Tulisan ini menyajikan analisis komprehensif terhadap polemik penulisan ulang sejarah nasional Indonesia yang kembali mencuat ke permukaan. Proyek ini, yang diinisiasi oleh pemerintah pada tahun 2025, menimbulkan kontroversi yang meluas di kalangan akademisi, politisi, dan masyarakat sipil. Analisis menunjukkan bahwa perdebatan ini bukan sekadar persoalan metodologi akademis atau ketepatan fakta, melainkan merupakan kontestasi narasi yang berulang dalam sejarah politik Indonesia.
Laporan ini mengidentifikasi bahwa proyek penulisan ulang sejarah oleh negara sering kali didorong oleh upaya politik untuk melegitimasi kekuasaan, menandingi narasi pesaing, atau bahkan menghapuskan jejak masa lalu yang kelam. Kondisi ini telah berulang, terlihat dari proyek penulisan sejarah di era Orde Baru yang berupaya melakukan de-Soekarnoisasi, dan kini muncul kembali dengan narasi serupa. Kontroversi yang terjadi saat ini tidak hanya menciptakan perdebatan di ranah akademis, tetapi juga mengancam kepercayaan publik, memicu skeptisisme, dan berpotensi memengaruhi pembentukan identitas nasional. Di sisi lain, laporan ini juga mengkaji bahwa polemik ini, jika disikapi dengan bijak, justru dapat menjadi katalisator bagi perbaikan pendidikan sejarah dengan mendorong daya pikir kritis di kalangan generasi muda.
Latar Belakang Polemik Penulisan Ulang Sejarah Indonesia (2025)
Semboyan “JAS MERAH” —jangan sekali-sekali melupakan sejarah— yang digaungkan oleh Presiden Soekarno, merupakan landasan filosofis yang sangat relevan dalam menyikapi polemik penulisan ulang sejarah Indonesia yang belakangan ini ramai diperbincangkan publik. Sejarah, sebagai fondasi bagi identitas dan karakter bangsa, dianggap terlalu penting untuk dibiarkan menjadi narasi tunggal atau terdistorsi oleh kepentingan tertentu. Proyek penulisan ulang sejarah nasional yang diinisiasi pemerintah melalui Kementerian Kebudayaan pada tahun 2025 merupakan kelanjutan dari upaya sebelumnya untuk menata kembali cara bangsa Indonesia memandang dirinya sendiri.
Rencana ini secara resmi diumumkan dengan tujuan utama untuk mengisi kekosongan buku sejarah yang komprehensif, yang terakhir diperbarui pada tahun 2008 dan hanya mencakup hingga era Presiden B.J. Habibie. Selain itu, proyek ini juga bertujuan untuk mengakhiri bias narasi kolonial (Belanda-sentris) yang masih mendominasi dan menggantinya dengan perspektif Indonesia-sentris. Pemerintah berargumen bahwa penulisan ulang ini akan menghasilkan buku yang menjadi acuan pengajaran di sekolah, didasarkan pada suara dan pengalaman rakyatnya sendiri. Namun, terlepas dari tujuan mulia yang dikemukakan, proyek ini justru menimbulkan sejumlah pertanyaan kritis dan perdebatan sengit di kalangan publik dan para ahli.
Analisis Historiografi Indonesia: Dari Dominasi “Orang Besar” menuju Pluralisme
Historiografi Indonesia, atau tradisi penulisan sejarah, telah mengalami perubahan dan perkembangan yang signifikan dari masa ke masa. Para ahli mengidentifikasi empat periode utama: historiografi tradisional, kolonial-sentris, Indonesia-sentris, dan postmodern. Perkembangan ini tidak berjalan sebagai sebuah garis lurus, melainkan sebagai sebuah siklus yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan, serta dinamika politik, sosial, dan budaya. Meskipun periode baru muncul, historiografi sebelumnya tidak sepenuhnya hilang, melainkan sering menjadi sumber perdebatan dan fondasi bagi karya-karya berikutnya.
Laporan ini menunjukkan bahwa proyek penulisan ulang sejarah oleh negara, yang diklaim sebagai sebuah terobosan, pada kenyataannya mengikuti pola yang berulang dalam sejarah politik Indonesia. Proyek penulisan ulang sejarah di era Orde Baru pada tahun 1975 memiliki motif struktural yang sangat mirip dengan proyek yang sedang berjalan saat ini. Proyek Orde Baru secara resmi bertujuan untuk menandingi narasi sejarah kolonial Belanda-sentris dan menggantikannya dengan perspektif Indonesia-sentris. Namun, proyek ini sarat dengan kepentingan politik, terutama untuk mereduksi peran Soekarno dalam sejarah nasional, sebuah upaya yang dikenal sebagai de-Soekarnoisasi.
Kini, narasi serupa kembali muncul. Pemerintah saat ini menyatakan bahwa penulisan ulang sejarah bertujuan untuk mengisi kekosongan buku sejarah yang komprehensif dan memperkuat narasi Indonesia-sentris. Namun, proyek ini juga dituduh sebagai upaya untuk melakukan de-Soekarnoisasi dan memperbaiki citra pemimpin tertentu. Pola ini menunjukkan bahwa “penulisan ulang sejarah” oleh negara seringkali bukan sekadar koreksi akademis, melainkan sebuah siklus politik di mana rezim yang berkuasa berusaha memproyeksikan legitimasinya dengan mengendalikan narasi masa lalu. Tabel berikut merangkum perbandingan pola tersebut.
Tabel 1: Perbandingan Proyek Penulisan Ulang Sejarah Era Orde Baru (1975) dan Era Kontemporer (2025)
Kriteria | Proyek Orde Baru (1975) | Proyek Kontemporer (2025) |
Tujuan Resmi | Menandingi narasi Belanda-sentris; Menulis sejarah dari perspektif Indonesia-sentris | Mengakhiri kekosongan buku sejarah 26 tahun; Mengadopsi perspektif Indonesia-sentris |
Isu Politik di Balik Proyek | Upaya de-Soekarnoisasi; Mengagungkan peran Soeharto | Tuduhan upaya de-Soekarnoisasi; Perbaikan citra pemimpin tertentu |
Tim Penulis | Panitia Penyusunan Buku Standar Sejarah Nasional (PBSN) | Tim yang terdiri dari 113 sejarawan, guru besar, dan pakar |
Hasil | Buku Sejarah Nasional Indonesia sebanyak 6 jilid | Menargetkan 10-11 jilid buku, dari prasejarah hingga era Joko Widodo |
Poin Kontroversi Utama | Pemecatan Deliar Noer dari tim penulis | Proses yang terburu-buru dan tidak transparan; Potensi penghilangan narasi pelanggaran HAM dan peran perempuan |
Historiografi “Orang Besar” (Big Man History) dan Kritik Terhadapnya
Historiografi Indonesia seringkali didominasi oleh kisah-kisah tokoh sentral atau “orang besar” (big man), seperti Soekarno dan Soeharto. Narasi sejarah kepahlawanan yang demikian cenderung menjadi kering dan menjemukan karena fokus utamanya adalah pergeseran kekuasaan, kudeta, dan ideologi, sementara mengabaikan peran pahlawan lokal dan dinamika masyarakat sipil. Para kritikus berargumen bahwa pendekatan ini tidak mampu menyajikan sejarah yang kaya akan nilai dan estetika, dan bahkan mencirikan budaya yang masih sangat feodal.
Narasi sejarah yang demikian menciptakan konflik antara “Indonesia-sentris” versi negara dan “Indonesia-sentris” versi pluralis. Pemerintah mengklaim proyek penulisan ulang ini bertujuan menciptakan narasi yang berpusat pada bangsa Indonesia, dengan menempatkan tokoh seperti Bung Tomo sebagai pahlawan nasional, alih-alih ekstremis seperti yang diklaim dalam narasi kolonial. Namun, para kritikus menolak karena khawatir narasi tersebut akan menjadi “tafsir tunggal” yang elitis dan meminggirkan kelompok lain. Sejarawan feminis secara khusus menyoroti bagaimana narasi resmi cenderung mengabaikan peran perempuan, menempatkan mereka hanya sebagai pelengkap dari narasi maskulin yang dominan. Selain itu, terdapat kekhawatiran bahwa sejarah kelam pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang korbannya adalah perempuan akan dihapus atau diabaikan. Ini menunjukkan bahwa ada dua makna “Indonesia-sentris” yang berhadapan: satu yang berpusat pada negara dan tokoh sentralnya, dan satu lagi yang menuntut narasi pluralis, inklusif, dan berperspektif dari bawah (from below), termasuk suara korban dan kelompok marginal.
Proyek Penulisan Ulang Sejarah Nasional (2025): Kontestasi Narasi dan Argumen yang Saling Berhadapan
Kementerian Kebudayaan menyatakan bahwa proyek penulisan ulang sejarah nasional ini merupakan langkah strategis untuk menata kembali cara bangsa melihat dirinya sendiri, tidak lagi melalui kacamata asing. Proyek ini ditargetkan untuk menghasilkan 10 hingga 11 jilid buku yang menguraikan perjalanan sejarah Indonesia dari masa prasejarah (1,8 juta tahun lalu) hingga era Presiden Joko Widodo. Pengerjaan proyek ini diklaim melibatkan 113 sejarawan dari seluruh Nusantara, serta para pakar di bidang arkeologi, antropologi, dan arsitektur.
Pemerintah juga menyebutkan bahwa beberapa istilah, seperti “Orde Lama,” akan direvisi karena dianggap tidak inklusif dan tidak pernah digunakan oleh pemerintahan masa itu. Pembabakan sejarah akan didasarkan pada sistem politik dan dinamika demokrasi. Proyek ini direncanakan selesai dalam waktu sekitar 8 bulan dan akan diluncurkan pada peringatan 80 tahun kemerdekaan Indonesia.
Argumen Pihak Pro-Pemerintah: Jaminan Kredibilitas dan Obyektivitas
Tim penulisan ulang sejarah nasional menjamin bahwa hasil dari proyek ini bukanlah propaganda seperti di era Orde Baru, melainkan sejarah resmi yang ditulis dengan standar metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan. Profesor Singgih Tri Sulistiyono, salah satu editor umum, menegaskan bahwa hasil tulisan ini dapat ditelaah dan dikritik secara bebas oleh publik. Dia juga menyatakan bahwa jika ada sejarawan lain yang memiliki perspektif berbeda, mereka dipersilakan untuk menulis buku tandingan, sebuah hal yang tidak mungkin terjadi di era Orde Baru di mana buku-buku versi lain akan dibredel. Singgih mengakui bahwa tidak ada sejarah yang sepenuhnya objektif karena pasti ditulis dengan perspektif kepentingan tertentu, dan negara memiliki hak untuk menuliskan sejarah versi resminya sebagai bentuk pertanggungjawaban. Namun, dia menegaskan bahwa hasil penulisan ini tidak akan menjadi kebenaran tunggal yang tidak dapat diganggu gugat
Argumen Kritis dan Penolakan: Kekhawatiran akan Manipulasi dan Tafsir Tunggal
Proyek penulisan ulang sejarah ini menuai kritik keras dari berbagai pihak, termasuk Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) dan sejarawan seperti Bonnie Triyana dan Ita Fatia Nadia. Penolakan ini berpusat pada dua isu utama: proses dan substansi.
Dari sisi proses, proyek ini dikerjakan secara terburu-buru dengan tenggat waktu yang sangat singkat (sekitar 8 bulan), menimbulkan keraguan tentang kredibilitas metodologisnya. Prosesnya juga dinilai kurang transparan dan tidak melibatkan diskusi publik yang panjang dan terbuka, yang kontras dengan proses penyusunan buku sejarah nasional pertama di tahun 1950-an. Ada kekhawatiran bahwa keterlibatan sejarawan yang disponsori pemerintah akan membatasi independensi mereka, sehingga tidak mampu menghasilkan sejarah yang murni, seperti yang diungkapkan oleh Kuntowijoyo.
Dari sisi substansi, kekhawatiran terbesar adalah potensi penegasian atau penghilangan narasi pelanggaran HAM berat di masa lalu, termasuk Tragedi 1965 dan Kerusuhan Mei 1998. Kontroversi memuncak ketika Menteri Kebudayaan Fadli Zon meragukan kebenaran peristiwa perkosaan massal terhadap perempuan etnis Tionghoa pada Kerusuhan Mei 1998. Penyangkalan ini, menurut kritikus, hanya akan menambah beban traumatik pada para penyintas dan keluarganya. Selain itu, penolakan terhadap label “sejarah resmi” dilandasi oleh keyakinan bahwa sejarah adalah milik rakyat dan tidak boleh dimonopoli oleh negara. Para kritikus melihat proyek ini sebagai upaya otoriter negara untuk melegitimasi kekuasaannya dan mengubur kejahatan masa lalu, yang berpotensi mengebiri kebebasan berpikir dan menumpulkan daya kritis generasi mendatang.
Tabel 2: Ringkasan Argumen Pro dan Kontra Proyek Penulisan Ulang Sejarah 2025
Isu | Argumen Pro (Pemerintah/Tim Penulis) | Argumen Kontra (Sejarawan/Aktivis) |
Tujuan Proyek | Mengakhiri kekosongan buku sejarah; Memperkuat perspektif Indonesia-sentris | Terindikasi sebagai proyek memperbaiki citra pemimpin tertentu dan de-Soekarnoisasi |
Proses | Melibatkan 113 sejarawan kompeten dari berbagai disiplin ilmu; Menggunakan metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan | Proses terburu-buru (8 bulan) dan tidak transparan; Sejarawan yang disponsori pemerintah tidak dapat menyajikan sejarah yang murni |
Obyektivitas | Hasilnya bukan propaganda; Dapat dikritik secara bebas; Tidak akan menjadi kebenaran tunggal | Sejarah resmi yang dikontrol negara rawan menjadi alat pembenaran kekuasaan; Berpotensi meminggirkan narasi dan suara yang tertindas |
Konten (Pelanggaran HAM, Peran Perempuan) | Akan mencatat seluruh peristiwa penting, tetapi tidak merinci pelanggaran HAM | Dikhawatirkan akan menghilangkan atau menutupi narasi pelanggaran HAM berat; Mengabaikan peran perempuan dan menempatkannya sebagai pelengkap |
Dampak | Memperkuat jati diri bangsa dan mempersiapkan generasi muda | Dapat memandulkan nalar kritis; Menguatkan skeptisisme dan apatisme masyarakat; Potensi hypernormalization |
Pola Kontroversi yang Berulang: Studi Kasus Historiografi Indonesia
Kontestasi Narasi di Era Orde Baru: Kasus De-Soekarnoisasi
Upaya penulisan ulang sejarah yang sarat kepentingan politik bukanlah fenomena baru. Era Orde Baru memberikan contoh klasik melalui upaya sistematis untuk mereduksi peran Soekarno dalam sejarah nasional, yang dikenal sebagai de-Soekarnoisasi. Rezim Soeharto berupaya mengecilkan pengaruh Soekarno dengan meminimalkan perannya dan memperbesar citra Soeharto sebagai pemimpin yang lebih tangguh. Proyek penulisan sejarah nasional versi Orde Baru menjadi salah satu alat utama untuk mencapai tujuan ini
Pola manipulasi narasi ini kini dikhawatirkan muncul kembali. Para kritikus melihat adanya indikasi kuat bahwa proyek penulisan ulang sejarah di era pemerintahan Prabowo Subianto dapat mengulang jejak Orde Baru, terutama dalam hal mereduksi peran Soekarno dan memperbaiki citra pemimpin tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa penulisan sejarah oleh negara seringkali digunakan sebagai alat politik untuk membangun legitimasi kekuasaan yang sedang memerintah.
Titik-Titik Polemik Abadi dalam Historiografi Indonesia
Kontroversi penulisan sejarah tidak terbatas pada perdebatan antara rezim yang berkuasa, tetapi juga melingkupi tokoh dan peristiwa kunci yang hingga kini belum memiliki narasi tunggal yang final. Peristiwa-peristiwa ini, karena sifatnya yang masih abu-abu dan mengundang perdebatan, sering kali menjadi lahan subur untuk dimanfaatkan sebagai alat politik.
- Pangeran Diponegoro dan R.A. Kartini: Narasi perjuangan Pangeran Diponegoro sempat dicitrakan oleh Belanda sebagai perlawanan yang didasari oleh kepentingan pribadi, bukan murni perlawanan terhadap penjajah. Sementara itu, otentisitas surat-surat R.A. Kartini dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang juga diragukan, dan muncul pandangan bahwa buku tersebut adalah karangan J.H. Abendanon untuk membenarkan Kebijakan Etis kolonial.
- G30S/PKI dan Supersemar: Peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S) hingga kini masih menjadi “teka-teki besar” dengan banyak versi mengenai siapa dalang di baliknya, yang melibatkan berbagai pihak seperti PKI, TNI AD, dan Presiden Soekarno. Begitu pula dengan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), yang ditafsirkan sebagai “proses kudeta” Soeharto terhadap Soekarno.
Ketidakpastian dan keragaman tafsir seputar peristiwa-peristiwa ini dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Ketika narasi resmi tentang peristiwa kelam seperti G30S dan Tragedi Mei 1998 tidak pernah terselesaikan secara tuntas, ruang untuk manipulasi narasi menjadi terbuka lebar. Adanya keraguan publik terhadap kebenaran sejarah memungkinkan pihak tertentu untuk menyangkal atau merevisi fakta yang tidak menguntungkan. Hal ini menjadi sangat krusial mengingat pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang meragukan perkosaan massal 1998, sebuah peristiwa yang terkait dengan dugaan keterlibatan salah satu tokoh di pemerintahan saat itu. Dengan demikian, polemik sejarah bukan hanya perdebatan akademis, melainkan kontestasi narasi politik yang bertujuan untuk menghapus atau memutihkan dosa-dosa masa lalu, terutama di tengah kekuasaan yang baru.
Dampak dan Implikasi: Historiografi, Kepercayaan Publik, dan Identitas Nasional
Peran Media Massa dalam Membentuk Opini Publik
Dalam era digital, media massa memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk persepsi dan opini publik, terutama terkait isu-isu kontroversial seperti penulisan ulang sejarah. Media memiliki kekuatan untuk menggiring masyarakat ke sebuah wacana tertentu melalui konsep agenda setting, di mana berita yang disajikan dapat memengaruhi pikiran masyarakat untuk menyetujui apa yang diinformasikan. Dalam konteks ini, media dapat menjadi alat bagi negara untuk menyebarkan propaganda yang tidak berimbang dan membentuk opini publik sesuai kepentingan elit.
Dampak pada Kepercayaan Publik dan Apatisme Sosial
Polemik penulisan sejarah yang dikhawatirkan sebagai propaganda pemerintah dapat memicu skeptisisme dan apatisme di kalangan masyarakat Ketika masyarakat merasa bahwa sejarah yang disajikan tidak otentik dan hanya menguntungkan satu pihak, kepercayaan terhadap pemerintah akan terkikis. Data menunjukkan bahwa minat kalangan muda terhadap politik sangat rendah (hanya 1,1%), yang disebabkan oleh ketidakpuasan dan ketidakpercayaan mereka terhadap elit politik. Kontroversi ini, alih-alih membangun kebanggaan, justru memperkuat kondisi tersebut.
Jika ketidakpercayaan publik terhadap narasi resmi tidak diatasi, masyarakat dapat terjerumus ke dalam kondisi yang dikenal sebagai hypernormalization. Ini adalah sebuah kondisi di mana masyarakat mengetahui bahwa sistem negara sudah rusak atau dipenuhi kebohongan, tetapi memilih untuk diam dan berpura-pura percaya karena tidak ada alternatif yang jelas. Hal ini sangat berbahaya karena dapat menjebak masyarakat dalam sebuah realitas palsu dan mengancam fondasi demokrasi yang sehat.
Pengaruh Terhadap Pendidikan Sejarah dan Identitas Nasional
Pelajaran sejarah memegang peranan krusial dalam membentuk identitas dan kesadaran kebangsaan, serta menanamkan sikap berorientasi pada masa depan berdasarkan pengalaman masa lalu. Kurikulum pendidikan saat ini telah menekankan pentingnya pengembangan daya pikir kritis, kemampuan menelaah isu-isu kontroversial, dan pemahaman sejarah dari berbagai perspektif.
Dalam konteks ini, polemik penulisan ulang sejarah dapat menjadi alat pedagogis yang sangat efektif untuk mengembangkan nalar kritis siswa. Sejarah tidak seharusnya dianggap sebagai dogma, melainkan sebuah “ruang tafsir” yang terbuka untuk perdebatan. Guru dapat memanfaatkan kontroversi yang ada sebagai studi kasus nyata, melatih siswa untuk meneliti sumber, membedakan fakta dan opini, serta menyusun argumen tandingan, sesuai dengan prinsip pembelajaran berbasis proyek dalam Kurikulum 2025. Dengan demikian, polemik ini, alih-alih merusak, justru dapat menjadi katalisator bagi perbaikan kualitas pendidikan sejarah yang berorientasi pada nalar kritis, bukan sekadar hafalan.
Kesimpulan
Tulisan ini menyimpulkan bahwa polemik penulisan ulang sejarah nasional Indonesia adalah fenomena yang berulang, didorong oleh motif politik untuk melegitimasi kekuasaan. Kontroversi ini mencerminkan kontestasi antara narasi “Indonesia-sentris” versi negara yang cenderung sentralistik dan narasi “Indonesia-sentris” versi pluralis yang menuntut ruang bagi suara-suara yang selama ini terpinggirkan. Ketergesaan dan ketidaktransparan dalam proses, serta potensi penghilangan narasi pelanggaran HAM dan peran perempuan, mengikis kepercayaan publik dan berisiko menciptakan skeptisisme serta apatisme sosial.
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, terdapat beberapa rekomendasi strategis untuk mengatasi polemik ini dan memastikan bahwa penulisan sejarah dapat berkontribusi positif bagi bangsa:
- Untuk Pemerintah:
- Mendorong transparansi penuh dalam seluruh proses penulisan, mulai dari pemilihan tim hingga publikasi draft awal.
- Secara eksplisit menolak pelabelan “sejarah resmi,” karena label ini berpotensi menjadi alat otoriter yang mengebiri tafsir.
- Menjadi fasilitator yang adil, bukan produsen tunggal narasi sejarah, dengan memberikan ruang bagi setiap entitas, termasuk kelompok korban, perempuan, dan disabilitas, untuk menuliskan sejarah mereka sendiri.
- Untuk Akademisi dan Sejarawan:
- Terus menyajikan narasi tandingan yang kritis dan berbasis data.
- Menggalakkan penulisan sejarah yang tidak hanya fokus pada “orang besar” tetapi juga pada pahlawan lokal dan dinamika masyarakat sipil.
- Untuk Masyarakat dan Pendidik:
- Mendorong literasi sejarah dan literasi media untuk membekali masyarakat dengan kemampuan memilah informasi secara kritis.
- Memanfaatkan kontroversi yang ada sebagai materi pembelajaran di sekolah untuk mengembangkan nalar kritis siswa, sesuai dengan kurikulum yang berlaku.
- Tidak terjebak dalam apatisme, melainkan secara aktif berpartisipasi dalam diskusi publik untuk menjaga agar sejarah tidak menjadi alat propaganda politik.
Daftar Pustaka :
- Polemik Penulisan Ulang Sejarah Indonesia – Pusaka Indonesia Gemahripah, diakses Agustus 18, 2025, https://pusakaindonesia.id/opini/polemik-penulisan-ulang-sejarah-indonesia/
- DPR Setujui Penulisan Ulang Sejarah Indonesia, Akhiri 26 Tahun Kekosongan, diakses Agustus 18, 2025, https://www.menpan.go.id/site/berita-terkini/berita-daerah/dpr-setujui-penulisan-ulang-sejarah-indonesia-akhiri-26-tahun-kekosongan
- Libatkan 113 Sejarawan, Sejarah Indonesia akan Ditulis Ulang, diakses Agustus 18, 2025, https://indonesia.go.id/kategori/sosial-budaya/9437/libatkan-113-sejarawan-sejarah-indonesia-akan-ditulis-ulang
- publication/377961892_DARI_TRADISIONAL_KE_POST_MODERN_PERKEMBANGAN_HISTORIOGRAFI_INDONESIA
- Sejarah Ditulis Penguasa: Kontroversi Penulisan Sejarah Indonesia Dibayangi Desukarnoisasi – VOI, diakses Agustus 18, 2025, https://voi.id/memori/493923/sejarah-ditulis-penguasa-kontroversi-penulisan-sejarah-indonesia-dibayangi-desukarnoisasi
- Kontroversi Penulisan Sejarah Indonesia di Masa Orde Baru, diakses Agustus 18, 2025, https://www.kompas.com/stori/read/2025/06/02/180000279/kontroversi-penulisan-sejarah-indonesia-di-masa-orde-baru
- DOMINASI ORANG-ORANG BESAR DALAM SEJARAH INDONESIA: KRITIK POLITIK HISTORIOGRAFI DAN POLITIK INGATAN – E-Journal UNDIP, diakses Agustus 18, 2025, https://ejournal.undip.ac.id/index.php/jscl/article/download/21576/pdf
- Mengapa Penulisan Ulang Sejarah Indonesia oleh Pemerintah Mendapat Penolakan?, diakses Agustus 18, 2025, https://www.historia.id/article/mengapa-penulisan-ulang-sejarah-indonesia-oleh-pemerintah-mendapat-penolakan-6a3mn
- Sejarawan Tolak Penulisan Ulang Sejarah Resmi Indonesia, “Upaya Pemutihan Dosa dan Propaganda Penguasa” – Konde.co, diakses Agustus 18, 2025, https://www.konde.co/2025/05/sejarawan-tolak-penulisan-ulang-sejarah-resmi-indonesia-upaya-pemutihan-dosa-dan-propaganda-penguasa/
- Bonnie Triyana: Kalau Proyek Tulis Sejarah Parsial, Lebih Baik Setop – CNN Indonesia, diakses Agustus 18, 2025, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20250618143924-32-1241094/bonnie-triyana-kalau-proyek-tulis-sejarah-parsial-lebih-baik-setop
- Ita Fatia Nadia: Lawan Penghapusan Sejarah Perempuan dan Pelanggaran HAM, diakses Agustus 18, 2025, https://magdalene.co/story/penolakan-ita-fatia-nadia-penulisan-ulang-sejarah-nasional/
- Dear Fadli Zon, Perkosaan Massal Mei 1998 Itu Nyata, Kami Perempuan Muda Tolak Sejarah yang Misoginis – Konde.co, diakses Agustus 18, 2025, https://www.konde.co/2025/06/dear-fadli-zon-perkosaan-massal-mei-1998-itu-nyata-kami-perempuan-muda-tolak-sejarah-yang-misoginis/
- Tim Penulis Jamin Sejarah Versi Baru Nanti Bisa Dikritik-Bukan Propaganda, diakses Agustus 18, 2025, https://nasional.kompas.com/read/2025/05/19/19525031/tim-penulis-jamin-sejarah-versi-baru-nanti-bisa-dikritik-bukan-propaganda
- Kontroversi Penulisan Ulang Sejarah: Sejarah Versi Negara, Sejarah Siapa? – joglosemar news, diakses Agustus 18, 2025, https://joglosemarnews.com/2025/06/kontroversi-penulisan-ulang-sejarah-sejarah-versi-negara-sejarah-siapa/
- AKSI: Tolak Proyek Penulisan ‘Sejarah Resmi’ Indonesia – Amnesty International Indonesia, diakses Agustus 18, 2025, https://www.amnesty.id/kabar-terbaru/siaran-pers/aksi-tolak-proyek-penulisan-sejarah-resmi-indonesia/05/2025/
- pendidikan sejarah dan kepentingan sejarah – Pundi – Mewujudkan …, diakses Agustus 18, 2025, https://pundi.or.id/article/detail/247
- Kontroversi Penulisan Sejarah Indonesia, dari Pangeran Diponegoro hingga G 30 S, diakses Agustus 18, 2025, https://nasional.sindonews.com/berita/1428110/15/kontroversi-penulisan-sejarah-indonesia-dari-pangeran-diponegoro-hingga-g-30-s
- Menolak Sejarah Omong Kosong Pangeran Diponegoro – Regional Liputan6.com, diakses Agustus 18, 2025, https://www.liputan6.com/regional/read/3878701/menolak-sejarah-omong-kosong-pangeran-diponegoro
- Kontroversi Raden Ajeng Kartini – Koran Sulindo, diakses Agustus 18, 2025, https://koransulindo.com/kontroversi-raden-ajeng-kartini/
- PENGARUH MEDIA MASSA TERHADAP PERSEPSI DAN TINGKAT KRIMINALITAS : ANALISIS TERHADAP EFEK MEDIA DALAM PEMBENTUKAN OPINI PUBLIK TH, diakses Agustus 18, 2025, https://jicnusantara.com/index.php/jicn/article/download/132/181
- SEJARAH PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara legal, buku Pedoman Guru Mata Pelajaran Sejarah ini dikembangkan atas das – Direktorat SMA, diakses Agustus 18, 2025, https://sma.dikdasmen.go.id/data/files/Permendikbud%20Nomor%2059%20Tahun%202014%20Kurikulum%202013%2011b.%20PMP%20SEJ-minat%20SMA.pdf
- KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA MATERI PENGANTAR SOAL SEJARAH INDONESIA, diakses Agustus 18, 2025, https://ropeg.kkp.go.id/asset/source/2017/ujian_dinas/Sejarah_Indonesia.pdf
- Kurikulum Baru 2025, Apa Bedanya? Temukan Jawabannya di Sini | IDN Times, diakses Agustus 18, 2025, https://www.idntimes.com/life/education/kurikulum-baru-2025-c1c2-01-6cnpl-20j2bn