KARYA SASTRA DAN PEMBEBASAN MANUSIA

Oleh :  Ade P. Nasution

Dunia sastra indonesia dari hari ke hari semakin tidak menarik lagi, kebanyakan sastra yang kita nikmati saat ini hanya berkutat pada permainan kata tanpa makna dan tanpa ada unsur pembebasan jiwa.

Karya sastra yang berupa roman, Cerpen, novel, puisi, dan Drama yang sering kita nikmati sehari-hari tampaknya semakin hari semakin meninggalkan bentuk aslinya yang sebenarnya mengajak pembacanya untuk mengetahui, memahami dan bahkan melaksanakan apa-apa yang ditulis oleh pengarangnya.

Pada era sebelumnya, karya sastra menjadi pembebas manusia baik dari ketertindasan dari penguasa, ketidaktahuan dan keterbelakangan. Karya sastra adalah senjata yang mampu menghunjam tepat ke jantung hati diktator dan penguasa zalim. Tidak heran, pada masa-masa tertentu, sastrawan bahkan dianggap lebih berbahaya ketimbang penjahat atau teroris, dan memperlakukan mereka dengan sangat tidak manusiawi bahkan ada yang sampai berujung maut.

Di Perancis misalnya, Sastrawan Victor Hugo dengan karyanya Les Miserables, diyakini orang sebagai salah satu pendorong terbentuknya republik Perancis yang sebelumnya dikuasai oleh monarki

Demikian juga di Rusia, sastrawan Leo Tolstoy lewat Novel-novelnya antara lain Perang dan Damai (1869), Anna Karenina (1875-1877),Kematian Ivan Ilyits (1886), yang menjadi jiwa bangsa Rusia pada zamannya dan mampu mempengaruhi pergerakan Mahatma Gandhi dan pergerakan-pergerakan moral lainnya didunia

Bahkan karya sastra misalnya novel atau puisi dapat menjadi penyemangat masyarakat yang tertidas ataupun mampu merubah struktur sosial masyarakat seperti puisi-puisi Chairil Anwar yang dijadikan jargon atau slogan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Karya Sastra juga dapat mempunyai fungsi sebagai kontrol terhadap jalannya kekuasaan yang dianggap melenceng dari relnya seperti pesan-pesan dalam puisi Karya W.S Rendra juga Pramudya Ananta Toer melalui roman dan novel-novelnya.

Dan yang terbaru adalah Puisi-puisi kaya Wiji Thukul, yang pada era 1990-an menjadi simbol perlawanan terhadap Orde Baru. Bahkan puisi-puisi Wiji Thukul ini adalah masterpiece sastra era reforarmasi Indonesia yang sampai saay ini masih hangat di bicarakan oleh kritikus dan aktivis.

Fungsi lain sastra yang kita ketahui bersama adalah sebagai wahana mempertebal keimanan dan semakin menjalankan perintah agama dan meninggalkan larangannya adalah puisi-puisi religius sebagaimana Gurindam Dua Belas –nya Raja Ali Haji yang berisi panduan untuk menjalani kehidupan sebagaimana orang beragama. Demikian juga penyair Taufik Ismail yang mengajak pembaca puisinya untuk selalu mendekat pada-Nya

Menurut Sapardi Joko Damono, salah seorang pujangga Indonesia terkemuka, definisi sastra adalah sarana untuk menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Melihat dari sudut pandang ini, sastra erat kaitannya dengan ilmu sosial yang mencakup hubungan antarmasyarakat dan peristiwa yang terjadi dalam kehidupan.

Ojek semua karya sastra adalah realitas yang terjadi dan realitas kehidupan manusia dipandang secara berbeda-beda berdasarkan ideologi yang dianut oleh sang sastrawan. Ideologi yang kita kenal yang pernah mewarnai kancah kesusastraan indonesia adalah Pancasila, Sosialisme, Agama, nasionalisme, Liberalisme, humanisme bahkan materialisme. Yang masing-masing sastrawan nya berupaya menuangkan realitas kedalam karya-karya mereka berdasarkan ideologi yang mereka anut

Sastra dapat menyuarakan ideologi yang diyakini pengarangnya. Ideologi yang muncul dalam teks sastra tak hanya berupa sikap pandangan ideologis pengarangnya. Namun,bisa pula melalui teks sastranya tersebut pengarang memunculkan berbagai tafsiran bahkan menawarkan wacana tandingan atas sebuah ideologi. Dalam situasi demikian, pengarang akan memunculkan berbagai tawaran sebagai bentuk counter-ideology terhadap sebuah ideologi tertentu.

Saat ini, entah kenapa, kekinian memuculkan karya sastra tanpa jiwa, tanpa ideologi dan tanpa semangat pembebasan bagi masyarakat sekitarnya, sastra saat ini hanya permainan kata, menuju pemujian diri sendiri dan tak lebih dari bacaan yang kita baca, setelah kita baca, disimpan dan tanpa meninggalkan makna seberkas pun…