Proses perencanaan pembangunan adalah salah satu bentuk rekayasa dalam perubahan sosial masyarakat. Melalui perencanaan dinamika perubahan sosial dapat diarahkan sesuai dengan keinginan, dalam konteks ini adalah pemerintah.
Saat ini banyak hasil kegiatan perencanaan di berbagai daerah di Indonesia mendapat gugatan masyarakat karena rencana itu dinilai tidak sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat karena kebijakan perencanaan pembangunan itu seringkali di dasarkan pada daftar keinginan yang sifatnya instan dan terburu-buru. Misalnya saja, demi alasan politis dan keuntungan pribadi segelintir kelompok
Tetapi ada juga produk-produk perencanaan yang dibuat dengan hanya memperhatikan aspirasi masyarakat secara murni melalui kelembagaan Reses Legislatif dan Musrenbang eksekutife sehingga terkesan meninggalkan kaidah-kaidah akademis dan isu-isu global seperti lingkungan dan Hak Asasi Manusia
Sebagai daerah Kepulauan, Batam adalah Kota yang diprediksi memiliki tingkat kerawanan yang tinggi akibat perubahan iklim. Mulai dari kenaikan muka air laut yang bisa menenggelamkan pulau-pulau kecil, hingga maraknya penyakit menular akibat kenaikan suhu permukaan Bumi.
Demikian juga dengan isu lingkungan, dampak dari polusi laut dan kerusakan lingkungan akibat pembangunan (reklamasi) di pantai-pantai mangrove dan juga diperparah dengan industrilisasi pengerukan pasir, yang bahkan dalam jangka pendek telah menyengsarakan banyak keluarga nelayan. Menurut Informasi yang beredar, proses pembangunan yang mengorbankan lahan pantai mangrove itu dilakukan Pemko Batam untuk meningkatkan Pendapatan daerah, Namun disisi lain, secara teori dan tujaun primernya, proses pembangunan diharapkan harus bisa menaikkan tingkat kesejahteraan rakyat seiring dengan angka produktifitas daerah, dengan kata lain tiap kenaikan pendapatan daerah harus tercermin pula di sisi perbaikan kondisi ekonomi masyarakatnya.
Namun yang terjadi adalah, kenaikan pendapatan daerah tidak signifikan meningkat, namun malah secara signifikan menyengsarakan masyarakat, yang ternyata berdampak mampu merobah status pekerjaan masyarakat, dari nelayan menjadi karyawan pabrik, atau dari nelayan menjadi buruh bangunan,
Secara normatif, seorang perencana harus mampu untuk mengintegrasikan ketiga rasionalitas dalam perencanaan modern yaitu Rasionalitas Teknologi, Rasionalitas Politis dan Rasionalitas Etika secara harmonis dalam menjalankan peran profesionalnya (professional role). Akan tetapi, akan tetap menjadi sebuah pertanyaan besar apabila seorang perencana dihadapkan pada pertentangan pada ketiga nilai tersebut. Adalah sesuatu yang sangat naif apabila ketiga rasionalitas tadi dianggap akan selalu berjalan beriringan. Nilai-nilai etika memang akan sangat bergantung pada mind-set dan faktor-faktor yang membentuk seorang perencana secara dogmatis. Akan tetapi rasionalitas teknis dan politis merupakan dua rasionalitas yang perkembangannya jauh lebih cepat dibanding nilai-nilai etis, mengingat kedua rasionalitas itu merupakan dua hal yang akan sangat bergantung pada kondisi sosio-kultural masyarakat dan isu-isu yang berkembang di masyarakat. Artinya, kedua rasionalitas itu bisa berubah secara sekuensial atau bahkan responsif terhadap apa yang terjadi. Keduanya bahkan bisa saling bertentangan.
Dalam dunia perencanaan dewasa ini, paradigma baru yang berkembang seiring dengan era otonomi daerah adalah paradigma perencanaan partisipatif (participatory planning). Produk-produk rencana di berbagai daerah mendapat gugatan karena rencana itu dinilai tidak sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Tetapi ada juga produk-produk rencana yang dibuat dengan hanya memperhatikan aspirasi masyarakat secara murni sehingga terkesan meninggalkan kaidah-kaidah akademis.
Keduanya bukan merupakan cerminan dari suatu proses perencanaan yang “benar”, dalam pengertian bahwa mungkin paradigma yang dianut perencana dalam proses perencanaan sudah tidak sesuai lagi dengan perubahan sosio-kultural yang terjadi di masyarakat. Seiring dengan berkembangnya iklim partisipatif dalam perencanaan, masyarakat mulai tersadarkan bahwa mereka adalah bagian terpenting dalam proses itu, dan oleh karenanya pelibatan dan partisipasi aktif mereka juga menjadi sesuatu yang esensial.
Hal ini menjadi sebuah dilema baru bagi perencana, sekaligus memaksa perencana untuk merumuskan kembali peranan mereka dalam proses perencanaan itu. Peranan inilah yang nantinya akan menentukan posisi mereka dalam peta perpolitikan yang terjadi dalam konteks perencanaan. Dan secara pragmatis, hal ini jugalah yang akan menentukan, apakah profesi perencana masih menjadi profesi yang dibutuhkan oleh masyarakat atau tidak.