Sebuah fenomena menarik berlaku di negeri ini, Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) membuka hotline SMS bagi setiap rakyat Indonesia melalui nomor 0811109949. isi SMS tersebut, yang kemudian di muat diharian Tribun Batam dengan fasilitas forward, bermacam-macam mulai dari mencari pekerjaan, melaporkan indikasi korupsi, lingkungan sampai kekurangan biaya pendidikan. Dari segi komunikasi sosial, gebrakan SBY ini dinilai cukup baik dan populer karena mampu menciptakan image/citra bahwa sang presiden memang peduli pada nasib bangsa ini.
Namun, disamping mampu menciptakan citra sang presiden, selanjutnya timbul pertanyaan besar , seberapa efektifkah pengaduan via SMS ini ? dan apakah nantinya akan dapat menghasilkan solusi dan tindakan nyata dari sang Presiden ?. Dari nalar yang logis dan kritis, timbul pula pertanyaan baru yang bersifat hipotesis : diduga pemerintah di daerah beserta segenap jajarannya sudah tidak mampu lagi mengatasi permasalahan warganya dan diduga juga bahwa proses demokratisasi dan penguatan masyarakat sipil didaerah masih berjalan ditempat alias mandek.
Kalau kita membaca SMS warga yang dikirim ke SBY, merupakan suara warga yang jujur dan apa adanya, setidaknya merupakan gambaran riil permasalahan yang mereka hadapi di daerah masing-masing. Suara mereka dalam SMS tersebut setidaknya menyiratkan bahwa proses demokratisasi di republik ini masih terganjal oleh yang namanya institusi pemerintahan dengan segala atributnya. Republik ini yang sejak merdeka telah sepakat untuk memakai demokrasi sebagai pilosofi politik bangsa, sampai sekarang masih belum menikmati secara total makna demkorasi itu sendiri. Keberhasilan Pemilu 1955 dan Pemilu 2004 yang dianggap sukses karena Jujur, adil dan transparan bukan merupakan keberhasilan demokrasi yang sesungguhnya, hal ini untuk mengkritisi pernyataan beberapa pengamat politik yang menyatakan bahwa pemilu dan Pilkada Langsung pemilihan Kepala Daerah yang sukses adalah juga keberhasilan demokrasi.
Selama ini kita terbuai dengan opini bahwa Pemilu maupun Pilkada merupakan output demokrasi, padahal yang sesungguhnya adalah pemilu maupun pilkada adalah salah satu instrumen (alat) untuk mencapai demokrasi. Inti demokrasi itu sendiri adalah partisipasi dan kebebasan masyarakat dan yang mempunyai hak asasi manusia, hak asasi politik dan hak asasi ekonomi. Mengutip Nurcholish Madjid (2001) hak asasi politik meliputi hak untuk memberi suara, memegang jabatan, partisipasi dalam pembuatan keputusan-keputusan politik, berserikat dengan sesama warga yang memiliki kesamaan pandangan, hak untuk mengawasi jalannya pemerintahan dan untuk mengkritik pemerintah.
Demorasi sesungguhnya belum dapat kita rasakan juga di Propinsi Kepulauan Riau ini. Berbagai hambatan-hambatan demokrasi masih menghadang masyarakat. Hak untuk mendapatkan informasi kebijakan pemerintah misalnya masih merupakan hal yang terlarang bagi masyarakat. Proses pengambilan kebijakan pembangunan pun kerap mengandung unsur like and dislike, tergantung fihak mana yang mempunyai posisi bargaining yang kuat. Padahal kita tahu bahwa keterbukaan dan transparansi adalah darah utama dalam sebuah demokrasi. Demikian juga, masyarakat yang ingin menyampaikan keluhannya pada wakil-wakil mereka di DPRD terkadang merasa tidak lebih hanya meluapkan emosi mereka semata melalui teriakan-teriakan, caci maki, tangis dan dan akhirnya pulang tanpa solusi yang jelas dan kalaupun ada solusi mungkin dalam jangka yang lama sekali sehingga seringkali kehilangan moment.
Pemilu maupun Pilkada pemilihan kepala daerah adalah alat manipulasi demokrasi yang cukup jitu bagi mayoritas masyarakat indonesia yang relatif mudah terbuai karena ketidaktahuan mereka. Melalui pemilu dan pilkada, para calon legislatif, calon kepala daerah, partai politik pendukung dan pemerintah daerah berusaha menciptakan opini bahwa pemilihan secara langsung adalah suatu bentuk partisipasi demokrasi satu-satunya bagi masyarakat sekali dalam 5 tahun. Dengan demikian, siapapun nantinya yang akan terpilih sebagai kepala daerah pasti mempunyai legitimasi yang kuat karena dipilih langsung oleh masyarakat dan apapun kebijakan yang nantinya akan diambil oleh kepala daerah terpilih adalah merupakan perwujudan dari pemilih. Indikasi ini dapat kita lihat pada kinerja Anggota DPRD yang lebih banyak memposisikan diri sebagai mitra legislatif ketimbang sebagai lembaga pengontrol.
Persoalan inti demokrasi dalam pemerintahan khususnya di Propinsi Kepulauan Riau adalah bagaimana setelah proses pilkada nanti menunjukkan proses demokratisasi dan penguatan partisipasi masyarakat baik melalui instutusi pemerintahan, pers dan institusi masyarakat. Dalam proses demokratisasi dan penguatan partisipasi masyarakat di suatu daerah merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintahan dan masyarakatnya. Pemerintah daerah, misalnya harus membuka akses informasi baik kebijakan, keuangan dan perencanaan secara transparan. Demikian juga masyarakat, harus mampu secara sadar dan cerdas menyalurkan partisipasinya berdasarkan kebenaran umum yang diterima. Demikian juga pers, harus tumbuh sebagai pers yang bertanggung jawab, yang mengambil posisi sebagai pengawas jalannya proses demokrasi dan tentunya juga pers yang berkualitas sesuai dengan etika dan Undang-undang pers.
Namun yang jadi permasalahan mendasar pada penguatan partisipasi demokrasi masyarakat adalah terletak pada kelemahan kelembagaan politik dalam hal ini partai politik. Partai Politik seharusnya menjadi saluran/ instrumen utama dalam partisipasi politik masyarakat. Namun yang terjadi adalah fungsi penyalur partisipasi politik di suatu partai politik tidak lebih hanya sekedar terwujud dalam proses Pemilu, fungsi utamanya seperti penguatan dan penegakan partisipasi masyarakat secara umum masih sebatas utopia. Perlu dicermati, akibat proses internal (gerakan informasi dan otonomi daerah) dan proses eksternal (globalisasi informasi dan ekonomi) sangat memungkinkan menguatnya partisipasi masyarakat yang tumbuh dengan sendirinya tanpa melalui saluran partai politik. Kondisi ini tentu saja mencemaskan kita karena akan menimbulkan instabilitas politik dalam masyarakat seperti yang dikemukan oleh Samuel Huntington : kalau partisipasi masyarakat tinggi namun peranan kelembagaan politik rendah maka yang akan terjadi adalah instabilitas politik !
Yang jelas, jangan sampai masyarakat, akibat pemerintahan yang menutup diri terhadap partisipasi masyarakat dan ditambah dengan lemahnya kelembagaan politk, menjadi terprovokasi dengan pendapat Karl Marx yang menyatakan : negara atau pemerintahan merupakan alat dari kelas yang dominan, dalam konteks ini adalah pengusaha dan birokrat, sehingga nantinya, masih menurut Marx, akan terjadi revolusi sosialis yang digerakkan oleh masyarakat miskin dan marginal, yang nantinya akan menciptakan sebuah masyarakat yang tidak hanya memiliki demokrasi politik (karena yang berkuasa adalah kelompok mayoritas) tetapi juga demokrasi ekonomi. Apa yang dianalis Marx diatas setidaknya sejarah telah mencatat bahwa perubahan di Rusia dan Polandia terjadi akibat revolusi buruh, di China dan Kuba oleh Revolusi Petani. Bisa saja terjadi di republik kita dilakukan oleh orang miskin.
Kita berharap, pilkada 30 juni 2005 yang akan datang hanyalah sebagai pemanasan (warming up) dalam mempersiapkan pertempuran sesungguhnya dalam penegakan demokrasi dan penguatan pasrtisipasi masyarakat. Pertempuran sesungguhnya adalah mengisi proses pelaksanaan jalannya pemerintahan di bawah gubernur baru terpilih nanti yang sama –sama kita berharap agar seluruh elemen dalam demokratisasi dan penguatan pasrtisipasi masyarakat dapat berjalan sebagaimana mestinya.