Signifikansi Spinoza dalam Sejarah Intelektual Modern

Baruch (de) Spinoza (24 November 1632 – 21 Februari 1677), yang juga dikenal dengan nama Latin Benedictus de Spinoza, adalah seorang filsuf Belanda keturunan Yahudi-Portugis yang menetap di Republik Belanda. Spinoza diakui secara universal sebagai salah satu filsuf paling penting dan radikal pada periode modern awal. Ia adalah tokoh penting yang membuka jalan bagi Zaman Pencerahan, memberikan kontribusi signifikan terhadap rasionalisme abad ke-17, kritik biblikal modern, dan budaya intelektual Belanda.

Filosofi Spinoza mewakili sayap Radical Enlightenment. Keunikannya terletak pada keberaniannya untuk menciptakan sistem yang sepenuhnya koheren, di mana metafisika, epistemologi, dan etika terintegrasi tanpa konflik internal. Sistem ini dibangun untuk menghancurkan dualisme yang menjadi masalah bagi rasionalis sezamannya, seperti René Descartes. Spinoza menuntut bahwa tidak boleh ada fakta yang tidak dapat dijelaskan atau brute facts dalam realitas. Oleh karena itu, semua elemen filsafatnya, dari sifat Tuhan hingga kebebasan manusia, harus mengikuti secara logis dan niscaya.

Sistem filosofis ini disajikan dalam karya utamanya, Ethics Demonstrated in Geometrical Order (Ethica), yang diterbitkan secara anumerta setelah kematiannya. Dengan menggunakan  Mos Geometricus (Metode Geometris), Spinoza berusaha membangun kebenaran filosofis dengan kepastian yang setara dengan matematika dan geometri, memastikan bahwa kebenaran etis tidak bergantung pada opini atau tradisi, tetapi mengikuti secara niscaya dari ide-ide yang jelas tentang realitas. Konteks Republik Belanda, meskipun relatif lebih toleran dibandingkan wilayah lain di Eropa, ditandai oleh ketegangan agama dan politik yang menjadi latar belakang langsung bagi karya politik Spinoza.

Latar Belakang Biografi dan Katalisator Konflik

Dari Bento ke Benedictus: Asal Usul dan Pendidikan

Spinoza lahir di Amsterdam dari keluarga Marrano (Yahudi yang dipaksa pindah agama di Portugal) yang kemudian melarikan diri ke Belanda yang lebih terbuka. Ia dikenal dengan nama Baruch Espinosa atau Bento de Spinosa. Ayahnya adalah seorang pedagang terkemuka dalam komunitas Yahudi-Portugis, dan Spinoza menerima pendidikan Yahudi tradisional, termasuk pembelajaran bahasa Ibrani dan teks-teks sakral. Kecerdasan awalnya begitu menonjol sehingga banyak yang memperkirakannya akan menjadi seorang rabi. Selama masa mudanya, ia juga belajar secara intensif banyak bahasa (termasuk Latin, Yunani, Spanyol, Prancis) serta matematika, ilmu alam, teologi, dan filsafat.

Ekskomunikasi Tahun 1656: Titik Balik Radikal

Pada usia sekitar delapan belas tahun, Spinoza mulai menunjukkan sikap yang menantang otoritas rabinis dan meragukan doktrin Yahudi. Keraguannya berpusat pada pertanyaan mengenai Kitab Suci sebagai wahyu Allah yang literal, kritik terhadap posisi imam Yahudi, dan penolakannya terhadap konsep Tuhan personal yang terlibat dalam sejarah manusia.

Karena penolakannya untuk kembali pada ortodoksi, Spinoza menerima sanksi sosial berupa pengucilan permanen (Herem) pada tahun 1656 dari sinagoga dan komunitas Yahudi di Belanda. Bahkan keluarganya pun ikut mengucilkannya. Setelah pengucilan ini, Spinoza menjauhkan diri dari semua afiliasi keagamaan dan mengganti namanya menjadi Benedictus de Spinoza, menandai awal kehidupan barunya yang didedikasikan sepenuhnya pada penyelidikan filosofis. Peristiwa ini berfungsi sebagai katalisator intelektual yang krusial. Pelepasan paksa ini memberinya kebebasan intelektual mutlak, memungkinkannya untuk mengembangkan sistem filosofis yang tidak berkompromi dengan dogma teologis apa pun. Kebutuhannya untuk mempertahankan kebebasan pribadinya dari ancaman otoritas klerikal inilah yang kemudian dialihkan menjadi tuntutan publik untuk kebebasan berpikir, yang termanifestasi dalam karya politiknya,  Tractatus Theologico-Politicus (TTP).

Kehidupan Profesional dan Kematian

Setelah pengucilan, Spinoza mencari nafkah sebagai penggosok lensa untuk teleskop, mikroskop, dan kacamata. Ia dikenal sebagai intelektual yang teguh, menolak menjadi penjilat kekuasaan yang korup di Belanda. Ia menjalani kehidupan dalam kesederhanaan. Spinoza meninggal pada 21 Februari 1677, pada usia 44 tahun, akibat penyakit paru-paru, yang diduga kuat disebabkan oleh debu kaca dari profesinya. Pemilihan profesinya dan gaya hidupnya mencerminkan komitmen etisnya terhadap moralitas rasional, sesuai dengan cita-cita yang ia jabarkan dalam filosofinya.

Metafisika Monistik: Zat Tunggal dan Deus Sive Natura

Monisme Substansi dan Penolakan Dualisme Cartesian

Spinoza membangun sistemnya di atas monisme zat tunggal. Ia mendefinisikan Substansi sebagai “yang berada dalam dirinya sendiri dan dipahami melalui dirinya sendiri”. Berbeda dengan Descartes yang mengizinkan dua jenis substansi (Pikiran dan Materi), Spinoza secara tegas berpendapat bahwa hanya ada satu Substansi. Argumennya didasarkan pada prinsip bahwa tidak mungkin ada dua Substansi yang berbagi atribut.

Karena Tuhan didefinisikan sebagai makhluk yang mutlak tak terbatas , Substansi ini harus memiliki semua atribut yang mungkin. Jika ada Substansi lain selain Tuhan, ia harus berbagi atribut dengan Tuhan—sesuatu yang mustahil menurut definisi Spinoza. Oleh karena itu, hanya ada satu Substansi. Monisme ini merupakan konsekuensi logis dari rasionalisme metafisiknya, yang menolak adanya kontingensi atau keberadaan fakta mentah yang tak beralasan. Keberadaan Substansi (Tuhan) bersifat niscaya (necessarily exists) karena penyebab non-eksistensinya tidak mungkin ada—jika tidak ada, hal itu akan menjadi fakta mentah yang tak terjelaskan, sesuatu yang ditolak oleh sistemnya.

Atribut, Modus, dan Struktur Realitas

Realitas tunggal ini dapat dipahami melalui tiga konsep ontologis utama:

  1. Substansi (Substantia): Realitas tunggal yang tak terbatas, kausa diri (causa sui), yaitu Tuhan/Alam.
  2. Atribut (Attributum): “Apa yang dipahami intelek tentang substansi sebagai esensinya”. Substansi memiliki atribut yang tak terbatas, tetapi manusia hanya dapat mengetahui dua di antaranya:  Pemikiran (Thought) dan Perluasan (Extension atau materi). Atribut memberikan variasi pada Substansi tanpa melarutkan kesatuannya.
  3. Modus (Modus): “Afeksi Substansi,” yaitu hal-hal terbatas yang bergantung pada Substansi dan dipahami melalui Substansi. Pikiran individu, tubuh fisik, dan emosi adalah semua Modus yang terbatas.

Berikut adalah ringkasan terminologi ontologis Spinoza:

Table of Spinoza’s Ontological Terminology

Konsep Utama Definisi Spinoza (Inti) Fungsi Ontologis Contoh/Interpretasi
Substansi (Substantia) Berada dalam dirinya sendiri dan dipahami melalui dirinya sendiri; Zat yang tak terbatas. Satu-satunya realitas, kausa diri (causa sui). Tuhan atau Alam (Deus Sive Natura).
Atribut (Attributum) Apa yang dipahami intelek sebagai esensi dari Substansi. Menyediakan variasi tanpa memecah kesatuan Substansi. Pemikiran (Pikiran) dan Perluasan (Materi/Tubuh).
Modus (Modus) Afeksi Substansi, atau sesuatu yang berada pada yang lain dan dipahami melalui yang lain. Manifestasi terbatas atau kondisi sementara dari Substansi. Pikiran individu, tubuh fisik, emosi, planet.

Konsep Deus Sive Natura

Monisme Spinoza dirangkum dalam slogannya Deus Sive Natura (Tuhan atau Alam), yang berarti Tuhan dan Alam adalah hal yang sama dan dapat dipertukarkan. Identitas ini menghapus perbedaan ontologis antara pencipta dan ciptaan, mendorongnya ke dalam ranah teologi filosofis yang radikal.

Meskipun secara luas Spinoza dianggap sebagai seorang Pantheis—yang memandang Tuhan identik dengan alam semesta —klasifikasi ini sering diperdebatkan. Panentheisme, sebuah konsep yang muncul setelah Spinoza, mengklaim bahwa Tuhan lebih besar dari alam semesta dan alam semesta terkandung di dalam Tuhan. Sebagian sarjana berpendapat bahwa Spinoza lebih mendekati Panentheisme karena ia dengan hati-hati menolak pandangan yang mengidentifikasi Tuhan hanya dengan “massa atau materi jasmaniah”. Karena Substansi Spinoza memiliki Atribut tak terbatas (melampaui perluasan materi), interpretasi Panentheisme sering digunakan untuk menangkap aspek transenden (tak terbatas) dari Substansi Spinoza.

Paralelisme Psiko-Fisik

Spinoza menawarkan solusi monistik yang elegan untuk masalah pikiran-tubuh Cartesian. Dalam pandangannya, Pikiran (Atribut Pemikiran) dan Materi (Atribut Perluasan) adalah dua cara yang berbeda, tetapi sejajar, untuk memahami realitas tunggal yang sama. Mereka tidak berinteraksi secara kausal satu sama lain.

Prinsip Paralelisme Psiko-Fisik menyatakan bahwa setiap peristiwa yang terjadi dalam tubuh memiliki ide yang sesuai dalam pikiran, dan sebaliknya, mereka berjalan “kohesif dan simultan”. Contohnya, proses fisik (seperti cedera) dan proses mental (seperti ide rasa sakit) adalah Modus yang sama, hanya dilihat melalui lensa Atribut yang berbeda. Kesamaan antara keduanya dijamin oleh sifat Necessitarianism (keniscayaan) semesta Spinoza. Karena segala sesuatu terjadi melalui rantai sebab-akibat yang niscaya dari Substansi, urutan sebab-akibat fisik dan urutan ide mental harus selalu berjalan paralel. Oleh karena itu, hubungan kausal yang tampak antara pikiran dan tubuh (misalnya, keinginan mental menyebabkan gerakan fisik) adalah ilusi yang dihasilkan dari  pemahaman yang tidak sempurna (imperfect understanding) kita terhadap realitas.

Epistemologi dan Determinisme

Ethics Demonstrated in Geometrical Order

Spinoza menyajikan Ethics menggunakan metodologi geometris (Mos Geometricus) yang ketat, dimulai dengan definisi, diikuti oleh aksioma, proposisi, dan demonstrasi. Tujuannya adalah untuk membangun filsafat moral dan metafisik yang memiliki tingkat kepastian yang sama dengan matematika, menetapkan bahwa kebenaran filosofis dan etis adalah universal dan niscaya, tidak bergantung pada kepercayaan atau budaya. Metode ini adalah puncak dari proyek rasionalisme abad ke-17.

Determinisme Universal dan Penolakan Kehendak Bebas

Sebuah konsekuensi radikal dari monisme Spinoza adalah determinisme universal dan penolakan mutlak terhadap konsep kehendak bebas (free choice). Spinoza berargumen bahwa tidak ada kontingensi atau kebetulan di alam semesta; segala sesuatu ditentukan oleh sebab-sebab eksternal dan mengikuti tatanan yang niscaya.

Menurut Spinoza, manusia percaya mereka bebas karena mereka sadar akan tindakan dan keinginan mereka, tetapi mereka tidak sadar akan sebab-sebab yang menentukan keinginan dan tindakan tersebut. Kehendak, seperti intelek, hanyalah “modus berpikir tertentu” yang harus dikondisikan oleh sebab untuk ada dan bertindak, sehingga kehendak sepenuhnya tunduk pada hukum alam. Dengan menolak kehendak bebas dan menetapkan bahwa segala sesuatu di alam niscaya, Spinoza menghilangkan dasar moralitas tradisional yang bergantung pada penilaian baik atau buruk intrinsik. Sebaliknya, baik dan buruk menjadi artefak psikologis manusia, yang didasarkan pada apakah sesuatu meningkatkan atau menghambat daya conatus mereka.

Etika, Psikologi, Humanisme, dan Pencarian Kebebasan

Prinsip Fundamental: Conatus

Dalam Ethics Bagian III, Spinoza menetapkan bahwa dasar dari semua perilaku manusia dan segala sesuatu di alam adalah Conatus.  Conatus adalah dorongan atau upaya yang melekat pada setiap hal untuk bertahan dalam keberadaannya. Ini adalah kekuatan fundamental yang memotivasi semua Modus.

Conatus adalah esensi dari hasrat manusia. Peningkatan daya conatus dirasakan sebagai kegembiraan (laetitia), sementara hal yang menentang conatus menghasilkan rasa sakit (tristitia) atau kesedihan. Etika Spinoza, oleh karena itu, didasarkan pada upaya rasional untuk memaksimalkan kegembiraan dengan meningkatkan  conatus melalui pemahaman.

Kebebasan Intelektual dan Amor Dei Intellectualis

Spinoza mendefinisikan kebebasan bukan sebagai kemampuan untuk memilih di luar rantai sebab-akibat (kehendak bebas), tetapi sebagai kemampuan untuk bertindak berdasarkan akal. Manusia berada dalam  perbudakan (bondage) ketika mereka dikendalikan oleh afek pasif (emosi yang berasal dari ide-ide yang tidak memadai, di mana kita adalah penyebab sebagian). Kebebasan sejati tercapai ketika kita memahami tatanan niscaya alam dan emosi kita menjadi afek aktif (emosi yang berasal dari ide yang memadai).

Tujuan tertinggi dalam etika, atau kebaikan tertinggi, adalah Amor Dei Intellectualis (Cinta Intelektual terhadap Tuhan/Alam). Cinta ini dicapai melalui Pengetahuan Jenis Ketiga—pengetahuan intuitif tentang bagaimana segala sesuatu mengalir dari esensi Substansi secara niscaya.

Cinta Intelektual terhadap Tuhan adalah abadi karena didasarkan pada intelek, yang menurut Spinoza, kebal (invulnerable) terhadap kehancuran tubuh. Dengan mencapai Amor Dei Intellectualis, individu mencapai kebahagiaan sejati (beatitudo) karena mereka melihat diri mereka sendiri sebagai bagian niscaya dan abadi dari keseluruhan Substansi. Pengetahuan ini menghilangkan ketakutan akan kematian dan ikatan emosi pasif, mewujudkan kebebasan sebagai status epistemologis dan ontologis.

Filsafat Politik dan Kritik Agama: Tractatus Theologico-Politicus (TTP)

TTP: Dasar Liberalisme dan Sekularisme

Tractatus Theologico-Politicus (TTP), diterbitkan pada tahun 1670 secara anonim dan dalam bahasa Latin, dianggap sebagai “salah satu peristiwa paling signifikan dalam sejarah intelektual Eropa” karena meletakkan dasar bagi ide-ide liberalisme, sekularisme, dan demokrasi. Spinoza menulis TTP sebagian untuk menanggapi kekacauan politik yang disebabkan oleh konflik agama di Belanda, mencari cara untuk memastikan kebebasan dan stabilitas.

Kritik Biblikal Modern dan Pemisahan Agama-Negara

Spinoza diakui sebagai perintis kritik biblikal modern. Ia menerapkan metode historis-filologis untuk menganalisis Kitab Suci Ibrani. Ia berargumen bahwa Kitab Suci harus dipahami sebagai dokumen sejarah yang disusun oleh manusia, dan bukan sebagai misteri teologis yang hanya dapat diinterpretasikan oleh kalangan klerikal.

Tujuan dari analisis ini lebih dari sekadar akademis; itu adalah instrumen politik untuk membongkar otoritas gereja. Dengan menunjukkan bahwa otoritas klerikal adalah sumber utama takhayul yang melemahkan negara, Spinoza mengusulkan Tesis Pemisahan (Separation Thesis), memisahkan teologi dari legitimasi politik. Ia berpendapat bahwa agama yang sejati bukanlah sesuatu yang tertulis, melainkan “terukir di hati dan pikiran manusia”. Kontribusi ini menjadikan Spinoza tokoh kunci dalam pengembangan sekularisme, di mana urusan publik harus dipandu oleh akal dan bukti empiris, bukan wahyu agama.

Kebebasan Berpikir dan Dukungan terhadap Demokrasi

Spinoza berpendapat bahwa negara memiliki tanggung jawab untuk menjamin kebebasan berpikir (libertas philosophandi). TTP bertujuan untuk menunjukkan bahwa kebebasan berpikir tidak berbahaya bagi kesalehan atau perdamaian negara.

Dalam Tractatus Politicus, Spinoza menganalisis model rezim dan menyimpulkan bahwa Demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang paling rasional. Dukungan terhadap demokrasi didasarkan pada prinsip bahwa semakin besar kebebasan yang dijamin oleh negara, semakin besar kemungkinan warga negara bertindak berdasarkan akal, yang pada akhirnya selaras dengan  conatus dan tatanan alam.

Warisan dan Kritik: Dampak Spinozisme

Julukan Kontroversial: Atheis vs. God-Intoxicated Man

Spinoza, meskipun filsafatnya didominasi oleh konsep Tuhan (Substansi), dikecam keras sebagai seorang ateis oleh banyak orang sezamannya karena penolakannya terhadap Tuhan personal yang antropomorfik. Ia dianggap begitu mengancam bagi agama wahyu sehingga TTP diterbitkan secara anonim karena takut akan pembalasan.

Namun, pandangannya direvisi oleh Romantik Jerman abad ke-18. Penyair Novalis secara terkenal menjulukinya “God-intoxicated man” (manusia yang dimabukkan oleh Tuhan). Julukan ini mengakui bahwa meskipun Spinoza menolak dogma, ia menawarkan visi Ketuhanan/Alam yang mendalam dan memerlukan pengabdian intelektual yang intensif, yang puncaknya adalah Amor Dei Intellectualis.

Kritik Hegelian

G.W.F. Hegel (1770–1831) memberikan salah satu kritik paling berpengaruh terhadap sistem Spinoza. Hegel berpendapat bahwa Spinoza salah dalam mendefinisikan Kebenaran hanya sebagai Substansi dan gagal memasukkan Subjek (kesadaran diri dan proses dialektis). Bagi Hegel, monisme Spinoza terlalu statis dan homogen—sebuah “kandang singa” yang tidak mampu menjelaskan perkembangan sejarah atau dinamika Subjek yang aktif. Kritik ini sempat membuat Spinozisme terpinggirkan selama dua abad. Meskipun demikian, filsuf modern tertentu, termasuk beberapa Marxis, telah menghidupkan kembali Spinoza, mengklaim bahwa konsep Subjek yang ditawarkannya lebih berguna untuk teori kritis kontemporer.

Pengaruh Lanjutan pada Pemikiran Modern

  1. Friedrich Nietzsche: Nietzsche menyebut Spinoza sebagai pendahulunya. Hubungan ini terutama ditekankan pada naturalisasi etika Spinoza—pandangan bahwa baik dan buruk adalah artefak psikologis, bukan prinsip absolut. Konsep Conatus Spinoza (dorongan untuk mempertahankan dan meningkatkan daya) sejalan dengan konsep will to power Nietzsche. Meskipun Spinoza mencapai harmoni universal melalui Amor Dei Intellectualis, Nietzsche mengubahnya menjadi Amor Fati (mencintai nasib) dalam dunia perubahan abadi.
  2. Albert Einstein: Fisikawan Albert Einstein mengagumi filsafat monistik Spinoza. Bagi Einstein, Deus Sive Natura menyediakan kerangka filosofis yang memungkinkan pemahaman alam semesta secara ilmiah dan religius tanpa perlu mengacu pada Tuhan yang personal atau supranatural.

Sintesis dan Penutup

Sintesis Koherensi Radikal

Sistem Spinoza merupakan salah satu upaya filosofis paling menyeluruh dan berani dalam sejarah pemikiran modern untuk membangun pandangan dunia yang sepenuhnya rasional dan naturalistik. Keberhasilan sistemnya terletak pada konsistensinya: monisme (Substansi Tunggal) menghilangkan dualisme, determinisme (Keniscayaan) menghilangkan kontingensi, dan etika (Cinta Intelektual) menghilangkan keterbudakan emosional. Koherensi ontologis ini adalah inti dari filsafat Spinoza.

Kontribusi Abadi

Kontribusi utama Spinoza terhadap pemikiran modern dapat diringkas melalui tiga sumbangan fundamental:

  1. Metafisika: Menciptakan monisme zat tunggal yang koheren, menantang Dualisme Cartesian, dan menyediakan kerangka kerja yang naturalistik untuk sains.
  2. Kritik Agama dan Politik: Merintis kritik historis-filologis terhadap Kitab Suci dan meletakkan fondasi teoretis untuk sekularisme, liberalisme, dan demokrasi dengan mendukung pemisahan agama dari legitimasi politik.
  3. Etika: Mendefinisikan kembali kebebasan bukan sebagai kehendak bebas, tetapi sebagai pengetahuan rasional terhadap keniscayaan kosmos, yang mengarah pada kebahagiaan abadi melalui Amor Dei Intellectualis.

Refleksi Akhir: Kebebasan dalam Keniscayaan

Paradoks paling mendalam dalam Spinozisme adalah bahwa kebebasan sejati hanya dapat dicapai setelah seseorang menyadari dan menerima sepenuhnya keniscayaan (necessity) dari alam semesta. Manusia menjadi bebas bukan dengan melarikan diri dari kausalitas, tetapi dengan memahami dan mencintai tatanan kausalitas tersebut. Kehidupan etis tertinggi adalah pengabdian tanpa henti pada pengetahuan rasional, yang mengubah penerimaan pasif terhadap takdir menjadi afirmasi intelektual aktif—sebuah warisan yang membuat Baruch de Spinoza tetap relevan sebagai figur sentral dalam perdebatan tentang rasionalitas, ketuhanan, dan kebebasan.

 

Daftar Pustaka :

  1. Deus sive Natura – Page 5 of 5 – KabarKampus.com, diakses September 27, 2025, https://kabarkampus.com/2019/11/deus-sive-natura/5/
  2. Substance, Attribute, and Mode in Spinoza, diakses September 27, 2025, https://www.faculty.umb.edu/gary_zabel/Courses/Spinoza/Texts/j.1747-9991.2006.00015.pdf
  3. Deus, sive Natura: Substance and Determinism in Spinoza’s Ethics, diakses September 27, 2025, https://pubs.lib.umn.edu/index.php/aisthesis/article/download/50/35/180
  4. How Did Spinoza’s Geometric Method Shape Rationalist Ethics? – Philosophy Beyond, diakses September 27, 2025, https://www.youtube.com/watch?v=4t3TZgM-x_g
  5. Ethics Demonstrated in Geometrical Order karya Spinoza: apa premis utama dari karya itu, dan masalah yang sedang coba di solve oleh penulisnya? – Quora, diakses September 27, 2025, https://id.quora.com/Ethics-Demonstrated-in-Geometrical-Order-karya-Spinoza-apa-premis-utama-dari-karya-itu-dan-masalah-yang-sedang-coba-di-solve-oleh-penulisnya
  6. Spinoza’s Political Philosophy, diakses September 27, 2025, https://plato.stanford.edu/entries/spinoza-political/
  7. Spinoza’s Theory of Attributes – Stanford Encyclopedia of Philosophy, diakses September 27, 2025, https://plato.stanford.edu/entries/spinoza-attributes/
  8. Sur quelle base Spinoza a-t-il soutenu son monisme neutre ? Comment a-t-il réfuté les arguments du solipsisme et du dualisme post-cartésien – Reddit, diakses September 27, 2025, https://www.reddit.com/r/askphilosophy/comments/ohn9q6/on_what_basis_did_spinoza_support_his_neutral/?tl=fr
  9. Deus sive natura – Oxford Reference, diakses September 27, 2025, https://www.oxfordreference.com/display/10.1093/oi/authority.20110803095713830
  10. Panenteisme, diakses September 27, 2025, https://archive.org/download/rekap-12072021/REKAP%2012072021.zip/PLUS%2FTERM%2FPanenteisme%20wiki%20gti.pdf
  11. Lebih tepat kalau panggil Spinoza sebagai seorang Panteis atau Panenteis? – Reddit, diakses September 27, 2025, https://www.reddit.com/r/askphilosophy/comments/4bjlh4/is_it_more_accurate_to_call_spinoza_a_pantheist/?tl=ms
  12. Spinoza’s Model of God: Pantheism or Panentheism? | Pro-Fil – Masarykova univerzita, diakses September 27, 2025, https://journals.phil.muni.cz/profil/article/view/32960
  13. Spinoza’s Parallelism between Mind and Body | by Gadfly – Medium, diakses September 27, 2025, https://medium.com/@2788605281/spinozas-parallelism-between-mind-and-body-be3acbb7b681
  14. How does the body relate to the mind in Spinoza? : r/askphilosophy – Reddit, diakses September 27, 2025, https://www.reddit.com/r/askphilosophy/comments/10pxbh0/how_does_the_body_relate_to_the_mind_in_spinoza/
  15. Freedom and determinism in spinoza – SciSpace, diakses September 27, 2025, https://scispace.com/pdf/freedom-and-determinism-in-spinoza-2k0j2g0fqh.pdf
  16. Why did Nietzsche call Spinoza his ‘precursor’? – Philosophy Stack Exchange, diakses September 27, 2025, https://philosophy.stackexchange.com/questions/73970/why-did-nietzsche-call-spinoza-his-precursor
  17. The Imagination In Spinoza – The Moral Good Between Prophecy And The Amor Dei Intellectualis, Part 2 (Caterina De Gaetano) – The Journal for Cultural and Religious Theory, diakses September 27, 2025, https://jcrt.org/religioustheory/2023/08/05/the-imagination-in-spinoza-the-moral-good-between-prophecy-and-the-amor-dei-intellectualis-part-2-caterina-de-gaetano/
  18. ‘Ishq,ḥesheq, andamor Dei intellectualis (Chapter 5) – Spinoza and Medieval Jewish Philosophy – Cambridge University Press, diakses September 27, 2025, https://www.cambridge.org/core/books/spinoza-and-medieval-jewish-philosophy/ishqhesheq-andamor-dei-intellectualis/85A1456BF5347172AC8B1C7848AF2091
  19. Remembering a ‘freedom-intoxicated man’ this Passover | Wisconsin Jewish Chronicle, diakses September 27, 2025, https://www.jewishchronicle.org/2008/03/31/remembering-a-freedom-intoxicated-man-this-passover/
  20. The Biblical Criticism by Bernard Spinoza, diakses September 27, 2025, http://www.fsmitha.com/h3/spinoza-bible.htm
  21. Spinoza’s Theological–Political Treatise (1670–2020). Commemorating a Long-Forgotten Masterpiece – MDPI, diakses September 27, 2025, https://www.mdpi.com/2409-9287/6/3/67
  22. [3] Tadarus Pemikiran MENGKRITISI PARADIGMA SEKULERISME – Ahmad Sastra.com, diakses September 27, 2025, https://www.ahmadsastra.com/2025/03/3-tadarus-pemikiran-mengkritisi.html
  23. JURNAL LEDALERO, diakses September 27, 2025, https://ejurnal.iftkledalero.ac.id/index.php/JLe/article/download/379/pdf
  24. The God-Intoxicated “Atheist” – Spinoza – Aither, diakses September 27, 2025, https://aither.upol.cz/pdfs/ath/2023/02/02.pdf
  25. Re-Intoxicated by God – Jewish Review of Books, diakses September 27, 2025, https://jewishreviewofbooks.com/articles/1962/re-intoxicated-by-god/
  26. Remembered as an Atheist, Spinoza Might Have Been a “God-Intoxicated Man” after All, diakses September 27, 2025, https://ideas.tikvah.org/mosaic/picks/remembered-as-an-atheist-spinoza-might-have-been-a-god-intoxicated-man-after-all?welcome=mosaic
  27. What is Hegel’s critique of Spinoza ? : r/askphilosophy – Reddit, diakses September 27, 2025, https://www.reddit.com/r/askphilosophy/comments/1hmt5r/what_is_hegels_critique_of_spinoza/
  28. Hegel or Spinoza: Substance, Subject, and Critical Marxism Ted Stolze – CRISIS AND CRITIQUE, diakses September 27, 2025, https://www.crisiscritique.org/storage/app/media/2014-07-30/ted.pdf
  29. Nietzsche and Spinoza – UiT Munin, diakses September 27, 2025, https://munin.uit.no/bitstream/handle/10037/7005/thesis.pdf?sequence=2

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

CAPTCHA ImageChange Image

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.