehatan reproduksi remaja menuntut pendekatan holistik yang melibatkan pendidikan formal dan informal, penguatan peran orang tua, serta peningkatan akses terhadap layanan kesehatan yang ramah remaja. Kasus kekerasan seksual menyoroti dimensi kesehatan dan keamanan yang krusial bagi perempuan.
Peningkatan indikator kesehatan reproduksi, seperti penurunan angka kelahiran pada usia dini, secara langsung berkontribusi pada penurunan IKG secara keseluruhan. Hal ini menunjukkan bahwa intervensi yang ditargetkan dalam pendidikan dan akses kesehatan reproduksi memiliki dampak positif yang nyata pada metrik kesetaraan gender yang lebih luas. Namun keberlanjutan praktik persalinan yang dibantu dukun beranak dan tingginya tingkat perilaku reproduksi berisiko pada remaja mengindikasikan bahwa akses dan adopsi praktik perawatan kesehatan modern serta pendidikan seksualitas yang komprehensif masih belum merata dan tetap menjadi tantangan yang sensitif secara budaya. Ketergantungan yang terus-menerus pada dukun beranak menunjukkan adanya hambatan budaya atau aksesibilitas yang belum sepenuhnya diatasi oleh layanan kesehatan modern. Sementara itu, masalah kesehatan reproduksi remaja menyoroti kesenjangan dalam pendidikan seksualitas komprehensif dan keterlibatan orang tua atau komunitas. Ini berarti bahwa kemajuan dalam kesehatan reproduksi tidak seragam dan memerlukan pendekatan multi-sektoral yang mengatasi praktik budaya, meningkatkan akses ke fasilitas modern, dan mengimplementasikan program pendidikan yang ditargetkan dan sesuai usia untuk kaum muda.
Pendidikan dan Peningkatan Kapasitas
Dimensi pengetahuan, yang tercermin dalam capaian pendidikan, merupakan salah satu pendorong utama IPM Sumatera Utara yang tinggi. Harapan Lama Sekolah (HLS) di provinsi ini mencapai 13,48 tahun pada tahun 2023, setara dengan menyelesaikan pendidikan Diploma I, dan angka ini lebih tinggi dari HLS nasional yang sebesar 13,15 tahun. Sementara itu, Rata- rata Lama Sekolah (RLS) mencapai 9,82 tahun, setara dengan kelas 3 SMP, dan menempati peringkat kedua tertinggi di Sumatera.
Angka Partisipasi Sekolah (APS) dan Angka Partisipasi Murni (APM) di Sumatera Utara pada tahun 2023 menunjukkan bahwa perempuan seringkali memiliki tingkat partisipasi yang sama atau bahkan sedikit lebih tinggi dibandingkan laki-laki, terutama pada jenjang pendidikan menengah ke atas. Secara nasional, data Badan Pusat Statistik (BPS) juga mengindikasikan bahwa persentase perempuan yang melanjutkan ke jenjang perkuliahan lebih banyak dibandingkan laki-laki sejak tahun 2018, dan lebih banyak perempuan yang masih bersekolah di tingkat SMP ke atas. Capaian pendidikan di Sumatera Utara secara umum sangat baik, dengan perempuan menunjukkan partisipasi yang kuat, bahkan melampaui laki-laki di jenjang pendidikan tertentu. Ini mengindikasikan keberhasilan dalam meningkatkan akses pendidikan bagi perempuan.
Tabel 3: Angka Partisipasi Sekolah (APS) dan Angka Partisipasi Murni (APM) Menurut Jenjang Pendidikan dan Jenis Kelamin di Sumatera Utara (2023)
Jenjang Pendidikan | Jenis Kelamin | APS (%) | APM (%) |
SD (7-12 tahun) | Laki-laki | 99,48 | 97,89 |
Perempuan | 99,54 | 98,01 | |
SMP (13-15 tahun) | Laki-laki | 96,29 | 81,89 |
Perempuan | 97,27 | 82,29 | |
SMA (16-18 tahun) | Laki-laki | 77,99 | 67,47 |
Perempuan | 80,55 | 69,90 | |
Perguruan Tinggi (19-23 tahun) | Laki-laki | 27,89 | 19,11 |
Perempuan | 34,54 | 25,28 | |
Sumber: BPS Provinsi Sumatera Utara |
Meskipun terdapat kemajuan yang signifikan dalam akses dan partisipasi pendidikan perempuan, tantangan tersembunyi masih ada dalam bentuk stereotip gender yang memengaruhi pilihan jurusan dan prioritas pendidikan dalam keluarga dengan dana terbatas. Seringkali, anak laki-laki masih diprioritaskan untuk melanjutkan sekolah, dengan anggapan bahwa “setinggi-tingginya perempuan sekolah, nantinya akan ke dapur juga.
Capaian pendidikan yang tinggi dan tingkat partisipasi yang kuat pada perempuan di Sumatera Utara menunjukkan sebuah paradoks ketika disandingkan dengan norma-norma patriarki yang masih mengakar kuat. Hal ini mengindikasikan adanya “masalah saluran” (pipeline problem) di mana pencapaian pendidikan perempuan belum sepenuhnya diterjemahkan menjadi peluang yang setara di ranah ekonomi atau politik yang lebih tinggi. Ungkapan “setinggi-tingginya perempuan sekolah, nantinya akan ke dapur” , meskipun mungkin tidak selalu diucapkan secara eksplisit, masih dapat secara halus memengaruhi kemajuan karier atau ekspektasi masyarakat. Ini menciptakan ketidaksesuaian antara tingkat pendidikan yang dicapai dan hasil pemberdayaan yang lebih luas. Artinya, meskipun akses formal terhadap pendidikan bagi perempuan telah sebagian besar tercapai di Sumatera Utara, kerangka sosial dan budaya belum berkembang pada kecepatan yang sama. Pendidikan bagi perempuan mungkin masih dihargai dalam paradigma tradisional, misalnya untuk menjadi ibu atau istri yang lebih baik, daripada sebagai jalur menuju pemberdayaan profesional, ekonomi, atau politik yang penuh. Ini menghasilkan situasi di mana modal pendidikan tidak sepenuhnya diubah menjadi modal sosial atau ekonomi bagi perempuan, yang pada gilirannya menyebabkan “masalah saluran” di mana perempuan berpendidikan tinggi masih menghadapi hambatan di pasar tenaga kerja, representasi politik, atau kendali atas sumber daya. Mengatasi hal ini memerlukan upaya yang melampaui sekadar memastikan akses pendidikan. Hal ini menuntut intervensi yang secara aktif menantang stereotip gender dalam pilihan karier, mempromosikan peluang yang adil di tempat kerja dan ranah politik, serta mendorong pergeseran sosial dalam menghargai kontribusi perempuan di luar peran domestik.
Partisipasi Ekonomi dan Ketenagakerjaan
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan di Sumatera Utara menunjukkan peningkatan yang lebih tinggi dibandingkan TPAK laki-laki. TPAK laki-laki naik dari 83,89% pada tahun 2022 menjadi 84,40% pada tahun 2023, sementara TPAK perempuan meningkat dari 55,37% pada tahun 2022 menjadi 57,81% pada tahun 2023. Meskipun demikian, kesenjangan antara TPAK laki-laki dan perempuan masih signifikan. Pada tahun 2024, TPAK Sumatera Utara secara keseluruhan adalah 84,25% untuk laki-laki dan 58,54% untuk perempuan. Di Kota Medan, disparitas ini lebih mencolok, dengan TPAK perempuan hanya 46,27% dibandingkan laki-laki 78,81% pada tahun 2022, meskipun jumlah penduduk perempuan usia produktif lebih banyak. Kesenjangan ini menunjukkan bahwa perempuan usia produktif di Sumatera Utara, khususnya di wilayah perkotaan seperti Medan, masih kurang aktif secara ekonomi dibandingkan laki-laki.
Tabel 4: Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Menurut Jenis Kelamin di Sumatera Utara (2022-2024)
Tahun |
Jenis Kelamin | TPAK (%) |
2022 | Laki-laki | 83,89 |
Perempuan | 55,37 | |
2023 | Laki-laki | 84,40 |
Perempuan | 57,81 | |
2024 | Laki-laki | 84,25 |
Perempuan | 58,54 | |
Sumber: BPS |
Kesetaraan gender dalam ketenagakerjaan di Medan belum optimal. Masih banyak pekerjaan yang mensyaratkan kualifikasi gender tertentu, meskipun hal itu tidak esensial untuk peran tersebut. Data menunjukkan bahwa perempuan lebih banyak terkonsentrasi di sektor informal (60,81%) dibandingkan laki-laki (52,81% di informal, 47,19% di formal). Selain itu, terdapat kesenjangan upah yang persisten di Indonesia, di mana perempuan dengan kualifikasi dan pengalaman serupa seringkali menerima upah lebih rendah dibandingkan laki-laki, yang sebagian besar disebabkan oleh diskriminasi gender dan peran tradisional yang melekat. Kesenjangan partisipasi angkatan kerja dan dominasi perempuan di sektor informal ini mengindikasikan kerentanan ekonomi dan terbatasnya akses perempuan terhadap pekerjaan formal yang lebih stabil dan berpendapatan tinggi.
Isu gender dalam sektor pertanian dan industri di Sumatera Utara dapat dilihat dari beberapa studi kasus yang menunjukkan bagaimana budaya patriarki secara langsung memengaruhi akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat ekonomi bagi perempuan.
Pada Masyarakat Batak di Samosir, perempuan di pedesaan masih mengalami ketidaksetaraan gender yang ditandai oleh subordinasi, stereotip negatif, beban kerja berlebih, dan marginalisasi. Secara budaya, sistem kekerabatan patrilineal memberikan posisi superior kepada laki-laki, yang berujung pada dominasi laki-laki dalam kepemilikan lahan dan kepemimpinan. Perempuan dianggap memiliki status lebih rendah dan kurang mampu berbicara di depan umum. Dalam pengelolaan lahan, meskipun ada pembagian kerja, laki-laki masih mendominasi keputusan pemilihan komoditas pertanian, dan kepemilikan lahan sebagian besar didominasi oleh laki-laki. Dari segi ekonomi, kontribusi perempuan terhadap rumah tangga hampir setara dengan laki-laki, namun mereka seringkali bekerja lebih lama (sekitar 15 jam per hari dibandingkan 9 jam per hari untuk laki-laki) karena memikul beban ganda. Akibat beban ganda dan kurangnya pengakuan, akses perempuan terhadap pengembangan kapasitas diri dan partisipasi dalam kegiatan pembangunan menjadi rendah.
Di Industri Kelapa Sawit di Sinunukan, Mandailing Natal, isu gender mencakup pembagian kerja yang tidak seimbang. Laki-laki mendominasi posisi pimpinan dan pekerjaan fisik berat, sementara perempuan terkonsentrasi pada peran yang dianggap membutuhkan ketelitian namun kurang strategis, seperti kerani atau pengumpul brondolan. Meskipun upah harian untuk pekerja harian laki-laki dan perempuan dilaporkan sama, peluang untuk posisi dengan upah lebih tinggi (yang sering didominasi laki-laki) menciptakan kesenjangan upah secara keseluruhan. Selain itu, terdapat kurangnya perlindungan dan keselamatan kerja, seperti tidak adanya asuransi kesehatan dan keselamatan kerja dari perusahaan, serta kurangnya alat pelindung diri yang memadai, yang menimbulkan risiko kesehatan, terutama bagi pekerja perempuan di bagian penyemprotan. Perempuan juga menghadapi beban ganda, bertanggung jawab atas pekerjaan di perkebunan dan tugas domestik, yang secara signifikan mengurangi waktu luang dan istirahat mereka. Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap masalah gender ini meliputi budaya tradisional yang menempatkan perempuan pada peran domestik, kurangnya dukungan perusahaan dalam bentuk pelatihan pemberdayaan, persepsi biologis tentang kelemahan fisik perempuan, rendahnya kepercayaan diri perempuan, dan tingkat pendidikan yang rendah.
Kombinasi budaya patriarki yang persisten, stereotip gender yang diakibatkannya, dan beban tugas domestik yang tidak proporsional pada perempuan menciptakan siklus yang saling memperkuat yang membatasi partisipasi ekonomi dan mobilitas ke atas perempuan, meskipun ada peningkatan dalam TPAK dan pendidikan. Budaya patriarki yang mengakar kuat di Sumatera Utara, khususnya di komunitas Batak, menumbuhkan stereotip gender yang menggambarkan perempuan sebagai pihak yang lebih lemah secara fisik, lebih emosional, dan lebih cocok untuk peran domestik atau pekerjaan tertentu yang dianggap “teliti”. Stereotip ini secara langsung mengarah pada pembagian kerja yang tidak seimbang dalam ekonomi, mengarahkan perempuan ke pekerjaan yang kurang strategis, seringkali di sektor informal, atau pekerjaan dengan upah lebih rendah, dengan akses terbatas ke posisi kepemimpinan atau pekerjaan yang menuntut kekuatan fisik. Pada saat yang sama, perempuan memikul “beban ganda” dari pekerjaan produktif di luar rumah dan pekerjaan domestik serta reproduktif yang tidak dibayar di dalam rumah, yang menyebabkan jam kerja yang jauh lebih panjang daripada laki-laki. Marginalisasi ekonomi yang dihasilkan (upah lebih rendah, kendali terbatas atas sumber daya, akses lebih sedikit ke sektor formal) dan beban kerja berlebihan dari beban ganda mengurangi kapasitas perempuan untuk pengembangan diri, partisipasi politik, dan kemajuan ekonomi. Kehadiran perempuan yang berkurang di ranah ekonomi dan publik ini kemudian memperkuat persepsi patriarki tradisional tentang perempuan sebagai pihak kedua atau kurang mampu di domain publik, sehingga melanggengkan norma dan stereotip budaya. Mengatasi siklus ini memerlukan intervensi multi-sektoral yang secara bersamaan menantang sikap budaya, memerangi diskriminasi di tempat kerja, mempromosikan pembagian tanggung jawab domestik yang adil, dan meningkatkan akses perempuan terhadap aset produktif dan kekuasaan pengambilan keputusan.
Representasi Politik dan Pengambilan Keputusan
Keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif daerah di Sumatera Utara masih menghadapi tantangan signifikan. Di Kabupaten Toba, misalnya, keterwakilan perempuan di DPRD periode 2019-2024 sangat rendah, hanya 1 dari 30 kursi atau setara dengan 3,3%. Angka ini menunjukkan penurunan dari periode sebelumnya dan jauh di bawah kuota 30% yang diamanatkan oleh undang-undang. Meskipun demikian, pada tingkat provinsi, persentase perempuan di legislatif Sumatera Utara menunjukkan sedikit peningkatan dari 13,13% pada tahun 2021 menjadi 14,14% pada tahun 2022, sementara persentase laki-laki menurun. Peningkatan ini juga berkontribusi pada perbaikan dimensi pemberdayaan dalam IKG. Namun, kasus Toba menunjukkan bahwa tantangan keterwakilan politik perempuan masih sangat besar, terutama di tingkat lokal dan di wilayah dengan budaya patriarki yang kuat, di mana kuota 30% belum cukup untuk menjamin keterwakilan yang signifikan.
Tabel 5: Keterwakilan Perempuan dalam DPRD Kabupaten Toba (2019-2024)
Periode Legislatif | Jumlah Kursi Total | Jumlah Kursi Perempuan | Persentase Keterwakilan Perempuan (%) | Kuota Undang- Undang (%) |
2019-2024 | 30 | 1 | 3,3 | 30 |
Sumber: IPDN
|
Faktor-faktor penghambat utama partisipasi politik perempuan bersifat multi-dimensi. Salah satu faktor dominan di Toba adalah budaya patriarki yang mengakar kuat dalam masyarakat Batak, yang menyebabkan rendahnya kepercayaan publik terhadap perempuan sebagai pemimpin atau perwakilan.1 Selain itu, partai politik menghadapi kesulitan dalam mencari dan mempersiapkan kandidat perempuan yang benar-benar siap bersaing dalam pemilihan. Seringkali, partai-partai hanya memenuhi kuota 30% dengan mencalonkan “kader instan” demi verifikasi Komisi Pemilihan Umum (KPU), tanpa memastikan kesiapan kandidat tersebut untuk bersaing secara efektif. Minat perempuan sendiri untuk terjun ke dunia politik juga masih relatif rendah, dengan banyak yang memprioritaskan tanggung jawab keluarga.
Kuota 30% untuk calon legislatif perempuan merupakan kebijakan yang progresif, namun implementasinya terhambat oleh norma-norma budaya yang mengakar kuat (patriarki, rendahnya kepercayaan terhadap kepemimpinan perempuan) dan masalah-masalah praktis di dalam partai politik (misalnya, “kader instan”, kurangnya pelatihan yang berdedikasi). Hal ini menyoroti kesenjangan signifikan antara tujuan kebijakan dan hasil aktual. Ini menunjukkan bahwa kerangka hukum saja tidak cukup tanpa upaya paralel untuk mengubah sikap masyarakat dan memperkuat kapasitas serta komitmen aktor politik. Situasi ini menggambarkan kesenjangan implementasi kebijakan yang kritis. Tujuan dari kuota 30% adalah progresif, bertujuan untuk meningkatkan suara politik perempuan. Namun, kenyataannya adalah bahwa struktur sosial-budaya yang mengakar kuat (patriarki, peran gender tradisional) dan kelemahan sistemik di dalam institusi politik (kurangnya investasi nyata dalam pengembangan kandidat perempuan, kepatuhan yang dangkal terhadap kuota) secara aktif merusak tujuan ini. Partai politik mungkin memenuhi bunyi undang-undang dengan mencalonkan perempuan, tetapi jika kandidat ini tidak benar-benar siap atau jika bias pemilih tetap ada, kebijakan tersebut menjadi formalitas daripada alat untuk pemberdayaan. Ini menyiratkan bahwa upaya di masa depan harus melampaui mandat hukum semata untuk mencakup program peningkatan kapasitas yang kuat bagi pemimpin perempuan, kampanye pendidikan publik yang ekstensif untuk menantang bias terhadap perempuan dalam kepemimpinan, dan mekanisme akuntabilitas yang lebih kuat bagi partai politik untuk secara sungguh-sungguh mendorong partisipasi perempuan.
Kebijakan dan Program Pemerintah Daerah dalam Pengarusutamaan Gender
Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah menunjukkan komitmen formalnya terhadap kesetaraan gender dan perlindungan perempuan serta anak melalui berbagai peraturan dan program strategis.
Tinjauan Peraturan Daerah (Perda) terkait Gender
Dua Peraturan Daerah (Perda) utama menjadi landasan penting dalam upaya pengarusutamaan gender di Sumatera Utara:
- Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Daerah. Perda ini merupakan dasar hukum untuk mengintegrasikan perspektif gender ke dalam seluruh proses pembangunan daerah, yang mencakup tahapan perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pelaporan, evaluasi, dan pengawasan. Keberadaan Perda ini adalah langkah maju yang signifikan dalam menciptakan kerangka hukum yang mendukung PUG secara sistematis.
- Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 3 Tahun 2019 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak dari Tindak Kekerasan. Tujuan Perda ini adalah untuk mencegah kekerasan, melindungi, memberikan rasa aman, pelayanan, dan pemberdayaan bagi perempuan dan anak korban kekerasan. Perda ini menunjukkan perhatian pemerintah terhadap isu kekerasan yang sering menimpa kelompok rentan
Rencana Strategis dan Program Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (P3AKB)
Rencana Strategis (Renstra) Dinas P3AKB Provinsi Sumatera Utara Tahun 2024-2026 menguraikan program-program spesifik dengan target dan anggaran yang jelas, mencerminkan pendekatan multi-sektoral dan terencana yang sejalan dengan mandat PUG. Program-program ini meliputi:
- Pelembagaan Pengarusutamaan Gender (PUG) pada lembaga pemerintah kewenangan provinsi, dengan target 47 Organisasi Perangkat Daerah (OPD) setiap tahun untuk advokasi dan pendampingan.
- Pemberdayaan perempuan di bidang politik, hukum, sosial, dan ekonomi melalui organisasi kemasyarakatan, dengan target peningkatan jumlah organisasi yang
- Penguatan dan pengembangan lembaga penyedia layanan pemberdayaan perempuan, termasuk peningkatan kapasitas sumber daya manusia.
- Pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan penyediaan layanan rujukan lanjutan bagi korban, dengan target peningkatan jumlah korban yang menerima layanan pengaduan dan koordinasi.
- Peningkatan kualitas keluarga dalam mewujudkan kesetaraan gender dan hak anak, melalui pengembangan kegiatan masyarakat.
- Pengelolaan sistem data gender dan anak, untuk penyediaan dan pemanfaatan data yang terpilah.
- Pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak, termasuk advokasi kebijakan dan pengembangan layanan.
- Pengendalian penduduk dan pembinaan keluarga berencana, dengan fokus pada harmonisasi kebijakan dan pemetaan program.
- Pemberdayaan dan peningkatan keluarga sejahtera, melalui sosialisasi generasi berencana dan penguatan ekonomi keluarga.
Renstra ini sangat komprehensif, mencakup berbagai aspek isu gender dan perlindungan, serta menunjukkan pendekatan multi-sektoral dan terencana yang sejalan dengan mandat PUG.
Inisiatif Anggaran Responsif Gender (ARG)
Dalam upaya mengoptimalkan pelaksanaan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG), Dinas P3AKB Provinsi Sumatera Utara telah mengembangkan inisiatif “Klinik Konsultasi Anggaran Responsif Gender Berbasis Aplikasi (KUAD BERAKSI)”. Inisiatif ini bertujuan untuk memfasilitasi OPD dalam menyusun dokumen analisis Gender Analysis Pathway (GAP) dan Gender Budget Statement (GBS) untuk sub-kegiatan mereka.
Namun, implementasi PPRG masih menghadapi beberapa tantangan. Pendampingan yang diberikan belum dimanfaatkan secara optimal oleh OPD. Masih ada anggapan bahwa penyusunan analisis GAP/GBS bukan merupakan prioritas dalam perencanaan program/kegiatan di OPD, sehingga seringkali tidak ada anggaran yang responsif gender yang dialokasikan. Selain itu, sumber daya manusia yang terlibat dalam penyusunan analisis GAP/GBS seringkali belum memiliki kompetensi yang memadai. Tantangan lain yang diidentifikasi adalah ketiadaan aplikasi khusus untuk konsultasi perencanaan dan penganggaran responsif gender sebelum adanya KUAD BERAKSI. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada komitmen formal dan inisiatif baru, masih diperlukan penguatan kapasitas dan perubahan pola pikir di tingkat operasional untuk memastikan efektivitas implementasi PPRG.
Tantangan dalam Implementasi Kebijakan Perlindungan Perempuan dan Anak
Implementasi Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 3 Tahun 2019 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak dari Tindak Kekerasan, khususnya di Kabupaten Humbang Hasundutan, belum sepenuhnya berhasil. Berbagai tantangan menghambat efektivitasnya:
- Keterbatasan Sumber Daya: Terdapat keterbatasan signifikan dalam sumber daya, termasuk ketiadaan psikolog terlatih untuk membantu korban kekerasan, serta kurangnya rumah aman dan kendaraan perlindungan.
- Struktur Organisasi yang Kecil: Struktur organisasi yang bertanggung jawab menangani perlindungan perempuan dan anak di Kabupaten Humbang Hasundutan masih sangat kecil, beroperasi sebagai “bidang” daripada “dinas” penuh, yang membatasi ruang lingkup implementasi dan kewenangan.
- Dukungan Pemerintah yang Tidak Memadai: Dukungan dari pemerintah belum maksimal, khususnya dalam hal anggaran yang dialokasikan untuk pelaksanaan peraturan ini yang masih tidak mencukupi untuk menutupi semua kegiatan yang diperlukan, seperti program rehabilitasi.
- Kurangnya Arahan Spesifik dari Pejabat: Bantuan teknis dan saran dari pejabat, khususnya Bupati Humbang Hasundutan, terbatas pada imbauan umum. Kurangnya arahan dan target spesifik untuk mengatasi masalah ini menghambat implementasi yang
- Regulasi yang Tidak Jelas dan Tidak Mengikat: Para pelaksana menyatakan ketidakpuasan terhadap beberapa bagian peraturan yang tidak jelas dan tidak mengikat secara hukum bagi pelaku kekerasan. Ambiguitas ini juga menghambat pembentukan produk hukum turunan dari peraturan provinsi karena isinya yang sangat umum.
Meskipun demikian, upaya-upaya untuk mengatasi hambatan ini sedang dilakukan, seperti kegiatan preventif berupa sosialisasi pencegahan kekerasan dalam rumah tangga di seluruh kecamatan, pengajuan rancangan peraturan daerah lokal tentang perlindungan perempuan dan anak, serta koordinasi yang baik antara Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPMDP2A), kepolisian, dan LSM dalam penanganan dan pendampingan korban.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Analisis gender dalam pembangunan di Sumatera Utara menunjukkan gambaran yang kompleks, di mana kemajuan signifikan dalam beberapa indikator makro beriringan dengan tantangan struktural dan budaya yang mengakar. Penurunan Indeks Ketimpangan Gender (IKG) dan capaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang tinggi adalah sinyal positif bahwa upaya pembangunan manusia dan kesetaraan gender mulai membuahkan hasil. Peningkatan Angka Harapan Hidup (AHH) perempuan yang lebih tinggi dari laki-laki dan perbaikan dalam dimensi kesehatan reproduksi, seperti penurunan angka kelahiran pada usia muda, menunjukkan keberhasilan intervensi kesehatan. Demikian pula, capaian pendidikan yang kuat, dengan partisipasi perempuan yang tinggi bahkan melampaui laki-laki di beberapa jenjang, adalah bukti keberhasilan dalam meningkatkan akses pendidikan.
Namun, di balik capaian makro ini, terdapat disparitas yang tersembunyi dan tantangan berkelanjutan. Paradoks antara tingginya tingkat pendidikan perempuan dengan norma patriarki yang persisten menunjukkan bahwa pencapaian pendidikan belum sepenuhnya diterjemahkan menjadi peluang yang setara di ranah ekonomi dan politik. Kesenjangan TPAK yang signifikan antara laki-laki dan perempuan, dominasi perempuan di sektor informal, serta disparitas upah yang persisten, menyoroti kerentanan ekonomi perempuan. Studi kasus di masyarakat Batak dan industri kelapa sawit secara jelas menunjukkan bagaimana budaya patriarki, stereotip gender, dan beban ganda perempuan menciptakan siklus penguatan kesenjangan ekonomi. Dalam ranah politik, meskipun ada kuota representasi, implementasinya terhambat oleh budaya patriarki yang kuat, kesulitan partai politik dalam mempersiapkan kandidat perempuan yang kompetitif, dan rendahnya minat perempuan sendiri. Ini menunjukkan kesenjangan antara niat kebijakan dan hasil aktual, di mana kerangka hukum saja tidak cukup tanpa upaya paralel untuk mengubah sikap masyarakat dan memperkuat kapasitas aktor politik.
Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah menunjukkan komitmen melalui Peraturan Daerah tentang Pengarusutamaan Gender dan Perlindungan Perempuan dan Anak, serta Rencana Strategis Dinas P3AKB yang komprehensif. Inisiatif Anggaran Responsif Gender (ARG) seperti KUAD BERAKSI juga merupakan langkah maju. Namun, implementasi kebijakan ini masih menghadapi kendala sumber daya, struktur organisasi yang terbatas, dukungan anggaran yang belum maksimal, dan regulasi yang kurang jelas.
Berdasarkan temuan ini, beberapa rekomendasi dapat diajukan untuk mempercepat pencapaian kesetaraan gender yang lebih komprehensif di Sumatera Utara:
- Pendekatan Holistik dan Sensitif Budaya: Kebijakan dan program harus dirancang tidak hanya untuk memenuhi target kuantitatif, tetapi juga untuk secara aktif menantang dan mengubah norma-norma budaya patriarki yang mengakar. Ini memerlukan kampanye kesadaran publik yang luas, pendidikan berbasis komunitas, dan dialog yang melibatkan tokoh adat dan agama untuk mempromosikan nilai-nilai kesetaraan
- Penguatan Kapasitas dan Akuntabilitas Institusional:
- Pendidikan dan Pelatihan: Meningkatkan kapasitas sumber daya manusia di OPD dan lembaga terkait dalam analisis dan perencanaan responsif gender, termasuk penggunaan alat seperti GAP/GBS.
- Partai Politik: Mendorong partai politik untuk berinvestasi lebih serius dalam pengembangan kader perempuan yang kompeten, bukan hanya memenuhi kuota secara formal. Ini termasuk pelatihan kepemimpinan, retorika, dan strategi kampanye.
- Mekanisme Akuntabilitas: Memperkuat mekanisme pemantauan dan evaluasi terhadap implementasi kebijakan gender, dengan sanksi yang jelas bagi pelanggaran diskriminasi di tempat kerja dan kegagalan memenuhi target representasi politik.
3. Intervensi Ekonomi yang Bertarget:
- Sektor Informal: Mengembangkan program pemberdayaan ekonomi yang spesifik untuk perempuan di sektor informal, termasuk pelatihan keterampilan, akses permodalan, dan fasilitasi akses pasar yang lebih luas.
- Beban Ganda: Mendorong kebijakan yang mendukung pembagian tanggung jawab domestik yang lebih adil, seperti fasilitas penitipan anak yang terjangkau dan cuti orang tua yang fleksibel, untuk mengurangi beban ganda perempuan dan memungkinkan partisipasi ekonomi yang lebih penuh.
- Penegakan Hukum Upah Setara: Memperkuat penegakan hukum terkait upah setara untuk pekerjaan yang setara nilai, serta mengatasi diskriminasi dalam rekrutmen dan
4. Peningkatan Layanan Kesehatan Reproduksi dan Perlindungan:
- Akses Universal: Memastikan akses yang merata dan berkualitas terhadap layanan kesehatan reproduksi modern, termasuk di daerah terpencil, serta mengurangi ketergantungan pada praktik persalinan tradisional melalui edukasi dan fasilitas yang
- Pendidikan Seksualitas Komprehensif: Mengintegrasikan pendidikan seksualitas yang komprehensif dan sesuai usia ke dalam kurikulum sekolah dan program komunitas untuk remaja, guna meningkatkan pengetahuan dan mengurangi perilaku
- Layanan Korban Kekerasan: Meningkatkan ketersediaan dan kualitas layanan bagi korban kekerasan, termasuk psikolog, rumah aman, dan sistem pelaporan yang responsif dan aman
5. Data Terpilah dan Penelitian Berkelanjutan: Terus mengumpulkan, menganalisis, dan mempublikasikan data terpilah berdasarkan gender di semua sektor pembangunan untuk mengidentifikasi kesenjangan yang muncul dan menginformasikan perumusan kebijakan yang berbasis bukti. Penelitian kualitatif mendalam juga diperlukan untuk memahami dinamika sosial-budaya yang memengaruhi isu gender di tingkat lokal.
Daftar Pustaka :
Badan Pusat Statistik. (2024) Angka Harapan Hidup (AHH) Menurut Provinsi dan Jenis Kelamin. Diakses 28 Juni 2025, dari https://www.bps.go.id/id/statistics-table/2/NTAxIzI=/angka-harapan-hidup-ahh-menurut-provinsi-dan-jenis-kelamin.html
Badan Pusat Statistik Sumatera Utara. (2023, Agustus 1). IKG Provinsi Sumatera Utara 2022 sebesar 0.442, turun 0.003 poin dibandingkan 2021. Diakses 28 Juni 2025, dari https://sumut.bps.go.id/id/pressrelease/2023/08/01/1015/ikg-provinsi-sumatera-utara-2022-sebesar-0-442–turun-0-003-poin-dibandingkan-2021.html
Badan Pusat Statistik Sumatera Utara. (2024, Mei 6). IKG Sumatera Utara 2023 sebesar 0.425 (turun 0.017 poin) dibandingkan tahun 2022 yang sebesar 0.442. Diakses 28 Juni 2025, dari https://sumut.bps.go.id/id/pressrelease/2024/05/06/1228/ikg-sumatera-utara-2023-sebesar-0-425–turun-0-017-poin–dibandingkan-tahun-2022-yang-sebesar-0-442.html
Badan Pusat Statistik Sumatera Utara. (2025, Mei 5). Indeks Ketimpangan Gender (IKG) Sumatera Utara 2024 sebesar 0.399 (turun 0.026 poin) dibandingkan tahun 2023 yang sebesar 0.425. Diakses 28 Juni 2025, dari https://sumut.bps.go.id/id/pressrelease/2025/05/05/1337/gender-inequality-index–gii—of-sumatera-utara-in-2024-is-0-399–a-decrease-of-0-026-points–compared-to-2023–which-was-0-425.html
Badan Pusat Statistik. (n.d.). Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Menurut Jenis Kelamin. Diakses 28 Juni 2025, dari https://www.bps.go.id/id/statistics-table/2/MjIwMCMy/tingkat-partisipasi-angkatan-kerja-menurut-jenis-kelamin.html
BPSDM Sumatera Utara. (n.d.). Klinik Konsultasi Anggaran Responsif Gender Berbasis Aplikasi (KUAD BERAKSI). Diakses 28 Juni 2025, dari https://bpsdm.sumutprov.go.id/utama/ebook/pdf/peserta/c6e99d79f8dcc288043d7302d82542ed.pdf
Analisis kenakalan remaja berisiko kesehatan reproduksi berdasarkan pola asuh keluarga dan teman sebaya di Kelurahan Dwikora Kot. (n.d.). Repositori USU. Diakses 28 Juni 2025, dari https://repositori.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/88932/Cover.pdf?sequence=1&isAllowed=y
Databoks. (2023). Umur Harapan Hidup Warga Sumatera Utara Capai 69,98 Tahun Pada 2023. Katadata.co.id. Diakses 28 Juni 2025, dari https://databoks.katadata.co.id/index.php/demografi/statistik/c124c87a3c8b7ab/umur-harapan-hidup-warga-sumatera-utara-capai-6998-tahun-pada-2023
Detikcom. (n.d.). Perempuan Tak Boleh Sekolah Tinggi? BPS: Lulusan Perguruan Tinggi Lebih Banyak Cewek. Diakses 28 Juni 2025, dari https://www.detik.com/edu/perguruan-tinggi/d-7838906/perempuan-tak-boleh-sekolah-tinggi-bps-lulusan-perguruan-tinggi-lebih-banyak-cewek
Dinas Kesehatan Kota Medan. (2022). Profil Kesehatan Kota Medan Tahun 2022. Diakses 28 Juni 2025, dari https://dinkes.medan.go.id/storage/berita/PROFIL%20KES%20KOTA%20MEDAN%202022.pdf
Faktor yang berpengaruh terhadap perilaku seksual remaja di SMK Kesehatan Haji Sumatera Utara tahun 2019. (n.d.). Jurnal Mitrahusada. Diakses 28 Juni 2025, dari https://jurnal.mitrahusada.ac.id/index.php/emj/article/view/113/82
Isu gender mengenai keterwakilan perempuan dalam kehidupan politik di Indonesia. (n.d.). Jurnal Politikom Indonesiana. Diakses 28 Juni 2025, dari https://journal.unsika.ac.id/politikomindonesiana/article/download/9859/4282/31851
Kumparan. (n.d.). Data BPS: Perempuan RI yang Kuliah Lebih Banyak daripada Laki-laki. Diakses 28 Juni 2025, dari https://m.kumparan.com/kumparannews/data-bps-perempuan-ri-yang-kuliah-lebih-banyak-daripada-laki-laki-24ImMEF8vrT
Nusantara Terkini. (n.d.). Hari Anti Penyiksaan di Medan: Penyiksaan Masih Sistemik, Aparat Negara Jadi Pelaku Utama. Diakses 28 Juni 2025, dari https://nusantaraterkini.co/hari-anti-penyiksaan-di-medan-penyiksaan-masih-sistemik-aparat-negara-jadi-pelaku-utama
Pemerintah Kota Medan. (n.d.). Peraturan Walikota Nomor 56. Peraturan BPK. Diakses 28 Juni 2025, dari https://peraturan.bpk.go.id/Download/259618/perwal%20no%2056.pdf
Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. (2023). Abstrak Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pengarusutamaan Gender. JDIH Sumutprov. Diakses 28 Juni 2025, dari https://jdih.sumutprov.go.id/assets/reg/1690431086-ABSTRAK-PERDA-NOMOR-2-TAHUN-2023.pdf
Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. (2023). Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 2 Tahun 2023. Paralegal.id. Diakses 28 Juni 2025, dari https://paralegal.id/peraturan/peraturan-daerah-provinsi-sumatera-utara-nomor-2-tahun-2023/
Putri, N. N. (n.d.). Analisis kesetaraan gender dalam bidang ketenagakerjaan di Kota Medan Provinsi Sumatera Utara. ePrints IPDN. Diakses 28 Juni 2025, dari http://eprints.ipdn.ac.id/17110/1/REPOSITORY_31.0081_NIKEN%20NABILLAH%20PUTRI.pdf
Relasi pembangunan berbasis gender dalam peningkatan kompetensi pengetahuan dalam reproduksi perempuan di Tapanuli Selatan. (n.d.). Rumah Jurnal IAIN Padangsidimpuan. Diakses 28 Juni 2025, dari https://jurnal.uinsyahada.ac.id/index.php/ittishol/article/download/11740/pdf
Sianturi, M. (n.d.). Implementasi Peraturan Daerah Sumatera Utara. ePrints IPDN. Diakses 28 Juni 2025, dari http://eprints.ipdn.ac.id/8426/1/repository%20Michael%20Sianturi%2029.0141%20B3.pdf
Widuri. (n.d.). Isu gender pada industri perkebunan kelapa sawit di Aceh. Repository Ar-Raniry. Diakses 28 Juni 2025, dari https://repository.ar-raniry.ac.id/22977/1/Widuri%2C%20180404076%2C%20FDK%2C%20PMI%2C%20085296086961.pdf