Pendahuluan: Memetakan Gagasan Komprehensif Seorang Guru Bangsa

K.H. Abdurrahman Wahid, yang lebih dikenal sebagai Gus Dur, adalah salah satu figur paling kompleks dan berpengaruh dalam sejarah modern Indonesia. Posisi istimewanya tidak hanya sebagai Presiden keempat Republik Indonesia, tetapi juga sebagai ulama terkemuka, Ketua Umum Nahdlatul Ulama (NU), dan seorang intelektual yang pemikirannya melampaui batas-batas konvensional. Dia diakui sebagai “Guru Bangsa” dan “Bapak Pluralisme” yang pemikirannya terus relevan hingga hari ini. Namun, untuk memahami kekayaan dan paradoks yang melekat pada dirinya, diperlukan sebuah analisis yang tidak hanya mencatat ide-idenya, melainkan juga mengurai akar-akar intelektualnya, interkoneksi di antara gagasan-gagasannya, dan dampaknya yang berkelanjutan.

Tulisan ini bertujuan untuk menyajikan potret holistik pemikiran Gus Dur dengan pendekatan yang sistematis dan mendalam. Fokus utama laporan ini adalah untuk mengupas pilar-pilar fundamental pemikirannya, yaitu teologi humanisme, pluralisme, dan demokrasi substantif. Selain itu, laporan ini akan menafsirkan tindakannya yang seringkali dianggap kontroversial bukan sebagai perilaku irasional, melainkan sebagai manifestasi dari keyakinan dan prinsipnya yang mendalam. Dengan demikian, laporan ini berupaya memberikan pemahaman yang bernuansa dan komprehensif tentang visi Gus Dur bagi Indonesia.

Biografi Intelektual: Akar Pemikiran dan Paradoks Gus Dur

Pemikiran Gus Dur yang unik dan sering kali paradoks tidak dapat dipisahkan dari jejak biografi intelektualnya yang multidimensional. Latar belakang keluarganya yang istimewa, pendidikan formal dan non-formal yang tidak biasa, serta interaksinya dengan berbagai lingkungan intelektual global, semuanya berpadu membentuk kerangka berpikirnya.

Latar Belakang Keluarga dan Tradisi Pesantren

Gus Dur lahir dengan nama Abdurrahman ad-Dakhil pada 7 September 1940 di Jombang, Jawa Timur, dari garis keturunan ulama “darah biru”. Kakeknya, Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari, adalah pendiri Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di Indonesia. Ayahnya, K.H. Wahid Hasyim, adalah Menteri Agama pertama Republik Indonesia. Sejak kecil, Gus Dur tidak memilih tinggal bersama ayahnya, melainkan hidup bersama kakeknya di lingkungan pesantren Tebuireng. Lingkungan ini menanamkan fondasi keilmuan Islam tradisional yang kuat dalam dirinya. Legitimasi yang diperoleh dari silsilah ulama ini menjadi prasyarat krusial yang memungkinkannya untuk melakukan gebrakan pemikiran dan politik yang sering kali kontroversial, tanpa kehilangan dukungan substansial dari basis tradisionalnya.

Pengaruh Non-Formal dan Global

Jalur pendidikan formal Gus Dur terbilang tidak biasa untuk seorang figur dari kalangan pesantren. Meskipun sempat menempuh pendidikan formal di sekolah “sekuler” dan pesantren, ia tidak menyelesaikan studinya di Universitas Al-Azhar, Kairo. Namun, kegagalan ini tidak menghambatnya. Selama di Kairo, ia lebih banyak menghabiskan waktu di perpustakaan nasional dan kedutaan asing, mengikuti halqah, dan berinteraksi dengan cendekiawan Muslim Mesir. Setelah itu, ia belajar di Fakultas Sastra Universitas Baghdad selama empat tahun. Di sana, ia tidak mempelajari agama, melainkan mendalami sastra, kebudayaan Arab, filsafat Eropa, dan teori sosial.

Paparan ini—kombinasi dari tradisi pesantren yang hirarkis dan tertutup, lingkungan Timur Tengah yang keras dan terbuka, serta budaya Barat yang liberal—menciptakan sebuah “ketegangan kreatif” dalam pemikirannya. Ia mampu mendialogkan wacana modernitas yang didominasi pemikiran sekuler dengan doktrin Islam tradisional, suatu upaya untuk merevitalisasi warisan Islam ahlu al-sunnah wa al-jama’ah dengan komitmen kemanusiaan.

Pembentukan Visi Kritis Bersama Intelektual Progresif

Setelah kembali ke Indonesia, Gus Dur bergabung dengan forum-forum studi dan berinteraksi secara rutin dengan intelektual Muslim progresif seperti Nurcholish Madjid dan Djohan Effendi pada pertengahan 1970-an. Partisipasi aktifnya dalam lingkaran-lingkaran ini mengasah visi kritisnya dalam menghadapi tantangan modernisasi dan otoritarianisme Orde Baru. Pada titik ini, ia mulai dikenal sebagai seorang “intelektual bebas ketimbang sosok seorang kyai” , yang memposisikannya secara unik sebagai jembatan antara tradisi dan modernitas.

Analisis terhadap latar belakang Gus Dur menunjukkan bahwa dia bukanlah produk dari satu aliran pemikiran tunggal, melainkan sebuah sintesis unik dari ketiganya: tradisi pesantren, keilmuan Timur Tengah, dan filsafat Barat. Perpaduan ini memungkinkan dia untuk mereinterpretasi ajaran Islam secara lebih universal dan humanis, menjadikannya tokoh yang mampu berbicara kepada berbagai kalangan—dari santri tradisional hingga intelektual liberal.

Pilar Pertama: Teologi Humanisme dan Islam Rahmatan lil ‘Alamin

Fondasi teologis yang mendasari seluruh pemikiran Gus Dur adalah keyakinannya bahwa penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan adalah inti dari ajaran Islam. Ia berpandangan bahwa Islam yang diajarkan oleh Rasulullah adalah Islam yang damai dan membawa rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ‘alamin).

Inti Ajaran: Agama Dekat dengan Kemanusiaan

Bagi Gus Dur, agama yang benar adalah agama yang membawa kedamaian dan keadilan, bukan yang memisahkan atau menghakimi. Ia meyakini bahwa agama sejati adalah yang memanusiakan manusia, dan agama yang menjauh dari nilai-nilai kemanusiaan adalah agama yang telah “kehilangan rohnya”. Ia menolak pandangan yang menggunakan agama sebagai alasan untuk membenci atau merendahkan orang lain. Sebaliknya, ia mengajarkan bahwa agama seharusnya menjadi pedoman untuk memahami, menghormati, dan membantu sesama, terlepas dari perbedaan yang ada. Gus Dur menekankan bahwa menjalankan agama tidak hanya soal ketaatan ritual, tetapi juga soal bagaimana ajaran tersebut diimplementasikan untuk menebarkan kasih sayang dan kebaikan bagi semua orang.

Membangun Ukhuwah Basyariyah

Pemikiran humanis Gus Dur berpusat pada konsep ukhuwah basyariyah atau persaudaraan sesama manusia. Konsep ini melampaui ukhuwah islamiyah (persaudaraan sesama Muslim) dan menjadi landasan teologis yang kuat bagi perjuangannya untuk keadilan, hak asasi manusia, dan perdamaian. Gus Dur tidak membedakan antara Muslim dan non-Muslim dalam memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan universal. Nilai-nilai ini, baginya, adalah bagian dari ajaran agama yang harus diperjuangkan hingga akhir hayat. Pandangan teologis ini memberikan landasan moral yang kokoh bagi seluruh tindakan dan pemikirannya, terutama dalam hal pembelaan terhadap kelompok-kelompok minoritas yang tertindas.

Kritik terhadap Fanatisme dan Ritualisme Kosong

Gus Dur secara konsisten mengkritik pemahaman agama yang kaku dan ekstrem. Ia berpendapat bahwa fanatisme adalah pemahaman agama yang jauh dari kemanusiaan, yang hanya menciptakan perpecahan dan kebencian. Menurutnya, agama yang sejati justru harus membawa kedamaian dan kesejukan. Gus Dur mengajarkan bahwa pemahaman agama harus mendalam, bukan hanya sebatas ritual. Sebagai contoh, berpuasa bukan hanya soal menahan lapar, tetapi juga melatih empati kepada mereka yang kurang beruntung. Ini adalah cerminan dari keyakinannya bahwa substansi ajaran agama adalah untuk membentuk karakter manusia yang peduli dan bermanfaat bagi sesama.

Pola pemikiran Gus Dur menunjukkan bahwa paparan intelektualnya terhadap filsafat dan teori sosial memungkinkannya untuk melakukan reinterpretasi ajaran Islam secara lebih universal dan humanis. Ia “menemukan kembali” nilai-nilai kemanusiaan yang universal yang diyakininya sudah ada di dalam ajaran Islam, yang merupakan upaya untuk mereformasi pemahaman agama dari dalam. Tanpa keyakinan teologis yang mendalam tentang martabat semua manusia, perjuangannya untuk pluralisme dan hak asasi manusia tidak akan memiliki landasan moral yang kuat.

Pilar Kedua: Pluralisme dan Toleransi sebagai Manifestasi Keimanan

Pemikiran pluralisme Gus Dur adalah manifestasi langsung dari teologi humanisme yang ia anut. Konsepnya tentang pluralisme sering kali disalahartikan, namun Gus Dur memberikan definisi yang lebih dalam dan bernuansa.

Definisi Pluralisme yang Bernuansa

Berbeda dengan pandangan umum yang menyamaratakan semua agama dan menganggap semua agama sama benarnya , Gus Dur dengan tegas membatasi hal tersebut. Ia memandang pluralisme sebagai sikap menghargai pluralitas (kemajemukan) sebagai takdir Tuhan (Sunnatullah). Baginya, setiap agama tetap yang paling benar bagi penganutnya, tetapi hal itu tidak boleh menjadi alasan untuk merendahkan atau membenci orang lain. Pluralisme yang ia perjuangkan adalah suatu kontribusi aktif dalam keberagaman itu sendiri, yang diwujudkan melalui pengembangan rasa saling pengertian yang tulus dan rasa memiliki (sense of belonging) dalam kehidupan bersama.

Visi dan Tindakan sebagai “Bapak Pluralisme” dan “Bapak Tionghoa”

Gelar “Bapak Pluralisme” dan “Bapak Tionghoa” yang disematkan kepada Gus Dur bukanlah julukan tanpa dasar, melainkan pengakuan atas tindakannya yang konsisten dalam membela kelompok minoritas. Salah satu tindakan paling ikonik saat ia menjabat sebagai presiden adalah mencabut Instruksi Presiden (Inpres) No. 14 Tahun 1967. Kebijakan ini mengembalikan hak sipil bagi etnis Tionghoa untuk merayakan kebudayaan mereka, termasuk Tahun Baru Imlek, yang sebelumnya dilarang oleh rezim Orde Baru. Tindakan ini adalah contoh konkret bagaimana ia membela keadilan, bukan hanya sekadar mengakui perbedaan. Komunitas Hindu bahkan sepakat mengukuhkan Gus Dur sebagai pahlawan nasional, Guru Bangsa, dan Bapak Bangsa.

Strategi Dakwah Inklusif

Untuk meneguhkan toleransi, Gus Dur menggunakan strategi dakwah yang humanis dan inklusif. Ia seringkali mengunjungi tempat ibadah agama lain dan berdialog dengan para pemimpin non-Muslim. Pendekatan ini, yang dikenal sebagai dakwah bil hikmah (kebijaksanaan dan dialog) dan dakwah bil hal (teladan hidup), menunjukkan bahwa toleransi harus dimulai dari tindakan nyata yang menghargai perbedaan. Strategi ini tidak hanya memperkuat pesan dakwah Gus Dur, tetapi juga menanamkan rasa tanggung jawab dalam menjaga harmoni sosial.

Pola pemikiran Gus Dur menunjukkan adanya hubungan kausalitas yang kuat: teologi humanisnya adalah penyebab, pluralismenya adalah manifestasi sosiologis, dan tindakannya dalam membela minoritas adalah akibat dari keyakinan tersebut. Gus Dur melihat struktur hukum dan negara sebagai alat untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Meskipun pandangan pluralismenya belum sepenuhnya dipahami oleh banyak cendekiawan Muslim, warisan ini terus dihidupkan oleh para pengikutnya, yang dikenal sebagai Gusdurian , sebagai sebuah gerakan sosial yang relevan.

Pilar Ketiga: Demokrasi Substantif dan Perjuangan Hak Asasi Manusia

Selain sebagai seorang ulama dan pejuang pluralisme, Gus Dur juga merupakan seorang demokrat sejati yang memiliki visi mendalam tentang demokrasi yang hakiki. Pemikirannya berfokus pada pentingnya substansi di atas prosedur.

Kritik “Demokrasi Seolah-olah” Orde Baru

Gus Dur adalah pengkritik tajam terhadap praktik politik di era Orde Baru, yang ia sebut sebagai “demokrasi seolah-olah”. Ia berpendapat bahwa meskipun lembaga-lembaga formal seperti pemilihan umum dan sistem trias politica ada, semua komponen demokrasi yang substantif dibungkam. Menurutnya, keberadaan lembaga-lembaga ini tidak menjamin terpenuhinya rasa keadilan, persamaan hak, dan kebebasan berpendapat bagi warga negara. Demokrasi hanya terjebak dalam formalisme prosedural.

Menegakkan Demokrasi Substantif

Sebagai antitesis, Gus Dur menekankan pentingnya “budaya demokrasi” yang berlandaskan pada hak-hak substantif warga negara. Pilar-pilar demokrasi sejati, baginya, adalah penegakan hak asasi manusia (HAM), peningkatan kesejahteraan rakyat, penghormatan terhadap pluralitas, dan pemberdayaan masyarakat sipil. Ia melihat demokrasi sebagai sebuah proses dialektika yang berasal dari kebebasan berpikir dan berkehendak setiap manusia, di mana tidak ada monopoli kebenaran politik. Oleh karena itu, ia membuka keran kebebasan pers dan mendorong partisipasi aktif masyarakat.

Pemisahan Agama dari Politik Praktis

Meskipun sebagai pemimpin agama, Gus Dur berpandangan bahwa agama harus dipisahkan dari politik praktis. Ia melihat bahwa menggunakan agama sebagai alat politik dapat merusak tatanan demokrasi dan menciptakan ketegangan serta perpecahan. Bagi Gus Dur, peran agama seharusnya adalah menjadi sumber moralitas dan etika dalam politik, bukan alat untuk memperoleh kekuasaan. Pandangan ini merupakan konsekuensi logis dari teologi humanis dan pluralismenya: jika agama adalah untuk semua manusia, maka tidak boleh ada satu kelompok agama pun yang memonopoli kekuasaan negara.

Hubungan antara kritik Gus Dur terhadap demokrasi prosedural dan perjuangannya untuk kebebasan adalah hubungan kausalitas yang jelas. Baginya, kebebasan berekspresi dan pemberdayaan masyarakat sipil adalah antitesis langsung dari formalisme dan monopoli penafsiran negara.

Kontroversi sebagai Strategi Komunikasi dan Pembelaan

Gus Dur dikenal sebagai tokoh yang sering melakukan tindakan dan mengeluarkan pernyataan kontroversial. Namun, kontroversi ini bukanlah hasil dari ketidakstabilan, melainkan merupakan sebuah strategi yang didasarkan pada prinsip-prinsip yang lebih dalam. Tindakan ini sering kali berfungsi sebagai alat untuk menantang status quo dan membongkar logika formal yang dianggapnya tidak substansial.

Salah satu contoh paling menonjol adalah pemakzulan dirinya pada 23 Juli 2001. Gus Dur mengeluarkan dekret yang menyatakan pembubaran Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)/Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), menetapkan pemilu dalam satu tahun, dan menangguhkan Partai Golkar. Tindakan ini dianggap nyeleneh dan irasional oleh banyak pihak, yang kemudian menjadi alasan pemakzulan dirinya. Namun, sebuah studi menunjukkan bahwa tindakan kontroversial ini memiliki “makna tersembunyi” untuk “menyelamatkan rakyat dari tindakan yang tidak konstitusional”. Interpretasi ini diperkuat oleh pernyataan Mahfud MD yang kemudian menegaskan bahwa pemakzulan Gus Dur pada tahun 2001 adalah tindakan yang tidak konstitusional dan melanggar hukum.

Konteks di balik dekret ini harus dilihat dalam hubungannya dengan kritik Gus Dur terhadap “demokrasi seolah-olah”. Ia mungkin melihat DPR pada saat itu telah kembali menjadi lembaga yang “menghambat aspirasi rakyat” dan tidak mencerminkan nilai-nilai demokrasi substantif. Dengan demikian, dekret tersebut dapat dianalisis sebagai upaya Gus Dur untuk memaksa perombakan sistem yang ia yakini telah gagal, bahkan dengan konsekuensi kehilangan kekuasaan. Analisis ini mengubah narasi dari “Gus Dur adalah tokoh kontroversial yang tidak stabil” menjadi “Gus Dur adalah pemikir strategis yang menggunakan kontroversi untuk menyingkap kegagalan sistemik dan menegakkan prinsip yang ia yakini.”

Warisan dan Relevansi Abadi Pemikiran Gus Dur

Pemikiran Gus Dur tidak hanya hidup dalam tataran ide, tetapi juga terwujud dalam dampak nyata pada tatanan sosial dan politik Indonesia. Warisannya terbentang luas, dari kebijakan hingga gerakan sosial yang berkelanjutan.

Dampak dalam Tatanan Sosial dan Politik

Pemikiran Gus Dur tentang nasionalisme dan multikulturalisme telah mengubah tatanan sosial di Indonesia. Dampak nyata dari pemikirannya adalah terwujudnya kerukunan antar umat beragama dan antar suku. Selain itu, ketika Gus Dur menjadi presiden, pemikirannya juga mampu mengatasi gerakan separatis di Papua dan Aceh, yang ia dekati bukan hanya sebagai masalah politik, tetapi sebagai masalah ketidakadilan dan pengabaian hak-hak warga negara. Pendekatan ini berakar pada teologi humanisnya, di mana ia melihat konflik sebagai akibat dari pengabaian martabat manusia.

Gerakan Gusdurian sebagai Penjaga Nilai

Warisannya juga diteruskan melalui Jaringan Gusdurian, sebuah gerakan sosial yang terus menghidupi semangat toleransi, perdamaian, keadilan, dan kemanusiaan yang diperjuangkan Gus Dur. Gerakan ini menunjukkan bahwa pemikiran Gus Dur telah bertransformasi dari ide menjadi modal sosial yang nyata. Keberadaan Jaringan Gusdurian adalah bukti bahwa gagasan-gagasan Gus Dur telah diinternalisasi oleh masyarakat sipil dan menjadi bagian dari perlawanan terhadap intoleransi.

Relevansi di Era Kontemporer

Pemikiran Gus Dur tetap sangat relevan dalam menghadapi tantangan kontemporer seperti polarisasi politik, radikalisme agama, dan krisis moral. Gagasan-gagasannya tentang pendidikan karakter yang berlandaskan kearifan lokal (indigenization of Islam) dan reformasi pendidikan Islam adalah panduan berharga untuk masa depan. Pemikirannya tentang demokrasi substantif juga terus relevan, mengingat banyak negara demokratis saat ini menghadapi krisis kepercayaan akibat disfungsi institusi dan formalisme prosedural yang mengabaikan kepentingan rakyat.

Kesimpulan: Sintesis Pemikiran dan Arah Masa Depan

Sebagai sintesis dari seluruh analisis, pemikiran Gus Dur adalah sebuah kerangka filosofis yang koheren dan saling terhubung. Teologi humanisme adalah fondasi moral dan spiritualnya. Pluralisme adalah manifestasi sosiologis dari keyakinan tersebut. Sementara itu, demokrasi substantif adalah implementasi politik dari gagasan-gagasannya. Ketiga pilar ini tidak dapat dipahami secara terpisah; mereka adalah bagian dari satu visi besar tentang Indonesia yang adil, manusiawi, dan bersatu.

Gus Dur mengajarkan bahwa keimanan sejati adalah keimanan yang membawa kebaikan, kedamaian, dan keadilan bagi semua orang. Pemikirannya tentang agama dan kemanusiaan, pluralisme, dan demokrasi substantif menjadi teladan abadi. Mempelajari pemikiran Gus Dur bukan hanya sebuah kajian sejarah, tetapi juga sebuah peta jalan bagi Indonesia untuk terus merawat warisan kebhinekaan dan mencapai cita-cita kemanusiaan, keadilan, dan persatuan di masa depan. Meskipun tantangan dalam mengimplementasikan nilai-nilai ini tidak mudah, warisan Gus Dur melalui gerakan sosial seperti Gusdurian menunjukkan bahwa semangatnya terus hidup dan relevan.

Daftar Pustaka :

  1. Ziarah Pemikiran Gus Dur – LPIK, diakses September 3, 2025, https://lpik.unisma.ac.id/ziarah-pemikiran-gus-dur-6/
  2. Warisan Sang Guru Bangsa – GusDur.Net, diakses September 3, 2025, https://gusdur.net/buku-media/warisan-sang-guru-bangsa-2/
  3. SKRIPSI STRATEGI DAKWAH K.H. ABDURRAHMAN WAHID (GUS DUR) DALAM MENEGUHKAN TOLERANSI BERAGAMA OLEH – Repository IAIN PAREPARE, diakses September 3, 2025, https://repository.iainpare.ac.id/id/eprint/5745/1/18.3300.003.pdf
  4. 42 BAB III BIOGRAFI GUS DUR DAN LATAR BELAKANG …, diakses September 3, 2025, http://digilib.uinsa.ac.id/569/4/Bab%203.pdf
  5. BAB II BIOGRAFI ABDURRAHMAN WAHID A. Latar Belakang Sosial …, diakses September 3, 2025, https://etheses.iainkediri.ac.id/532/3/931102409-khoirurrozikin-2013%204bab2.pdf
  6. Abdurrahman Wahid, Pluralitas dan Pluralisme Agama – UIN Gusdur, diakses September 3, 2025, https://www.uingusdur.ac.id/info/abdurrahman-wahid-pluralitas-dan-pluralisme-agama
  7. Gus Dur: Agama Jangan Jauh dari Kemanusiaan – Harian Sulsel, diakses September 3, 2025, https://hariansulsel.com/2024/11/gus-dur-agama-jangan-jauh-dari-kemanusiaan/
  8. Gus Dur on love for fellow humans – NU Online, diakses September 3, 2025, https://nu.or.id/hikmah/gus-dur-on-love-for-fellow-humans-yYrUK
  9. Humanistic Education in Abdurrahman Wahid’s – ResearchGate, diakses September 3, 2025, https://www.researchgate.net/publication/347758791_Humanistic_Education_in_Abdurrahman_Wahid’s
  10. The Da’wah Strategy of Gus Dur: A Model for Promoting Religious Tolerance, diakses September 3, 2025, https://ejurnal.iainpare.ac.id/index.php/continuum/article/download/13157/2624/
  11. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk dengan karunia paling besar yang diberikan oleh Sang Pencipta. M – Repositori Universitas PGRI Delta, diakses September 3, 2025, https://repository.universitaspgridelta.ac.id/1853/2/1887201014-BAB%20I.pdf
  12. PEMIKIRAN POLITIK ABDURRAHMAN WAHID TENTANG …, diakses September 3, 2025, https://www.ejurnal.ubk.ac.id/index.php/communitarian/article/download/141/97
  13. Melacak Pikiran Politik Gusdur Dalam Koran Petisi Tahun 1998- 1999, diakses September 3, 2025, https://e-journal.stai-almaliki.ac.id/index.php/mk/article/download/213/156/737
  14. Pemikiran Gus Dur tentang Nasionalisme dan Multikulturalisme …, diakses September 3, 2025, https://jurnal.ipw.ac.id/index.php/tjantrik/article/view/7
  15. faktor pengaruh pemikiran politik gus dur terhadap ide pembukaan hubungan diplomatik indonesia, diakses September 3, 2025, https://etd.umy.ac.id/26597/1/Naskah%20Publikasi.pdf
  16. Kontroversi Gaya Komunikasi Politik Presiden K.H. Abdurrahman …, diakses September 3, 2025, http://jurnal.unmuhjember.ac.id/index.php/mdk/article/view/1921/0
  17. Bara-bara Perseteruan Politik Gus Dur Berujung Pemakzulan – CNN Indonesia, diakses September 3, 2025, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210722014340-20-670599/bara-bara-perseteruan-politik-gus-dur-berujung-pemakzulan
  18. Relevansi Pemikiran Kh. Abdurrahman Wahid Terhadap Pendidikan Islam di Era Modern, diakses September 3, 2025, https://journal.rumahindonesia.org/index.php/njpi/article/view/29/29

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

CAPTCHA ImageChange Image

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.