Gerakan Lompatan Jauh ke Depan (Great Leap Forward ), yang diprakarsai oleh Ketua Mao Zedong dari tahun 1958 hingga 1962, merupakan eksperimen sosialis radikal yang bertujuan untuk mengubah Tiongkok dari masyarakat agraris menjadi kekuatan industri global dalam waktu singkat. Dorongan utama di balik gerakan ini adalah ambisi ideologis, kepercayaan yang salah pada potensi mobilisasi massa, dan perpecahan dengan Uni Soviet, yang mendorong Tiongkok mencari “jalannya sendiri” menuju komunisme. Namun, kebijakan ini secara fatal mengabaikan prinsip-prinsip ekonomi dasar dan keahlian teknis, yang berujung pada bencana kelaparan terbesar dalam sejarah manusia, kehancuran ekonomi, dan gejolak politik yang melumpuhkan. Meskipun membawa konsekuensi yang tragis, kegagalan GLF secara paradoks menjadi titik balik yang mendorong munculnya pemimpin-pemimpin pragmatis dan membuka jalan bagi reformasi ekonomi Tiongkok di masa depan. Laporan ini akan menganalisis secara mendalam latar belakang historis dan ideologis, rincian kebijakan dan implementasinya yang cacat, serta dampak jangka panjangnya yang merusak.
Kondisi Tiongkok Pra-1958: Sebuah Masyarakat Agraris dalam Transisi
Sebelum diluncurkannya Gerakan Lompatan Jauh ke Depan, Tiongkok adalah negara berbasis agraria, di mana sebagian besar penduduknya adalah petani. Dalam konteks ini, Tiongkok memiliki kemiripan dengan kondisi Indonesia pada era yang sama. Sejak berdirinya Republik Rakyat Tiongkok pada tahun 1949, pemerintah baru telah menerapkan beberapa reformasi agraria awal. Lahan-lahan milik tuan tanah disita oleh negara dan dibagikan secara merata kepada para petani penggarap.
Dalam periode yang mendahului GLF, Tiongkok telah menikmati kesuksesan awal yang signifikan melalui implementasi “Rencana Lima Tahun Pertama”. Keberhasilan ini, ditambah dengan “penyelesaian tiga transformasi besar” yang memperkuat “kepercayaan masyarakat” pada pembangunan sosialis, meyakinkan Komite Sentral Partai Komunis Tiongkok bahwa percepatan pembangunan ekonomi dapat dilakukan. Hal ini menciptakan iklim politik di mana optimisme berlebihan dan antusiasme rakyat dianggap sebagai modal tak terbatas untuk mendorong kemajuan, sebuah persepsi yang menjadi landasan filosofis bagi Gerakan Lompatan Jauh ke Depan.
Pendorong Ideologis dan Politik: Ambisi Mengalahkan Barat dan Kemandirian
Tujuan utama Mao Zedong dalam meluncurkan GLF pada Januari 1958 sangat ambisius: untuk membangkitkan ekonomi Tiongkok melalui industrialisasi besar-besaran dengan memanfaatkan jumlah tenaga kerja yang melimpah. Gerakan ini merupakan bagian dari “Rencana Lima Tahun Kedua” yang bertujuan untuk mengubah Tiongkok menjadi kekuatan industri dan “mengungguli semua negara kapitalis dalam waktu singkat”. Target yang paling mencolok adalah melampaui produksi baja Inggris dalam waktu 15 tahun.
Ambisi ini tidak semata-mata didasarkan pada perhitungan ekonomi, tetapi juga didorong oleh keyakinan ideologis yang mendalam dan pergeseran geopolitik. Secara domestik, Mao memegang teguh filosofi “voluntarist” dan “subjektif,” di mana ia percaya bahwa “inisiatif subjektif manusia” dan “kesadaran produsen kecil”—yang mayoritas adalah petani—dapat menjadi “basis ideologis yang solid” untuk mencapai kemajuan besar. Ia mengabaikan keahlian teknis dan prinsip-prinsip ekonomi dasar, mengandalkan semata-mata pada “antusiasme massa”. Visi ini merupakan pergeseran dari prinsip-prinsip pembangunan ekonomi tradisional menuju pendekatan yang didasarkan pada “kehendak” kolektif rakyat.
Secara internasional, perpecahan Tiongkok-Soviet memainkan peran penting dalam memicu GLF. Pada pertengahan 1963, hubungan antara Uni Soviet dan Tiongkok mencapai puncaknya dalam “pertengkaran ideologis” terkait masa depan komunisme. Tiongkok mengkritik kebijakan “koeksistensi damai” Uni Soviet dengan Barat sebagai “tren kontrarevolusioner”. Tiongkok berpendapat bahwa diperlukan kebijakan yang lebih “militan dan agresif” untuk menyebarkan revolusi komunis, dan tidak ada “koeksistensi damai” dengan kapitalisme. Perpecahan ini, yang memburuk hingga mencapai konflik perbatasan pada tahun 1969 , membuat Tiongkok merasa harus menemukan “jalannya sendiri” untuk mencapai komunisme dan kemandirian tanpa bergantung pada bantuan Soviet. GLF adalah manifestasi radikal dari pencarian “jalan Tiongkok sendiri” ini, di mana Tiongkok berambisi untuk “melebihi” kamp sosialis kapitalis dan melangkah maju secara independen.
Kebijakan dan Implementasi: Eksperimen Sosial-Ekonomi yang Fatal
Reorganisasi Masyarakat: Pembentukan Komune Rakyat
Inti dari Gerakan Lompatan Jauh ke Depan adalah pembentukan Komune Rakyat (人民公社), sebuah sistem peternakan kolektif skala besar yang dirancang untuk mengintegrasikan pertanian, industri, pendidikan, dan militer. Di bawah sistem ini, semua sumber daya dan tanah pribadi disita oleh negara untuk dibagikan secara merata, dengan petani bekerja dalam kelompok-kelompok yang diatur secara sentral. Tujuan teoretis dari komune adalah untuk meningkatkan hasil pertanian dan membebaskan tenaga kerja untuk tujuan industrialisasi.
Namun, dalam praktiknya, sistem ini menyebabkan inefisiensi dan produktivitas pertanian yang buruk. Penghapusan hak milik pribadi dan insentif material membuat petani tidak lagi memiliki motivasi untuk bekerja secara produktif. Kehidupan di komune menjadi sangat terkontrol, ditandai dengan “regimentasi ekstrem” yang mengikis kehidupan keluarga dan komunitas tradisional. Laporan saksi mata menggambarkan kondisi yang mengerikan, di mana makanan dijatah berdasarkan poin kerja dan bahkan hubungan pribadi diatur secara ketat, sering kali berujung pada tekanan psikologis yang ekstrem. Komune yang “terlalu besar dan tak bisa terurusi” menyebabkan kegagalan sistemik.
Obsesi Industrialisasi: Kampanye Tanur Rumahan (Backyard Furnaces)
Paralel dengan kolektivisasi pertanian, Mao meluncurkan kampanye industrialisasi yang dikenal sebagai “Kampanye Pembuatan Baja Hebat”. Untuk memenuhi target produksi baja yang tidak realistis—yaitu dua kali lipat dalam satu tahun, dari 5,35 juta ton pada tahun 1957 menjadi 10,7 juta ton pada tahun 1958 —Mao memutuskan untuk “menggerakkan seluruh rakyat” untuk berpartisipasi dalam gerakan ini. Rakyat dipaksa menyerahkan semua benda logam yang mereka miliki, termasuk alat-alat pertanian, alat masak, dan pegangan pintu, untuk dilebur di tanur-tanur kecil yang dibangun di halaman belakang rumah mereka.
Kebijakan ini merupakan kegagalan ganda yang dahsyat. Pertama, dari segi teknis, sebagian besar tanur ini tidak mampu memproduksi baja yang layak. Output yang dihasilkan hanyalah “besi kasar yang tidak dapat digunakan” dan “berkualitas rendah” karena kurangnya keahlian teknis dan penggunaan bahan yang tidak sesuai. Para ahli yang mencoba menyuarakan akal sehat dihukum berat. Kedua, kampanye ini secara langsung menghancurkan sektor pertanian. Jutaan “tenaga kerja produktif di bidang agraris” dialihkan ke sektor industri yang sia-sia, meninggalkan lahan pertanian tanpa cukup tenaga untuk menanam dan memanen tanaman. Kondisi ini menyebabkan “penurunan hasil panen secara drastis” hingga 75% dari level pra-GLF.
Pemalsuan Statistik dan Pengabaian Realitas
Sebagai akibat dari target yang tidak realistis dan tekanan politik yang ekstrem, pejabat lokal mulai memalsukan laporan hasil panen. Mereka melaporkan “hasil panen yang berlebihan” dan angka-angka produksi yang tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Laporan palsu ini menciptakan persepsi yang salah di kalangan petinggi Beijing, yang meyakini bahwa program ini “sangat sukses”. Keyakinan ini memicu sebuah lingkaran setan umpan balik positif yang destruktif: dengan meyakini adanya surplus, pemerintah pusat terus menuntut lebih banyak gandum dari desa untuk dialokasikan ke kota-kota dan bahkan diekspor ke luar negeri untuk “menjaga reputasi Tiongkok”. Hal ini semakin memperburuk kelaparan di pedesaan, yang menanggung beban paling berat dari kebijakan yang salah arah ini.
Dampak Catastrophic: Konsekuensi Kemanusiaan dan Ekonomi
Kelaparan Besar Tiongkok (1959-1961): Bencana Buatan Manusia
Gerakan Lompatan Jauh ke Depan berujung pada Bencana Kelaparan Besar Tiongkok, yang berlangsung dari tahun 1959 hingga 1961. Kelaparan ini bukanlah semata-mata akibat bencana alam, meskipun “banjir pada 1959 dan kekeringan tahun selanjutnya” memperburuk keadaan. Sebagian besar sejarawan dan peneliti sepakat bahwa kelaparan ini adalah “bencana buatan manusia” yang disebabkan oleh “kebijakan delusi Mao”.
Debat historiografi mengenai jumlah korban tewas mencerminkan ketiadaan data yang akurat dan sensitivitas politik terhadap isu ini. Angka kematian yang diperkirakan sangat bervariasi, berkisar antara 15 juta hingga 55 juta orang. Estimasi ini bergantung pada metode yang digunakan, mulai dari analisis demografis hingga laporan pengungsi. Sebagai contoh, beberapa sumber menyebutkan angka 43 juta atau sekitar 30 juta kematian , sementara yang lain memberikan angka yang jauh lebih rendah. Perbedaan angka ini bukan hanya masalah statistik; melainkan merupakan cerminan dari tantangan dalam merekonstruksi data historis dalam sebuah sistem politik tertutup yang tidak memiliki kebebasan pers dan sengaja menutupi fakta. Laporan resmi pemerintah Tiongkok secara signifikan meremehkan jumlah kematian.
Kerusakan Sosial dan Kehancuran Komunitas
Di luar angka statistik, bencana ini memiliki dimensi kemanusiaan yang mengerikan. Kisah-kisah individu, seperti kisah Yang Jisheng yang ayahnya meninggal karena kelaparan pada tahun 1959 , memberikan gambaran nyata tentang penderitaan yang meluas. Untuk bertahan hidup, penduduk pedesaan terpaksa mengonsumsi makanan yang tidak lazim seperti rumput, serbuk gergaji, kulit, dan bahkan biji-bijian yang disaring dari kotoran hewan. Dalam kondisi ekstrem, laporan polisi mencatat kasus-kasus kanibalisme.
Bencana ini juga menyebabkan keruntuhan total struktur sosial tradisional. Komune memecah-belah keluarga, mengirim laki-laki, perempuan, dan anak-anak ke lokasi yang berbeda. Budaya dan cara hidup tradisional dihancurkan, digantikan oleh sistem yang keras dan tanpa ampun di mana hukuman dan pengawasan ketat menjadi norma. Bencana ini bukan sekadar kelaparan, tetapi merupakan kehancuran total dari fondasi sosial Tiongkok.
Konsekuensi Politik dan Lahirnya Pragmatisme
Kegagalan Lompatan Jauh ke Depan secara langsung memicu gejolak politik di Tiongkok. Keterpurukan ekonomi yang parah memaksa Mao Zedong untuk “disingkirkan” dari kekuasaan internal partai dan “mundur sementara” dari kehidupan politik. Kekosongan kekuasaan ini membuka jalan bagi munculnya pemimpin-pemimpin pragmatis, seperti Liu Shaoqi dan Deng Xiaoping. Liu secara terbuka mengkritik GLF, bahkan mengaitkan sebagian besar kematian dengan kebijakan Mao. Deng Xiaoping, yang memiliki peran penting dalam pemulihan pasca-GLF , memperkenalkan reformasi ekonomi yang lebih moderat yang menekankan “pendidikan dan keahlian” daripada ideologi dan mobilisasi massa.
Peristiwa ini juga menjadi katalis bagi Revolusi Kebudayaan. Kegagalan GLF memicu kritik internal terhadap Mao, yang dilihatnya sebagai ancaman terhadap kekuasaannya dan sebagai bukti adanya “kecenderungan kapitalis” di dalam partai. Untuk “merebut kembali kekuasaan sekali lagi” , Mao meluncurkan Revolusi Kebudayaan pada tahun 1966 , sebuah kampanye yang lebih besar dan lebih brutal yang bertujuan untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya. Dengan demikian, kegagalan GLF, meskipun tragis, menjadi fondasi bagi konflik politik yang akan datang, tetapi secara paradoks juga menabur benih untuk perubahan di masa depan.
Kesimpulan dan Pembelajaran Sejarah
Gerakan Lompatan Jauh ke Depan adalah sebuah studi kasus yang tragis tentang bahaya ideologi dogmatis yang mengabaikan hukum-hukum dasar ekonomi dan realitas sosial. Retorika utopia tentang “lompatan” dan “kecepatan” untuk melampaui negara-negara kapitalis secara fundamental bertentangan dengan hasil yang nyata berupa kelaparan massal, kehancuran ekonomi, dan kematian puluhan juta orang. Gerakan ini secara esensial memfantasikan pembebasan dari hukum objektif dan mewujudkan kemajuan sosialis hanya melalui inisiatif manusia yang subjektif.
Kegagalan ini menyoroti tiga hal utama: pertama, bahaya pengambilan keputusan yang sangat terpusat dan penolakan terhadap keahlian teknis. Kedua, kegagalan sistematis yang disebabkan oleh pemalsuan data yang berakar pada ketakutan politik. Ketiga, ketidakmampuan sebuah sistem politik tertutup untuk mengoreksi jalannya sendiri ketika dihadapkan dengan bencana yang jelas.
Warisan Lompatan Jauh: Dari Kegagalan Menuju Reformasi
Meskipun GLF merupakan bencana yang mengerikan, kegagalan besar ini secara paradoks menjadi landasan bagi reformasi ekonomi di bawah kepemimpinan Deng Xiaoping di masa depan. Kebijakan pasca-Mao secara langsung meniadakan kebijakan-kebijakan utama GLF, seperti penghapusan komune rakyat dan pengenalan “sistem tanggung jawab rumah tangga” yang memberikan kebebasan dan insentif kepada petani. Pembelajaran pahit dari Lompatan Jauh ke Depan memungkinkan Tiongkok untuk beralih ke strategi yang lebih pragmatis dan berorientasi pasar, yang pada akhirnya memicu kebangkitan ekonominya dan transformasinya menjadi salah satu kekuatan ekonomi paling dinamis di dunia.
Pembelajaran Berharga untuk Pembangunan Modern
Warisan GLF yang paling penting adalah pembelajaran tentang bahaya pengambilan keputusan yang didasarkan pada dogmatisme ideologis dan pengabaian realitas. Peristiwa ini menunjukkan bagaimana pengabaian keahlian, sentralisasi kekuasaan yang berlebihan, dan sistem yang menekan kebenaran dapat berujung pada bencana kemanusiaan yang tak terbayangkan. GLF bukan hanya babak suram dalam sejarah Tiongkok, tetapi juga peringatan universal tentang pentingnya akuntabilitas, transparansi, dan pragmatisme dalam setiap upaya pembangunan suatu bangsa.
Daftar Pustaka :
- Great Leap Forward: Goals, Failures, and Lasting Impact in China – Investopedia, diakses September 4, 2025, https://www.investopedia.com/terms/g/great-leap-forward.asp
- 14 Juli – Hubungan Sino-Soviet Memburuk: Perbedaan Identitas Mempengaruhi Cara Pandang – DIP Institute, diakses September 4, 2025, https://dip.or.id/2023/07/14/14-juli-hubungan-sino-soviet-memburuk-perbedaan-identitas-mempengaruhi-cara-pandang/
- Causes, Consequences and Impact of the Great Leap Forward in China – Canadian Center of Science and Education, diakses September 4, 2025, https://ccsenet.org/journal/index.php/ach/article/download/0/0/40128/41233
- Bencana Kelaparan Terparah Sepanjang Sejarah, Korban Terbanyak di China, diakses September 4, 2025, https://international.sindonews.com/berita/1277978/45/bencana-kelaparan-terparah-sepanjang-sejarah-korban-terbanyak-di-china
- DAMPAK SOSIAL DAN POLITIK REFORMASI EKONOMI ERA DENG XIAOPING TAHUN 1978-19921 Salsa Adelia Fertasari2, Arief Musadad3, Isawati4, diakses September 4, 2025, https://jurnal.uns.ac.id/candi/article/download/72333/40035
- Commanding Heights : Deng Xiaoping | on PBS, diakses September 4, 2025, https://www.pbs.org/wgbh/commandingheights/shared/minitext/prof_dengxiaoping.html
- Sistem Ekonomi Politik Cina (Studi Kasus: Peralihan Sistem Ekonomi Sosialisme Menuju Sistem Ekonomi Kapitalisme ) – Repositori USU, diakses September 4, 2025, http://repositori.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/60435/130906065.pdf
- BAB II SEJARAH DAN PERTUMBUHAN PEREKONOMIAN TIONGKOK Tiongkok adalah fenomena. Tiongkok adalah the emerging super power. Tiongko – UMY Repository, diakses September 4, 2025, http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/14842/6.%20BAB%20II.pdf?sequence=6&isAllowed=y
- “Lompatan Jauh ke Depan” dan Gerakan Komune Rakyat – Russian.china.org.cn, diakses September 4, 2025, http://indonesian.china.org.cn/china_key_words/2022-07/18/content_78329008.htm
- Apakah alasan Mao Zedong sampai membunuh jutaan manusia di Tiongkok?, diakses September 4, 2025, https://pengetahuanekstra.quora.com/Apakah-alasan-Mao-Zedong-sampai-membunuh-jutaan-manusia-di-Tiongkok
- Sejarah Dunia: Kisah Mao Zedong, Sang Pendiri Republik Rakyat …, diakses September 4, 2025, https://nationalgeographic.grid.id/read/134111862/sejarah-dunia-kisah-mao-zedong-sang-pendiri-republik-rakyat-tiongkok?page=all
- The Sino-Soviet Alliance, 70 Years Later | Wilson Center, diakses September 4, 2025, https://www.wilsoncenter.org/blog-post/sino-soviet-alliance-70-years-later
- Backyard steel campaign – (History of Modern China) – Vocab …, diakses September 4, 2025, https://library.fiveable.me/key-terms/history-modern-china/backyard-steel-campaign
- Man-Made Disaster: The Great Leap Forward – The 1440 Review, diakses September 4, 2025, https://1440review.com/2023/11/05/the-great-leap-forward/
- Victims of the Great Leap Forward: a little-known Chinese famine – WAS – WAS.media, diakses September 4, 2025, https://was.media/en/2023-03-03-victims-of-the-great-leap-forward-a-little-known-chinese-famine/
- Digital Repository Universitas Jember Digital Repository Universitas Jember, diakses September 4, 2025, https://repository.unej.ac.id/xmlui/bitstream/handle/123456789/72803/FIFI%20ANGGRAENI%20%20cover%20123.pdf?sequence=1&isAllowed=y
- Great Leap Forward famine | Research Starters – EBSCO, diakses September 4, 2025, https://www.ebsco.com/research-starters/history/great-leap-forward-famine
- China’s great famine: 40 years later – PMC, diakses September 4, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC1127087/
- Bencana kelaparan besar Tiongkok – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, diakses September 4, 2025, https://id.wikipedia.org/wiki/Bencana_kelaparan_besar_Tiongkok
- The Other China: Hunger Part I – The Three Red Flags of Death, diakses September 4, 2025, https://www.carnegiecouncil.org/media/series/100-for-100/the-other-china-hunger-part-i-the-three-red-flags-of-death
- PERANAN DENG XIAOPING DALAM REFORMASI CINA TAHUN 1978, diakses September 4, 2025, https://jips.fkip.unila.ac.id/index.php/PES/article/download/8097/pdf_111