Revolusi Kebudayaan Tiongkok, yang berlangsung dari tahun 1966 hingga 1976, merupakan salah satu gerakan sosio-politik paling signifikan dan merusak dalam sejarah modern. Gerakan ini secara resmi dikenal sebagai Revolusi Kebudayaan Proletariat Agung (Great Proletarian Cultural Revolution) dan digagas oleh pemimpin Partai Komunis Tiongkok (PKT), Mao Zedong. Tujuan utama gerakan ini bukanlah untuk menggulingkan pemerintahan, melainkan untuk menegaskan kembali otoritas Mao dan membersihkan unsur-unsur yang dianggapnya sebagai pengaruh kapitalis dan feodal di dalam masyarakat dan PKT. Laporan ini akan menyajikan analisis mendalam mengenai latar belakang, implementasi, dampak, dan warisan jangka panjang dari peristiwa monumental tersebut.
Latar Belakang dan Genealogis Revolusi
Akar Krisis: Kegagalan Lompatan Jauh ke Depan dan Pergeseran Kekuasaan
Revolusi Kebudayaan tidak muncul dari ruang hampa; ia berakar dari krisis politik dan ekonomi yang mendahuluinya. Setelah berdirinya Republik Rakyat Tiongkok pada tahun 1949, Mao Zedong meluncurkan serangkaian kebijakan radikal untuk mengubah Tiongkok menjadi negara sosialis. Salah satu kebijakan paling ambisius dan destruktif adalah program Lompatan Jauh ke Depan (Great Leap Forward) yang diinisiasi pada tahun 1958. Program ini bertujuan untuk secara paksa mengindustrialisasi pedesaan melalui kolektivisasi pertanian dan pembangunan industri berat, terutama produksi baja, di halaman belakang rumah penduduk.
Namun, program ini gagal total dan menimbulkan bencana. Fokus berlebihan pada industri dengan mengorbankan pertanian menyebabkan kemunduran ekonomi dan kelaparan massal yang menewaskan puluhan juta orang. Kegagalan ini secara signifikan mengikis otoritas Mao dan membuka jalan bagi para pemimpin moderat di PKT, seperti Liu Shaoqi dan Deng Xiaoping, untuk mulai mengonsolidasikan kekuasaan dan menerapkan kebijakan yang lebih pragmatis. Dalam pandangan Maois, kegagalan ekonomi ini tidak diakui sebagai kesalahan kebijakan, melainkan diinterpretasikan sebagai bukti adanya “kaum jalan kapitalis” di dalam partai yang berupaya menyabotase proyek revolusioner dan mengkhianati ideologi komunis. Dengan demikian, krisis ekonomi yang terjadi dimanfaatkan oleh Mao sebagai alat propaganda untuk membenarkan pembersihan politik yang akan datang, mengubah kekalahan politiknya menjadi sebuah platform untuk meluncurkan serangan balasan atas dasar ancaman ideologis yang lebih besar.
Pemicu langsung Revolusi Kebudayaan sering kali dihubungkan dengan sebuah drama sejarah berjudul Hai Rui Dismissed from Office karya Wu Han, seorang intelektual dan wakil wali kota Beijing. Drama ini secara luas diinterpretasikan sebagai kritik terselubung terhadap Mao atas pemecatan Peng Dehuai, seorang jenderal yang berani mengkritik kegagalan Lompatan Jauh ke Depan. Peristiwa ini menunjukkan ketegangan yang meningkat antara Mao dan para pemimpin lain yang lebih moderat, menggarisbawahi urgensi bagi Mao untuk bertindak guna mengamankan kembali posisinya di puncak kekuasaan.
Fondasi Ideologis: “Revolusi Permanen” dan Transformasi Moralitas
Revolusi Kebudayaan adalah manifestasi dari pemikiran Maois yang unik dan pragmatis, yang disesuaikan dengan kondisi Tiongkok. Ideologi ini merupakan percampuran dari pemikiran Marxisme-Leninisme dengan pengalaman perjuangan revolusioner Mao sendiri. Berbeda dengan Marxisme-Leninisme klasik yang menekankan transformasi fisik melalui kontrol sarana produksi, Mao meyakini bahwa perubahan fisik saja tidak cukup untuk menjamin kelangsungan masyarakat baru. Mao berpendapat bahwa transformasi fisik harus diimbangi dengan transformasi moralitas masyarakat. Tujuannya adalah untuk mengubah “kesadaran sosial” masyarakat secara mendalam dan menanamkan ideologi sosialis hingga menjadi gaya hidup (way of life).
Revolusi ini adalah salah satu dari banyak gerakan massa yang merupakan bagian dari konsep “revolusi permanen” Mao, sebuah proses yang berkesinambungan dan menyeluruh. Namun, ironisnya, metode yang digunakan untuk “mengubah kesadaran sosial”—yaitu, penindasan kaum intelektual, penghancuran buku, dan kekuasaan absolut pemimpin—mencerminkan pola-pola otokratis yang telah mengakar kuat dalam sejarah Tiongkok selama ribuan tahun. Praktik-praktik ini, yang telah ada sejak era Kaisar Shih huang-ti pada abad ke-3 SM yang membunuh ratusan sarjana Konfusianisme dan membakar buku-buku untuk menetapkan ideologi yang menguntungkan rezimnya, menunjukkan bahwa Revolusi Kebudayaan, meskipun dipromosikan sebagai sebuah “revolusi” baru, secara fundamental mengandalkan pola-pola otoritarianisme yang telah menjadi tradisi di Tiongkok.
Aktor Kunci dan Perebutan Kekuasaan dalam Partai
Pada intinya, Revolusi Kebudayaan adalah sebuah perebutan kekuasaan yang dipimpin oleh Mao untuk “menghantam musuh-musuhnya dalam kelas penguasa”. Gerakan ini secara resmi dicanangkan pada pertemuan Komite Sentral ke-8 pada tahun 1966 dengan 16 poin resolusi sebagai petunjuk tindakan bagi rakyat. Tokoh-tokoh sentral dalam gerakan ini adalah Mao Zedong sendiri, dan ia didukung oleh Lin Biao, seorang tokoh militer kunci yang menjadi penerus yang ditunjuk, serta Jiang Qing, istri Mao.
Para pemimpin moderat dan senior yang dianggap sebagai ancaman, termasuk Liu Shaoqi (Presiden RRT saat itu) dan Deng Xiaoping, disingkirkan dari posisi kekuasaan dan menjadi korban pembersihan politik. Dinamika kekuasaan di dalam PKT selama periode ini sangat kompleks dan penuh intrik, di mana aliansi dan faksi berubah-ubah seiring berjalannya waktu.
Tabel di bawah ini memberikan gambaran ringkas mengenai peran para tokoh kunci selama periode yang bergejolak ini.
| Tokoh Kunci | Posisi Sebelum/Selama Revolusi | Peran dan Nasib |
| Mao Zedong | Ketua PKT, Pemimpin Tiongkok | Inisiator dan dalang utama Revolusi Kebudayaan untuk mengembalikan otoritasnya. |
| Lin Biao | Menteri Pertahanan, Penerus Mao | Tokoh militer yang menjadi pemimpin revolusi dan pendukung setia Mao, namun ambisinya berujung pada kejatuhannya pada tahun 1971. |
| Jiang Qing | Anggota Kelompok Empat | Istri Mao dan salah satu pemimpin utama revolusi, mengarahkan kebijakan budaya radikal. |
| Liu Shaoqi | Presiden RRT | Ditargetkan sebagai “kaum jalan kapitalis” terkemuka, disingkirkan, dan meninggal dalam tahanan. |
| Deng Xiaoping | Sekretaris Jenderal PKT | Juga menjadi target pembersihan, disingkirkan dari kekuasaan dan diasingkan, namun kembali memimpin setelah kematian Mao. |
| Zhou Enlai | Perdana Menteri RRT | Berperan sebagai kekuatan moderat, berupaya mengurangi tindakan destruktif dan melindungi orang-orang dari kekerasan Gardu Merah. |
Dinamika Internal dan Implementasi Revolusi
Garda Merah: Instrumen Mobilisasi dan Kekerasan Massa
Revolusi Kebudayaan tidak akan berhasil tanpa mobilisasi massa yang brutal, dan instrumen utamanya adalah Gardu Merah (Red Guards). Mao Zedong memobilisasi jutaan pemuda, terutama pelajar dan mahasiswa yang berusia antara 12 hingga 30 tahun, untuk membentuk kelompok-kelompok Gardu Merah. Kelompok-kelompok ini, yang mengenakan jaket hijau dan sabuk lengan merah, menjadi garda terdepan dalam kampanye revolusi.
Kaum muda ini diberi tugas untuk menyerang dan menghancurkan “Empat Lama” (Four Olds): ide lama, budaya lama, kebiasaan lama, dan tradisi lama. Mereka menargetkan guru, kaum intelektual, pejabat partai, dan siapa pun yang dianggap sebagai “kaum borjuis” atau “musuh politik”. Sekolah dan universitas ditutup secara massal selama periode ini, menghentikan pendidikan formal dan mengirimkan seluruh generasi pelajar ke dalam kancah kekerasan.
Mobilisasi pemuda secara massal bukan hanya taktik ideologis, tetapi juga senjata politik yang sangat canggih. Dengan mengarahkan energi kaum muda yang tidak memiliki pekerjaan atau pendidikan formal, Mao menciptakan kekuatan yang tidak terikat pada struktur kekuasaan atau aturan partai yang ada. Kekerasan Gardu Merah yang lepas kendali berhasil mengganggu stabilitas sosial, memecah belah faksi partai, dan secara efektif membersihkan lawan-lawan Mao dari bawah ke atas. Poster bertulisan besar, yang dikenal sebagai dazibao, digunakan secara luas sebagai alat propaganda dan untuk mencela orang-orang yang dicurigai.
“Empat Lama”: Kampanye Penghancuran Budaya dan Sejarah
Kampanye untuk menghancurkan “Empat Lama” adalah inti dari Revolusi Kebudayaan. Di bawah panji revolusi, Gardu Merah melakukan penjarahan dan penghancuran besar-besaran terhadap gereja, kuil, perpustakaan, toko, dan rumah-rumah. Ini tidak hanya merupakan tindakan vandalisme, tetapi juga sebuah upaya sistematis untuk memutus hubungan generasi muda dari masa lalu mereka dan menjadikan Maoisme sebagai satu-satunya landasan ideologis.
Kampanye ini menyebabkan kerusakan budaya yang tak terhitung, di mana banyak artefak bersejarah, manuskrip kuno, dan situs keagamaan dihancurkan. Diperkirakan antara 500.000 hingga 2 juta orang tewas akibat kekerasan yang terjadi. Selain itu, puluhan juta orang dianiaya, dan banyak di antaranya dipaksa bunuh diri sebagai akibat dari hukuman publik dan pelecehan.
Kehancuran dan Intervensi Tentara Pembebasan Rakyat (PLA)
Ketika gerakan ini mencapai puncaknya, Revolusi Kebudayaan berubah menjadi kekacauan dan anarkisme yang tak terkendali. Faksi-faksi Gardu Merah yang berbeda mulai saling bertikai, yang sering kali berujung pada bentrokan bersenjata yang meluas. Situasi ini mengancam stabilitas negara dan memaksa Mao untuk meminta intervensi Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) pada tahun 1967 untuk memulihkan ketertiban. Meskipun intervensi ini berhasil meredakan kekerasan, hal ini juga memicu konflik internal di dalam militer itu sendiri dan menandai pergeseran kekuasaan yang signifikan dari Gardu Merah ke PLA.
Dampak Multidimensi Revolusi Kebudayaan
Stagnasi Ekonomi dan Disrupsi Sosial
Revolusi Kebudayaan membawa Tiongkok ke dalam kekacauan dan anarkisme, yang mengakibatkan kerugian besar di seluruh sektor masyarakat. Secara ekonomi, gerakan ini menyebabkan stagnasi yang parah. Fokus pada perjuangan politik mengalihkan sumber daya dan tenaga kerja dari pembangunan ekonomi, menyebabkan produksi industri turun drastis, hingga 12% pada tahun 1968. Meskipun sektor pertanian tidak mengalami penurunan yang drastis, pertumbuhannya terhambat, memperburuk kondisi yang sudah ada dari Lompatan Jauh ke Depan.
Peristiwa ini menunjukkan bahwa ketika ideologi ekstrem ditempatkan di atas kepentingan pragmatis seperti stabilitas ekonomi, hasilnya adalah kekacauan dan kemunduran. Kebijakan Mao yang menekankan perjuangan kelas tanpa henti, pada akhirnya, melemahkan fondasi ekonomi yang diperlukan untuk membangun masyarakat sosialis yang kuat. Kondisi ini kemudian menjadi alasan utama bagi Deng Xiaoping untuk mengusung reformasi ekonomi yang jauh lebih pragmatis di masa depan.
Transformasi Pendidikan dan Gerakan Turun ke Pedesaan
Salah satu dampak paling signifikan dari Revolusi Kebudayaan adalah disrupsi total pada sistem pendidikan. Sekolah dan universitas ditutup selama bertahun-tahun, secara efektif menghentikan pendidikan formal bagi seluruh generasi muda. Sebagai respons terhadap krisis sosial yang diciptakan oleh Revolusi itu sendiri—termasuk meningkatnya pengangguran di perkotaan—Mao memberlakukan kebijakan “Gerakan Naik ke Pegunungan dan Turun ke Pedesaan” pada akhir 1960-an dan awal 1970-an.
Sekitar 17 juta pemuda kota dikirim ke daerah pedesaan untuk “belajar dari para tenaga kerja dan petani”. Gerakan ini memiliki dua tujuan: menanamkan nilai-nilai proletar dan menghancurkan pola pikir “borjuis” di kalangan pemuda, serta menyelesaikan masalah praktis seperti pengangguran di perkotaan. Yang menarik, kebijakan serupa—mendorong kaum muda berpendidikan untuk bekerja di pedesaan—masih diusung oleh pemerintah Tiongkok modern untuk mengatasi masalah pengangguran, menunjukkan bahwa pola kebijakan sosial Tiongkok dalam menghadapi krisis ekonomi dan demografi memiliki resonansi sejarah yang kuat.
Trauma Kemanusiaan dan Kehancuran Budaya
Revolusi Kebudayaan menimbulkan trauma kolektif yang mendalam dan kerugian kemanusiaan yang besar. Jutaan orang dianiaya, dan banyak yang menjadi korban penahanan, kerja paksa, dan kekerasan yang tak terkatakan. Kaum intelektual, seniman, dan guru menjadi target utama, dianggap sebagai ancaman karena pemikiran mereka yang bisa menantang kaum sosialis. Tradisi dan nilai-nilai Konfusianisme, yang menjadi fondasi masyarakat Tiongkok selama ribuan tahun, dihancurkan, dan kepercayaan sosial terkikis.
Namun, di tengah represi politik yang ekstrem, muncul genre seni baru yang aneh dan indah, seperti “puisi samar” (Menglongshi), yang menggunakan simbolisme dan metafora untuk mengekspresikan kesedihan dan kekecewaan para penyair. Puisi-puisi ini adalah contoh dari bagaimana para seniman, yang tidak lagi bisa mengkritik secara terbuka, menemukan cara untuk menyembunyikan sentimen mereka dalam karya seni. Hal ini menunjukkan ketahanan budaya dan spirit kemanusiaan yang terus mencari cara untuk mengekspresikan diri di hadapan penindasan ekstrem.
Warisan dan Reinterpretasi Pasca-Mao
Berakhirnya Revolusi dan Kebangkitan Deng Xiaoping
Revolusi Kebudayaan secara resmi berakhir dengan kematian Mao Zedong pada tahun 1976 dan penangkapan “Kelompok Empat,” yang terdiri dari Jiang Qing dan para pengikut radikal Mao. Kematian Mao membuka jalan bagi perebutan kekuasaan, dan Deng Xiaoping, yang sebelumnya telah dipurifikasi dan diasingkan, kembali berkuasa. Deng memanfaatkan kekacauan dan kemunduran yang disebabkan oleh revolusi untuk mengonsolidasikan kekuasaannya dan mengkritik kebijakan Mao.
Interpretasi Resmi Tiongkok Modern dan Implikasi Politik
Pemerintah Tiongkok pasca-Mao secara resmi menginterpretasikan Revolusi Kebudayaan sebagai sebuah “kesalahan serius” yang “bertanggung jawab atas kerugian dan penderitaan terberat sejak berdirinya Republik Rakyat Tiongkok”. Di bawah kepemimpinan Deng Xiaoping, Tiongkok meluncurkan Reformasi Ekonomi pada tahun 1978, yang secara fundamental mengubah arah pembangunan negara.
Kebijakan utama Deng adalah “Empat Modernisasi,” yang meliputi modernisasi di bidang pertanian, industri, ilmu pengetahuan & teknologi, dan pertahanan militer. Dia juga meluncurkan kebijakan “Pintu Terbuka” untuk menjalin hubungan dengan negara lain dan menarik investasi asing. Kebijakan-kebijakan ini secara diametral berlawanan dengan idealisme politik Mao yang mengorbankan pertumbuhan ekonomi demi perjuangan kelas. Slogan Deng, “Tidak peduli kucing itu hitam atau putih, selama ia bisa menangkap tikus, ia adalah kucing yang baik,” secara efektif menyimpulkan pergeseran paradigma dari ideologi ke pragmatisme ekonomi. Dengan mendeklarasikan Revolusi Kebudayaan sebagai sebuah “kesalahan,” partai mempertahankan legitimasinya sambil membenarkan perubahan haluan total dalam kebijakan.
Warisan Jangka Panjang
Warisan Revolusi Kebudayaan tidak hanya terbatas pada kebijakan ekonomi pasca-Mao, tetapi juga membentuk masyarakat Tiongkok modern. Gerakan ini menghancurkan nilai-nilai Konfusianisme, tradisi, dan loyalitas keluarga, menciptakan trauma kolektif yang mendalam di kalangan warga. Erosi kepercayaan pada institusi dan otoritas lama, digabungkan dengan penderitaan yang tak terhitung, telah membentuk generasi berikutnya.
Saat ini, masyarakat Tiongkok sangat berfokus pada pragmatisme dan mobilitas sosial-ekonomi sebagai pengganti idealisme politik yang gagal pada masa Revolusi Kebudayaan. Peristiwa ini memberikan justifikasi historis bagi PKT untuk meninggalkan dogmatisme Maois dan mengadopsi model pembangunan yang berfokus pada ekonomi pasar. Warisan negatif Revolusi Kebudayaan secara langsung membentuk kebijakan pragmatis yang membawa Tiongkok ke posisinya saat ini sebagai kekuatan ekonomi global.
Tabel di bawah ini membandingkan secara visual dan naratif dua periode yang sangat berbeda dalam sejarah Tiongkok, menyoroti bagaimana warisan negatif Revolusi Kebudayaan secara langsung membentuk kebijakan pragmatis yang membawa Tiongkok ke posisinya saat ini sebagai kekuatan ekonomi global.
| Aspek | Era Mao (1966-1976) | Era Deng (1978-dan seterusnya) |
| Fokus Utama | Perjuangan Kelas dan Ideologi | Pembangunan Ekonomi dan Pragmatisme |
| Sektor Ekonomi | Prioritas pada Industri Baja (melalui Lompatan Jauh ke Depan) | Empat Modernisasi (pertanian, industri, IPTEK, pertahanan) |
| Sistem Pertanian | Komune Rakyat (kolektif) | Sistem Tanggung Jawab (petani dapat menjual hasil panen) |
| Hubungan Internasional | Isolasi dan konfrontasi | Kebijakan Pintu Terbuka dan keterlibatan global |
| Penanganan Intelektual | Pembersihan dan penindasan | Inovasi dan pendidikan sebagai pilar modernisasi |
Kesimpulan
Revolusi Kebudayaan Tiongkok adalah sebuah peristiwa kompleks yang merupakan hasil dari pergulatan politik internal di dalam PKT, kegagalan kebijakan ekonomi, dan keinginan Mao Zedong untuk mengamankan kembali kekuasaannya. Alih-alih mencapai tujuannya untuk menciptakan masyarakat sosialis yang murni, gerakan ini malah menimbulkan kekacauan, stagnasi ekonomi, kehancuran budaya, dan trauma kolektif yang mendalam.
Meskipun Revolusi Kebudayaan merupakan sebuah kegagalan yang membawa penderitaan luar biasa bagi jutaan orang, warisannya secara paradoks memberikan justifikasi yang diperlukan bagi PKT untuk melakukan reformasi radikal di bawah kepemimpinan Deng Xiaoping. Dengan secara tegas mengutuk Revolusi Kebudayaan sebagai sebuah “kesalahan,” partai mempertahankan legitimasinya sambil mengadopsi model pembangunan ekonomi yang pragmatis dan berorientasi pasar. Dengan demikian, peristiwa-peristiwa brutal pada satu dekade ini tidak hanya membentuk kembali Tiongkok secara mendalam, tetapi juga secara tidak langsung membuka jalan bagi Tiongkok modern untuk menjadi kekuatan ekonomi global yang kita kenal sekarang. Revolusi Kebudayaan menjadi pengingat yang kuat tentang bahaya ekstremisme ideologis dan pentingnya pragmatisme dalam tata kelola negara.
Daftar Pustaka :
- The Cultural Revolution – The National Archives, accessed September 4, 2025, https://www.nationalarchives.gov.uk/education/resources/the-cultural-revolution/
- Revolusi Kebudayaan Tiongkok: Sebuah Periode Kelam dalam Sejarah Tiongkok – Indonesiana.id, accessed September 4, 2025, https://www.indonesiana.id/read/177336/ns
- Konsep Revolusi Kebudayaan Menurut Mao Zedong, accessed September 4, 2025, https://media.neliti.com/media/publications/228475-konsep-revolusi-kebudayaan-menurut-mao-z-a0617b94.pdf
- Revolusi Kebudayaan yang Ganas Berakar dari Sikap Antikritik Mao – Tirto.id, accessed September 4, 2025, https://tirto.id/revolusi-kebudayaan-yang-ganas-berakar-dari-sikap-antikritik-mao-ftZ6
- 1966 Tiongkok Umumkan Revolusi Kebudayaan – Media Indonesia, accessed September 4, 2025, https://mediaindonesia.com/humaniora/61314/1966-tiongkok-umumkan-revolusi-kebudayaan
- Kanibalisme Guangxi Akibat Tragedi Revolusi Kebudayaan Tiongkok 1966 – Semua Halaman – National Geographic Indonesia, accessed September 4, 2025, https://nationalgeographic.grid.id/read/133712644/kanibalisme-guangxi-akibat-tragedi-revolusi-kebudayaan-tiongkok-1966?page=all
- biografi-mao-zedong – Dinas Perpustakaan dan Arsip Kabupaten …, accessed September 4, 2025, https://pustakaarsip.kamparkab.go.id/artikel-detail/1241/biografi-mao-zedong
- Revolusi Budaya: Pengertian, Faktor Penyebab, Proses, dan Contohnya – Kompas.com, accessed September 4, 2025, https://www.kompas.com/skola/read/2021/07/07/135219869/revolusi-budaya-pengertian-faktor-penyebab-proses-dan-contohnya?page=all
- Chinese Cultural Revolution | EBSCO Research Starters, accessed September 4, 2025, https://www.ebsco.com/research-starters/history/chinese-cultural-revolution
- Konfusianisme sebagai Sabuk Pengaman RRT – UI Scholars Hub, accessed September 4, 2025, https://scholarhub.ui.ac.id/cgi/viewcontent.cgi?article=1059&context=paradigma
- DAMPAK SOSIAL DAN POLITIK REFORMASI EKONOMI ERA DENG XIAOPING TAHUN 1978-19921 Salsa Adelia Fertasari2, Arief Musadad3, Isawati4, accessed September 4, 2025, https://jurnal.uns.ac.id/candi/article/download/72333/40035
- CENDIKIA PENDIDIKAN – WARUNAYAMA, accessed September 4, 2025, https://ejournal.warunayama.org/index.php/sindorocendikiapendidikan/article/download/1260/1189/3982
- Makalah REVOLUSI KEBUDAYAAN RRC | PDF – Scribd, accessed September 4, 2025, https://id.scribd.com/document/536616381/makalah-REVOLUSI-KEBUDAYAAN-RRC
- Dampak Sosial dan Ekonomi Revolusi Kebudayaan dalam Novelet Tòumíng de Hóng Luóbo 透明的红萝卜Wortel Bening Karya Mo Yan 莫言 – repository, accessed September 4, 2025, http://repository.unsada.ac.id/6044/
- Digital Repository Universitas Jember Digital Repository Universitas Jember, accessed September 4, 2025, https://repository.unej.ac.id/xmlui/bitstream/handle/123456789/72803/FIFI%20ANGGRAENI%20%20cover%20123.pdf?sequence=1&isAllowed=y
- Apakah kesan jangka panjang Revolusi Kebudayaan terhadap budaya dan warisan China? : r/AskHistorians – Reddit, accessed September 4, 2025, https://www.reddit.com/r/AskHistorians/comments/2mt464/what_was_the_longterm_impact_of_the_cultural/?tl=ms
- Paradigma: Jurnal Kajian Budaya Menglongshi 朦胧诗 dan Revolusi Kebudayaan Cina – UI Scholars Hub, accessed September 4, 2025, https://scholarhub.ui.ac.id/cgi/viewcontent.cgi?article=1103&context=paradigma