Pengenalan terhadap Ibn Rushd (Averroes) sebagai Polymath Andalusia

Abu al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Rushd, yang lebih dikenal di dunia Barat Latin sebagai Averroes, adalah seorang polimath terkemuka yang hidup pada abad ke-12 (1126-1198). Berasal dari keluarga juris (ahli hukum) terpandang di Córdoba, Spanyol, ia menerima pendidikan yang kuat dalam berbagai bidang, menjadikannya seorang ahli hukum, fisikawan, dan filsuf. Kontribusinya yang paling signifikan dan abadi diakui di bidang filsafat melalui komentarnya yang luas dan mendalam terhadap karya-karya Aristoteles. Pendekatan analitisnya yang berupaya membersihkan karya Aristoteles dari distorsi yang menumpuk selama berabad-abad membuatnya dijuluki “The Great Commentator” di Barat.

Selain dari kontribusinya pada filsafat, Ibn Rushd juga menghasilkan karya-karya monumental lainnya. Dalam bidang kedokteran, ia menulis sebuah ensiklopedia tujuh bagian yang terkenal, yang dikenal sebagai Kulliyāt atau Colliget dalam terjemahan Latin. Ia juga diakui dalam bidang fikih dengan karyanya Bidāyat al-Mujtahid, yang menganalisis perbedaan antara mazhab-mazhab hukum Islam. Pengetahuannya yang mendalam tentang berbagai disiplin ilmu ini memungkinkannya untuk menyatukan nalar dan wahyu, sebuah tema sentral yang mengalir di seluruh karyanya.

Konteks Sejarah: Andalusia Abad ke-12 dan Dinasti Muwahhidun

Kehidupan Ibn Rushd terjadi pada periode yang sangat unik dalam sejarah intelektual. Pada masa itu, minat terhadap filsafat dan teologi mulai menurun di dunia Muslim, sementara pada saat yang sama, minat tersebut baru mulai tumbuh dan berkembang di dunia Kristen Latin. Ia hidup di bawah pemerintahan dinasti Almohad (Muwahhidun), yang meskipun dikenal karena agenda puritan dan penekanan ketat pada hukum Islam, juga menunjukkan dukungan terhadap ilmu pengetahuan dan filsafat. Keterlibatan Ibn Rushd secara langsung dalam pemerintahan, di mana ia menjabat sebagai qādī (hakim) di Sevilla dan Córdoba, serta kemudian sebagai dokter istana untuk Khalifah Abu Ya’qub Yusuf, adalah bukti dari dukungan ini.

Kondisi ini menciptakan sebuah situasi yang paradoks, di mana filsafat dapat berkembang di bawah perlindungan seorang penguasa yang “rajin belajar filsafat”, meskipun rezimnya secara ideologis berpotensi menentangnya. Hubungan personal dan patronase dari khalifah ini adalah prasyarat penting yang memungkinkan Ibn Rushd untuk menulis dan mempertahankan pandangan-pandangan filosofisnya. Namun, ketergantungan pada patronase individu ini juga menunjukkan kerapuhan posisinya. Perubahan politik dan pergeseran sentimen di lingkungan istana dapat dengan mudah mengancam kariernya, yang terbukti ketika ia diasingkan dan karya-karyanya dibakar pada tahun 1195 karena tuduhan bid’ah oleh para teolog, meskipun ia kemudian dipanggil kembali ke Marrakesh.

Analisis Judul Buku: Makna Retoris dan Filosofis Tahāfut al-Tahāfut

Judul karya monumental Ibn Rushd, Tahāfut al-Tahāfut, secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai “Ketidakkoherenan dari Ketidakkoherenan”. Judul ini bukan sekadar tanggapan sederhana terhadap karya Al-Ghazali sebelumnya, Tahāfut al-Falāsifa (Ketidakkoherenan Para Filsuf), melainkan sebuah pernyataan retoris yang kuat dan bahkan bersifat sarkastis. Dengan memilih judul ini, Ibn Rushd tidak hanya bertujuan untuk membela filsafat dari serangan Al-Ghazali, tetapi juga untuk secara langsung menantang dan membongkar fondasi argumen Al-Ghazali itu sendiri.

Ibn Rushd berpendapat bahwa Al-Ghazali, dalam upayanya untuk membuktikan ketidakkoherenan para filsuf, justru gagal dalam metodologi dan logikanya sendiri, sehingga menghasilkan sebuah karya yang secara internal tidak koheren. Oleh karena itu, tujuan Tahāfut al-Tahāfut adalah untuk “membongkar pembongkaran” tersebut, menunjukkan bahwa klaim Al-Ghazali tidak berdasar dan bahwa filsafat Aristotelian, jika dipahami dengan benar, tidak bertentangan dengan wahyu ilahi. Judul ini dengan cermat merangkum seluruh tujuan karya ini sebagai polemik intelektual yang bertujuan untuk memulihkan kehormatan filsafat dalam tradisi Islam.

Landasan Polemik: Analisis terhadap Tahāfut al-Falāsifa karya al-Ghazali

Biografi dan Latar Belakang Intelektual al-Ghazali

Abu Hamid al-Ghazali (1058-1111) adalah seorang teolog Ash’ari yang dihormati dan seorang figur reformis yang dijuluki Hujjatul Islam (Pembela Islam). Perjalanan intelektualnya ditandai oleh krisis spiritual dan skeptisisme yang mendalam, yang mendorongnya untuk meninggalkan karier mengajarnya yang sukses di Baghdad untuk mencari “kebenaran hakiki”. Dalam perjalanannya, ia mempelajari berbagai aliran pemikiran, termasuk filsafat dan mistisisme Sufi. Pengalamannya ini membentuk pandangannya bahwa kebenaran tidak hanya dapat dicapai melalui nalar, tetapi juga melalui pencerahan mistis dan iman yang kuat.

Tujuan dan Metodologi al-Ghazali dalam Tahāfut al-Falāsifa

Dalam Tahāfut al-Falāsifa, Al-Ghazali tidak secara mutlak menolak filsafat. Ia dengan tegas menyatakan bahwa ia tidak memiliki masalah dengan cabang-cabang filsafat seperti fisika, logika, astronomi, atau matematika, yang ia akui dapat memberikan pengetahuan yang bermanfaat. Sebaliknya, kritiknya secara spesifik diarahkan pada bagian metafisika filsafat yang ia anggap bermasalah dan tidak dapat dibuktikan dengan metode logis yang sama yang digunakan oleh para filsuf untuk sains lainnya.

Metodologinya dalam buku ini sangat sistematis dan terstruktur. Ia percaya bahwa untuk membantah para filsuf, seseorang harus terlebih dahulu memahami argumen mereka secara menyeluruh. Oleh karena itu, ia secara cermat menyajikan pandangan-pandangan para filsuf (terutama yang berasal dari Ibnu Sina dan al-Farabi) sebelum meluncurkan bantahannya. Sebuah ironi historis muncul dari pendekatan ini: dengan secara eksplisit dan jelas menyajikan argumen para filsuf, Al-Ghazali tanpa sadar membuat ide-ide filosofis menjadi lebih mudah diakses oleh audiens yang lebih luas yang tidak memiliki latar belakang filsafat. Tindakan ini, yang awalnya dimaksudkan untuk membatasi filsafat, justru secara tidak langsung mempopulerkannya dan menciptakan landasan intelektual yang membutuhkan sebuah respons sistematis—sebuah peran yang kemudian diisi oleh Ibn Rushd.

Ringkasan 20 Poin Kritik dan Tiga Tuduhan Kufur

Tahāfut al-Falāsifa disusun dalam 20 bab, di mana Al-Ghazali mengkritik dua puluh doktrin filosofis. Ia menilai tujuh belas dari doktrin ini sebagai bid’ah (inovasi heretis) dan tiga sisanya sebagai kufur (pengingkaran total terhadap ajaran Islam). Tiga tuduhan kufur inilah yang menjadi fokus utama polemik dan yang paling mengancam posisi filsafat di dunia Muslim.

Tiga tuduhan utama tersebut adalah:

  1. Keazalian alam (pre-eternity of the world): Para filsuf, mengikuti Aristoteles, berpendapat bahwa alam ini abadi dan tidak memiliki permulaan dalam waktu. Hal ini secara langsung menentang doktrin Islam tentang penciptaan ex nihilo (dari ketiadaan) oleh kehendak bebas Allah dalam waktu tertentu.
  2. Keterbatasan pengetahuan Tuhan terhadap hal partikular (God’s knowledge of particulars): Al-Ghazali menuduh para filsuf berpendapat bahwa Tuhan hanya mengetahui hal-hal universal (bentuk-bentuk Plato) dan bukan detail-detail individual atau partikular, yang berarti Tuhan tidak mengetahui individu atau kejadian spesifik di dunia. Tuduhan ini, menurutnya, bertentangan dengan konsensus Muslim tentang kemahatahuan Tuhan.
  3. Tidak adanya kebangkitan jasmani (bodily resurrection): Para filsuf dituduh menolak kebangkitan fisik yang dijanjikan dalam Al-Qur’an, dan hanya mengakui kebangkitan jiwa. Ini dianggap sebagai penolakan terhadap salah satu prinsip fundamental eskatologi Islam.

Di bawah ini adalah tabel yang merangkum semua 20 poin kritik Al-Ghazali untuk memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang ruang lingkup argumennya.

Nomor Topik Kritik Keterangan
1 Menyangkal doktrin keazalian (pra-keabadian) alam. Kufur
2 Menyangkal doktrin keabadian pasca-keabadian alam. Bid’ah
3 Menunjukkan ambiguitas mereka tentang: Tuhan adalah pencipta vs. dunia adalah ciptaan Tuhan. Bid’ah
4 Ketidakmampuan filsuf untuk membuktikan keberadaan Sang Pencipta. Bid’ah
5 Ketidakmampuan filsuf untuk membuktikan kemustahilan keberadaan dua tuhan. Bid’ah
6 Doktrin filsuf tentang penyangkalan keberadaan sifat-sifat Tuhan. Bid’ah
7 Bantahan terhadap pernyataan mereka: “esensi Yang Pertama tidak dapat dibagi menjadi genus dan spesies.” Bid’ah
8 Bantahan terhadap pernyataan mereka: “Yang Pertama adalah wujud sederhana tanpa quiddity.” Bid’ah
9 Ketidakmampuan mereka untuk menunjukkan bahwa Yang Pertama bukanlah tubuh. Bid’ah
10 Membahas doktrin materialisme yang meniscayakan penolakan terhadap pembuat. Bid’ah
11 Ketidakmampuan mereka untuk menunjukkan bahwa Yang Pertama mengetahui yang lain. Bid’ah
12 Ketidakmampuan mereka untuk menunjukkan bahwa Yang Pertama mengetahui Diri-Nya. Bid’ah
13 Menyangkal bahwa Yang Pertama tidak mengetahui hal-hal partikular. Kufur
14 Menyangkal doktrin mereka yang menyatakan: “langit adalah hewan yang bergerak atas kemauannya sendiri.” Bid’ah
15 Menyangkal apa yang mereka katakan mengenai alasan langit bergerak. Bid’ah
16 Menyangkal doktrin mereka bahwa langit adalah jiwa-jiwa yang mengetahui hal-hal partikular. Bid’ah
17 Menyangkal doktrin mereka bahwa gangguan kausalitas tidak mungkin terjadi. Bid’ah
18 Menyangkal pernyataan mereka bahwa jiwa manusia adalah substansi mandiri yang bukan tubuh maupun aksiden. Bid’ah
19 Menyangkal penegasan mereka tentang kemustahilan pemusnahan jiwa manusia. Bid’ah
20 Menyangkal penolakan mereka terhadap kebangkitan jasmani dan kenikmatan Surga atau siksaan Neraka. Kufur

Metodologi dan Argumentasi dalam Tahāfut al-Tahāfut

Struktur Dialogis dan Tujuan Utama

Sebagai respons terhadap Al-Ghazali, Ibn Rushd menyusun Tahāfut al-Tahāfut dalam format dialog. Ia secara sistematis mengutip bagian demi bagian dari karya Al-Ghazali dan kemudian menyanggahnya secara terperinci. Metodologi ini tidak hanya memungkinkan Ibn Rushd untuk membela para filsuf dari tuduhan Al-Ghazali, tetapi juga untuk meluruskan apa yang ia lihat sebagai penyimpangan dalam pemikiran filosofis yang telah terjadi sebelum dirinya. Tujuan utamanya adalah ganda: pertama, mempertahankan filsafat Aristotelian murni, dan kedua, memurnikan filsafat Islam dari elemen-elemen Neoplatonis yang ia yakini telah dimasukkan oleh pendahulunya seperti al-Farabi dan Ibnu Sina.

Ibn Rushd berpendapat bahwa Al-Ghazali dan para teolog pada umumnya tidak membedakan dengan benar antara Aristotelianisme dan Neoplatonisme, yang menyebabkan mereka mengkritik pandangan-pandangan yang sebenarnya bukan merupakan inti dari filsafat Aristoteles. Tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa jika dipahami dengan benar, filsafat Aristoteles tidak hanya sejalan dengan Islam tetapi bahkan merupakan alat yang diperlukan untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam tentang wahyu.

Konsep Kunci: Harmoni Akal dan Wahyu

Inti dari argumen Ibn Rushd terletak pada pandangannya tentang harmoni antara akal (ratio) dan wahyu (revelation). Ia dengan teguh berpendapat bahwa filsafat dan agama adalah dua jalur yang berbeda namun keduanya mengarah pada satu kebenaran yang sama. Dalam karyanya Faṣl al-Maqāl, yang berfungsi sebagai landasan teoretis untuk Tahāfut al-Tahāfut, ia menyatakan bahwa hukum agama (syariah) tidak hanya mengizinkan tetapi juga mewajibkan studi filsafat bagi mereka yang memiliki kapasitas intelektual untuk melakukannya. Bagi Ibn Rushd, akal adalah anugerah dari Tuhan, dan penggunaannya untuk merenungkan ciptaan adalah cara untuk memahami hikmah dan kekuasaan-Nya.

Untuk mengatasi konflik yang terlihat antara nalar dan teks suci, Ibn Rushd mengembangkan teori takwil (interpretasi alegoris). Ia berpendapat bahwa teks suci terkadang menggunakan bahasa metaforis yang ditujukan untuk audiens umum yang tidak memiliki pelatihan filosofis. Namun, bagi mereka yang terlatih dalam penalaran demonstratif (burhani), makna yang lebih dalam dan filosofis dari teks-teks tersebut dapat diungkap. Bagi Ibn Rushd, jika sebuah kesimpulan filosofis yang didukung oleh nalar yang kuat tampak bertentangan dengan teks suci, maka teks tersebut harus ditafsirkan secara alegoris.

Perbandingan Filosofis Mendalam: Tiga Debat Paling Sentral

Masalah Penciptaan Alam: Eternity of the World vs. Creatio Ex Nihilo

Polemik tentang penciptaan alam merupakan salah satu poin paling krusial dalam perdebatan ini. Al-Ghazali, dari sudut pandang teologis, menegaskan bahwa alam diciptakan dari ketiadaan (creatio ex nihilo) pada suatu titik waktu oleh kehendak bebas Allah. Bagi Al-Ghazali, ini adalah kebenaran yang hanya dapat diterima melalui iman dan wahyu, karena akal tidak dapat membuktikan bagaimana sesuatu dapat berasal dari ketiadaan.

Ibn Rushd menjawab bahwa konflik ini berakar pada kesalahpahaman terminologi. Ia membedakan antara dua makna “qadīm” (abadi): makna teologis, yang mengacu pada sesuatu yang tidak memiliki sebab, dan makna filosofis, yang mengacu pada sesuatu yang abadi tetapi tetap memiliki sebab. Ia berargumen bahwa para filsuf tidak mengklaim alam abadi tanpa sebab; sebaliknya, mereka berpendapat bahwa alam diciptakan secara abadi bersamaan dengan sebabnya, yaitu Tuhan. Ini adalah hubungan sebab-akibat yang konstan, bukan penciptaan dalam waktu. Dalam pandangan Ibn Rushd, Al-Ghazali telah salah memahami posisi para filsuf dan menyimpulkan mereka sebagai kafir.

Masalah Pengetahuan Tuhan terhadap Hal Partikular (God’s Knowledge of Particulars)

Al-Ghazali menuduh para filsuf, terutama Ibnu Sina, membatasi pengetahuan Tuhan hanya pada hal-hal universal dan tidak pada hal-hal partikular, yang menurutnya bertentangan dengan Al-Qur’an dan konsensus umat Islam.

Ibn Rushd dengan tegas membantah tuduhan ini, menyatakan bahwa ini adalah salah satu kesalahpahaman Al-Ghazali yang paling serius. Ia menjelaskan bahwa pengetahuan Tuhan tidak dapat disamakan dengan pengetahuan manusia. Pengetahuan manusia adalah “akibat” dari objek yang diketahui—kita mengetahui sesuatu karena keberadaannya. Sebaliknya, pengetahuan Tuhan adalah “sebab” dari keberadaan itu sendiri; Dia mengetahui segala sesuatu karena Dia adalah penyebabnya. Pengetahuan-Nya bersifat qadīm (abadi) dan tidak berubah-ubah dengan munculnya peristiwa atau detail baru. Jadi, Tuhan mengetahui semua hal partikular, tetapi pengetahuan-Nya melampaui dan tidak dapat dipahami dengan cara yang sama seperti pengetahuan manusia.

Masalah Kausalitas dan Mukjizat (Causality and Miracles)

Al-Ghazali mempertahankan teori okkasionalisme Ash’ari, yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan kausalitas yang niscaya antara sebab dan akibat di dunia. Hubungan antara, misalnya, api dan kapas yang terbakar hanyalah kebiasaan yang diciptakan langsung oleh Allah pada setiap kejadian. Bagi Al-Ghazali, pandangan ini penting untuk mempertahankan kemahakuasaan Tuhan, karena memungkinkan-Nya untuk melakukan mukjizat—”mengganggu kebiasaan” yang telah Dia ciptakan—seperti mengubah tongkat menjadi ular atau membelah bulan.

Ibn Rushd secara keras membantah okkasionalisme ini. Ia berpendapat bahwa pandangan tersebut secara fundamental merusak fondasi ilmu pengetahuan dan penalaran itu sendiri. Jika tidak ada hubungan sebab-akibat yang pasti, maka tidak ada dasar untuk pengetahuan empiris dan tidak ada identitas yang stabil bagi suatu entitas Bagi Ibn Rushd, kausalitas itu nyata dan niscaya. Ia mempertahankan bahwa mukjizat tidak meniadakan hukum kausalitas; sebaliknya, mukjizat adalah manifestasi dari “kausa yang lebih tinggi” yang tidak dapat dipahami oleh akal manusia, tetapi tidak menolak hubungan sebab-akibat yang lebih rendah. Perdebatan ini memiliki implikasi mendalam bagi epistemologi dan sains, karena argumentasi Ibn Rushd secara implisit membela kemungkinan ilmu pengetahuan empiris yang membutuhkan hukum alam yang konsisten untuk berfungsi.

Berikut adalah tabel yang merangkum perbandingan posisi utama antara kedua tokoh ini pada tiga isu sentral.

Isu Sentral Posisi al-Ghazali Posisi Ibn Rushd
Penciptaan Alam Diciptakan ex nihilo (dari ketiadaan) pada suatu waktu oleh kehendak bebas Allah. Alam tidak bisa abadi. Alam bersifat abadi tetapi memiliki sebab, yaitu Tuhan. Konflik muncul dari salah pemahaman makna “abadi” (qadīm).
Pengetahuan Tuhan Tuhan mengetahui segala hal, baik yang universal maupun yang partikular. Filsuf yang menolak pengetahuan partikular adalah kafir. Tuhan mengetahui segala hal, baik universal maupun partikular. Pengetahuan Tuhan adalah “sebab” dari keberadaan, bukan “akibat” seperti pengetahuan manusia.
Kausalitas & Mukjizat Mendukung okkasionalisme: tidak ada hubungan kausal yang niscaya. Allah adalah satu-satunya sebab sejati. Mukjizat adalah intervensi langsung Allah. Menolak okkasionalisme: kausalitas itu nyata dan niscaya. Setiap entitas memiliki sifat yang teratur. Mukjizat berasal dari “kausa yang lebih tinggi” yang tidak meniadakan hukum alam.

Hubungan Agama dan Filsafat: Teori Double Truth dan Harmoni Kebenaran

Meluruskan Mitos “Teori Kebenaran Ganda”

Meskipun Ibn Rushd berupaya menyelaraskan akal dan wahyu, pemikirannya di Barat Latin sering disalahartikan sebagai “teori kebenaran ganda” (double truth). Pandangan ini, yang secara keliru diatribusikan kepadanya, menyatakan bahwa mungkin ada dua kebenaran yang kontradiktif: satu dari filsafat dan satu dari agama. Namun, analisis yang cermat terhadap karyanya menunjukkan bahwa Ibn Rushd tidak pernah mengklaim hal seperti itu. Ia selalu berpegang pada keyakinan bahwa kebenaran pada akhirnya tunggal, dan jika ada konflik yang tampak antara teks suci dan kesimpulan rasional, maka teks suci harus ditafsirkan secara alegoris.

Kesalahpahaman ini mencerminkan bagaimana pemikiran Ibn Rushd diadaptasi dan diinterpretasikan oleh para pemikir Kristen di Eropa Abad Pertengahan. Doktrin double truth, meskipun bukan pandangan asli Ibn Rushd, menjadi salah satu doktrin paling kontroversial yang terkait dengannya di Barat dan memicu polemik teologis yang signifikan.

Teori Takwil dalam Faṣl al-Maqāl sebagai Jembatan

Landasan filosofis Ibn Rushd untuk perdebatan ini terkandung dalam karyanya yang lain, Faṣl al-Maqāl (Decisive Treatise). Dalam buku ini, ia menyajikan argumen komprehensif bahwa filsafat—yang ia sebut sebagai “hikmah” atau kebijaksanaan—bukan hanya diizinkan tetapi juga diwajibkan oleh hukum agama (syariah) bagi mereka yang mampu. Ia melihat filsafat sebagai metode untuk merenungkan ciptaan Tuhan, yang merupakan praktik yang dianjurkan dalam Al-Qur’an itu sendiri. Dengan demikian, tidak ada kontradiksi fundamental antara filsafat dan agama; keduanya bekerja sama untuk mencapai kebenaran. Pandangan ini secara efektif menempatkan Tahāfut al-Tahāfut sebagai implementasi praktis dari teori yang ia ajukan dalam Faṣl al-Maqāl.

Warisan dan Pengaruh: Timur dan Barat

Pengaruh dan Penolakan di Dunia Islam

Meskipun argumentasi Ibn Rushd dalam Tahāfut al-Tahāfut sangat kuat dan sistematis, karyanya tidak diterima dengan baik di dunia Muslim yang lebih luas. Sebaliknya, pemikiran Al-Ghazali dan tradisi teologi yang ia wakili terus mendominasi. Karyanya tidak mendapatkan pengakuan dan, pada masa hidupnya, ia bahkan dituduh melakukan bid’ah yang menyebabkan buku-bukunya dibakar.

Ada narasi populer yang mengklaim bahwa Al-Ghazali “membunuh” sains dan filsafat di dunia Islam, yang menyebabkan stagnasi intelektual. Namun, narasi ini adalah sebuah mitos yang berasal dari Orientalis Barat seperti Ernest Renan. Analisis sejarah yang lebih baru menunjukkan bahwa sains terus berkembang di dunia Islam setelah Al-Ghazali, dengan masa keemasan astronomi Islam terjadi dari abad ke-13 hingga ke-16. Faktor-faktor lain yang lebih kompleks, seperti invasi Mongol pada tahun 1258 yang menghancurkan pusat-pusat intelektual seperti Baghdad, dan kemudian hegemoni Barat, memberikan penjelasan yang lebih kuat dan bernuansa mengenai mengapa tradisi filosofis di dunia Islam mengalami penurunan, yang tidak dapat disederhanakan menjadi kesalahan satu orang atau satu buku.

Penerimaan di Dunia Eropa dan Yahudi

Bertolak belakang dengan penolakan yang ia hadapi di dunia Islam, karya-karya Ibn Rushd memperoleh penerimaan yang luas dan berpengaruh di Eropa dan komunitas Yahudi. Komentar-komentar Aristoteliannya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan Ibrani, membangkitkan kembali minat terhadap Aristoteles yang hampir hilang di Barat setelah jatuhnya Kekaisaran Romawi Barat. Penerimaannya yang antusias oleh para sarjana Yahudi, termasuk Maimonides, yang mengintegrasikan pemikirannya ke dalam teologi Yahudi, menjadi bukti langsung dari signifikansi universal pemikirannya.

Di Eropa, karyanya menginspirasi gerakan filosofis yang dikenal sebagai Latin Averroism, yang berpusat di universitas-universitas Paris dan Padua. Para pengikutnya, seperti Siger of Brabant dan Boethius of Dacia, menggunakan rasionalisme Aristoteliannya untuk menganalisis doktrin-doktrin Kristen, yang pada gilirannya memicu kontroversi dan bahkan kecaman oleh Gereja Katolik. Meskipun demikian, pemikirannya memengaruhi tokoh-tokoh besar Skolastisisme seperti Thomas Aquinas dan membuka jalan bagi pemikiran rasional yang kemudian menjadi ciri khas Renaisans. Atas warisan ini, ia sering dijuluki “The Commentator,” “Bapak Pemikiran Bebas,” dan “Bapak Rasionalisme” di kalangan Barat.

Epilog: Relevansi Tahāfut al-Tahāfut untuk Diskursus Modern

Tinjauan Kritis dari Perspektif Kontemporer

Polemik antara Ibn Rushd dan Al-Ghazali tidak dapat dipahami sebagai “kemenangan” atau “kekalahan” sederhana bagi salah satu pihak. Sebaliknya, hal itu harus dilihat sebagai debat yang kaya dan kompleks antara dua tokoh brilian yang, meskipun dengan cara yang berbeda, sama-sama berjuang untuk menemukan cara terbaik untuk menyelaraskan kebenaran rasional dan wahyu ilahi. Al-Ghazali berpendapat bahwa batas nalar harus diakui, sementara Ibn Rushd berpendapat bahwa nalar, jika digunakan dengan benar, dapat mencapai kebenaran yang tidak akan bertentangan dengan wahyu.

Tahāfut al-Tahāfut tetap menjadi salah satu dokumen terpenting dalam sejarah filsafat. Ia bukan sekadar sebuah sanggahan, melainkan sebuah formulasi yang canggih dari pandangan dunia Aristotelian yang terintegrasi dengan teologi monoteistik. Karya ini berfungsi sebagai jembatan penting, yang menyajikan Aristotelianisme dalam konteks teisme dan meletakkannya dalam posisi untuk memengaruhi pemikiran Barat selama berabad-abad.

Kesimpulan: Pembelaan Rasionalisme dalam Tradisi Monoteistik

Sebagai kesimpulan, Tahāfut al-Tahāfut adalah sebuah pembelaan yang kuat dan bernuansa terhadap nalar dan penyelidikan filosofis dalam kerangka agama. Ibn Rushd menunjukkan bahwa filsafat tidak perlu dilihat sebagai ancaman bagi iman, melainkan sebagai alat yang dapat memperkaya dan memperdalam pemahaman tentang kebenusan yang tertinggi. Perdebatan historis ini, tentang batas dan hubungan antara sains, filsafat, dan agama, terus bergema dalam diskursus modern dan tetap menjadi salah satu topik paling penting dalam studi peradaban. Karya Ibn Rushd adalah pengingat abadi akan pentingnya dialog terbuka dan rasional untuk mencapai kebenaran yang utuh.

 

Daftar Pustaka :

  1. Ibn Rushd (Averroes) (1126—1198) – Internet Encyclopedia of Philosophy, diakses September 7, 2025, https://iep.utm.edu/ibn-rushd-averroes/
  2. Averroës – EBSCO, diakses September 7, 2025, https://www.ebsco.com/research-starters/biography/averroes
  3. Averroes | Biography, Philosophy, Books, & History | Britannica, diakses September 7, 2025, https://www.britannica.com/biography/Averroes
  4. Ibn Rushd (Averroës): Prince of Science – PMC, diakses September 7, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC6074522/
  5. EPISTEMOLOGI IBNU RUSYD (TELAAH RELASI WAHYU DAN RASIO) An-Nur: Jurnal Studi Islam, diakses September 7, 2025, https://jurnalannur.ac.id/index.php/An-Nur/article/download/226/179/1069
  6. AVERROEISME: AJARAN IBNU RUSYD YANG DIPAHAMI DUNIA BARAT DAN PENGARUHNYA TERHADAP RENAISSANCE – Jazirah: Jurnal Peradaban dan Kebudayaan, diakses September 7, 2025, https://e-jazirah.com/index.php/jazirah/article/view/142/51
  7. sejarah perkembangan filsafat islam di andalusia (abad ke-11-12 m) skripsi, diakses September 7, 2025, http://digilib.uinsa.ac.id/23503/7/Maunatus%20Sholikhah_A72214043.pdf
  8. The Incoherence of Philosophers. | Library of Congress, diakses September 7, 2025, https://www.loc.gov/item/2021666178/
  9. Ibn Rushd, Tahafut Al-Tahafut (The Incoherence of the Incoherence) – Ocean 2.0, diakses September 7, 2025, https://oceanlibrary.com/tahafut-incoherence_ibn-rushd/
  10. Al-Ghazali, Tahafut al-falasfa – Islamic Philosophy Online, diakses September 7, 2025, http://www.muslimphilosophy.com/journal/is-01/Ch-Ghazali%20.doc
  11. Kritik Imam Al-Ghazali terhadap Para Filsuf – Neliti, diakses September 7, 2025, https://media.neliti.com/media/publications/372716-none-18aec6c3.pdf
  12. (PDF) KRITIK AL-GHAZĀLĪ TERHADAP PARA FILOSOF – ResearchGate, diakses September 7, 2025, https://www.researchgate.net/publication/348809094_KRITIK_AL-GHAZALI_TERHADAP_PARA_FILOSOF
  13. Today I learned that the person who introduced secularism and kick-started science in Western Europe was actually a brilliant Islamic scholar. From /r/PhilosophyofScience. – Reddit, diakses September 7, 2025, https://www.reddit.com/r/science/comments/aijii/today_i_learned_that_the_person_who_introduced/
  14. 20th WCP: Al-Ghazâlî, Causality, and Knowledge, diakses September 7, 2025, https://www.bu.edu/wcp/Papers/Medi/MediAdam.htm
  15. The Incoherence of the Philosophers – Wikipedia, diakses September 7, 2025, https://en.wikipedia.org/wiki/The_Incoherence_of_the_Philosophers
  16. The Incoherence of the Philosophers – BYU Studies, diakses September 7, 2025, https://byustudies.byu.edu/article/the-incoherence-of-the-philosophers-a-parallel-english-arabic-text-translated-introduced-and-annotated-by-michael-e-marmura
  17. The Role of Ibn Rushd’s Hermeneutics in Transmitting Philosophical Interpretation to Western Civilization, diakses September 7, 2025, https://jurnal.uinsyahada.ac.id/index.php/thawalib/article/download/16864/pdf
  18. Reason and Revelation for an Averroist Pursuit of Convivencia and Intercultural Dialogue, diakses September 7, 2025, https://www.researchgate.net/publication/205109763_Reason_and_Revelation_for_an_Averroist_Pursuit_of_Convivencia_and_Intercultural_Dialogue
  19. Averroism – Wikipedia, diakses September 7, 2025, https://en.wikipedia.org/wiki/Averroism
  20. Creatio ex nihilo – Wikipedia, diakses September 7, 2025, https://en.wikipedia.org/wiki/Creatio_ex_nihilo
  21. Counter-Discourse on The Criticism of Ibn Rushd Toward al-Ghazali, diakses September 7, 2025, https://journal.walisongo.ac.id/index.php/teologia/article/view/8330/pdf
  22. Al-Ghazālī and Ibn Rushd on the End of the World – Taylor & Francis Online, diakses September 7, 2025, https://www.tandfonline.com/doi/pdf/10.1080/14746700.2025.2514315
  23. RELATION AS KEY TO GOD’S KNOWLEDGE OF PARTICULARS IN THE TAHĀFUT AL-TAHĀFUT AND THE ḌAMĪMA : A CROSS-TALK BETWEEN AVERROES, AL-ĠAZĀLĪ AND AVICENNA – ResearchGate, diakses September 7, 2025, https://www.researchgate.net/publication/339389015_RELATION_AS_KEY_TO_GOD’S_KNOWLEDGE_OF_PARTICULARS_IN_THE_TAHAFUT_AL-TAHAFUT_AND_THE_DAMIMA_A_CROSS-TALK_BETWEEN_AVERROES_AL-GAZALI_AND_AVICENNA
  24. Ibn Rushd, The Incoherence of the Incoherence – Medieval Islamic Philosophical Writings, diakses September 7, 2025, https://www.cambridge.org/core/books/medieval-islamic-philosophical-writings/ibn-rushd-the-incoherence-of-the-incoherence/5D033CF3E5D1C904E74611E5E05E2FFE
  25. The First as Pure Act and Causality (Chapter 4) – Cambridge University Press, diakses September 7, 2025, https://www.cambridge.org/core/books/islam-causality-and-freedom/first-as-pure-act-and-causality/7B0A9458724BF1193726D3E94E86311E
  26. UPAYA IBN RUSYD MEMPERTEMUKAN AGAMA DAN FILSAFAT – Repository UIN Malang, diakses September 7, 2025, http://repository.uin-malang.ac.id/10025/1/10025.pdf
  27. IDid al-Ghazali Kill the Science in Islam? – The Fountain Magazine, diakses September 7, 2025, https://fountainmagazine.com/all-issues/2012/issue-87-may-june-2012/did-al-ghazali-kill-the-science-in-islam-may-june-2012
  28. Maimonides’ Arguments for Creation Ex Nihilo in the Guide of the Perplexed – Cornell eCommons, diakses September 7, 2025, https://ecommons.cornell.edu/server/api/core/bitstreams/b83db64c-6adc-4752-aec1-d1bd5e85af0c/content
  29. Revisiting Averroes’ Influence on Western Philosophy – David Publishing, diakses September 7, 2025, https://www.davidpublisher.com/index.php/Home/Article/index?id=46935.html

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

CAPTCHA ImageChange Image

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.