Peristiwa Malari, akronim dari “Malapetaka Lima Belas Januari,” merupakan salah satu episode kelam dalam sejarah modern Indonesia yang terjadi pada 15-16 Januari 1974. Peristiwa ini bermula dari demonstrasi mahasiswa yang berujung pada kerusuhan massal, penjarahan, dan pogrom, yang mengakibatkan 11 orang tewas, 137 luka-luka, dan ratusan kendaraan serta bangunan hancur. Berbeda dengan narasi umum yang sering hanya berfokus pada kekerasan di jalanan, analisis mendalam menunjukkan bahwa Peristiwa Malari bukanlah sekadar letupan emosi spontan. Ia adalah manifestasi kompleks dari ketidakpuasan sosial-ekonomi yang terakumulasi, persaingan politik elite yang kejam, dan pergeseran fundamental dalam strategi kekuasaan rezim Orde Baru. Laporan ini akan mengulas secara terperinci latar belakang, kronologi, dampak, serta berbagai interpretasi sejarah yang mengelilingi insiden tersebut.

Iklim Menjelang Badai: Akar Ketidakpuasan di Awal Orde Baru

Peristiwa Malari tidak terjadi dalam ruang hampa. Ia adalah puncak dari ketegangan yang telah memanas sejak awal era Orde Baru, dipicu oleh tiga faktor utama: kondisi ekonomi yang memicu kritik, persaingan elite militer, dan peran sentral mahasiswa sebagai kekuatan moral.

Kondisi Ekonomi yang Membuncah Kritik

Pada awal pemerintahannya, rezim Orde Baru di bawah Presiden Soeharto menerapkan kebijakan ekonomi yang berorientasi pada pembangunan dan investasi asing untuk menstabilkan dan mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional. Kebijakan ini, yang berhasil mencatatkan laju pertumbuhan rata-rata hampir 7% per tahun, dianggap sebagai langkah fundamental untuk bangkit dari stagnasi yang dialami pada era sebelumnya. Namun, model pembangunan yang mengandalkan modal asing, khususnya dari Jepang, memicu kritik keras dari berbagai kalangan, terutama mahasiswa dan intelektual.

Kritik utama berfokus pada kekhawatiran bahwa dominasi investasi asing justru merugikan ekonomi nasional dan menghambat perkembangan industri dalam negeri. Para demonstran menuduh bahwa investasi ini hanya menguntungkan segelintir kelompok elit dan menciptakan ketimpangan ekonomi yang semakin tajam. Sentimen anti-Jepang semakin menguat seiring dengan “banjirnya” produk Jepang yang dianggap mematikan pengusaha lokal. Masalah ekonomi ini diperparah oleh inflasi yang tinggi, yang rata-rata mencapai 18% per tahun antara 1974-1981, serta krisis beras parah pada 1972-1973. Kondisi ini menciptakan krisis kepercayaan yang mendalam terhadap pemerintah, yang dituduh terlibat dalam praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang merajalela.

Pusaran Kekuasaan Militer: Rivalitas Soemitro vs. Ali Moertopo

Di balik layar kekuasaan, situasi politik juga memanas. Peristiwa Malari berfungsi sebagai panggung bagi persaingan sengit antara dua faksi militer terkuat: kelompok Jenderal Soemitro, yang saat itu menjabat Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib), dan kelompok Mayor Jenderal Ali Moertopo, kepala Operasi Khusus (Opsus) dan salah satu Asisten Pribadi (Aspri) Presiden Soeharto. Rivalitas ini berakar dari perbedaan pandangan ideologis dan upaya Soeharto untuk mengonsolidasikan kekuasaannya melalui lembaga-lembaga non-struktural.

Peristiwa Malari, bagi banyak analis, adalah puncak dari perebutan kekuasaan ini. Kelompok Ali Moertopo dituduh secara sengaja mengirimkan provokator, termasuk preman dan supir becak, untuk memicu kekerasan dan penjarahan. Aksi ini bertujuan untuk mendiskreditkan gerakan mahasiswa yang semula damai dan merusak citra Jenderal Soemitro di mata Soeharto. Di sisi lain, Jenderal Soemitro dituduh membiarkan kerusuhan terjadi, dengan harapan bahwa letupan protes mahasiswa akan menekan Soeharto untuk membubarkan Aspri dan menyingkirkan rivalnya. Ketiadaan tindakan tegas dari pasukan keamanan di bawah komando Soemitro selama kerusuhan dipandang sebagai bagian dari strategi ini. Dengan demikian, kerusuhan brutal yang menodai Jakarta bukanlah sebuah kecelakaan, melainkan hasil dari perebutan kekuasaan yang diperhitungkan, di mana api kemarahan publik dimanfaatkan untuk mencapai tujuan politik internal elite.

Aktor Kunci dan Tuntutan Mahasiswa Pra-Malari

Sebelum kerusuhan pecah, gerakan mahasiswa telah menunjukkan gelombang protes. Mereka memandang diri mereka sebagai “kekuatan moral” yang bertujuan mengkritik penyimpangan dan korupsi tanpa ambisi politik praktis. Pergerakan ini digambarkan seperti kisah koboi yang datang untuk membasmi bandit tanpa mengharapkan kekuasaan atau imbalan, kemudian kembali ke kehidupan normal.

Pada 24 Oktober 1973, Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (DMUI) di bawah kepemimpinan Hariman Siregar menyampaikan Petisi 24 Oktober 1973. Petisi ini secara eksplisit menuntut pembersihan pejabat yang menyalahgunakan wewenang dan mendapatkan keuntungan pribadi dari penanaman modal asing, pembebasan rakyat dari ketidakpastian hukum dan kenaikan harga, serta refungsionalisasi lembaga-lembaga penyalur pendapat rakyat. Tuntutan ini kemudian berkembang menjadi “Tritura Baru 1974,” yang menuntut pembubaran Aspri, penurunan harga bahan pokok, dan pemberantasan korupsi. Petisi ini menunjukkan bahwa gerakan mahasiswa didasarkan pada kritik yang terstruktur dan terarah, bukan sekadar protes tanpa tujuan.

Detik-Detik Malapetaka: Kronologi, Kekerasan, dan Provokasi

Peristiwa Malari mencapai titik puncaknya saat kunjungan kenegaraan Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka, yang berlangsung dari 14 hingga 17 Januari 1974.

Aksi Mahasiswa dan Kunjungan PM Tanaka

Pada 14 Januari 1974, mahasiswa berencana menyambut kedatangan PM Tanaka dengan demonstrasi di Bandara Halim Perdanakusuma. Mereka ingin memprotes dominasi ekonomi Jepang yang dianggap merugikan, namun aksi tersebut gagal karena dihadang oleh penjagaan ketat aparat keamanan. Akibatnya, mahasiswa yang kecewa berkumpul di Universitas Indonesia (UI), dan di bawah pimpinan Hariman Siregar, mereka merencanakan aksi demonstrasi yang lebih besar untuk keesokan harinya.

Pecahnya Kerusuhan dan Aksi Pogrom

Ribuan mahasiswa dari berbagai universitas berkumpul di jalanan Jakarta pada 15 Januari 1974. Awalnya, aksi ini berlangsung damai, dengan tuntutan pembubaran Aspri, penurunan harga, dan pemberantasan korupsi. Namun, di sore hari, demonstrasi berubah menjadi kerusuhan massal yang brutal dan terorganisasi, yang dicurigai kuat dipicu oleh provokator.

Tabel berikut menyajikan kronologi rinci dan aktor kunci yang terlibat pada puncak Peristiwa Malari.

Tanggal Kejadian Utama Aktor Terlibat
14 Januari 1974 Kedatangan Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka. Mahasiswa berusaha berdemonstrasi di Bandara Halim Perdanakusuma, namun dihadang oleh aparat. PM Tanaka, mahasiswa, aparat keamanan.
15 Januari 1974 (pagi) Ribuan mahasiswa berkumpul dan memulai demonstrasi damai dengan tuntutan pembubaran Aspri, penurunan harga, dan anti-korupsi. Mahasiswa, Jenderal Soemitro (bertemu massa).
15 Januari 1974 (sore) Demonstrasi berubah menjadi kerusuhan massal. Pembakaran dan penjarahan ratusan mobil, terutama merek Jepang, termasuk showroom Toyota Astra. Massa perusuh, provokator, kekuatan keamanan (dituduh tidak bertindak tegas).
15 Januari 1974 (malam) Kerusuhan bergeser menjadi pogrom anti-Tionghoa. Toko-toko di kawasan Glodok dan kompleks pertokoan Senen dijarah dan dibakar. Massa, komunitas Tionghoa-Indonesia, aparat keamanan.
16 Januari 1974 Pasukan militer KKO, RPKAD, dan Kostrad menembaki perusuh untuk mengakhiri kerusuhan. PM Tanaka meninggalkan Indonesia. Pasukan KKO, RPKAD, Kostrad, massa perusuh, PM Tanaka.

Kerusuhan ini tidak hanya terbatas pada pembakaran kendaraan dan gedung-gedung Jepang. Pada malam hari, kekerasan bergeser menjadi pogrom terhadap etnis Tionghoa-Indonesia. Toko-toko milik warga keturunan Tionghoa di Glodok dan kompleks perbelanjaan Senen menjadi sasaran penjarahan dan pembakaran. Kekuatan keamanan di bawah komando Jenderal Soemitro dituduh tidak mengambil tindakan tegas untuk menghentikan penjarahan tersebut. Pergeseran dari protes ekonomi ke kekerasan rasial ini menunjukkan bahwa kemarahan yang berakar pada masalah ekonomi tidak hanya diarahkan pada investor asing, tetapi juga pada minoritas domestik yang dituduh bersekongkol dengan elite militer untuk mengeksploitasi ekonomi. Pola kekerasan yang dialihkan ini menunjukkan adanya manipulasi yang mengalihkan perhatian publik dari kritik terhadap rezim kepada isu rasial yang lebih mudah diprovokasi.

Konsekuensi Tak Terhindarkan: Konsolidasi Kekuasaan dan Represi

Terlepas dari siapa dalang sesungguhnya, Peristiwa Malari memberikan konsekuensi yang signifikan bagi lanskap politik, ekonomi, dan sosial Indonesia.

Konsolidasi Kekuasaan Politik Soeharto

Presiden Soeharto menggunakan peristiwa ini sebagai momen untuk mengonsolidasikan kekuasaannya. Jenderal Soemitro, yang dituduh menghasut perusuh dan gagal mengendalikan situasi, dipaksa mengundurkan diri sebagai Pangkopkamtib. Posisi pentingnya kemudian diambil alih langsung oleh Presiden. Meskipun Ali Moertopo awalnya tampak sebagai pemenang, lembaga Aspri, yang menjadi sumber kekuasaannya, juga dibubarkan sebagai respons atas tuntutan mahasiswa. Dengan menyingkirkan kedua faksi militer yang bersaing, Soeharto berhasil memusatkan kekuasaan sepenuhnya di tangannya, membatasi peran legislatif dan yudikatif, dan menyingkirkan lawan-lawan potensial.

Pergeseran Kebijakan Ekonomi: Trilogi Pembangunan

Malari memaksa pemerintah Orde Baru untuk mengevaluasi kembali model pembangunan yang selama ini dijalankan. Pemerintah menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi saja tidak cukup untuk menjaga stabilitas. Kerusuhan Malari menunjukkan bahwa ketimpangan sosial dan ekonomi dapat menjadi ancaman serius. Sebagai respons, rezim menggeser kebijakan ekonominya dari pendekatan yang hanya menekankan pertumbuhan (trickling down effect) ke pendekatan yang lebih terintervensi untuk pemerataan, yang kemudian dikenal sebagai Trilogi Pembangunan.

Sebagai contoh, setahun setelah peristiwa Malari, pemerintah meluncurkan program pembangunan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dan Sekolah Dasar Inpres untuk mewujudkan pemerataan di bidang kesehatan dan pendidikan. Peristiwa Malari, oleh karena itu, dapat dilihat sebagai katalisator yang memaksa rezim untuk mengadopsi kebijakan ekonomi yang lebih populis guna meredam ketidakpuasan akar rumput.   Pemberangusan Gerakan Mahasiswa dan Pers

Konsekuensi paling nyata dari Peristiwa Malari adalah tindakan represif yang brutal dan menyeluruh. Pemerintah menuding pers bertanggung jawab atas situasi politik yang memanas dan memicu kerusuhan. Akibatnya, setidaknya 12 media massa dibredel dan dicabut izin penerbitannya. Jurnalis senior seperti Mochtar Lubis ditahan tanpa pengadilan , sementara aktivis mahasiswa seperti Hariman Siregar, Syahrir, dan Aini Chalid diadili dan dipenjara.

Untuk memastikan kerusuhan serupa tidak terulang, pemerintah memperkenalkan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK) pada tahun 1978. Kebijakan ini secara efektif membungkam gerakan politik mahasiswa, mendomestikasi mereka ke dalam ranah akademik murni, dan secara efektif mematikan kritik politik dari dalam kampus selama lebih dari dua dekade.

Membaca Ulang Sejarah: Berbagai Narasi dan Warisan Malari

Interpretasi Peristiwa Malari bervariasi tergantung pada perspektifnya. Narasi resmi pemerintah Orde Baru menyalahkan mahasiswa sebagai dalang kerusuhan, yang kemudian digunakan sebagai justifikasi untuk tindakan represif dan pembungkaman. Namun, bukti-bukti historis dan analisis kritis menunjukkan gambaran yang jauh lebih kompleks.

Bagi banyak sejarawan dan analis, Malari bukanlah murni gerakan mahasiswa, melainkan perebutan kekuasaan yang disamarkan. Aksi kekerasan dan penjarahan yang terjadi bukan hanya ekspresi kemarahan publik, tetapi juga bagian dari skenario politik yang dirancang oleh elite untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi mereka.

Di sisi lain, para aktivis mahasiswa yang terlibat, seperti Judilherry Justam, bersikeras bahwa gerakan mereka murni didasarkan pada hati nurani untuk menentang ketidakadilan. Mereka melihat diri mereka sebagai “kekuatan moral” yang ingin mengoreksi penyimpangan pemerintah, bukan sebagai alat politik yang dimanipulasi. Kedua narasi ini tidak harus saling meniadakan. Sebaliknya, hal itu menunjukkan bahwa gerakan mahasiswa yang tulus dimanfaatkan oleh elite politik yang bersaing untuk tujuan mereka sendiri. Ini menjelaskan mengapa penegakan hukum terhadap pelaku kerusuhan terasa manipulatif dan tidak adil, karena dalang sesungguhnya berada di lingkaran kekuasaan tertinggi dan tidak pernah tersentuh hukum.

Kesimpulan

Peristiwa Malari adalah cerminan kompleksitas rezim Orde Baru yang baru berkuasa. Ia adalah pertemuan tragis antara ketidakpuasan publik yang tulus, intrik kekuasaan yang kejam, dan pergeseran strategis rezim. Demonstrasi mahasiswa yang awalnya damai dan didasarkan pada tuntutan yang valid mengenai dominasi modal asing, korupsi, dan ketimpangan ekonomi, menjadi katalis bagi sebuah konspirasi elite yang berujung pada kekerasan.

Warisan Peristiwa Malari bersifat ganda. Di satu sisi, ia memaksa rezim Orde Baru untuk mengadopsi kebijakan ekonomi yang lebih populis dan mengarah pada perumusan Trilogi Pembangunan. Hal ini menunjukkan bahwa rezim menyadari perlunya meredam ketidakpuasan rakyat melalui kebijakan yang lebih pro-rakyat, sebuah “wortel” untuk menenangkan massa. Di sisi lain, Malari juga menjadi justifikasi bagi rezim untuk melancarkan represi politik yang brutal dan total. Pers dibungkam, aktivis dipenjara, dan gerakan mahasiswa secara efektif dimatikan melalui kebijakan NKK/BKK. Represi ini berfungsi sebagai “tongkat” untuk membasmi setiap benih oposisi. Strategi ganda ini, memadukan represi politik total dengan intervensi ekonomi yang terkelola, menjadi resep kunci bagi Soeharto untuk melanggengkan kekuasaannya selama dua dekade berikutnya, hingga rezimnya tumbang pada tahun 1998. Malari, dengan demikian, bukan hanya sebuah peristiwa, melainkan sebuah pelajaran penting tentang bagaimana rezim otoriter dapat berevolusi dari kondisi yang rapuh menjadi entitas yang sangat stabil dan represif.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

CAPTCHA ImageChange Image

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.