Sebuah Prosa tentang Pajak dan Kesejahteraan yang Terkikis

Senja perlahan merayap, menyelimuti gubuk sederhana di sudut kota. Di dalamnya, sepasang suami istri duduk berhadapan, tatapan mereka terpaku pada lembaran tagihan yang berserakan di meja reyot. Lampu pijar yang redup menyoroti kerutan di dahi mereka, jejak kekhawatiran yang tak terucapkan. Setiap angka di sana, setiap baris pengeluaran, terasa seperti beban berat yang menindih pundak, sebuah pengingat akan perjuangan tak berkesudahan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Di luar, hiruk pikuk kota seolah tak peduli pada kecemasan yang merayap pelan di setiap rumah tangga, kecemasan yang tak kasat mata namun begitu nyata: tekanan finansial yang kian mencekik.

Kisah ini adalah cerminan dari “susahnya masyarakat” ketika fokus utama pemerintah beralih pada pengelolaan “isi dompet, properti, dan rekening bank” warganya. Sebuah narasi tentang bagaimana rakyat, secara efektif, menjadi sumber penerimaan utama negara. Pendekatan ini, meskipun seringkali dibenarkan dengan retorika pembangunan nasional dan stabilitas fiskal, seringkali berujung pada kesulitan yang nyata dan seringkali tidak proporsional bagi warga negara biasa. Laporan ini bertujuan untuk mengurai lapisan-lapisan kompleks kesulitan yang dihadapi masyarakat Indonesia, seiring kebijakan fiskal yang semakin bersandar pada kekayaan dan konsumsi individu. Ini akan mengeksplorasi dampak ekonomi, sosial, dan psikologis yang mendalam yang ditimbulkan pada penduduk, sambil merenungkan erosi bertahap dari kontrak sosial fundamental antara negara dan warganya.

Bab I: Jerat Angka di Setiap Lini Kehidupan

Bagian ini akan merinci mekanisme spesifik di mana kebijakan pemerintah memengaruhi keuangan individu, menggambarkan sifat pajak yang meresap dan seringkali kumulatif pada aset warga negara dan transaksi sehari-hari.

1.1. Pajak Properti: Rumah Bukan Lagi Sekadar Tempat Tinggal

Properti, yang seringkali dipandang sebagai landasan stabilitas, keamanan, dan warisan antargenerasi, secara paradoks telah menjadi sumber beban finansial yang tak henti-hentinya akibat lapisan pajak yang bertumpuk dan saling melengkapi. Sebuah rumah, yang seharusnya menjadi tempat berlindung, kini terasa seperti labirin angka yang tak berujung.

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) merupakan kewajiban finansial tahunan yang tak terhindarkan bagi pemilik properti. Pajak ini dihitung berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang ditetapkan oleh pemerintah daerah. Sebagai gambaran, untuk sebuah properti dengan NJOP Rp 800.000.000, pemilik wajib menyisihkan Rp 1.600.000 setiap tahunnya dengan tarif 0,2%. Ini adalah pengeluaran rutin yang harus dianggarkan di samping biaya hidup lainnya.

Bahkan tindakan menjual properti, baik untuk peningkatan, pengurangan ukuran, atau relokasi, memicu pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) atas keuntungan penjualan properti, yang umumnya sebesar 2,5% dari nilai bruto penjualan. Sebagai contoh, penjualan properti senilai Rp 1.000.000.000 dapat menghasilkan PPh sebesar Rp 25.000.000. Jumlah ini secara signifikan mengurangi keuntungan yang diharapkan dari penjualan, seringkali memaksa individu untuk mengkalkulasi ulang rencana finansial mereka.

Selain itu, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) menjadi biaya awal yang substansial saat akuisisi properti, baik melalui pembelian maupun warisan. Pajak ini umumnya sebesar 5% dari nilai transaksi atau NJOP, mana yang lebih tinggi, dan harus dilunasi sebelum proses legalisasi peralihan hak. Sebuah transaksi properti senilai Rp 1.000.000.000 akan dikenakan BPHTB sebesar Rp 50.000.000, sebuah angka yang tidak sedikit untuk sebagian besar masyarakat.

Bea Balik Nama (BBN) menambah daftar panjang biaya. Ini adalah biaya administratif untuk mentransfer sertifikat properti, biasanya sebesar 2% dari nilai jual atau NJOP, yang ditanggung oleh pembeli. Untuk properti yang sama senilai Rp 1.000.000.000, BBN akan mencapai Rp 20.000.000.

Terakhir, meskipun Pajak Pertambahan Nilai (PPN) umumnya berlaku untuk properti komersial, PPN sebesar 10% dari harga jual juga dapat dikenakan pada properti residensial, terutama yang baru dijual oleh pengembang. Meskipun ada pembebasan PPN sementara untuk pembelian rumah di bawah Rp 2 miliar hingga Juni 2024 , hal ini hanya menunda beban pajak yang mendasarinya, bukan menghilangkannya.

Jumlah dan sifat kumulatif pajak properti ini menciptakan hambatan finansial yang signifikan terhadap kepemilikan properti dan mobilitas, menjadikan perumahan sebagai sumber kecemasan finansial yang konstan, bukan sekadar aset yang aman. Ketika seseorang terlibat dalam transaksi properti, mereka tidak hanya dikenakan satu jenis pajak, melainkan serangkaian pungutan yang berjenjang: BPHTB dan BBN saat pembelian, PBB setiap tahun selama kepemilikan, dan PPh atas keuntungan modal saat penjualan. Sifat sementara dari pembebasan PPN juga berarti beban ini pada akhirnya akan kembali.

Penumpukan pajak multi-tahap ini menciptakan apa yang dapat digambarkan sebagai “jebakan likuiditas” bagi individu. Sebagian besar modal yang diperoleh dengan susah payah, baik dari tabungan maupun hasil penjualan, dialihkan ke negara. Hal ini secara langsung mengurangi dana yang tersedia untuk investasi produktif lainnya, konsumsi, atau bahkan tabungan darurat. Akibatnya, pengurasan finansial kumulatif ini dapat secara signifikan menghambat mobilitas ekonomi. Ini membuat sulit bagi individu untuk meningkatkan rumah mereka seiring bertambahnya keluarga, atau mengurangi ukuran rumah saat pensiun tanpa menimbulkan kerugian finansial yang besar. Hal ini juga dapat mengurangi insentif untuk berinvestasi di sektor real estat bagi warga negara biasa, berkontribusi pada perasaan umum bahwa mereka “terjebak” secara finansial atau terus-menerus dibebani oleh aset yang seharusnya memberikan stabilitas.

Untuk menggambarkan secara lebih jelas beban kumulatif ini, berikut adalah simulasi contoh:

Tabel 1: Contoh Simulasi Beban Pajak pada Transaksi Properti

Jenis Pajak/Bea Basis Perhitungan Tarif (%) Contoh Nilai Properti (Harga Jual/NJOP) Jumlah Pajak/Bea (Rp)
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) NJOP 0,2% Rp 800.000.000 Rp 1.600.000
PPh Penjualan Properti Harga Jual Bruto 2,5% Rp 1.000.000.000 Rp 25.000.000
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Harga Jual/NJOP (mana yang lebih tinggi) 5% Rp 1.000.000.000 Rp 50.000.000
Bea Balik Nama (BBN) Harga Jual/NJOP (mana yang lebih tinggi) 2% Rp 1.000.000.000 Rp 20.000.000
PPN Properti Komersial/Baru (jika berlaku) Harga Jual 10% Rp 1.000.000.000 Rp 100.000.000
Total Kumulatif Pajak/Bea (Estimasi) Rp 196.600.000

Simulasi ini menunjukkan bagaimana sebuah transaksi properti sederhana dapat membebani individu dengan jumlah pajak dan bea yang sangat besar, secara signifikan mengurangi daya beli mereka dan kemampuan untuk mengalokasikan dana untuk kebutuhan lain.

1.2. Pajak Penghasilan dan Konsumsi: Mengikis Daya Beli Harian

Pergeseran fokus selanjutnya adalah pada bagaimana pajak secara langsung meresap dan mengurangi kapasitas finansial untuk kehidupan sehari-hari dan pola konsumsi, memengaruhi setiap rumah tangga. Pajak ini bukan sekadar potongan, melainkan serangan langsung terhadap daya beli warga, terutama mereka yang berpenghasilan rendah dan menengah.

Pajak Penghasilan (PPh) yang tinggi secara langsung mengurangi pendapatan bersih atau pendapatan disposabel individu, menyisakan jauh lebih sedikit uang yang tersedia untuk konsumsi esensial dan pengeluaran diskresioner. Pengurangan langsung ini secara tak terhindarkan menyebabkan kontraksi dalam konsumsi rumah tangga secara keseluruhan.

Di sisi lain, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang meresap pada sebagian besar barang dan jasa, memengaruhi hampir setiap transaksi. PPN memiliki sifat regresif, yang berarti secara tidak proporsional membebani individu berpenghasilan rendah karena mereka cenderung menghabiskan persentase yang lebih besar dari total pendapatan mereka untuk konsumsi dibandingkan dengan kelompok berpenghasilan lebih tinggi.

Pembahasan mengenai kenaikan tarif PPN, misalnya menjadi 12% pada 1 Januari 2025, menunjukkan bagaimana kebijakan ini secara langsung berarti harga yang lebih tinggi di seluruh spektrum barang dan jasa, mulai dari kebutuhan pokok seperti makanan dan pakaian hingga barang elektronik yang lebih mahal. Hal ini memaksa kelompok berpenghasilan menengah ke bawah untuk membuat pilihan sulit, seringkali mengurangi konsumsi barang yang dianggap kurang penting dan secara ketat berfokus pada kebutuhan dasar.

Beban pajak yang meningkat ini seringkali memicu tekanan inflasi, karena produsen dan distributor cenderung meneruskan beban kenaikan tarif pajak langsung kepada konsumen akhir. Inflasi yang meningkat ini lebih lanjut mengikis daya beli masyarakat secara keseluruhan, terutama jika kenaikan harga tidak diimbangi dengan kenaikan pendapatan yang sesuai.

Identifikasi PPN sebagai pajak regresif  sangatlah penting. Ini berarti bahwa meskipun PPN terlihat sebagai pajak universal, dampaknya jauh lebih terasa oleh masyarakat miskin, yang menghabiskan proporsi pendapatan mereka yang lebih besar untuk barang-barang yang dikenakan pajak. Ketika pajak konsumsi regresif ini digabungkan dengan pajak penghasilan yang tinggi  hal ini menciptakan tekanan finansial ganda pada pendapatan disposabel. Kondisi ini mengarah pada pengurangan signifikan dalam konsumsi secara keseluruhan, terutama untuk barang-barang diskresioner. Penurunan konsumsi agregat yang berkelanjutan, pada gilirannya, dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Ini menciptakan situasi paradoks di mana tindakan memaksimalkan penerimaan negara melalui pajak berbasis luas secara tidak sengaja menghambat aktivitas ekonomi penduduk, yang merupakan pendorong utama pendapatan tersebut. Kebutuhan pemerintah untuk “menambal defisit” dengan memperluas basis pajak hingga ke aktivitas ekonomi terkecil (seperti UMKM) semakin mengintensifkan tekanan ini.

Kebijakan fiskal yang sangat bergantung pada pajak regresif dan pajak penghasilan yang tinggi berisiko memperburuk ketidaksetaraan sosial, menghambat pertumbuhan ekonomi domestik, dan menimbulkan perasaan tercekik secara finansial yang meluas di kalangan penduduk. Ini secara langsung bertentangan dengan cita-cita “ekonomi kerakyatan”  dan “kesejahteraan rakyat”  yang secara nominal ingin dicapai oleh pemerintah, menciptakan ketidaksesuaian antara niat kebijakan dan realitas hidup yang dialami.

Bab II: Ketika Rakyat Menjadi Sumber Utama Penerimaan Negara

Bagian ini akan menganalisis ketergantungan struktural negara pada pendapatan yang berasal dari warga negara, memeriksa implikasi dari ketergantungan ini dan alasan di balik kebijakan pemerintah, seringkali mengkontraskannya dengan persepsi publik.

2.1. Angka-Angka di Balik Beban: Ketergantungan APBN pada Pajak

Dari sudut pandang pemerintah, pajak merupakan “alat yang tidak terelakkan dalam sistem ekonomi modern” , berfungsi sebagai “sumber pendapatan bagi pemerintah Indonesia”  yang fundamental. Pendapatan ini, menurut argumen, sangat penting untuk membiayai berbagai layanan publik, proyek infrastruktur, dan program perlindungan sosial.

Data konkret menggarisbawahi ketergantungan ini: pada tahun 2023, penerimaan pajak ditargetkan mencapai angka mengejutkan Rp 1.718 triliun, yang merupakan bagian terbesar dari total APBN sebesar Rp 2.463 triliun, sehingga mengukuhkan posisinya sebagai “penopang terbesar APBN di Indonesia”. Tren peningkatan target penerimaan pajak dari Rp 1.072,11 triliun pada tahun 2020 hingga target ambisius Rp 2.189,31 triliun pada tahun 2025 semakin menyoroti ketergantungan ini. Tinjauan historis singkat menunjukkan tren rasio pajak (penerimaan pajak terhadap PDB) yang konsisten meningkat, rata-rata 10,53% dari 1990-2007 dan mencapai 13,01% pada tahun 2007. Rasio saat ini sebesar 10,21% pada tahun 2023, yang masih di bawah standar Bank Dunia sebesar 15% , dapat mendorong pemerintah untuk terus mengejar kebijakan peningkatan pendapatan.

Slogan resmi, “pajak dari rakyat untuk rakyat,” ditegaskan sebagai cita-cita pemerintah. Konsep pajak sebagai “Lokasamgraha” (pelindung dari krisis) dan perannya dalam mendanai program-program spesifik seperti “Makan Bergizi Gratis” (MBG) disajikan untuk menggambarkan dampak positif yang dimaksudkan.

Target pajak pemerintah yang terus meningkat  dan deklarasi pajak sebagai “penopang terbesar APBN”  dengan jelas menunjukkan adanya keharusan fiskal yang kuat. Keharusan ini, meskipun dibingkai sebagai hal yang esensial untuk “pembangunan” nasional dan “stabilitas ekonomi” , dalam praktiknya dapat mengarah pada implementasi kebijakan yang secara tidak sengaja memprioritaskan perolehan pendapatan mentah di atas kesejahteraan ekonomi dan daya beli langsung penduduk. Ketegangan utama muncul dari ketidaksesuaian antara cita-cita pemerintah “pajak dari rakyat untuk rakyat”  dan pengalaman hidup masyarakat yang “susahnya masyarakat” (sesuai pertanyaan pengguna). Kesenjangan ini seringkali disebabkan oleh sifat manfaat pajak yang tidak langsung dan seringkali menyebar (misalnya, infrastruktur, program sosial) yang tidak dirasakan atau dipersepsikan secara langsung oleh warga negara sebagai hal yang lebih besar daripada beban langsung dan segera pembayaran. Hal ini menciptakan konflik mendasar antara stabilitas makro-ekonomi yang dikejar oleh pemerintah dan perjuangan serta kecemasan mikro-ekonomi yang dialami oleh rumah tangga individu.

Ketergantungan yang besar dan terus meningkat pada penerimaan pajak, terutama jika tidak disertai dengan manfaat langsung yang dirasakan, transparansi yang jelas, atau akuntabilitas yang kuat dalam penggunaannya, berisiko mengubah “kontrak sosial” perpajakan yang implisit menjadi beban satu sisi. Hal ini dapat menimbulkan ketidakpuasan publik yang mendalam, meskipun niat mulia pemerintah untuk kemajuan nasional. Ini juga mengisyaratkan bentuk “ekstraksi fiskal” di mana kesehatan finansial negara dan tujuan pembangunan yang ambisius lebih diutamakan, berpotensi mengorbankan kesehatan dan stabilitas finansial langsung warganya.

2.2. Perluasan Objek Pajak: Dari UMKM hingga Amplop Pernikahan

Bagian ini menyoroti kebijakan kontroversial baru-baru ini yang secara jelas menunjukkan pengejaran pendapatan pemerintah yang agresif dari sumber-sumber baru, yang sebelumnya tidak dikenakan pajak, atau tidak konvensional, seringkali menyentuh sendi-sendi kehidupan sehari-hari.

Narasi ini memperkenalkan sentimen publik yang kuat dan sarat emosi yang terangkum dalam frasa “rakyat dijadikan ‘sapi perah'”. Analogi ini secara gamblang mencerminkan perasaan luas dieksploitasi dan diperas habis-habisan untuk menutupi defisit pemerintah, menciptakan rasa beban yang tidak adil.

Contoh-contoh spesifik yang memicu protes dan perdebatan publik yang signifikan akan dirinci:

  • Pelaku Usaha Online & Pekerja Digital: Perluasan pajak ke pedagang yang beroperasi di platform e-commerce populer seperti Shopee, TikTok, dan Tokopedia, serta ke pembuat konten digital dan influencer, dibahas sebagai langkah yang memengaruhi sektor yang berkembang pesat yang seringkali terdiri dari pengusaha skala kecil.
  • “Amplop Pernikahan”: Desas-desus yang beredar luas (meskipun kemudian diklarifikasi atau diperdebatkan) tentang pengenaan pajak pada amplop hadiah pernikahan disajikan sebagai simbol kuat dari dugaan campur tangan pemerintah yang berlebihan dalam masalah finansial yang sangat pribadi dan budaya. Terlepas dari implementasi akhirnya, desas-desus ini saja menyoroti kepekaan publik yang ekstrem terhadap beban baru yang dirasakan pada praktik sosial tradisional.
  • Kebingungan UMKM: Perjuangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang bergulat dengan perhitungan pajak yang semakin kompleks dan kewajiban kepatuhan baru disorot, menunjukkan bagaimana perluasan pajak yang luas dapat secara tidak proporsional membebani entitas yang lebih kecil.

Narasi ini secara implisit menghubungkan kebijakan-kebijakan ini dengan kebutuhan pemerintah yang dinyatakan untuk “menambal defisit”  dan mencapai target penerimaan yang ambisius, memberikan konteks mengapa kebijakan tersebut dikejar, meskipun penerimaan publiknya negatif.

Perluasan jangkauan perpajakan pemerintah ke area yang tampaknya sepele atau sangat pribadi, atau ke sektor informal yang merupakan jalur hidup bagi banyak orang, menciptakan persepsi kuat tentang “campur tangan berlebihan” dan keputusasaan fiskal. Hal ini secara langsung memicu sentimen kuat “rakyat dijadikan sapi perah”. Campur tangan berlebihan yang dirasakan ini, diperparah oleh kompleksitas inheren dari peraturan baru  dan seringkali kurangnya komunikasi yang jelas, empatik, dan proaktif dari pihak berwenang, secara serius mengikis kepercayaan publik. Legitimasi kebijakan fiskal dengan demikian tidak hanya dirusak oleh jumlah absolut pajak yang dikumpulkan, tetapi secara kritis oleh bagaimana dan dari siapa pajak itu dikumpulkan, terutama ketika metode ini dianggap sewenang-wenang, tidak adil, atau secara tidak proporsional membebani kelompok rentan.

Kebijakan semacam itu, meskipun dianggap rasional secara fiskal atau diperlukan dari perspektif pemerintah, dapat menimbulkan kerusakan parah pada kontrak sosial implisit antara negara dan warganya. Kerusakan ini dapat bermanifestasi sebagai peningkatan penghindaran pajak, berbagai bentuk perlawanan pasif dan aktif , dan penurunan umum dalam kesediaan publik untuk secara sukarela mematuhi kewajiban pajak. Pada akhirnya, hal ini berisiko menghambat pengumpulan pendapatan yang berkelanjutan dalam jangka panjang, meskipun ada keuntungan jangka pendek, dengan mengasingkan penduduk yang justru menjadi sandarannya.

Bab III: Gema Keluhan dari Sudut-Sudut Negeri

Bagian ini akan menggali dampak nyata dan tidak berwujud dari kebijakan fiskal ini pada kehidupan sehari-hari dan psikologi kolektif penduduk Indonesia, menyuarakan perjuangan mereka.

3.1. Daya Beli yang Terkikis dan Kesenjangan yang Melebar

Dampak ekonomi langsung dan nyata yang dirasakan oleh rumah tangga di seluruh negeri, menggambarkan perjuangan mereka sehari-hari. Beban gabungan dari pajak tinggi, terutama pajak penghasilan dan PPN yang meresap, secara langsung dan signifikan mengurangi pendapatan disposabel warga, sehingga mengurangi kapasitas mereka untuk mengonsumsi barang dan jasa. Dampak ini sangat terasa bagi kelompok ekonomi menengah ke bawah, yang secara inheren lebih sensitif terhadap setiap kenaikan harga.

Efek kumulatif dari berbagai pajak, terutama yang regresif seperti PPN, secara langsung meningkatkan biaya barang dan jasa esensial, membuat tindakan dasar hidup sehari-hari semakin mahal. Masyarakat biasa merespons tekanan finansial ini dengan secara sadar mengurangi konsumsi barang dan jasa non-esensial, seringkali mengalihkan preferensi mereka ke alternatif yang lebih murah dan diproduksi secara lokal. Perubahan perilaku ini, pada gilirannya, dapat menyebabkan perlambatan pertumbuhan yang nyata di sektor ekonomi tertentu, seperti pariwisata dan ritel.

Poin penting yang perlu ditekankan adalah bahwa pajak yang tinggi, terutama PPN, berpotensi “memperbesar kesenjangan ekonomi di masyarakat”. Efek ini sangat bertentangan dengan cita-cita pemerintah yang dinyatakan mengenai “redistribusi kekayaan” dan “mengurangi kesenjangan sosial”. Puisi-puisi kontemporer Indonesia secara kuat menggemakan kesulitan ekonomi ini, seperti sentimen mentah “Sakitnya sakit beneran, Miskinnya miskin beneran”. Tema-tema janji yang tidak terpenuhi dan perjuangan ekonomi yang gigih juga tergambar dalam puisi seperti “Anak Muda dan Pesta Kemerdekaan”  dan “Hubungan Retak”, yang semuanya melukiskan gambaran masyarakat yang terus-menerus terbebani.

Sebuah paradoks mendasar muncul ketika tujuan pemerintah untuk mendanai pembangunan nasional dan mengentaskan kemiskinan dikejar melalui mekanisme fiskal (pajak yang tinggi, berbasis luas, dan seringkali regresif) yang secara bersamaan mengurangi daya beli publik dan memperlebar kesenjangan sosial. Hal ini menciptakan rasa ketidakadilan dan kebencian yang mendalam di kalangan penduduk. Perasaan ini, seiring waktu, dapat bermanifestasi sebagai gejolak sosial yang membara atau, paling tidak, perlawanan pasif yang meluas terhadap kebijakan negara. Konsep historis “penderitaan rakyat yang berkepanjangan”  kemudian tidak lagi menjadi sekadar anekdot sejarah, melainkan menjadi kenyataan hidup kontemporer bagi banyak orang.

Kebijakan fiskal yang dirasakan mengekstrak terlalu banyak dari masyarakat miskin dan menengah, tanpa secara jelas dan segera diterjemahkan menjadi perbaikan nyata dalam kesejahteraan mereka, berisiko mengasingkan segmen populasi yang signifikan. Pengasingan ini dapat merusak stabilitas sosial dan kohesi yang ingin dicapai pemerintah melalui inisiatif pembangunannya, menciptakan siklus yang merugikan diri sendiri di mana sarana kemajuan menjadi sumber penderitaan publik.

3.2. Erosi Kepercayaan dan Beban Psikologis

Bagian ini membahas konsekuensi psikologis dan sosial yang tidak berwujud namun sangat berdampak dari beban fiskal dan perilaku pemerintah yang dirasakan, menangkap penderitaan emosional penduduk. Kepercayaan publik terhadap otoritas pajak dan pemerintah secara keseluruhan adalah prasyarat mutlak untuk pengumpulan pajak yang efektif dan kerja sama masyarakat. Namun, kasus-kasus korupsi profil tinggi (misalnya, yang melibatkan tokoh seperti Rafael Alun Trisambodo) secara serius “menggerus kepercayaan publik”. Hal ini menyebabkan warga mempertanyakan integritas dan kredibilitas fundamental dari mereka yang dipercaya mengelola dana publik.

Warga negara mengembangkan perasaan mendalam “dieksploitasi” dan “tidak berdaya” ketika mereka merasa uang hasil jerih payah mereka diambil tanpa manfaat timbal balik yang jelas, langsung, atau terdistribusi secara adil. Analogi kuat “rakyat dijadikan ‘sapi perah'”  digunakan untuk merangkum perasaan yang meluas ini, yaitu perasaan dikuras demi keuntungan orang lain.

Prosa ini secara eksplisit menarik paralel dengan dampak psikologis eksploitasi yang didokumentasikan, seperti stres kronis, depresi, kecemasan, hilangnya harga diri yang mendalam, perasaan tidak berharga, dan kesulitan beradaptasi dengan keadaan yang menantang. Meskipun bukan kekerasan fisik langsung, tekanan finansial yang tak henti-hentinya dan perasaan ketidakadilan yang meresap memang dapat menyebabkan beban psikologis yang signifikan dan kronis pada individu dan psikologi kolektif.

Kompleksitas inheren dan seringnya perubahan dalam undang-undang pajak dan prosedur administratif  semakin memperburuk beban. Kompleksitas ini menimbulkan kebingungan, frustrasi, dan rasa tidak berdaya, karena warga negara biasa berjuang untuk memahami dan mematuhi, seringkali takut akan hukuman yang tidak disengaja.

Untuk memperdalam resonansi emosional, narasi ini menyertakan baris-baris evokatif dari sastra Indonesia yang menangkap kekecewaan dan rasa pengkhianatan yang meluas ini. Contohnya termasuk: “Rakyat menyuarakan kepenatan, Penguasa mengelak dengan rayuan palsu”, “Perubahan hanyalah kursi manja di gedung mewah. Rakyat tetap begitu saja” , dan citra simbolis yang kuat dari “Amplop-amplop menguasai penguasa”, yang secara langsung mencerminkan persepsi publik tentang korupsi. Hal ini dikontraskan dengan cita-cita historis integritas dan kepentingan negara yang dicontohkan oleh tokoh-tokoh seperti Bung Hatta.

Erosi kepercayaan publik , yang didorong oleh persepsi eksploitasi yang meluas dan contoh-contoh konkret korupsi , menandakan kerusakan mendasar dari kontrak sosial. Kontrak ini menyatakan bahwa warga negara secara sukarela membayar pajak sebagai imbalan atas layanan publik yang transparan dan tata kelola yang baik. Ketika warga negara merasa bahwa kontribusi mereka disalahgunakan, digelapkan, atau bahwa sistem itu sendiri pada dasarnya tidak adil, kesediaan mereka untuk mematuhi kewajiban pajak secara alami berkurang. Hal ini menciptakan lingkaran umpan balik yang berbahaya: menurunnya kepercayaan menyebabkan kepatuhan pajak yang lebih rendah, yang kemudian menekan pemerintah untuk menerapkan langkah-langkah pencarian pendapatan yang lebih agresif dan berpotensi membebani, yang semakin mengasingkan publik. Ini bukan hanya tantangan ekonomi; ini meningkat menjadi krisis tata kelola yang mendalam di mana legitimasi dan otoritas moral negara di mata warganya sendiri sangat terganggu.

Keberlanjutan pendapatan negara dalam jangka panjang, dan memang harmoni sosial serta stabilitas politik bangsa secara keseluruhan, sangat bergantung pada kemampuan pemerintah untuk secara tulus membangun dan mempertahankan kepercayaan publik. Kegagalan untuk melakukannya melalui transparansi yang konsisten, akuntabilitas yang kuat, dan implementasi kebijakan yang adil berarti bahwa “susahnya masyarakat” menjadi bukan hanya efek samping yang tidak menguntungkan, tetapi gejala dari krisis sistemik yang lebih dalam dalam hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah.

Bab IV: Bayangan Sejarah dan Harapan di Tengah Badai

Bagian ini akan memberikan konteks historis yang krusial terhadap tantangan saat ini, menunjukkan bahwa perjuangan saat ini adalah gema masa lalu, dan kemudian menguraikan jalur konstruktif untuk membangun kembali kepercayaan dan membina hubungan yang lebih adil antara negara dan warganya.

4.1. Pajak dalam Lintasan Sejarah: Dari Upeti hingga Kewajiban Modern

Gagasan “sejarah pajak sebagai momok” bukanlah fenomena modern, melainkan sudah ada sejak zaman kuno. Di kepulauan Indonesia, bahkan sebelum kedatangan penjajah Eropa, bentuk “upeti” dikenakan sebagai pungutan paksa pada penduduk oleh para penguasa, membangun asosiasi awal perpajakan dengan paksaan.

Narasi ini merinci bagaimana kekuatan kolonial berturut-turut (VOC, Daendels, Raffles, dan kemudian pemerintah kolonial Belanda) menerapkan berbagai bentuk perpajakan, termasuk “Pajak Rumah”, “Pajak Usaha”, “Pajak Kepala”, “landrent stelsel” (yang menjadi cikal bakal PBB modern), dan “pajak usaha” umum. Kebijakan-kebijakan ini seringkali dianggap eksploitatif dan secara langsung menyebabkan penderitaan yang meluas, terutama yang dicontohkan oleh “Culture Stelsel” (sistem tanam paksa) yang brutal. Periode yang berkepanjangan ini secara mendalam menanamkan persepsi pajak sebagai “upeti paksa,” “pemerasan,” dan alat penindasan.

Kontras yang krusial ditarik dengan era pasca-kemerdekaan, di mana niat di balik perpajakan bergeser. Setelah meraih kebebasan, tujuan perpajakan adalah menjadi “lebih konservatif dan berkeadilan”. Cita-citanya adalah agar pajak bertransformasi menjadi “kontribusi nasional” dan “kewajiban yang mengikat,” tindakan sukarela kewarganegaraan untuk kebaikan bersama.

Narasi ini menekankan bahwa “kenangan tidak menyenangkan” historis ini—termasuk contoh korupsi masa lalu dan krisis ekonomi—terus secara mendalam memengaruhi bagaimana masyarakat Indonesia memandang dan bereaksi terhadap pajak saat ini, seringkali memandangnya terutama sebagai beban daripada kontribusi.

Narasi historis ini dengan jelas menggambarkan adanya “ketergantungan jalur” dalam sikap publik terhadap perpajakan. Pengalaman masa lalu dengan berbagai bentuk pungutan paksa, upeti, dan sistem pajak kolonial yang eksploitatif (seperti Culture Stelsel) telah menciptakan “warisan psikologis” yang mengakar dan terus membentuk persepsi publik kontemporer serta kesediaan mereka untuk mematuhi.  Gagasan pajak sebagai “momok”  bukan sekadar kiasan; itu adalah manifestasi trauma kolektif historis yang cenderung muncul kembali dengan setiap beban baru yang dirasakan, contoh korupsi, atau kurangnya transparansi. Ini berarti bahwa bahkan kebijakan pajak modern yang bermaksud baik menghadapi perjuangan yang melekat terhadap narasi historis penderitaan dan ketidakadilan yang mengakar ini.

Agar pemerintah dapat secara tulus membangun kepercayaan dan mendorong kepatuhan pajak sukarela yang meluas, pemerintah tidak hanya harus menerapkan kebijakan fiskal yang sehat, tetapi juga secara aktif mengakui dan berupaya mengatasi warisan historis yang mendalam ini. Ini membutuhkan lebih dari sekadar undang-undang baru; ini menuntut transformasi mendasar dalam bagaimana perpajakan dipandang dan dialami oleh publik, memastikan bahwa cita-cita pasca-kemerdekaan “berkeadilan”  bukan hanya prinsip hukum tetapi kenyataan hidup, sehingga memutuskan hubungan historis antara perpajakan dan penderitaan.

4.2. Tantangan dan Harapan: Merajut Kembali Kontrak Sosial

Bagian ini secara jujur membahas tantangan multifaset yang dihadapi pemerintah dalam mendorong kepatuhan pajak dan menguraikan jalur konkret untuk membangun kembali kepercayaan publik serta membina hubungan yang lebih adil dan saling menguntungkan antara negara dan warganya.

Tantangan persisten dan signifikan dalam pengumpulan pajak meliputi rendahnya kesadaran publik mengenai kewajiban pajak, kesulitan inheren yang dihadapi warga negara dalam memahami undang-undang pajak yang kompleks, dan masalah penghindaran pajak yang meluas.

Narasi ini menekankan peran krusial dan proaktif yang harus dimainkan pemerintah dalam “membangun kepercayaan masyarakat terhadap instansi pajak”. Upaya multifaset ini harus mencakup:

  • Pemberantasan Korupsi: Menerapkan penuntutan yang ketat dan tak tergoyahkan terhadap pejabat korup di dalam institusi pajak dan menjatuhkan sanksi yang adil dan proporsional terhadap pelanggaran. Hal ini secara langsung mengatasi sumber utama kekecewaan publik.
  • Penyederhanaan Prosedur: Secara aktif berupaya merampingkan dan menyederhanakan proses pembayaran pajak dan prosedur pelaporan, menjadikannya lebih mudah diakses dan tidak terlalu membebani warga negara biasa.
  • Transparansi dan Akuntabilitas: Memastikan bahwa semua dana pajak yang terkumpul dikelola dengan transparansi dan akuntabilitas yang setinggi-tingginya, menyediakan laporan publik yang jelas dan mudah dipahami tentang bagaimana uang warga digunakan untuk layanan publik dan pembangunan. Hal ini secara langsung memperkuat fungsi “representasi” pajak, di mana warga negara dapat menuntut akuntabilitas.

Prosa ini menegaskan kembali prinsip dasar bahwa penerimaan pajak pada dasarnya dimaksudkan untuk mendanai layanan publik esensial seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Ini menyoroti “Prinsip Kerakyatan,” yang secara eksplisit menyatakan bahwa keuangan negara “tidak boleh sama sekali merugikan masyarakat” , berfungsi sebagai cita-cita panduan untuk perumusan kebijakan.

Pembahasan ini menghubungkan tantangan saat ini dengan konsep yang lebih luas tentang “negara kesejahteraan,” sebuah model di mana pemerintah secara aktif bertanggung jawab untuk memastikan kesejahteraan sosial dan ekonomi warganya melalui perlindungan sosial yang komprehensif, redistribusi kekayaan yang adil (idealnya melalui perpajakan progresif), dan menjaga keseimbangan ekonomi.10 Ini menyiratkan pergeseran mendasar dalam pola pikir dari sekadar mengekstrak pendapatan menjadi secara aktif berinvestasi dalam dan mempromosikan kesejahteraan holistik penduduk.

Analisis menunjukkan adanya ketegangan yang persisten antara keharusan pemerintah untuk keberlanjutan fiskal (penciptaan pendapatan) dan kebutuhan mendasar masyarakat akan kesejahteraan dan bantuan ekonomi. Pendekatan saat ini, seperti yang diungkapkan dalam pertanyaan pengguna dan didukung oleh sumber-sumber seperti , seringkali terasa seperti “ekstraksi” sumber daya sepihak. Cita-cita “negara kesejahteraan” 1menawarkan visi transformatif: pergeseran dari sekadar mengumpulkan dana menjadi secara strategis menginvestasikan dana ini secara langsung ke dalam modal manusia (misalnya, kesehatan, pendidikan, perlindungan sosial, seperti yang disorot dalam). Investasi semacam itu bertujuan untuk secara nyata meningkatkan kehidupan warga negara, mengurangi ketidaksetaraan, dan meningkatkan kesejahteraan mereka secara keseluruhan. Ketika warga negara merasakan dan merasakan manfaat langsung dan nyata ini, dan ketika mereka menyaksikan pengelolaan dana publik yang transparan dan bebas korupsi, “kesediaan untuk membayar” (WTP) mereka akan secara alami dan organik meningkat. Ini menggeser hubungan dari beban menjadi investasi bersama.

Keberlanjutan pendapatan negara dalam jangka panjang dan harmoni sosial yang langgeng dari suatu bangsa tidak hanya bergantung pada efisiensi mekanisme pengumpulan pajaknya. Lebih mendalam lagi, mereka bergantung pada keadilan, efektivitas, dan transparansi yang dirasakan dari bagaimana pendapatan ini digunakan. Membangun kembali kontrak sosial secara fundamental berarti mengubah persepsi publik tentang perpajakan dari “beban” atau “pemerasan”  menjadi “investasi” kolektif dalam masa depan yang lebih sejahtera, adil, dan setara. Transformasi ini sangat penting bagi pemerintah untuk benar-benar memenuhi perannya sebagai “pelindung rakyat dari krisis”, membina hubungan yang dibangun di atas saling percaya dan tanggung jawab bersama.

Penutup: Menuju Kesejahteraan yang Adil

Analisis ini secara kuat menyimpulkan bahwa pendekatan fiskal yang berlaku, yang semakin sangat bergantung pada kontribusi finansial individu, secara tak terbantahkan telah menciptakan beban ekonomi, sosial, dan psikologis yang signifikan bagi penduduk Indonesia. “Susahnya masyarakat” terungkap melalui lensa daya beli yang menurun, kesenjangan sosial-ekonomi yang melebar, dan erosi nyata kepercayaan publik.

Terdapat seruan kuat untuk menyeimbangkan kembali prioritas fiskal secara mendasar. Meskipun pendapatan pajak tidak dapat disangkal sangat diperlukan untuk pembangunan nasional dan pemeliharaan fungsi negara, kebutuhan ini tidak boleh mengorbankan kesulitan masyarakat yang meluas atau retaknya kontrak sosial esensial antara pemerintah dan warganya.

Prosa ini kemudian melukiskan visi yang penuh harapan namun pragmatis untuk masa depan—masa depan di mana kebijakan fiskal melampaui sekadar pengelolaan “dompet, properti, dan rekening bank.” Sebaliknya, ini akan menjadi masa depan di mana kebijakan terutama berorientasi pada pembinaan “kesejahteraan rakyat” yang sejati. Visi transformatif ini mencakup:

  • Memprioritaskan Keadilan: Implementasi kebijakan pajak yang benar-benar progresif yang memastikan distribusi beban fiskal yang lebih adil dan merata, mengurangi beban yang tidak proporsional pada kelompok berpenghasilan rendah.
  • Meningkatkan Transparansi dan Akuntabilitas: Komitmen yang teguh untuk memastikan bahwa setiap rupiah yang terkumpul digunakan dengan efisiensi, integritas, dan tanggung jawab etis yang setinggi-tingginya, disertai dengan mekanisme pengawasan publik yang jelas dan mudah diakses. Hal ini memperkuat prinsip “dari rakyat untuk rakyat.”
  • Memperkuat Pelayanan Publik: Fokus yang diperbarui untuk menjadikan manfaat perpajakan nyata, terlihat, dan dapat diakses secara universal oleh semua warga negara, sehingga memperkuat prinsip dasar bahwa pajak memang “dari rakyat, untuk rakyat”.
  • Mendorong Dialog: Komitmen untuk membina dialog yang terbuka, empatik, dan berkelanjutan antara pemerintah dan warganya, menciptakan lingkungan kolaboratif untuk bersama-sama menciptakan kebijakan yang benar-benar melayani kebaikan bersama dan mengatasi kebutuhan masyarakat.

Kekuatan nasional yang sejati dan kemajuan yang berkelanjutan tidak hanya diukur dari ukuran kas negara atau ketahanan infrastrukturnya, tetapi secara fundamental oleh kesejahteraan, kepercayaan, dan partisipasi aktif rakyatnya. Prosa ini berakhir dengan gambaran tantangan yang masih ada, tetapi juga dengan afirmasi yang penuh harapan tentang kemungkinan untuk membentuk hubungan yang lebih adil, setara, dan harmonis antara negara dan penduduknya.

 

Daftar Pustaka: 

  1. Pengaruh Pajak terhadap Daya Beli Masyarakat – Kursus Pajak Online dan Offline, diakses Juli 28, 2025, https://zafinternational.id/pengaruh-pajak-terhadap-daya-beli-masyarakat/
  2. Dampak Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai 12% Terhadap Tingkat Konsumsi Masyarakat Indonesia – KIME FEB UNNES, diakses Juli 28, 2025, https://sites.unnes.ac.id/kimefe/2025/01/dampak-kenaikan-pajak-pertambahan-nilai-12-terhadap-tingkat-konsumsi-masyarakat-indonesia/
  3. KMS:: Pengaruh Pajak terhadap Efisiensi dan Efektivitas Ekonomi – KLC::Kemenkeu, diakses Juli 28, 2025, https://klc2.kemenkeu.go.id/kms/knowledge/pengaruh-pajak-terhadap-efisiensi-dan-efektivitas-ekonomi-a5b4b75d/detail/
  4. Benarkah Amplop Nikah Bakal Kena Pajak? Ini Fakta yang Bikin …, diakses Juli 28, 2025, https://rakyatsulsel.fajar.co.id/2025/07/27/benarkah-amplop-nikah-bakal-kena-pajak-ini-fakta-yang-bikin-publik-heboh/
  5. Pengertian Ekonomi Kerakyatan dan Ciri-cirinya di Indonesia | kumparan.com, diakses Juli 28, 2025, https://kumparan.com/pengertian-dan-istilah/pengertian-ekonomi-kerakyatan-dan-ciri-cirinya-di-indonesia-23fpUm6BaMC
  6. Teori Negara Kesejahteraan dan Penjelasannya | kumparan.com, diakses Juli 28, 2025, https://kumparan.com/sejarah-dan-sosial/teori-negara-kesejahteraan-dan-penjelasannya-24AAIElM32D
  7. Pajak dan Kesinambungan dalam Stabilitas Ekonomi, diakses Juli 28, 2025, https://pajak.go.id/id/artikel/pajak-dan-kesinambungan-dalam-stabilitas-ekonomi
  8. Penerimaan Pajak 2020-2025 – Pusat Data Kontan, diakses Juli 28, 2025, https://pusatdata.kontan.co.id/infografik/67/Penerimaan-Pajak-2020-2025
  9. Ompreng MBG dan Pesan Kesadaran Pajak – Direktorat Jenderal Pajak, diakses Juli 28, 2025, https://www.pajak.go.id/id/artikel/ompreng-mbg-dan-pesan-kesadaran-pajak
  10. Pengaruh Pajak Terhadap Kesejahteraan Masyarakat – Perspektif Akuntansi Template, diakses Juli 28, 2025, https://ejournal.uksw.edu/persi/article/download/3892/1830/22145
  11. Analisis Yuridis Tingkat Kepatuhan Membayar Pajak Masyarakat Indonesia, diakses Juli 28, 2025, https://e-journal.fh.unmul.ac.id/index.php/risalah/article/download/650/240/2468
  12. Tantangan Membangun Kesadaran Masyarakat dalam Membayar Pajak, diakses Juli 28, 2025, https://taxation.binus.ac.id/2024/06/24/tantangan-membangun-kesadaran-masyarakat-dalam-membayar-pajak/
  13. Kritik Terhadap Kebijakan Pemerintah: Beban Rakyat di Tengah Kemewahan Pejabat – Kompasiana.com, diakses Juli 28, 2025, https://www.kompasiana.com/fairuz75906/67ad578f34777c14ba54ddb2/kritik-terhadap-kebijakan-pemerintah-beban-rakyat-di-tengah-kemewahan-pejabat
  14. Meneladani Sikap Antikorupsi dari Para Tokoh – DJPb – Kementerian Keuangan, diakses Juli 28, 2025, https://djpb.kemenkeu.go.id/kppn/manokwari/id/data-publikasi/berita-terbaru/3011-meneladani-sikap-antikorupsi-dari-para-tokoh-3.html
  15. PERPAJAKAN DALAM KONTEKS TEORI DAN HUKUM PAJAK Di INDONESIA, diakses Juli 28, 2025, https://law.uii.ac.id/wp-content/uploads/2017/02/Mustaqiem-Buku-Perpajakan-Dalam-Konteks-Teori-dan-Hukum-Pajak-di-Indonesia.pdf
  16. Menengok Sejarah Perpajakan di Indonesia : Bagian Pertama | Direktorat Jenderal Pajak, diakses Juli 28, 2025, https://www.pajak.go.id/artikel/menengok-sejarah-perpajakan-di-indonesia-bagian-pertama
  17. From History to Mindset: The Psychological Legacy of Taxation in Indonesia – Jurnal Universitas Gadjah Mada, diakses Juli 28, 2025, https://jurnal.ugm.ac.id/buletinpsikologi/article/download/97157/pdf
  18. MENGGAGAS NEGARA KESEJAHTERAAN Oleh: Ahmad Dahlan, Santosa ‘Irfaan Dosen STAIN Purwokerto ABSTRAK, diakses Juli 28, 2025, https://ejournal.uinsaizu.ac.id/index.php/eljizya/article/download/388/352/753

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

CAPTCHA ImageChange Image

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.