Pemikiran Ibnu Khaldun (1332-1406 M), seorang cendekiawan Muslim abad ke-14 yang secara luas diakui sebagai salah satu arsitek utama ilmu sosial. Dengan berpusat pada karya monumentalnya, Muqaddimah, laporan ini menguraikan pemikiran-pemikirannya yang revolusioner di bidang historiografi, sosiologi, ekonomi, dan politik. Analisis berfokus pada konsep sentralnya, ilm al-‘umran (sains peradaban) dan asabiyyah (solidaritas sosial), yang digunakan untuk menjelaskan siklus alami kebangkitan dan kejatuhan peradaban. Lebih lanjut, laporan ini menempatkan pemikiran Ibnu Khaldun dalam konteks intelektual global, membandingkannya dengan tokoh-tokoh Barat seperti Auguste Comte, Émile Durkheim, dan Niccolò Machiavelli. Laporan ini juga mengeksplorasi relevansi kontemporer pemikirannya, termasuk pengaruhnya di dunia Islam dan historiografi modern di Indonesia, sambil menyajikan kritik akademis untuk memberikan gambaran yang seimbang dan bernuansa.

Ibnu Khaldun, seorang sejarawan, filosof, negarawan, dan pemikir multidisipliner dari abad ke-14, muncul sebagai salah satu tokoh paling brilian dalam sejarah intelektual Islam dan pemikiran dunia. Ia hidup pada abad ke-14 Masehi, sebuah masa yang dicirikan oleh kegaduhan dan pergeseran pusat pemerintahan di berbagai tempat, menandai era kemunduran bagi umat Islam setelah invasi Mongol dan kejatuhan dinasti-dinasti besar. Di tengah kekacauan politik dan intelektual ini, Ibnu Khaldun menghadirkan sebuah revolusi metodologis melalui karyanya, Muqaddimah.

Awalnya dimaksudkan sebagai pengantar dari karya sejarahnya yang lebih besar, Kitab al-Ibar, Muqaddimah melampaui tujuannya dan menjadi karya independen yang mendefinisikan kembali historiografi. Sebelum Ibnu Khaldun, penulisan sejarah sering kali hanya berupa catatan kejadian tanpa kritik terhadap kebenaran dan fiksi. Ia melihat sejarah bukan sekadar kumpulan catatan kronologis, tetapi sebagai sebuah ilmu yang mengkaji hukum-hukum yang mengatur masyarakat dan peradaban manusia.

Tujuan dari laporan ini adalah untuk menyajikan analisis mendalam terhadap pemikiran Ibnu Khaldun, melampaui sekadar ringkasan biografi dan isi karya. Laporan ini akan mengurai fondasi teoretisnya, aplikasi multidisipliner, warisan intelektualnya, serta relevansinya yang abadi. Struktur laporan ini akan mengikuti alur yang logis, dimulai dari riwayat hidupnya, fondasi metodologisnya, pilar teoretis utamanya, perbandingan dengan pemikir Barat, hingga relevansi kontemporer dan kritik akademis.

Biografi, Konteks Historis, dan Fondasi Metodologis

Riwayat Hidup dan Formasi Intelektual

Ibnu Khaldun, yang bernama lengkap Abd al-Rahman bin Muhammad bin Khaldun, lahir di Tunisia pada tahun 1332 M. Ia berasal dari keluarga terhormat dan berpendidikan tinggi yang hijrah dari Andalusia (Spanyol Selatan) ke Tunisia pada abad ke-7 H. Keluarga Khaldun memiliki tradisi panjang dalam bidang ilmu pengetahuan dan jabatan politik, sebuah warisan yang membentuk karakter Ibnu Khaldun dengan dua ambisi utama: kecintaan pada ilmu pengetahuan dan hasrat terhadap jabatan serta pangkat.

Pendidikan formalnya sangat komprehensif, mencerminkan fondasi intelektual klasik Islam. Ia menghafal Al-Quran sejak kecil dan mendalami berbagai ilmu agama seperti linguistik Arab, hadis, fikih, serta syariah. Kemampuannya yang luar biasa menjadikannya cendekiawan terbaik pada masanya. Kehidupan Ibnu Khaldun diwarnai oleh gejolak politik yang intens. Ia terlibat dalam karir politik yang berliku, menjabat berbagai posisi di istana, mengalami penahanan, dan akhirnya memilih hidup dalam pengasingan di benteng Qilat Ibnu Salamah. Keterlibatannya langsung dalam intrik kekuasaan, menyaksikan kebangkitan dan kejatuhan dinasti, dan ketidakpuasannya terhadap kondisi politik pada zamannya tidak hanya memberinya pengalaman empiris yang kaya. Pengalaman ini juga memicu krisis personal yang mendorongnya untuk mencari pemahaman fundamental tentang mengapa peradaban naik dan turun. Teori-teorinya tentang siklus peradaban dan solidaritas sosial (asabiyyah) tidak lahir dari abstraksi akademis, melainkan dari “laboratorium” nyata kehidupan politiknya yang penuh gejolak. Proses ini menjadi landasan empiris bagi seluruh bangunan intelektualnya.

Muqaddimah dan Lahirnya Ilm al-‘Umran

Muqaddimah, atau Prolegomena (“Pendahuluan”), adalah karya yang secara de-facto menjadi fondasi ilmu-ilmu sosial modern. Dalam karya ini, Ibnu Khaldun secara eksplisit mengklaim telah menciptakan ilmu baru, yang ia sebut ilm al-‘umran, yang berarti “ilmu tentang kehidupan dan masyarakat manusia”. Ia memandang ilmu ini sebagai ilmu yang luar biasa dan memiliki banyak faedah karena dapat memisahkan fakta yang benar dari yang salah, serta yang mungkin dari yang mustahil dalam penulisan sejarah.

Penciptaan ilm al-‘umran adalah sebuah revolusi metodologis. Pada masanya, sejarah hanya berfokus pada narasi peristiwa seperti perang dan kebangkitan/keruntuhan pemerintahan. Ibnu Khaldun, melalui ilmu barunya, berpendapat bahwa sejarah juga memiliki sisi dalam, yaitu hukum-hukum yang mengatur perubahan dalam masyarakat, yang didasarkan pada faktor-faktor budaya, ekonomi, dan lingkungan. Dengan demikian, alih-alih hanya mencatat “apa yang terjadi,” ia mencoba menjawab pertanyaan “mengapa” dan “bagaimana” suatu peristiwa terjadi dengan menggunakan analisis rasional dan empiris. Langkah ini secara esensial mengubah sejarah dari sekadar catatan menjadi sebuah disiplin ilmiah.

Metode Historiografi Kritis (Metode Dirayah)

Ibnu Khaldun sangat kritis terhadap historiografi tradisional pada zamannya yang cenderung non-kritis dan mengandalkan catatan dari periwayat tanpa verifikasi mendalam. Ia menunjuk kesalahan umum yang dilakukan oleh sejarawan, seperti kecenderungan melebih-lebihkan, bias, pengabaian perubahan waktu, dan ketidaktahuan konteks. Untuk mengatasi masalah ini, ia memperkenalkan metode dirayah (metode kritik), yang menuntut penulisan sejarah untuk tidak hanya melandaskan pada sisi luarnya (al-zahir) tetapi juga memperhatikan sisi dalamnya (al-batin).

Metode ini menekankan penggunaan analisis rasional dan kritik sumber yang ketat. Menurut Ibnu Khaldun, sejarah harus memiliki “dimensi sosial” dan dianalisis dengan bantuan ilm al-‘umran. Pendekatan ini mengubah sejarah dari sekadar narasi masa lalu menjadi ilmu yang dapat digunakan untuk memahami hukum-hukum peradaban, menganalisis faktor-faktor yang mendorong perubahan, dan bahkan meramalkan tren masa depan. Transformasi epistemologis ini adalah inti dari kontribusi Ibnu Khaldun terhadap ilmu-ilmu sosial.

Pilar Teoretis: Teori Siklus Peradaban dan Konsep Asabiyyah

Definisi dan Hakikat Asabiyyah

Konsep asabiyyah merupakan fondasi utama dari seluruh teori sosial dan politik Ibnu Khaldun. Secara linguistik, istilah ini berasal dari akar kata Arab asab, yang berarti “mengikat” atau “menyatukan”. Dalam konteks teoretisnya, asabiyyah didefinisikan sebagai “solidaritas kelompok,” “kohesi sosial,” atau “perekat relasional” yang mengikat individu-individu dalam suatu komunitas. Meskipun istilah ini sudah dikenal sebelum Islam, Ibnu Khaldun-lah yang mempopulerkannya dan menjadikannya sebagai kekuatan pendorong utama di balik dinamika sejarah.

Menurut Ibnu Khaldun, asabiyyah bukanlah konsep statis melainkan sebuah energi sosial yang dinamis. Ia berpendapat bahwa solidaritas ini adalah prasyarat fundamental untuk membangun kelompok sosial yang kuat, memungkinkan anggota kelompok untuk saling bekerja sama, melindungi diri dari musuh, dan memaksakan kehendak mereka pada pihak lain. Ia mengamati bahwa asabiyyah paling kuat dan menonjol pada masyarakat nomaden atau pedalaman (umran badawi), yang hidup dalam kondisi yang keras, kooperatif, dan memiliki ikatan kekerabatan yang sangat erat. Solidaritas ini memungkinkan mereka untuk bangkit, menantang, dan akhirnya merebut kekuasaan dari dinasti yang melemah.

Teori Siklus Peradaban: Dinamika Badawah vs. Hadharah

Ibnu Khaldun berpendapat bahwa gerakan sejarah bersifat siklus, di mana masyarakat atau peradaban mengalami pola yang berulang dari kebangkitan, perkembangan, dan kejatuhan, mirip dengan siklus hidup manusia: lahir, berkembang, dan mati. Gerak siklus ini secara langsung digerakkan oleh dinamika asabiyyah dan transisi dari kehidupan pedalaman (umran badawi) ke kehidupan perkotaan (umran hadari).

Proses siklus ini dapat diuraikan sebagai berikut:

  1. Fase Kebangkitan: Sebuah kelompok dengan asabiyyah yang kuat, biasanya berasal dari suku nomaden atau pedalaman, berhasil menyatukan diri dan merebut kekuasaan dari dinasti yang sudah mapan namun melemah. Para penguasa baru ini awalnya sering dianggap “barbar” oleh peradaban lama.
  2. Fase Keemasan: Dinasti baru ini mendirikan negara dan membangun peradaban urban yang maju. Kehidupan kota ditandai dengan kemewahan, stabilitas, dan perkembangan ilmu pengetahuan. Namun, kemewahan ini secara bertahap melemahkan
    asabiyyah yang awalnya kuat.
  3. Fase Kemunduran dan Keruntuhan: Seiring waktu, solidaritas kelompok yang sebelumnya menjadi perekat utama mulai memudar menjadi faksionalisme dan individualisme. Pemimpin dan penduduk menjadi semakin malas dan terbiasa dengan kehidupan yang mapan, yang menyebabkan krisis moral dan kurangnya lapangan kerja. Ini menciptakan kondisi yang ideal bagi kelompok baru dengan
    asabiyyah yang kuat (dari pinggiran kekuasaan) untuk bangkit dan merebut kendali, sehingga mengulangi siklus yang sama.

Model ini menggambarkan sebuah pola umpan balik negatif yang fatal: Kekuatan Asabiyyah → Kemenangan & Pembentukan Negara → Kemewahan & Stabilitas → Pelemahan Asabiyyah → Krisis & Kejatuhan. Analisis ini menunjukkan bahwa benih-benih kehancuran sebuah peradaban terkandung di dalam keberhasilan peradaban itu sendiri, menjadikannya sebuah analisis sistemik yang jauh lebih canggih daripada sekadar narasi moralistik tentang kejatuhan kekuasaan. Ibnu Khaldun bahkan berhipotesis bahwa umur alami sebuah dinasti tidak lebih dari tiga generasi atau sekitar 120 tahun.

Pemikiran Multidisipliner

Pemikiran Ekonomi

Pemikiran ekonomi Ibnu Khaldun menunjukkan pandangan yang sangat modern dan jauh melampaui masanya.

  • Kekayaan Nasional: Ia berpendapat bahwa kekayaan suatu bangsa tidak terletak pada jumlah emas dan perak yang dimilikinya, melainkan pada kegiatan ekonomi produktif yang dilakukan oleh penduduknya. Pandangan ini bertentangan dengan mazhab merkantilis yang baru muncul dua abad kemudian dan lebih sejalan dengan teori pendapatan nasional modern.
  • Teori Upah dan Mekanisme Pasar: Ia menjelaskan bahwa upah ditentukan oleh mekanisme permintaan (derived demand) dan penawaran di pasar. Ia juga mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan diferensiasi upah, seperti spesialisasi profesi dan biaya pelatihan.
  • Peran Negara: Ibnu Khaldun menyoroti peran penting negara dalam ekonomi. Ia mengamati bahwa pendapatan dan pengeluaran negara di suatu kota atau negeri cenderung seimbang, dan ketika keduanya tinggi, penduduk akan makmur. Ia bahkan mengusulkan solusi untuk resesi, yaitu dengan mengecilkan pajak dan meningkatkan pengeluaran pemerintah, karena “pemerintah adalah pasar terbesar”. Ini adalah gagasan yang memiliki resonansi kuat dengan teori ekonomi Keynesian.

Pandangan Ibnu Khaldun bahwa kemakmuran ekonomi dapat menyebabkan “dekadensi sosial” yang pada akhirnya melemahkan asabiyyah menunjukkan bahwa baginya, ekonomi tidak dapat dipisahkan dari etika dan sosiologi. Ini adalah visi holistik yang mengintegrasikan faktor-faktor ekonomi, sosial, dan moral dalam satu kerangka analisis peradaban.

Pemikiran Politik dan Kenegaraan

Ibnu Khaldun melihat asal-usul negara sebagai hasil dari watak kesukuan dan solidaritas (asabiyyah), atau sebagai hasil dari perjuangan hidup dan mati. Ia juga berpendapat bahwa agama dapat menjadi kekuatan yang memperkokoh solidaritas ini. Dalam pandangannya, kekuasaan negara bukanlah semata-mata otoritas fisik untuk mengendalikan suatu wilayah. Sebaliknya, ia memandangnya sebagai instrumen untuk mewujudkan visi ilahiah demi kemaslahatan rakyat atau kebaikan bersama. Pandangan ini membedakannya dari pandangan politik pragmatis modern yang cenderung melihat kekuasaan sebagai tujuan itu sendiri.

Pemikiran Pendidikan

Meskipun lebih dikenal karena pemikiran sosiologi dan sejarahnya, Ibnu Khaldun juga memberikan kontribusi signifikan dalam bidang pendidikan. Ia membahas konsep pendidikan dan pedagogi secara mendalam dalam Bab Enam Muqaddimah. Ia mengklasifikasikan ilmu pengetahuan, memberikan pandangannya tentang pengajaran dan pembelajaran, serta menawarkan pemikiran pendidikan yang bersifat religius, kritis, dan humanis. Pandangannya bahkan dianggap sebagai pionir dalam aliran baru pedagogi Islam.

Warisan Intelektual dan Perbandingan dengan Pemikir Barat

 Pengakuan sebagai Bapak Sosiologi, Historiografi, dan Ekonomi

Pemikiran Ibnu Khaldun mendapat pengakuan besar dari kaum intelektual, baik dari kalangan Timur maupun Barat. Sejarawan Inggris, Arnold J. Toynbee, memuji Muqaddimah sebagai “karya terbesar dari jenisnya yang pernah diciptakan”. Predikat “bapak sosiologi Islam” disematkan kepadanya karena ia dianggap sebagai salah satu teoretikus paling awal dan terkenal dalam sosiologi, sejarah, dan ekonomi. Ia juga dikenal sebagai “bapak historiografi” karena model penulisan sejarah kritisnya.

Robert Flint, seorang pemikir Barat, bahkan mengatakan bahwa nama-nama besar seperti Hobbes, Locke, dan Rousseau tidak layak disejajarkan dengannya. Pengakuan ini menunjukkan bahwa pemikiran Ibnu Khaldun telah lama melampaui batasan geografis dan kebudayaan, menjadikannya salah satu pemikir terbesar sepanjang masa.

Perbandingan Metodologis: Ibnu Khaldun vs. Auguste Comte

Auguste Comte (1798-1857 M) secara luas diakui dalam tradisi Barat sebagai “bapak sosiologi”. Namun, analisis perbandingan antara Ibnu Khaldun dan Comte mengungkapkan bahwa Ibnu Khaldun meletakkan dasar-dasar sosiologi berabad-abad sebelum Comte.

Meskipun keduanya memiliki kesamaan tujuan dalam memahami hukum-hukum sosial yang mengatur masyarakat, pendekatan metodologis mereka sangat berbeda. Ibnu Khaldun mengadopsi pendekatan empiris, yang didasarkan pada pengamatan historisnya tentang siklus naik-turunnya peradaban yang dipengaruhi oleh tekanan internal dan eksternal. Sebaliknya, Comte, dipengaruhi oleh Revolusi Industri dan Pencerahan, mengusung metodologi positivistik yang berupaya menemukan hukum-hukum sosial universal dengan rigor yang sama seperti ilmu alam. Perbedaan pendekatan ini penting untuk memahami mengapa Ibnu Khaldun dapat dianggap sebagai “co-founder” sosiologi, sebuah pandangan yang menantang narasi Eurosentris tentang asal-usul disiplin ini. 

Kriteria Analisis Ibnu Khaldun Auguste Comte
Metodologi Empiris, berbasis observasi historis Positivistik, berupaya menemukan hukum sosial universal
Fokus Analisis Siklus historis peradaban dan faktor-faktor yang mempengaruhinya Dinamika sosial dan statika sosial
Konsep Utama Ilm al-‘Umran, Asabiyyah, Siklus Peradaban Hukum Tiga Tahap, Positivisme
Konteks Historis Abad ke-14, peradaban Arab dan Muslim Abad ke-19, Pencerahan dan Revolusi Industri Eropa

Perbandingan Konseptual: Asabiyyah vs. Solidaritas Sosial Durkheim

Konsep asabiyyah Ibnu Khaldun dapat diperbandingkan dengan teori solidaritas sosial Émile Durkheim (1858-1917 M), yang juga merupakan salah satu tokoh kunci dalam sosiologi modern.

Baik Ibnu Khaldun maupun Durkheim sepakat tentang pentingnya kohesi kelompok sebagai fondasi hubungan sosial. Mereka berdua juga mengakui peran pembagian kerja dalam membentuk hubungan sosial. Ibnu Khaldun berpendapat bahwa pembagian kerja menciptakan saling ketergantungan yang memperkuat solidaritas, sementara Durkheim melihat pembagian kerja sebagai dasar dari ikatan sosial yang kuat atau lemah.

Namun, terdapat perbedaan mendasar antara kedua konsep ini. Teori asabiyyah Ibnu Khaldun berfokus pada solidaritas yang didasarkan pada nilai, kepercayaan, dan warisan budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi. Sebaliknya, Durkheim membedakan antara solidaritas mekanik (berbasis pada homogenitas dan kesadaran kolektif yang kuat) dan solidaritas organik (berbasis pada pembagian kerja dan saling ketergantungan). Perbedaan penting lainnya adalah pandangan mereka tentang konflik. Ibnu Khaldun berpendapat bahwa konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat solidaritas kelompok , sedangkan Durkheim melihat konflik sebagai sesuatu yang merusak solidaritas sosial. 

Kriteria Analisis Asabiyyah (Ibn Khaldun) Solidaritas Sosial (Durkheim)
Konsep Kunci Solidaritas kelompok, perekat relasional, kohesi sosial Solidaritas mekanik dan organik, kesadaran kolektif
Basis Ikatan Nilai, kepercayaan, praktik budaya yang diwariskan Homogenitas (mekanik) atau pembagian kerja dan interdependensi (organik)
Pandangan Konflik Dapat memperkuat solidaritas kelompok Merusak solidaritas sosial
Ruang Lingkup Aplikasi Menggerakkan siklus kebangkitan dan kejatuhan peradaban Menjelaskan struktur dan fungsi masyarakat

Perbandingan Pragmatis: Ibnu Khaldun vs. Machiavelli

Ibnu Khaldun sering dibandingkan dengan Niccolò Machiavelli (1469-1527 M) karena keduanya memiliki pendekatan yang realistis terhadap politik. Keduanya berani melihat kekuasaan dan negara sebagaimana adanya, bukan sebagaimana seharusnya. Namun, terdapat perbedaan filosofis yang mendasar di antara keduanya.

Meskipun realistis, Ibnu Khaldun mengintegrasikan moralitas dan agama ke dalam analisisnya tentang kekuasaan. Baginya, kekuasaan tidak hanya berfungsi sebagai otoritas kontrol, tetapi sebagai instrumen untuk mewujudkan kebaikan publik (maslahah) yang merupakan bagian dari visi ilahiah bagi peradaban manusia. Pandangan ini sangat kontras dengan Machiavelli, yang dalam karyanya The Prince, memisahkan etika dari politik, memandang kekuasaan sebagai tujuan itu sendiri dan berpendapat bahwa penguasa harus siap bertindak amoral demi mempertahankan kekuasaannya. Perbedaan ini menempatkan Ibnu Khaldun sebagai pemikir politik yang pragmatis namun tetap berlandaskan pada tujuan-tujuan yang mulia.

Relevansi Kontemporer dan Kritik Akademis

Relevansi Pemikiran Ibnu Khaldun di Era Modern

Meskipun pemikiran Ibnu Khaldun lahir lebih dari enam abad yang lalu, konsep-konsepnya tetap sangat relevan untuk menganalisis tantangan global di era modern, seperti polarisasi politik, ketidaksetaraan ekonomi, dan krisis institusional. Model siklus peradabannya dapat digunakan untuk memahami dinamika geopolitik, termasuk kebangkitan dan penurunan kekuatan global.

Dalam konteks Indonesia, pemikiran Ibnu Khaldun memiliki pengaruh yang signifikan, khususnya pada filsafat sejarah yang dirumuskan oleh Muhammad Yamin. Yamin menggunakan kerangka Khaldunian untuk membangun historiografi yang “Indonesia-sentris,” di mana ia menekankan pentingnya kritik sumber, sintesis tafsiran sejarah, dan fokus pada ciri khas sejarah Indonesia sebagai entitas mandiri. Gagasan Yamin tentang nasionalisme yang memengaruhi penulisan sejarah Indonesia juga berakar pada pemikiran Ibnu Khaldun bahwa gerak sejarah dipengaruhi oleh kehendak Tuhan yang termanifestasi dalam tindakan sosiologis manusia.

Kritik terhadap Pemikiran Ibnu Khaldun

Meskipun mendapat banyak pujian, pemikiran Ibnu Khaldun juga tidak luput dari kritik akademis. Salah satu kritik utamanya adalah terhadap pandangannya tentang batasan akal (rasio). Ibnu Khaldun berpendapat bahwa akal adalah “standar yang tepat” untuk permenungan, tetapi ia menekankan bahwa akal memiliki batasan yang tidak bisa dilampaui. Ia mengkritik para filosof yang mencoba menggunakan akal untuk memahami hal-hal di luar ambang batasnya, seperti masalah tauhid, akhirat, kenabian, dan sifat-sifat ketuhanan. Baginya, mencoba memahami realitas non-fisik dengan akal adalah “ambisi untuk menggapai kemustahilan”. Posisi ini menunjukkan bahwa ia adalah seorang empiris-rasionalis yang ketat dalam menganalisis fenomena duniawi, namun tetap tunduk pada batas-batas akal ketika menyentuh ranah ilahiah.

Kritik lain juga menyoroti ambiguitas konsep asabiyyah. Meskipun ia menggunakan istilah ini secara ekstensif, Ibnu Khaldun tidak pernah memberikan definisi eksplisit yang tunggal, yang mungkin karena istilah tersebut sudah familiar di zamannya. Akibatnya, interpretasi terhadap maknanya dapat bervariasi, meskipun sebagian besar akademisi sepakat bahwa ia merujuk pada kohesi atau solidaritas sosial. Selain itu, Ibnu Khaldun juga memberikan kritik bernuansa terhadap Tasawuf. Ia tidak menolak Tasawuf secara keseluruhan, tetapi ia menolak mereka yang “pandir dan bodoh” dan yang hanya berpura-pura saleh dengan berlindung di balik jubah sufisme untuk tujuan pribadi.

Kesimpulan

Analisis komprehensif terhadap pemikiran Ibnu Khaldun menegaskan posisinya sebagai salah satu arsitek utama ilmu-ilmu sosial. Kontribusinya yang paling monumental adalah penciptaan ilm al-‘umran, yang mentransformasi penulisan sejarah dari sekadar narasi kronologis menjadi sebuah ilmu yang mempelajari hukum-hukum peradaban manusia. Melalui teori siklus peradabannya yang digerakkan oleh dinamika asabiyyah, ia menyajikan model sistemik yang canggih untuk menjelaskan kebangkitan dan kejatuhan peradaban.

Pemikiran multidisiplinernya—dari konsep modern tentang kekayaan nasional dan peran fiskal negara hingga pandangannya yang pragmatis namun bermoral tentang politik—menunjukkan kedalaman dan keluasan intelektualnya yang luar biasa. Perbandingan dengan tokoh-tokoh Barat seperti Auguste Comte dan Émile Durkheim menegaskan bahwa Ibnu Khaldun bukan hanya seorang pendahulu, melainkan dapat dianggap sebagai “co-founder” ilmu-ilmu sosial, yang menantang narasi Eurosentris tentang sejarah disiplin ini.

Secara keseluruhan, Ibnu Khaldun adalah jembatan intelektual antara peradaban Islam dan Barat, dengan pemikiran yang melampaui zamannya dan tetap relevan hingga kini. Model dan kerangka analisisnya masih menawarkan wawasan berharga untuk mengkaji tantangan kontemporer, termasuk krisis institusional, ketidaksetaraan global, dan dinamika geopolitik. Studi lebih lanjut tentang pemikirannya akan terus memperkaya pemahaman kita tentang evolusi peradaban manusia.

 

Daftar Pustaka :

  1. Ibnu Khaldun “Sang Sosiolog” – Muhammadiyah Boarding School (MBS) Tarakan, diakses September 8, 2025, https://mbstarakan.sch.id/ibnu-khaldun-sang-sosiolog/
  2. About Ibn Haldun – IHU, diakses September 8, 2025, https://www.ihu.edu.tr/en/ibn-haldun-kimdir
  3. Muqadimah Ibn Khaldun dan peradaban ilmu Islam – Yayasan Dakwah Islamiah Malaysia, diakses September 8, 2025, https://www.yadim.com.my/v2/muqadimah-ibn-khaldun-dan-peradaban-ilmu-islam/
  4. Muqaddimah Ibnu Khaldun, Bacaan Orang-Orang Hebat – Jakarta …, diakses September 8, 2025, https://jbr.id/resensi/muqaddimah-ibnu-khaldun-bacaan-orang-orang-hebat-2526/
  5. Relevansi Pemikiran Ibnu Khaldun dalam Pembelajaran Sejarah – Ideguru: Jurnal Karya Ilmiah Guru, diakses September 8, 2025, https://jurnal-dikpora.jogjaprov.go.id/index.php/jurnalideguru/article/download/1593/807/
  6. Mengenal Bapak Sosiologi Islam beserta Filsafat Sejarahnya | kumparan.com, diakses September 8, 2025, https://kumparan.com/sejarah-dan-sosial/mengenal-bapak-sosiologi-islam-beserta-filsafat-sejarahnya-20vSrkpFr6r
  7. Ibn Khaldun and Auguste Comte: A Comparative Analysis of the Founding Figures of Sociology, diakses September 8, 2025, https://ijssers.org/wp-content/uploads/2024/08/10-2308-2024.pdf
  8. The Science of `Umran: Revitalising Nation Prosperity – International Journal of Education and Human Developments, diakses September 8, 2025, https://ijehd.cgrd.org/images/vol3no4/6.pdf
  9. PEMIKIRAN IBNU KHALDUN TENTANG ILMU PENGETAHUAN DITINJAU DARI PERSPEKTIF SEJARAH Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syar, diakses September 8, 2025, http://repositori.uin-alauddin.ac.id/26453/1/40200116076%20NUR%20ILHAM%20FAJAR.pdf
  10. Relevansi Pemikiran Ibnu Khaldun dalam Rumusan Filsafat Sejarah …, diakses September 8, 2025, https://ejournal.uin-suka.ac.id/ushuluddin/ref/article/view/5976/2593
  11. Ibn Khaldun’s concept of Asabiyah – AMUST, diakses September 8, 2025, https://www.amust.com.au/2019/10/ibn-khalduns-concept-of-asabiyah/
  12. Mengenal Ibnu Khaldun: Tokoh Pencetus Teori Siklus | kumparan.com, diakses September 8, 2025, https://kumparan.com/berita-terkini/mengenal-ibnu-khaldun-tokoh-pencetus-teori-siklus-1zyIkMWOmym
  13. metode sejarah dalam perspektif ibnu khaldun (telaah kitab mukaddimah), diakses September 8, 2025, https://ejurnal.iainpare.ac.id/index.php/carita/article/download/5301/1807/
  14. Konsep Perekonomian Menurut Ibnu Khaldun dalam Mensejahterakan Umat, diakses September 8, 2025, https://jurnal.stisummulayman.ac.id/gosejes/article/view/207/107
  15. studi pemikiran ibn khaldun tentang ekonomi islam – Ejournal …, diakses September 8, 2025, https://ejournal.stebisigm.ac.id/index.php/esha/article/download/91/80/
  16. PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM IBN KHALDUN DAN RELEVANSINYA DENGAN SISDIKNAS – JURNAL TARBIYAH UINSU – UIN Sumatera Utara, diakses September 8, 2025, https://jurnaltarbiyah.uinsu.ac.id/index.php/tarbiyah/article/download/33/95
  17. Pemikiran Ibnu Khaldun Tentang Perspektif Pendidikan – Jurnal Unisai, diakses September 8, 2025, https://www.ejournal.unisai.ac.id/index.php/jiat/article/download/496/454/1750
  18. Khairil Henry, Konsep Ekonomi Ibnu Khaldun dan Relevansinya dengan Teori – e-Journal UIN Suska, diakses September 8, 2025, https://ejournal.uin-suska.ac.id/index.php/al-fikra/article/download/10064/5341
  19. Compare Ibn-e-Khaldun’s Asabiya and Durkheim’s social solidarity …, diakses September 8, 2025, https://cssprepforum.com/compare-ibn-e-khalduns-asabiya-and-durkheims-social-solidarity-based-on-consonance-and-dissonance-in-the-major-premises-of-their-theories/
  20. What Holds Society Together? Ibn Khaldun, Durkheim, Gellner and Beyond – 3:16, diakses September 8, 2025, https://www.3-16am.co.uk/articles/what-holds-society-together-ibn-khaldun-durkheim-gellner-and-beyond
  21. The Dark Mirror: Is Ibn Khaldun the Machiavelli of the Arab World? – YouTube, diakses September 8, 2025, https://www.youtube.com/watch?v=MDdDDcUXPCU
  22. Ibnu Khaldun dan Teori Peradaban: Relevansi Pemikirannya dalam Dunia Modern, diakses September 8, 2025, https://j-innovative.org/index.php/Innovative/article/download/16620/11179/28444
  23. Relevansi Pemikiran Ekonomi Ibnu Khaldun dalam Konteks Ekonomi Modern, diakses September 8, 2025, https://prin.or.id/index.php/JURRIE/article/view/5747
  24. Kritik Ibnu Khaldun terhadap Filsafat Islam (Part II) – Dialektika Institute, diakses September 8, 2025, https://dialektika.or.id/kritik-ibnu-khaldun-terhadap-filsafat-islam-part-ii/
  25. Ketika Ibn Khaldun Mengkritik Tasawuf – Islami[dot]co, diakses September 8, 2025, https://islami.co/ketika-ibn-khaldun-mengkritik-tasawuf/
  26. An Arab Machiavelli? Rhetoric, Philosophy and Politics in Ibn Khaldun’s Critique of Sufism James Winston Morris – Center for Middle Eastern Studies, diakses September 8, 2025, https://cmes.fas.harvard.edu/files/cmes/files/hmeir08_pp242-292.pdf

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

CAPTCHA ImageChange Image

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.