Episentrum Paradoks: Pengantar Analitis
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 menandai awal dari sebuah perjuangan yang monumental, tetapi juga menghadapi tantangan yang nyaris tak terbayangkan. Pasca-pendudukan Jepang, ekonomi dan struktur sosial berada dalam kondisi yang porak-poranda. Situasi semakin kritis ketika Belanda kembali datang, memicu pecahnya Perang Kemerdekaan. Belanda menerapkan blokade laut yang ketat sejak November 1945, secara efektif memutus jalur perdagangan dan membekukan perekonomian Republik yang baru lahir. Pemerintah Republik Indonesia, yang saat itu belum memiliki struktur perpajakan dan sumber pendapatan yang memadai, terdesak untuk mencari cara-cara non-tradisional untuk membiayai perjuangan. Dalam kondisi genting inilah, sebuah komoditas yang kini dianggap sebagai musuh utama negara—narkotika, khususnya candu (opium)—mengalami transformasi peran yang mengejutkan.
Tulisan ini berargumen bahwa candu, yang selama berabad-abad menjadi alat eksploitasi dan monopoli kolonial, secara pragmatis diubah fungsinya menjadi urat nadi finansial yang vital bagi perjuangan kemerdekaan. Pemerintahan Republik Indonesia secara diam-diam melegalkan dan memfasilitasi perdagangan candu secara besar-besaran untuk memenuhi kebutuhan mendesak, seperti membiayai delegasi diplomasi, menggaji pegawai, dan membeli senjata serta perlengkapan perang.
Tujuannya adalah untuk menganalisis peran multifaset dari candu, mulai dari warisan kolonialnya hingga dilema moral yang ditimbulkannya, dan menelusuri bagaimana warisan kebijakan kontroversial ini membentuk landasan bagi regulasi narkotika di masa kini. Narasi ini akan menyajikan sisi lain dari sejarah yang sering kali terabaikan, memperlihatkan bagaimana suatu komoditas dapat memiliki identitas yang berubah-ubah secara drastis tergantung pada konteks sejarah dan kebutuhan yang mendesak.
Warisan Kolonial: Ekonomi Candu Sebelum Revolusi
Peran candu dalam Revolusi Nasional tidak dapat dipahami tanpa meninjau sejarahnya yang panjang dan kompleks di Nusantara. Jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa, opium telah dikenal dan digunakan oleh masyarakat Jawa sebagai bahan utama dalam pembuatan madat, bahkan dicantumkan dalam larangan moral molimo. Perdagangan komoditas ini awalnya dikuasai oleh para pedagang dari Arab, India, dan Persia. Namun, dinamika ini berubah secara fundamental dengan kedatangan bangsa-bangsa Eropa.
Pemerintah kolonial Belanda, melihat potensi ekonomi yang besar dari candu, membangun sistem monopoli yang sangat terstruktur. Awalnya, mereka menerapkan sistem opiumpacht (sistem borongan), di mana hak monopoli perdagangan candu diberikan kepada para bandar, yang sebagian besar adalah orang Tionghoa. Sistem ini menghasilkan keuntungan besar bagi pemborong Tionghoa dan pemerintah kolonial, tetapi juga memicu masalah sosial, termasuk kecanduan yang meluas. Menyadari bahwa sistem ini sulit dikontrol dan menyebabkan maraknya perdagangan ilegal, pemerintah kolonial secara bertahap menghapuskannya dan menggantinya dengan sistem opiumregie.
Opiumregie, yang mulai diujicobakan pada 1894 dan diterapkan penuh di seluruh wilayah Jawa pada 1901, adalah sebuah sistem monopoli penuh yang dikelola langsung oleh pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah mengendalikan seluruh rantai pasokan, mulai dari proses impor, pengolahan, hingga distribusi dan penjualan. Pusat pengolahan opium didirikan di Batavia, di bawah naungan departemen keuangan (financien), yang kemudian mendistribusikan produk jadi dalam bentuk tube-tube. Sistem ini dikelola oleh sebuah badan bernama Dienst der Opiumregie, yang terdiri dari orang-orang Eropa dan pribumi.
Warisan dari sistem opiumregie ini sangatlah penting. Pemerintah kolonial tidak hanya mewariskan infrastruktur fisik berupa pabrik dan stok candu dalam jumlah besar, tetapi juga model administratif yang terstruktur untuk mengelola perdagangan ilegal. Model ini, dengan jaringan distribusi dan pengawasannya, secara tidak terduga menjadi cetak biru bagi pemerintah Republik Indonesia di kemudian hari. Tanpa adanya warisan ini, pilihan untuk menggunakan candu sebagai sumber dana mungkin tidak akan ada atau tidak seefisien itu.
Dampak sosial dari kebijakan kolonial ini juga tercatat dalam sejarah dan sastra. Naskah-naskah kuno seperti Serat Erang-erang dan Serat Mitra Musibat menggambarkan kehidupan para pecandu (nyeret) yang berakhir sengsara akibat kebiasaan mereka. Kisah-kisah ini menunjukkan bahwa meskipun candu digunakan secara luas, bahkan di kalangan bangsawan dan priyayi , ada kesadaran sosial yang kuat tentang efek destruktifnya. Ini memberikan konteks yang krusial: candu sudah menjadi isu sosial yang dikenal dan diperdebatkan di kalangan masyarakat pribumi jauh sebelum ia menjadi alat perjuangan.
Tabel di bawah ini merangkum kronologi kebijakan candu di Indonesia, dari era kolonial hingga awal kemerdekaan, menunjukkan pergeseran kontrol dan persepsi terhadap komoditas ini.
Periode | Sistem Kebijakan | Pengelola Utama | Tujuan |
Pra-Eropa | Perdagangan bebas | Pedagang Arab, India, Persia | Perdagangan komersial |
Hindia Belanda (Opiumpacht) | Monopoli Borongan | Bandar Tionghoa | Pajak dan keuntungan kolonial |
Hindia Belanda (Opiumregie) | Monopoli Penuh Negara | Pemerintah Hindia Belanda (Dienst der Opiumregie) | Keuntungan besar dan kontrol sosial |
Pendudukan Jepang | Pelarangan | Pemerintah Militer Jepang | Menghentikan penggunaan candu |
Revolusi Indonesia | Perdagangan terselubung | Pemerintah RI (Djawatan Tjandoe dan Garam) | Dana perjuangan |
Candu sebagai Urat Nadi Revolusi
Ketika Jepang menyerah pada Agustus 1945, pemerintah Republik Indonesia berhasil mengambil alih pabrik candu di Salemba, Jakarta, yang berisi 24 ton opium mentah dan 1 ton opium olahan. Stok yang berharga ini, ditambah dengan sisa-sisa peninggalan pemerintah Hindia Belanda, menjadi “aset cair” yang tidak disangka-sangka. Namun, blokade Belanda yang efektif membuat Republik tidak dapat memanfaatkan aset ini melalui jalur perdagangan konvensional.
Menghadapi kesulitan keuangan yang akut, pemerintah Republik Indonesia, di bawah kepemimpinan Menteri Keuangan Alexander Andries (A.A.) Maramis, membuat keputusan strategis yang berani dan kontroversial. Maramis diberi tugas oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta untuk mencari dana devisa di luar negeri. Tujuannya adalah untuk membiayai pos-pos perwakilan Republik di luar negeri, delegasi perundingan dengan Belanda, dan gaji para pegawai Republik yang masih bekerja di Jakarta.
Untuk melancarkan rencana ini, pemerintah mendirikan Djawatan Tjandoe dan Garam yang dikepalai oleh Raden Moekarto Notowidigdo, seorang pejabat yang telah memiliki pengalaman dalam mengelola jawatan serupa di era Belanda dan Jepang. Ini adalah contoh nyata bagaimana Republik mewarisi tidak hanya aset fisik, tetapi juga “aset intelektual” dalam bentuk keahlian administratif untuk menjalankan operasi perdagangan ilegal secara sistematis. Maramis berkoordinasi langsung dengan Moekarto untuk mengatur perdagangan candu ke luar negeri, khususnya ke Asia Tenggara dan Australia.
Perdagangan ini dijalankan secara rahasia dan ilegal, terutama melalui jalur penyelundupan. Salah satu agen penting yang ditunjuk adalah Tony Wen, seorang pengusaha keturunan Tionghoa, yang bertugas membuka jaringan perdagangan dengan Singapura. Jaringan ini sangat sukses, menghasilkan keuntungan yang cukup besar untuk membiayai perjuangan. Dokumen resmi dari Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) juga mencatat adanya surat dari Maramis kepada Kepala Kepolisian Negara RI, R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo, yang secara gamblang meminta bantuan kepolisian untuk memfasilitasi bisnis candu ini. Ini menunjukkan bahwa perdagangan tersebut bukanlah sekadar praktik oknum, melainkan kebijakan yang disetujui di tingkat tertinggi pemerintahan.
Langkah ini menunjukkan sebuah strategi makroekonomi dalam kondisi perang total, di mana norma-norma konvensional tentang legalitas dan moralitas terpaksa dikesampingkan demi kelangsungan hidup bangsa. Dengan menjual candu, Republik mampu menciptakan sumber devisa yang krusial untuk mempertahankan jalur diplomatik dan administrasi negara di tengah blokade ekonomi yang mematikan.
Aktor Kunci | Peran dalam Perdagangan Candu Republik |
A.A. Maramis | Menteri Keuangan yang merestui dan mengkoordinasikan perdagangan candu untuk dana perjuangan, membiayai diplomasi dan administrasi. |
Raden Moekarto Notowidigdo | Kepala Djawatan Tjandoe dan Garam, bertanggung jawab atas pengelolaan stok candu warisan Jepang dan berkoordinasi dengan Maramis untuk perdagangan luar negeri. |
Tony Wen (Wen Kin To) | Agen perdagangan candu yang ditunjuk oleh Maramis, bertugas membuka jaringan penyelundupan ke luar negeri, terutama ke Singapura. |
Pemerintah RI | Mengelola perdagangan candu melalui kantor-kantor regi di beberapa kota strategis seperti Kediri, Surakarta, dan Yogyakarta. |
Candu di Medan Juang: Keterlibatan Militer dan Laskar
Dari seluruh pihak yang menerima manfaat dari bisnis candu yang dilegalkan secara internal, pihak militer dan badan-badan perjuanganlah yang mendapatkan porsi paling besar. Di tengah keterbatasan logistik dan finansial, candu menjadi alat tukar yang efektif untuk memenuhi kebutuhan di medan juang.
Keterlibatan militer dalam perdagangan candu ini sangatlah mendalam. Berdasarkan dokumen, permintaan pasokan candu diajukan secara langsung oleh pejabat tinggi, seperti yang dilakukan oleh Menteri Muda Pertahanan Aroedji Kartawinata kepada Kantor Besar Regi Candu dan Garam Surakarta untuk keperluan para pejuang di Jawa Timur. Mayor Jenderal drg. Moestopo bahkan diberikan kewenangan penuh untuk mengambil candu langsung di Surakarta.
Candu kemudian digunakan sebagai komoditas barter untuk memperoleh barang-barang yang tidak dapat diperoleh melalui jalur normal akibat blokade. Kebutuhan yang paling mendesak adalah senjata, yang merupakan prioritas utama bagi setiap badan perjuangan. Selain itu, candu juga digunakan untuk membeli kebutuhan logistik lainnya seperti tekstil, bahan pangan, dan perlengkapan pakaian, bahkan hingga kancing-kancing baju.
Sebuah narasi saksi sejarah dari Letnan Satu Anom dari Divisi Siliwangi memberikan gambaran personal tentang operasi ini. Ia dan anak buahnya mengawal peti-peti besar di kereta api tanpa mengetahui isinya, dan baru setelah itu diberitahu bahwa muatan tersebut adalah madat yang akan dijual ke luar negeri untuk membeli senjata. Kisah ini memperlihatkan betapa rahasia dan sentralnya peran candu dalam logistik militer.
Meskipun demikian, ada pula kontradiksi dalam beberapa sumber sejarah. Sementara narasi yang populer menyebutkan keterlibatan langsung Divisi Siliwangi dalam pengawalan candu , sebuah dokumen yang dikutip dalam penelitian lain secara eksplisit menyatakan bahwa dokumen-dokumen yang mereka teliti tidak secara spesifik menyebutkan keterlibatan divisi tersebut. Perbedaan ini menunjukkan kompleksitas dan tantangan dalam merekonstruksi sejarah yang dijalankan secara rahasia, di mana informasi yang tersedia bisa jadi tidak lengkap atau saling bertentangan. Namun, secara keseluruhan, keterlibatan militer dalam pemanfaatan candu sebagai alat tukar yang fungsional adalah sebuah fakta historis yang tak terbantahkan.
Tabel di bawah ini memberikan contoh-contoh konkret bagaimana candu digunakan sebagai alat barter di medan perjuangan.
Pihak yang Terlibat | Komoditas yang Diperoleh | Tujuan |
Badan-badan Perjuangan | Senjata dan amunisi | Biaya perjuangan dan operasi militer |
Batalyon Genie Pionier | Senjata dan pakaian | Biaya perjuangan dan logistik |
Divisi Siliwangi | Tekstil dan bahan pakaian | Memenuhi kebutuhan perlengkapan pejuang |
Dilema Moral dan Kontroversi Kebijakan
Peran candu dalam Perang Kemerdekaan adalah sebuah studi kasus yang kaya akan dilema moral dan paradoks kebijakan. Ironi terbesar adalah bagaimana pemerintah Republik Indonesia menerapkan kebijakan ganda (dualisme moral) yang sangat kontras. Di satu sisi, pemerintah secara resmi memfasilitasi dan memonopoli perdagangan candu untuk tujuan strategis, termasuk membiayai diplomasi, menggaji pegawai, dan membeli senjata. Di sisi lain, pemerintah juga secara tegas melarang masyarakat umum untuk memiliki atau mengonsumsi candu tanpa izin, bahkan melarang badan-badan perjuangan untuk menjualnya langsung kepada masyarakat sipil.
Paradoks ini mencerminkan mentalitas pragmatis yang mengabaikan norma-norma demi tujuan yang lebih besar, sebagaimana digambarkan dalam kutipan: “Ini revolusi, Bung!”. Dalam situasi perang total yang mencekam, pemerintah meyakini bahwa tindakan yang dianggap ilegal dan amoral dapat dibenarkan jika tujuannya adalah untuk menyelamatkan negara dan mencapai kemerdekaan. Meskipun demikian, kebijakan ini membuka ruang bagi praktik ilegal di luar kontrol pemerintah, seperti yang terjadi di Surakarta, di mana perdagangan candu ilegal oleh pedagang Tionghoa tetap berkembang.
Secara historis, peran candu dalam Revolusi Indonesia sangat kontras dengan pengalaman Perang Candu di Tiongkok. Perang Candu di Tiongkok dipicu oleh kolonialisme Inggris yang secara paksa memasukkan opium untuk menyeimbangkan defisit perdagangan, yang secara masif merusak sosial dan ekonomi Tiongkok. Di Indonesia, ironisnya, pemerintah yang baru merdeka justru menggunakan opium dari warisan kolonial sebagai alat untuk membiayai perjuangan melawan kekuatan kolonial itu sendiri. Perbedaan fundamental dalam motivasi dan tujuan ini menunjukkan bahwa makna sebuah komoditas dapat berubah secara drastis dalam konteks sejarah yang berbeda.
Latar belakang ini juga menjelaskan mengapa narasi tentang peran candu dalam revolusi jarang dibahas dalam historiografi nasional. Keberadaannya menciptakan sebuah “sisi lain” dari sejarah yang tidak sesuai dengan narasi heroik yang dominan. Para sejarawan, dalam diskusi mereka, seringkali menghadapi tantangan dalam menyajikan fakta ini secara objektif dan bernuansa, memicu perdebatan mengenai etika revolusi dan pembenaran sarana demi tujuan.
Epilog: Dari Alat Perjuangan Menuju Musuh Negara
Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia pada 1949, peran candu sebagai sumber dana perjuangan menjadi tidak relevan lagi. Kebutuhan akan pendanaan revolusi melalui jalur penyelundupan telah usai, dan pemerintah dapat mulai membangun struktur ekonomi dan perpajakannya sendiri.
Pergeseran peran candu dari “komoditas strategis” menjadi “musuh negara” mulai diformalisasi melalui kebijakan hukum. Sejak 1949, pemerintah Republik Indonesia telah menerbitkan peraturan yang menyangkut produksi, penggunaan, dan distribusi obat-obatan berbahaya melalui Dangerous Drugs Ordinance (State Gazette No. 419, 1949). Regulasi ini menunjukkan bahwa bahkan ketika perjuangan masih berlangsung, pemerintah sudah meletakkan fondasi hukum untuk mengendalikan zat berbahaya, sebuah formalisasi dari kebijakan ganda mereka yang membatasi penggunaan di tingkat masyarakat umum.
Namun, selama masa awal kemerdekaan (Orde Lama), tidak banyak perubahan signifikan dalam peraturan mengenai narkotika. Masalah narkotika baru menjadi isu nasional yang serius pada tahun 1970-an, yang mendorong lahirnya Undang-Undang Anti Narkotika pertama, yakni Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. Aturan ini secara bertahap diperketat dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dan akhirnya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, yang memberikan sanksi pidana yang sangat berat, termasuk hukuman mati, bagi pelaku kejahatan narkotika.
Perjalanan candu dari alat perjuangan menuju musuh negara merupakan sebuah studi kasus yang mendalam tentang kompleksitas sejarah. Peran kontroversialnya menunjukkan bahwa sejarah tidak selalu hitam dan putih, melainkan penuh dengan nuansa abu-abu dan keputusan sulit yang dibuat di tengah kondisi yang memaksa. Episode ini adalah pengingat bahwa di balik narasi heroik, seringkali terdapat realitas pragmatisme dan dilema moral yang membentuk takdir sebuah bangsa. Negara yang pernah mengandalkan candu untuk kelangsungan hidupnya kini menjadi salah satu negara dengan sanksi terberat untuk kejahatan narkotika, sebuah ironi sejarah yang sangat mencolok.
Daftar Pustaka :
- KAWISTARA – Jurnal Universitas Gadjah Mada, accessed September 17, 2025, https://jurnal.ugm.ac.id/kawistara/article/download/15495/10365
- Candu untuk Revolusi Indonesia – Historia.ID, accessed September 17, 2025, https://www.historia.id/article/candu-untuk-revolusi-indonesia-pgaw2
- Menyambung Napas Kemerdekaan Indonesia dengan Jualan Candu – Babel Insight, accessed September 17, 2025, https://www.babelinsight.id/content/read/2072/menyambung-napas-kemerdekaan-indonesia-dengan-jualan-candu/
- A.A. Maramis, Pejabat Republik Urusan Candu – Historia.ID, accessed September 17, 2025, https://www.historia.id/article/a-a-maramis-pejabat-republik-urusan-candu-vxznr
- Resensi Buku “Opium dan Revolusi” – Yogyakarta – Vredeburg.id, accessed September 17, 2025, https://vredeburg.id/id/post/resensi-buku-opium-dan-revolusi
- Dari Opiumpacht Hingga Opiumregie: Pasang Surut Perdagangan Opium Di Keresidenan Kediri, 1833-1931 – Repository – UNAIR, accessed September 17, 2025, https://repository.unair.ac.id/98623/4/4.%20BAB%20I%20PENDAHULUAN.pdf
- PERDAGANGAN CANDU DI SURABAYA TAHUN 1899 – 1936 Repository, accessed September 17, 2025, https://repository.unair.ac.id/27354/
- PERDAGANGAN OPIUM DI KERESIDENAN MADIUN TAHUN 1830- 1925 – UNY Journal – | Universitas Negeri Yogyakarta, accessed September 17, 2025, https://journal.uny.ac.id/index.php/mozaik/article/download/45208/16805
- PERSEBARAN OPIUM DI INDONESIA BAGIAN TIMUR ABAD XIX – Journal Unhas, accessed September 17, 2025, https://journal.unhas.ac.id/index.php/jlb/article/view/5297/2859
- Opium untuk Revolusi Indonesia: Ketika RI Jual Candu 22 Ton Bakal Bayar Gaji Pegawai Pemerintah dan Barter dengan Senjata yang Diselundupkan ke Republik Indonesia – Intisari Online, accessed September 17, 2025, https://intisari.grid.id/read/032623801/opium-untuk-revolusi-indonesia-ketika-ri-jual-candu-22-ton-bakal-bayar-gaji-pegawai-pemerintah-dan-barter-dengan-senjata-yang-diselundupkan-ke-republik-indonesi
- Serat Erang-erang | PUJANGGA, accessed September 17, 2025, https://pujangga.perpus.jatengprov.go.id/index.php?p=show_detail&id=116&keywords=
- nyeret bagi orang jawa: kajian serat erang-erang, accessed September 17, 2025, https://repositori.kemendikdasmen.go.id/1161/1/nyeret.pdf
- Malapetaka Narkoba, Dari Perang Candu Hingga ke Jawa – TNI AD, accessed September 17, 2025, https://tniad.mil.id/malapetaka-narkoba-dari-perang-candu-hingga-ke-jawa/
- Sejarah Narkotika di Indonesia #Chapter4 – Ashefa Griya Pusaka, accessed September 17, 2025, https://ashefagriyapusaka.co.id/berita-rehabilitasi-narkoba/sejarah-narkotika-di-indonesia-chapter4/
- Ada Apa dengan Candu dan Revolusi ? | kumparan.com, accessed September 17, 2025, https://kumparan.com/erlika-du-manisha/ada-apa-dengan-candu-dan-revolusi-1xtz7xaDWeN
- Perang Candu dalam sejarah Cina – Perpustakaan Universitas Indonesia, accessed September 17, 2025, https://lib.ui.ac.id/detail?id=20157363&lokasi=lokal
- Perang Candu I (1839-1842): Penyebab, Kronologi, dan Dampak – KOMPAS.com, accessed September 17, 2025, https://www.kompas.com/stori/read/2022/06/24/090000379/perang-candu-i-1839-1842-penyebab-kronologi-dan-dampak
- Parlemen Belanda Gelar Debat Kekerasan Era Perang Kemerdekaan Indonesia, accessed September 17, 2025, https://www.historia.id/article/parlemen-belanda-gelar-debat-kekerasan-era-perang-kemerdekaan-indonesia-6mje9
- Sejarah Indonesia Dalam Memerangi Narkoba – Kabupaten Kuningan, accessed September 17, 2025, https://kuningankab.bnn.go.id/sejarah-indonesia-dalam-memerangi-narkoba/
- Memperkuat Revisi Undang-Undang Narkotika Indonesia – Institute for Criminal Justice Reform, accessed September 17, 2025, https://icjr.or.id/wp-content/uploads/2017/11/Memperkuat-Revisi-UU-Narkotika.pdf
- STRATEGI PEMERINTAH DALAM MENANGANI DAN MEREHABILITASI PENGEDAR NARKOTIKA DAN KORBAN DARI NARKOTIKA DI INDONESIA – E-Journal UNDIP, accessed September 17, 2025, https://ejournal.undip.ac.id/index.php/hukum_progresif/article/download/41554/23810
- UU No. 35 Tahun 2009 – Peraturan BPK, accessed September 17, 2025, https://peraturan.bpk.go.id/details/38776/uu-no-35-tahun-2009