WTO : DARI SINGAPURA KE CANCUN

World Trade Organization (WTO) didirikan pada tanggal 1 Januari 1995, melalui perjalanan dan perdebatan panjang pada putaran Uruguay  selama 9 tahun dengan disepakatinya Agreement the World Trade Organization, yaitu persetujuan pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia yang ditandatangani para menteri perdagangan negara-negara anggota WTO pada tanggal 15 April 1994 di Marrakesh, Maroko.
WTO adalah metamorfosis yang semakin sempurna dari GATT (General Agreement on Tariffs and Trade). Dibawah GATT, yang diatur adalah hanya perdagangan barang saja, namun di bawah WTO, pengaturan meliputi 3 bidang yaitu  perdagangan barang, perdagangan jasa dan Hak Atas kekayaan Intelektual (trade related intellectual proverty right). WTO yang berkantor pusat di Jenewa, Swiss  dan  beranggotakan 146 Negara termasuk Indonesia yang bergabung pada awal pembentukan WTO yaitu 1 Januari 1995.

WTO memiliki  fungsi utama, antara lain: mengawasi persetujuan perdagangan untuk multilateral trade, forum untuk penyelesaian sengketa dagang, menjalin  kerjasama institusi international, mengawasi kebijakan  perdagangan negara anggota dan memberikan bantuan teknis kepada negara berkembang. Pengambilan keputusan WTO diadakan pada Konfrensi Tingkat Mentri (KTM)  yang diadakan 2 tahun sekali. Keputusan-keputusan yang dihasilkan dalam KTM yang dihadiri oleh para menteri  Perindustrian/Perdagangan negara anggota biasanya bersifat legal binding (mengikat secara hukum). Konferensi Tingkat Menteri WTO telah diadakan sebanyak 5 (lima) kali yaitu berturut-turut di Singapura 1996, Jenewa 1998, Seattle (AS) 1999, Doha (Qatar) 2001, Cancun (Mexico) 2003 dan berikutnya adalah di Hongkong (2005). Perlu dicatat, bahwa Konfrensi Tingkat Menteri (KTM) WTO hanya sukses di Singapura dan Doha, sedangkan di Jenewa, Seattle dan baru-baru ini di Cancun  dapat dikatakan gagal karena adanya penolakan dari kelompok negara-negara berkembang yang dimotori oleh  kelompok 20 (G-20) yang  dipimpin oleh Brazil, India, Afrika Selatan , Cina dan Indonesia yang terakhir bergabung.

Konferensi Tingkat Menteri 1 diadakan di Singapura tanggal 9-13 Desember 1996 dengan keputusan-keputusan yang populer dengan sebutan “Singapore Issues “ antara lain: dibidang Investasi  PMA, Belanja Pemerintah , Kebijakan Kompetisi dan fasilitas Perdagangan. Dibidang investasi misalnya, Perusahaan Multinasional  menuntut penerapan Penanaman Modal Asing sampai 100 % . baik Investasi Manufaktur maupun jasa, penghapusan hambatan “local content” dan pembatasan impor. Di bidang Belanja Pemerintah, negara-negara maju  memaksakan kehendaknya agar perusahaan mulitinasional bisa ikut serta dalam tender proyek belanja pemerintah dalam pembangunan infrastruktur publik seperti jalan raya, jembatan, gedung-gedung pemerintah, waduk, irigasi dan proyek infrastruktur pemerintah lainnya. Di bidang Fasiltas perdagangan, mereka menuntut liberalisasi dalam  aturan-aturan yang bersifat supporting perdagangan seperti kepabeanan, standard teknis, karantina, pameran dagang dan lain-lain.

               Pada KTM WTO yang keempat di Doha (Qatar) pada November 2001 dihasilkan konsensus-konsensus sebagai berikut  : isu-isu pertanian, akses pasar untuk produk nonpertanian, dan hak atas kekayaan intelektual (intellectual property right ) ) yang terkait dengan perdagangan dan akses terhadap kesehatan masyarakat (Declaration on TRIPs Agreement and Public Health).

Implikasi Kebijakan WTO Bagi Indonesia

Menurut Aileen Kwa  WTO adalah sebuah bentuk rekolonisasi dan peperangan yang halus namun sangat dahsyat. Ia menuntut anggotanya untuk menyerahkan hak kedaulatan dan kebebasan mereka untuk membuat kebijakan (dengan membatasi kemampuan mereka membuat pengaturan di dalam negeri sendiri) agar perusahaan-perusahaan transnasional dapat melakukan penjarahan dengan leluasa. Jenuhnya pasar di Utara mengharuskan TNC untuk merebut akses pada pasar di Selatan. Cakupan peraturan WTO yang semakin lama semakin luas dirancang persis untuk keperluan itu. WTO mencungkil gembok yang mengunci pasar di negeri berkembang, bukan saja melalui penurunan tarif secara drastis namun juga melalui langkah-langkah “trans-nasional”. Hasilnya adalah semakin terpuruknya perekonomian dan rakyat di negeri-negeri berkembang.

Kebijakan Investasi yang di dorong WTO misalnya, dapat menutup akses perusahaan domestik ikut mensuply bahan mentah maupun bahan penolong  kepada Industri PMA. Karena Industri PMA dibebaskan dari kewajiban memakai “local content”. Demikian Juga dengan sektor Belanja pemerintah, kontraktor domestik harus bersaing keras dengan kontraktor multinasional dalam tender proyek pemerintah yang tentu saja kontraktor multinasional memiliki segalanya baik teknologi, manajemen dan tentunya dana yang berlimpah. Dalam Pemberian  subsidi dan kredit ekspor yang sangat besar, produk negara maju justru gencar memasuki pasar domestik negara berkembang, dan dalam perputarannya mematikan produsen lokal di negara berkembang. Meski demikian, toh negara maju tanpa merasa bersalah meminta pengurangan tarif dilaksanakan. Karena itu, lengkap sudah ketidakadilan yang dirasakan negara berkembang, khususnya yang ekonominya bertumpu pada sektor pertanian. Demikian juga dengan fasilitas perdagangan, dimana dibuat standard-standard teknis yang oleh Indonesia cukup sulit untuk menerapkannya seperti Standarisasi tentang kapal laut/maritim  dan kepabeanan. Di bidang pertanian, akibat adanya pembebasan tariff terhadap produk pertanian, Indonesia kini kehilangan banyak lahan pertanian termasuk Tebu, Beras, dan pertanian agrobisnis karena serbuan produk pertanian dari negara lain. Namun nun jauh di Utara sana,  di Amerika dan Eropa, mereka justru memproteksi produk pertanian dari negara berkembang melalui kebijakan tariff dan non tariff yang termasuk isu lingkungan dan Hak Asasi Manusia..

Perlu diakui, pada awal terbentuknya WTO, belum tersedia studi empiris yang memberi penilaian atas cost and benefit kesepakatan WTO. Seiring dengan berjalannya waktu, banyak studi empiris yang menunjukkan bahwa dalam banyak kasus justru yang menerima manfaat terbesar kerja sama WTO adalah negara maju. Sedangkan pihak yang memikul beban paling besar atas kerja sama tersebut adalah negara-negara berkembang termasuk indonesia.