BRICS dan G7 dalam Lanskap Perekonomian Dunia
Latar Belakang Historis
G7 (Group of Seven) dibentuk pada 1975 di Prancis (Rambouillet) sebagai forum negara industri maju (AS, Jepang, Jerman, Prancis, Inggris, Italia) yang kemudian ditambah Kanada (1976) menjadi G7. Rusia sempat bergabung (G8) namun dikeluarkan setelah aneksasi Krimea 2014. G7 awalnya fokus koordinasi ekonomi pasca-krisis minyak 1973, kemudian memperluas agenda ke kebijakan luar negeri, keamanan, dan isu global lain.
BRICS (awalnya BRIC) lahir dari istilah “BRIC” (Brazil, Rusia, India, China) oleh Goldman Sachs (2001) untuk menandai negara berkembang yang tumbuh cepat. BRIC pertama mengadakan KTT 2009 di Yekaterinburg, dan Afrika Selatan bergabung tahun 2011 menambah akronim menjadi BRICS. Sejak itu BRICS menjadi kelompok kerja sama ekonomi-politik informal. Pada KTT 2023 di Johannesburg, BRICS mengundang enam anggota baru (Mesir, Ethiopia, Iran, Arab Saudi, UEA), resmi menjadi 11 negara (per 2024), sedangkan Indonesia baru resmi bergabung 2025. Sejak awal BRICS dipandang sebagai counterweight bagi kekuatan Barat/G7 dalam mengelola ekonomi dunia.
Kondisi Terkini: Dinamika Ekonomi dan Politik
Saat ini, blok BRICS dan G7 bergerak di jalur ekonomi-politik yang semakin kompleks. Pengaruh BRICS semakin besar secara kuantitatif: populasinya ~3,3 miliar (>40% penduduk dunia) dan pangsa PDB global (PPParitas daya beli) sekitar 32%. Mereka juga menjadi kekuatan penting di komoditas – dengan anggota OPEC+ baru, BRICS kini menguasai ~42% produksi minyak dunia. Berbagai negara baru tertarik bergabung (Turki, Malaysia, dll). Perekonomian BRICS tumbuh relatif tinggi (misalnya Tiongkok ~4-5%/thn, India ~6-7%), meski perlambatan global ikut mempengaruhi. BRICS menekankan diversifikasi kerja sama ekonomi tanpa model Barat dan mendorong dedolarisasi (transaksi mata uang lokal). Contoh: Brasil dan Argentina membahas perdagangan dalam yuan Tiongkok untuk mengurangi ketergantungan dolar AS.
Pengaruh G7 masih besar walau menurun: G7 (AS, Jepang, Jerman, Perancis, Inggris, Italia, Kanada) kini sekitar 10% pop dunia dan ~44% PDB dunia (nominal). Setelah pandemi dan perang Ukraina, G7 menyatukan sanksi terhadap Rusia dan mendukung Ukraina serta memperkuat aliansi ketahanan ekonomi melawan overkapasitas manufaktur Tiongkok. G7 juga mengundang negara besar (India, Brasil, Afrika Selatan, Ukraina, Korea, Australia) ke KTT terbaru sebagai tamu guna menunjukkan koalisi meluas. Namun di dalam G7 muncul friksi (misalnya perang dagang antaranggota) yang menguji kerjasama internal. Secara umum, G7 menghadapi tantangan menjawab keluhan negara berkembang yang merasa kurang terwakili di lembaga keuangan global, sehingga beberapa negara kini berpaling ke BRICS/G20 untuk mencari alternatif.
Saat ini hubungan BRICS–G7 lebih berupa persaingan pengaruh ketimbang kemitraan langsung. Kedua blok jarang melakukan dialog formal bilateral; interaksinya lebih terjadi di forum multilateral (G20, PBB, WTO). BRICS cenderung menghindari konfrontasi langsung dengan Barat: mereka menyatakan tidak ingin menjadi kekuatan hegemoni baru. Namun proyek BRICS (mis. bank pembangunan, sistem pembayaran) menantang dominasi G7: misalnya, NDB BRICS memperbanyak pinjaman mata uang lokal, dan proposal mata uang bersama BRICS sempat dibahas untuk memotong dominasi USD. G7 merespon dengan membentuk aliansi baru (mis. Clean Energy Alliance, standar teknologi) dan mengajukan reformasi lembaga Bretton Woods, namun kekuatan barat tetap dominan di IMF/Bank Dunia. Keretakan geopolitik (perang dagang, perang Ukraina, persaingan AS-Tiongkok) membayangi dinamika kedua kelompok. India dan beberapa anggota lainnya berperan sebagai jembatan antar blok, namun perbedaan sikap terhadap AS/KTT barat/konflik regional tetap melekat.
Geopolitik dan Kebijakan Luar Negeri
Secara geopolitik, BRICS dan G7 mencerminkan aliansi blok barat versus negara berkembang. G7 adalah sekutu tradisional Barat yang mementingkan demokrasi liberal dan pasar bebas, serta bergerak kolektif atas isu keamanan (mis. sanksi Rusia, konfrontasi hybrid dengan Tiongkok). Sebaliknya, BRICS (dan aspirannya) mewakili suara Selatan Global yang menuntut tatanan dunia multipolar: misalnya penolakan atas unilateralism AS dalam sanksi ekonomi. Hubungan antar BRICS sendiri dipengaruhi oleh kebijakan luar negeri masing-masing: Tiongkok menjalin inisiatif Infrastruktur (BRI) yang mempengaruhi mitra BRICS; Rusia menginginkan dukungan atau setidaknya netralitas BRICS dalam krisis Ukraina; India menjaga kebijakan non-blok dan juga menjalin kerjasama dengan Barat. Negara BRICS seperti Afrika Selatan dan negara Arab baru masuk (UAE, Saudi) juga menyeimbangkan hubungannya, artinya BRICS tidak monolitik anti-Barat.
Dalam perdagangan dan investasi internasional, BRICS mendukung akses pasar yang lebih luas dan infrastruktur transional-Afrika (AfCFTA) untuk diversifikasi supply chain. G7, di sisi lain, cenderung melindungi kapabilitas industri domestik dan berupaya membentuk rantai pasok alternatif yang tidak bergantung pada Tiongkok (misalnya di sektor semikonduktor dan baterai). Persaingan G7-BRICS juga terlihat di G20: BRICS ingin reformasi IMF/WB agar negara berkembang mendapat porsi lebih besar, sementara G7 berusaha mempertahankan aturan global. Kontestasi ini diperlihatkan dalam kesepakatan G20 di mana kompromi sering dibutuhkan.
Perdagangan Internasional
Tahun | Ekspor BRICS (%) | Ekspor G7 (%) | Impor BRICS (%) | Impor G7 (%) |
2000 | 10,7% | 45,1% | 7,2% | 49,8% |
2023 | 23,3% | 28,9% | 18,9% | 33,7% |
Sumber: WTO, 2024
Secara statistik, pangsa ekspor global BRICS meningkat pesat: dari 10,7% pada 2000 menjadi 23,3% pada 2023. Sebaliknya, pangsa G7 (termasuk Jepang, Kanada, AS, dll) turun dari 45,1% (2000) menjadi 28,9%. Pola serupa terlihat pada impor (BRICS+ 7,2%→18,9%; G7 49,8% menjadi 33,7%). Ini menandakan BRICS+ kini menantang dominasi G7 dalam perdagangan dunia. Perbedaan struktur juga ada: BRICS didominasi ekspor komoditas dan manufaktur Tiongkok, sedangkan G7 lebih fokus pada barang bernilai tambah tinggi (teknologi, farmasi). Kedua blok juga membentuk forum perdagangan tersendiri: G7 mempromosikan kesepakatan perdagangan bebas regional (mis. RCEP tidak melibatkan Barat penuh), sementara BRICS mendukung integrasi selatan global (AfCFTA di Afrika, kerjasama Eurasia). Secara keseluruhan, pergeseran ini menunjukkan adanya “desentralisasi” perdagangan dunia, dengan meningkatnya perdagangan Selatan-Selatan yang tidak selalu melalui rute tradisional Barat.
Kekuatan Mata Uang dan Sistem Keuangan Global
BRICS dan G7 bersaing dalam sistem keuangan global. G7 tetap mengendalikan institusi seperti IMF, Bank Dunia, dan rezim mata uang internasional (dominasi USD). Namun BRICS giat mendorong dedolarisasi. Misalnya, Tiongkok mengembangkan Cross-Border Interbank Payment System (CIPS) untuk alternatif SWIFT, dan ada pembicaraan mata uang bersama BRICS atau peningkatan penggunaan yuan, rupee, real, rupiah secara bilateral. KTT BRICS 2024 mengonfirmasi pengembangan sistem pembayaran lintas-negara berbasis mata uang lokal untuk mengurangi risiko dollar. Lembaga keuangan BRICS juga bergerak: New Development Bank (NDB) meningkatkan porsi pinjaman dalam mata uang lokal hingga 30%, dan Contingent Reserve Arrangement senilai awal $100 miliar (2014) menjadi alternatif bagi negara berkembang. Pandangan G7 terhadap upaya ini campur aduk: AS dan beberapa negara Eropa waspada bahwa ini melemahkan USD dan rezim keuangan Barat, sementara anggota G7 lain (mis. Jepang, Inggris) melihat benefit diversifikasi.
Dari segi kekuatan mata uang, USD masih unggul (sekitar 60% cadangan devisa global menurut IMF), tetapi pangsa mata uang lain (euro, yuan) berangsur naik. BRICS berargumen bahwa sistem keuangan global perlu direformasi agar tidak dominan satu mata uang atau satu blok saja. G7, sebagai reaksi, mencoba memperkuat standar keuangan internasional (misalnya digitalisasi sistem pembayaran berbasis SDR IMF) dan mempertahankan koalisi mata uang bersama.
Pengaruh terhadap Lembaga Global (IMF, Bank Dunia, dll.)
Kedua kelompok berkompetisi memengaruhi lembaga multilateral. BRICS menuntut reformasi IMF/Bank Dunia (mis. kuota lebih besar untuk negara berkembang) dan menciptakan jalur alternatif pendanaan (NDB, CRA). Mereka juga mendorong G20/G8 agar memberi ruang lebih pada Selatan Global. Misalnya, Presiden Brasil Lula menekankan undang partisipasi lebih banyak negara berkembang dalam pembuatan aturan WTO dan reformasi Keuangan Global. BRICS sering menyatakan bahwa lembaga Bretton Woods perlu diubah dari perspektif “selatan global”. Sementara itu, G7 menggunakan pengaruhnya untuk menjaga suara mayoritas dalam IMF/Bank Dunia (walau G7 mewakili hanya 30% perekonomian dunia, masih memegang >40% hak suara di IMF). G7 telah berkomitmen mengadakan program bantuan (IMF Fund, WB project) besar di negara berkembang untuk meredam ketidakpuasan.
Pada akhirnya, kedua kelompok berebut legitimasi moral di forum global: BRICS menampilkan diri sebagai suara mayoritas global (mis. dalam isu-isu pembangunan berkelanjutan, keadilan sosial), sedangkan G7 menekankan tanggung jawabnya dalam isu-isu global seperti iklim, kesehatan, dan keamanan. Meski tidak terbentur secara struktural (keduanya eksis di G20 dan PBB), persaingan ini mencerminkan perubahan tatanan ekonomi: BRICS membentuk kerangka baru yang menantang dominasi Barat, sedangkan G7 berusaha mempertahankan aturan lama sambil sedikit berekspansi inklusivitasnya.
Perbandingan Statistik BRICS vs G7
Indikator | BRICS | G7 | Sumber |
Populasi dunia | ~45% (3,3 milyar) | ~10% (780 juta) | ~ |
PDB dunia (PPP) | ~32% | ~30% | ~ |
Ekspor dunia (2023) | ~25% | ~29% | |
Cadangan devisa (USD) | BRICS: ~4.8 triliun | G7: ~1.9 triliun | Data IMF & bank sentral |
Catatan: Estimasi di atas berdasarkan data IMF/World Bank dan analisis lembaga riset. Misalnya, total cadangan devisa BRICS lebih besar didorong oleh cadangan tinggi Tiongkok (>USD3,2T), sedangkan anggota G7 sebagian besar memiliki cadangan lebih kecil (Jepang ~USD1,25T, AS ~USD0,04T).
Proyeksi Masa Depan
Banyak analis memprediksi hubungan BRICS–G7 akan terus membentuk lanskap ekonomi multipolar. BRICS diperkirakan semakin berpengaruh seiring ekspansinya: misalnya, pangsa penduduknya mencapai ~45% dan PPP-PDB ~35%. Jika tren saat ini berlanjut, perekonomian Gabungan BRICS+ bisa melampaui G7 dalam satu dekade ke depan. Ekspansi anggota baru (mis. Indonesia, Saudi Arabia) menambah bobot BRICS, terutama di sumber daya (minyak, energi). Inisiatif keuangan BRICS seperti sistem pembayaran lintas mata uang dan penguatan NDB dapat makin menggerus dominasi alat bayar G7 (USD) secara perlahan. Secara politik, BRICS juga berpotensi menjadi kekuatan penyeimbang global; namun perbedaan domestik (mis. India vs Tiongkok) mungkin menghambat langkah terkoordinasi penuh.
Sementara itu, G7 diproyeksikan berfokus mempertahankan kemajuan teknologi dan nilai tukarnya. Grup ini mungkin akan terus memperkuat kerjasama industri canggih (AI, energi bersih) dan menggalang koalisi baru (misalnya bentukan inisiatif pindah ke energi hijau) untuk bersaing dengan BRICS. G7 juga dapat berusaha mengatasi kritik global dengan mendukung reformasi lembaga internasional secara proporsional. Hubungan G7 dengan negara-negara BRICS (terutama India dan Brasil) akan menentukan apakah dunia ke depan lebih terpolarisasi atau tetap inklusif. Bila kedua pihak berhasil menemukan titik temu (misalnya lewat G20), ketegangan bisa diminimalkan. Namun jika retorika blok-blok menguat, dunia mungkin terpecah menjadi “dua sistem” yang bersaing (skenario dystopian).
Secara keseluruhan, di masa depan dunia ekonomi diprediksi semakin multipolar, dengan BRICS memainkan peran yang lebih besar bersama G20 dan forum Selatan-Global. Kekuatan G7 tetap besar, tetapi akan dituntut beradaptasi menghadapi perubahan—baik melalui reformasi internal maupun membangun kemitraan baru. Keputusan kebijakan kini akan menentukan apakah hubungan BRICS–G7 akan menjadi kompetisi terbuka, dialog produktif, atau kombinasi keduanya.
Kondisi Terkini: Dinamika Ekonomi dan Politik
BRICS+ kini mewakili lebih dari 40% populasi dunia dan sekitar 32% PDB global berdasarkan PPP. G7 tetap dominan secara ekonomi nominal dan kekuatan politik, namun menghadapi tantangan pengaruh dari negara-negara berkembang. BRICS mempromosikan dunia multipolar, mendukung perdagangan mata uang lokal dan sistem keuangan alternatif dari dolar AS.
Perbandingan Statistik Utama
Indikator | BRICS+ (2024) | G7 (2024) |
Populasi (%) | ~45% dunia (~3,3 miliar) | ~10% dunia (~780 juta) |
PDB (PPP, global share) | ~32% | ~30% |
PDB (nominal, global share) | ~27% | ~43% |
Ekspor dunia (%) | ~25% | ~29% |
Cadangan devisa total | ~USD 4,8 triliun | ~USD 1,9 triliun |
Produksi minyak dunia | ~42% | ~20% |
Investasi luar negeri (FDI) | >20% global | >50% global |
Sumber: IMF, World Bank, WTO, UNCTAD, 2024 estimasi
Geopolitik dan Kebijakan Luar Negeri
G7 menekankan demokrasi liberal dan aliansi keamanan. BRICS mempromosikan kedaulatan nasional dan menghindari hegemoni satu blok. Perbedaan pandangan soal Ukraina, Taiwan, dan tata kelola global semakin memperlebar jarak kedua kelompok.
Kekuatan Mata Uang dan Sistem Keuangan
Dominasi USD masih tinggi (~60% cadangan global), namun BRICS mendorong dedolarisasi dan transaksi lintas batas berbasis mata uang lokal. Sistem seperti CIPS Tiongkok dan CRA BRICS menjadi alternatif SWIFT dan IMF.
Indikator | Data BRICS | Data G7 |
Cadangan Devisa Tiongkok | USD 3,2 triliun | – |
NDB BRICS | >USD 50 miliar pembiayaan aktif | – |
CRA BRICS | USD 100 miliar | – |
Cadangan USD Global Share | ~30% dimiliki oleh BRICS | ~60% total global (IMF, 2024) |
Pengaruh terhadap Lembaga Global
BRICS mengadvokasi reformasi IMF dan Bank Dunia. Mereka membentuk NDB dan CRA sebagai alternatif pendanaan. G7 masih memegang >40% hak suara di IMF meskipun mewakili <30% populasi global.
Proyeksi Masa Depan
- Ekspansi BRICS+ menandakan pergeseran menuju multipolaritas ekonomi.
- Jika tren pertumbuhan berlanjut, BRICS+ berpotensi melampaui G7 dalam hal PDB (PPP) dan pengaruh global.
- G7 kemungkinan akan fokus pada inovasi teknologi, ketahanan energi, dan mempertahankan standar internasional.
Penutup
Hubungan BRICS dan G7 mencerminkan transisi dari sistem unipolar ke multipolar. Persaingan keduanya akan membentuk arah perekonomian global dalam bidang keuangan, perdagangan, dan tata kelola global.
Sumber utama: IMF, World Bank, WTO, United Nations, UNCTAD, KTT BRICS 2023–2024, G7 Summits 2023–2024, media seperti WEF, Atlantic Council, Kompas, The Diplomat, Brookings, Carnegie.