KAUM SAUDAGAR DAN NEGARA

Kaum pedagang atau pun para pengusasa di Indonesia mulai awal republik ini berdiri sampai saat ini selalu dalam lingkaran sentrum kekuasaan negara. Kekuasaan negara itu bisa berupa keterwakilan mereka di parlemen, pengurus inti partai politik bahkan pemegang tampuk perusahaan baik sebagai presiden/wakil presiden maupun pembantu presiden (Menteri) serta lembaga-lembaga tertinggi negara.

Berbagai analisa  yang dilakukan oleh beberapa ahli menemukan fakta bahwa terdapat hubungan yang erat antara ekonomi dan politik, dengan pengertian lain bahwa pelaku-pelaku ekonomi kerap menggunakan kekuatan politik untuk mencapai keuntungan yang sebesarnya terlepas apakah itu digunakan untuk kepentingan sang pelaku ekonomi atau untuk kepentingan negara. Berbagai kebijakan yang telah diambil oleh pemerintah Indonesia pada masa lampau, seperti regulasi tataniaga cengkeh, kebijakan mobil nasional, kebijakan tariff dan tariff serta kebijakan quota impor dan eksport, terbukti lebih banyak menguntungkan kaum pedagang ketimbang untuk kesejahteraan masyarakat banyak.

Kaum pedagang ini ternyata berevolusi ke dalam berbagai bentuk yang kiprahnya menguasai ruang publik seperti Media massa baik surat kabar maupun televisi, provider Internet  dan bisnis bisnis teknologi informasi lainnya.

Kaum pedagang atau dalam bahasa ekonominya adalah merkantilis, tujuannya jelas mencari keuntungan dengan berbagai cara.  Merkantilis sendiri bermakna suatu rangkaian kegiatan yang didukung oleh para kepala negara, pembuat undang-undang, saudagar saudagar besar dan ditambah para pengamat, analis dan beberapa kelompok masyarakat elit.

Pada awalnya, merkantilisme dirancang terutama untuk kepentingan negara yang menggunakan kaum saudagar sebagai ujung tombaknya untuk mencari kekayaan sebesar-sebesarnya, mereka berpandangan bahwa bahwa apabila suatu negara meningkat kekayaannya maka akan meningkat kekuasaannya baik dalam negeri maupun di dunia internasional, dan mereka percaya bahwa teori merkantilis ini murapakan perpaduan yang sempurna antara sistem ekonomi dan politil.

Kaum merkantilis melihat bahwa terdapat hubungan yang erat antara kekuasaan dan kekkayaan negara. Negara adalah tempat kekuasaan. Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kekayaan, negara hendaklah memakai kekuasaan dan kekuatan politik ini untuk mengatur industri dan perdagangan. Pengaturan ini berbentuk pemberian hak monopoli terhadap komoditas eksport, membatasi import serta mengenakan pajak import dan quota. Kebijakan lain adalah proses kolonialisasi yaitu menjajah negara-negara yang lemah yang penuh dengan sumber daya alam dan mineral. Dengan menjajah bahan mentah dan komoditas perdagangan yang laku dapat diperoleh dengan harga yang paling murah.

Kita tentu masih ingat tentang Bangsa indonesia di jajah berbagai negara selama ratusan tahun, yang menjajah Indonesia bukan apa yang disebut negara pada pertama kalinya, tetapi yang menjajah kita adalah korporasi yang direstui oleh negara, dalam hal ini antara lain Pemerintah Belanda lewat usaha dagang VOC  ((Vereenigde Oostindische Compagnie) yang didirikan pada tanggal 20 Maret 1602 yang merupakan persekutuan dagang asal Belanda yang memiliki monopoli untuk aktivitas perdagangan di Asia, dan East India Company oleh pemerintah Inggris yang menguasai dan mengendalikan perdagangan dan komoditi di India dan mengatur perdagangan opium di China serta monopoli proyek kereta api.

Model Merkantilis ini dianggap sebagai contoh kapitalis murni yang hanya lebih menguntungkan pertumbuhan ketimbang pemerataan. Ekses yang ditimbulkan oleh merkantilis ini adalah penumpukan kekayaan di tangan segelitir orang atau kelompok dan sebagai efek lanjutannya adalah kesusahan dan resesi yang berkepanjangan bagi masyarakat banyak. Hal ini yang dialami oleh Inggris dan Amerika pada permulaan abad 20. Efek lainnya adalah penghisapan besar-besaran terhadap negara jajahan dan kelak akan mendapat perlawanan dari masyarakat jajahan.

Berbagai kritik datang untuk mengecam sistem merkantilis yang dianggap sudah tidak tepat karena ternyata menimbulkan banyak efek negatif dalam kesejahteraan suatu bangsa. Kritik tentu saja ditujukan kepada negara yang memakai sistem demokrasi liberal yang memakapi prinsip ekonomi kapitalis, seperti Indonesia dan berbagai negara-negara di Eropa dan Asia. Kritik banyak dialamatkan kepada penerapan kebijakan negara terhadap perkembangan ekonominya, yang dinilai gagal dalam pendistribusian namun sukses mencapai pertumbuhan ekonomi yang luar biasa.

Kritik Pertama datang dari Adam Smith (1723-1790) seorang  Ekonomi Inggris yang dalam bukunya “ “Wealth of Nation” menyarankan agar pemerintah tidak perlu campur tangan dalam ekonomi pasar. Smith menyarankan bahwa biarlah interaksi pasar (permintaan dan penawaran) yang mengatur ekonomi. Smith dengan istilahnya “Laissez  Faire” menyarakankan agar negara memberikan kekuasan kepada pelaku pasar untuk menentukan kebijakan pasar mereka sendiri dengan mempertimbangakn keunggulan spesialsisasi dan produktifitas. Hal ini menurut nya akan mampu memotivasi masyarakat untuk terjun ke dalam pasar dan bersaing secara sehat dengan para pesaingnya.

Kritik lainnya datang dari Karl Mark (1818-1884) seorang filosof Jerman, membuat sintesa atas doktrin merkantilis sembari mengkritik sistem kapitalis yang hanya  membuat struktur kelas sosial. Menurut Marx, kelas penguaha yang memiliki akses alat-alat produksi sekaligus punya akses ke kekuasaan, akan terus mengeksploitasi buruh  untuk bekerja semaksimal mungkin dan digaji seminimal mungkin. dibarengi dengan  akses kekuasaannya, kaum pengusaha akan diperkuat dengan dengan bantuan penguasa politik yang mengeluarkan undang-undang yang nantinya akan merugikan para buruh dan terus memadamkan upayaa-upaya protes proses dengan refresif. Dengan demikian kata Marx, Kekuatan politik dalam masyarakat memasukkan jasa-jasa kekuatan ekonomi. Solusinya menurut Marx adalah Bersatunya seluruh buruh untuk membentuk suatu kekuatan dalam kekuasaan negara yang berupa kerja kolektif dan penguasaan alat-alat produksi dan modal oleh negara

Sintesa dan solusi lainnya berasal dari John Maynard Kerneys (1883-1946) seorang ekonomi AS, yang mencoba mencari jalan tengah persoalan karut marut keberadaan kaum pedagang di sentrum kekuasaan negara. ide  besar  Keynes adalah tentang fungsi negara  yang hanya sebagai stabilisator perekomian. Keynes mengkritik Smith tentang  keseimbangan otomatis yang dipandangnya tidak tepat, karena menurut Keynes, dalam jangka panjang, ketidakseimbangan  dalam perekonomian kapitalis dapat menyebabkan krisis ekonomi, depresi dan pengangguran jangka panjang. Keynes berpendapat bahwa pemerintah harus berperan dalam perekonomian suatu negara terutama dalam kebijakan tingkat pendapatan masyarakat dan lapangan kerja, hal ini bisa dalam bentuk kebijakan tingkat suku bunga, persedian uang, perpajakan, dan belanja modal pemerintah  untuk investasi infrastruktur.

Di Indonesia, hal saudagar yang berada dalam lingkaran kekuatan negara adalah hal yang lumrah, mulai dari pimpinan partai politik yang rata-rata berlatar belakang pengusaha yang dikhawatirkan akan turut mencampuri kebijakan ekonomi negara untuk memperkuat bisnisnya dan hal ini bukan tidak mungkin, mengingat sistem penganggaran negara harus melalui apa yang disebut dengan lembaga politik DPR RI. Dampak-dampak atau hasil dari kolaborasi antara saudagar dengan negara secara kasat mata banyak kita lihat, seperti jalan yang tidak berkualitas, distribusi yang tidak adil dan pengadaan yang merugikan masyarakat besar, hanya atas nama perkembangan ekonomi.