Sistem pendidikan di Indonesia merupakan pilar fundamental dalam pembangunan sumber daya manusia, dengan tanggung jawab yang diemban oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, serta Kementerian Agama. Meskipun sektor pendidikan selalu menjadi prioritas utama dengan alokasi anggaran yang signifikan, mencapai 20% dari APBN/APBD sesuai amanat konstitusi , sistem ini masih menghadapi berbagai tantangan yang kompleks. Tantangan-tantangan tersebut meliputi kesenjangan akses yang mencolok antara daerah perkotaan dan pedesaan, kualitas pendidikan yang belum merata, serta keterbatasan sarana dan prasarana di banyak wilayah.

Secara komparatif, performa siswa Indonesia dalam tes sains global masih menunjukkan celah yang lebar dibandingkan rata-rata negara-negara OECD. Hanya 34% siswa Indonesia yang mencapai level 2 atau lebih, jauh di bawah rata-rata OECD sebesar 76%. Ironisnya, hampir tidak ada siswa Indonesia yang mampu mencapai level 5 dan 6, sementara rata-rata OECD mencapai 7%. Selain itu, meskipun berbagai reformasi telah dilakukan, termasuk pemberlakuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, isu-isu seperti biaya pendidikan yang belum terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat dan kurikulum yang dianggap belum sempurna masih menjadi hambatan serius.

Dalam lanskap pendidikan yang penuh tantangan ini, kehadiran postmodernisme dalam konstelasi pemikiran manusia telah membawa perspektif baru yang menarik untuk dikaji. Postmodernisme tidak hanya menyentakkan dunia akademik dengan kritik-kritiknya, tetapi juga mendorong pembacaan ulang atas berbagai tradisi dan keyakinan yang selama ini dianggap mapan. Tantangan-tantangan internal yang dihadapi sistem pendidikan Indonesia—seperti kesenjangan akses dan kualitas, serta kurikulum yang belum sepenuhnya relevan—secara inheren menciptakan kondisi yang kondusif bagi adopsi, baik secara implisit maupun eksplisit, pemikiran postmodernisme. Kegagalan modernisme dalam mewujudkan masyarakat yang lebih adil dan berkeadilan sosial, yang justru melahirkan konflik dan anarki , serta tantangan-tantangan yang terus-menerus dihadapi pendidikan di Indonesia , menunjukkan adanya kebutuhan mendesak akan paradigma baru yang lebih adaptif dan responsif terhadap kompleksitas realitas. Dengan demikian, postmodernisme hadir sebagai kerangka filosofis yang relevan untuk mengkritisi dan mencari solusi atas keterbatasan sistem yang ada.

Definisi Singkat Postmodernisme: Sebagai Kritik terhadap Modernisme dan Penolakan Narasi Besar

Secara etimologis, istilah “postmodernisme” berasal dari gabungan kata “post” yang berarti “setelah” atau “melampaui,” dan “modern.” Ketika disatukan, ia menyiratkan makna “melampaui kematian modernisme”. Namun, secara terminologis, postmodernisme lebih dari sekadar fase kronologis setelah modernisme; ia merupakan sebuah kritik mendalam terhadap masyarakat modern dan kegagalannya dalam memenuhi janji-janji kemajuan yang diusungnya. Paham ini muncul sebagai respons terhadap kegagalan para filsuf modernisme dalam memajukan kondisi sosial manusia dan perkembangan pengetahuan.

Salah satu ciri paling fundamental dari postmodernisme adalah penolakannya terhadap konsep Narasi Besar (Grand Narratives). Narasi Besar merujuk pada penjelasan universal, harmonis, atau konsisten yang diklaim oleh modernisme untuk menjelaskan realitas, kebenaran, atau kemajuan. Kaum postmodernisme berpendapat bahwa klaim kebenaran ilmu pengetahuan yang mutlak dan objektif, tanpa nilai dari manusia, adalah pandangan yang tidak lagi relevan. Mereka menolak universalisme dalam ilmu pengetahuan modern, menggantinya dengan penekanan pada yang partikular dan lokal, serta menyingkirkan segala sesuatu yang bersifat universal. Definisi ini menegaskan bahwa postmodernisme bukanlah sekadar kelanjutan dari modernisme, melainkan sebuah ruptur filosofis yang disengaja, didorong oleh kekecewaan mendalam terhadap konsekuensi yang ditimbulkan oleh modernisme. Hal ini penting karena postmodernisme memposisikan dirinya sebagai kekuatan korektif yang berupaya membongkar kerangka universalistik yang dianggap menindas atau cacat, membuka ruang bagi beragam perspektif dan kebenaran yang bersifat kontekstual.

Konsep Dasar Postmodernisme

Postmodernisme pertama kali muncul di Prancis sekitar tahun 1970-an, dengan akar mulanya sebagai kritik dalam bidang arsitektur. Kritik ini menargetkan kekakuan, fungsionalisme, dan homogenitas gaya arsitektur modern yang dianggap gagal mengakomodasi keragaman dan konteks lokal. Namun, gerakan ini tidak berhenti di sana; ia dengan cepat merambah ke dalam seluruh bidang kehidupan manusia, terutama setelah Jean-François Lyotard mengintegrasikannya ke dalam wilayah filsafat.

Sebagai gerakan intelektual yang berkembang pada pertengahan abad ke-20, postmodernisme merupakan respons langsung terhadap modernisme dan paradigma tradisional yang secara dogmatis mengedepankan rasionalitas, kebenaran tunggal, dan objektivitas dalam ilmu pengetahuan. Asal-usulnya yang bermula dari kritik arsitektural dan kemudian perluasan filosofisnya melalui integrasi oleh Lyotard menunjukkan bahwa kritik postmodernisme terhadap struktur yang kaku dan fungsionalis (dalam arsitektur) merupakan prekursor bagi penolakannya yang lebih luas terhadap sistem universal dan totalisasi dalam pemikiran dan masyarakat. Hal ini menyoroti sebuah pola kritik yang konsisten, bergerak dari ranah spesifik menuju domain yang lebih umum, selalu menantang asumsi-asumsi yang mendasari klaim universalitas.

Karakteristik Utama

Pemikiran postmodernisme dicirikan oleh beberapa prinsip fundamental yang saling terkait dan membentuk sebuah sikap filosofis yang koheren:

  • Penolakan Universalisme dan Kebenaran Mutlak: Postmodernisme secara tegas menolak pandangan modernisme bahwa kebenaran ilmu pengetahuan harus mutlak dan objektif. Bagi kaum postmodernis, ilmu pengetahuan modern tidak dapat dianggap sebagai universalisme karena mereka menolak penjelasan yang bersifat universal, harmonis, atau konsisten. Sebaliknya, mereka berpendapat bahwa segala sesuatu bersifat relatif dan tidak boleh absolut, karena kebenaran selalu terkait dengan situasi dan kondisi yang ada.
  • Relativisme: Dalam kerangka postmodernisme, penalaran seringkali digantikan oleh relativisme, dan pikiran oleh keinginan. Ini berarti bahwa ilmu pengetahuan dipandang relatif, tanpa adanya kebenaran absolut yang mengikat semua konteks.
  • Dekonstruksi: Salah satu alat analisis utama dalam postmodernisme adalah dekonstruksi, yang diperkenalkan oleh Jacques Derrida. Melalui dekonstruksi, kontradiksi dalam narasi besar modernitas berhasil diungkap. Dekonstruksi bertujuan untuk menunjukkan bahwa tidak ada lagi oposisi biner yang memisahkan dan mengkotak-kotakkan realitas. Lebih jauh, dekonstruksi dapat menggugat cara berpikir logosentrisme dan membuka ruang bagi keberagaman pemikiran dari kelompok-kelompok marginal yang selama ini tertindas oleh modernitas.
  • Pluralitas dan Fragmentasi: Postmodernisme menggantikan konsep universal dengan penekanan pada yang partikular dan lokal. Pandangan pluralitas perspektif mengakui bahwa setiap individu memiliki sudut pandang yang unik, yang dipengaruhi oleh pengalaman pribadi, budaya, dan konteks sosial mereka. Era postmodernisme ditandai oleh keyakinan bahwa kebenaran terlalu besar untuk dimonopoli oleh satu sistem saja, dan bahwa keragaman pandangan jauh lebih “indah” daripada keseragaman yang, meskipun menghasilkan kesatuan, justru membelenggu kebebasan manusia. Gaya hidup pada era ini juga dicirikan oleh ketidakpastian, sifat episodik, dan dinamisme.
  • Ketidakpastian dan Inkonsistensi: Ciri utama postmodernisme adalah ketidakpastian. Bahasa yang digunakan dalam wacana postmodernisme seringkali menimbulkan kesan ketidakjelasan makna dan inkonsistensi, bahkan banyak mengandung paradoks.
  • Kritik terhadap Otoritas: Postmodernisme secara inheren menolak kecenderungan dogmatis dan ketaatan buta pada suatu otoritas, tatanan, atau kaidah baru. Hal ini mencerminkan skeptisisme terhadap segala bentuk hegemoni pengetahuan atau kekuasaan.

Keterkaitan karakteristik ini membentuk sebuah sikap filosofis yang koheren: penolakan terhadap kebenaran universal  secara alami mengarah pada penerimaan relativisme dan pluralisme. Kondisi ini kemudian membutuhkan dekonstruksi  sebagai metode untuk mengungkap bias dan struktur kekuasaan yang tersembunyi dalam narasi yang tampak objektif. Proses ini pada gilirannya menciptakan pandangan dunia yang dinamis, tidak pasti, dan terfragmentasi , yang secara inheren menantang otoritas yang mapan.

Tokoh-tokoh Kunci dalam Filsafat Postmodernisme

Beberapa pemikir utama yang menjadi landasan dan acuan dalam diskursus postmodernisme meliputi Jean-François Lyotard, yang karyanya “The Postmodern Condition: A Report on Knowledge” menjadi acuan kunci. Selain itu, Jacques Derrida dengan teori dekonstruksinya merupakan salah satu pemikir utama teori sosial postmodern yang berhasil mengungkap kontradiksi narasi besar modernitas. Tokoh-tokoh lain yang juga sering dihubungkan dengan postmodernisme atau post-strukturalisme antara lain Roland Barthes, Michel Foucault, Zygmunt Bauman, Hans-Georg Gadamer, Paul Ricour, Ferdinand de Saussure, dan Umberto Eco.

Paradigma Pendidikan Modern/Tradisional di Indonesia

Ciri-ciri Utama

Sistem pendidikan di Indonesia, khususnya sejak masa kolonial hingga era reformasi, banyak dipengaruhi oleh model pendidikan Barat yang cenderung sentralistik. Paradigma pendidikan modern/tradisional ini memiliki beberapa ciri khas:

  • Sentralisasi dan Homogenitas: Sistem pendidikan nasional yang dominan bersifat homogen, dengan negara memegang peranan besar dalam menghegemoni penyelenggaraan pendidikan di setiap sekolah. Hal ini mencakup uniformitas dalam berbagai aspek, termasuk kurikulum, materi ujian, dan sistem evaluasi. Kurikulum tradisional, dengan strukturnya yang terstandarisasi, lebih mudah diimplementasikan dalam skala besar.
  • Fokus Kognitif dan IPTEK: Pendidikan modern/tradisional cenderung berorientasi pada pembentukan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Beban pengajaran seringkali diarahkan pada penguasaan bidang-bidang tersebut, didasari keyakinan bahwa rasio manusia adalah ukuran kebenaran tertinggi.
  • Peran Guru dan Sekolah sebagai Otoritas Tunggal: Dalam paradigma modern, sekolah (pendidikan formal) dipandang sebagai penguasa utama proses transformasi pengetahuan. Guru dianggap sebagai “dewa” yang memiliki segala kemampuan untuk mencerdaskan masyarakat, sehingga gudang ilmu terpusat pada guru.
  • Kurikulum Kaku dan Terstandarisasi: Kurikulum yang diterapkan seringkali tidak selaras dengan agenda pembangunan lokal dan kebutuhan masyarakat pedesaan atau terisolir. Akibatnya, lulusan sekolah menjadi asing dengan persoalan riil di lingkungan sekitarnya.
  • Metode Pengajaran: Metode pengajaran seringkali menekankan verbalisme, menggunakan pola Sistem Kredit Semester (SKS), dan menjadikan ujian sebagai ukuran terakhir kemampuan anak didik. Pendekatan ini disinyalir dapat membelenggu kreativitas anak didik.

Deskripsi pendidikan modern/tradisional di Indonesia ini mengungkapkan warisan mendalam dari pengaruh kolonial dan pendekatan terpusat yang didorong oleh standardisasi. Model sentralistik dan homogen ini, meskipun mungkin bertujuan untuk efisiensi dan persatuan nasional, secara tidak sengaja menekan relevansi lokal, kreativitas siswa, dan bentuk-bentuk pengetahuan yang beragam. Kondisi ini secara alami menciptakan lingkungan yang menjadi target kritik utama bagi pemikiran postmodernisme.

Kritik Postmodernisme terhadap Pendidikan Modern

Postmodernisme melancarkan kritik tajam terhadap pendidikan modern, dengan argumen bahwa sistem ini gagal dalam mencapai tujuan kemajuan sosial dan justru menimbulkan berbagai masalah:

  • Kegagalan Sosial dan Dehumanisasi: Postmodernisme mengkritik kegagalan modernisme dalam menciptakan situasi sosial yang lebih baik, kondusif, dan berkeadilan sosial. Sebaliknya, modernisme justru melahirkan perang, gejolak sosial, dan anarki. Rasio manusia yang diagungkan dalam modernisme dipandang sebagai alat dominasi terselubung yang berujung pada imperialisme dan hegemoni kapitalistik. Pendidikan yang hanya diarahkan pada nalar rasionalitas dianggap mendatangkan bencana bagi nilai kemanusiaan, padahal esensi pendidikan seharusnya memanusiakan manusia.
  • Penolakan Homogenitas: Postmodernisme menolak pendidikan yang bersifat homogen, karena masyarakat pada dasarnya bersifat heterogen dalam karakter dan kebutuhannya. Sistem yang seragam dianggap tidak mampu merespons kompleksitas dan keragaman ini.
  • Kritik terhadap Otoritas Guru dan Sekolah: Salah satu sasaran kritik utama gerakan postmodernisme adalah dominasi penguasaan ilmu oleh guru dan sekolah kepada anak didik, yang dianggap sebagai bentuk absolutisme. Postmodernisme menantang gagasan bahwa guru atau institusi pendidikan adalah sumber otoritas tunggal yang tidak terbantahkan.

Kritik postmodernisme ini melampaui preferensi pedagogis semata; ia secara fundamental menantang hasil etis dan sosial dari filosofi dasar pendidikan modern. Dengan mengaitkan rasionalisme yang diagungkan modernisme dengan “dominasi,” “imperialisme,” dan “dehumanisasi” , postmodernisme membingkai pendidikan modern sebagai sistem yang tidak hanya tidak efektif tetapi berpotensi merusak. Hal ini membenarkan evaluasi ulang yang radikal terhadap seluruh kerangka pendidikan yang ada, mendesak pergeseran menuju pendekatan yang lebih humanis dan kontekstual.

Implementasi dan Manifestasi Postmodernisme dalam Pendidikan di Indonesia

Pengaruh postmodernisme dalam pendidikan di Indonesia, meskipun seringkali bersifat implisit, telah memicu pergeseran paradigma yang signifikan. Pergeseran ini dapat diamati dalam berbagai aspek, mulai dari kebijakan makro hingga praktik mikro di kelas. Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas, berikut adalah perbandingan antara paradigma pendidikan modern dan postmodern di Indonesia:

Tabel 1: Perbandingan Paradigma Pendidikan Modern dan Postmodern di Indonesia

Aspek Pendidikan Modern/Tradisional Pendidikan Postmodern
Filosofi Dasar Rasionalitas, universalisme, objektivitas, kebenaran mutlak Relativisme, pluralisme, dekonstruksi, ketidakpastian
Tujuan Pendidikan Mencerdaskan bangsa (fokus kognitif, IPTEK), penguasaan ilmu Memanusiakan manusia, mengembangkan potensi holistik, adaptasi lokal
Peran Guru Otoritas tunggal, “dewa,” gudang ilmu, penyampai kebenaran Fasilitator, mitra, komunikator, partner dalam mencari pengetahuan
Peran Peserta Didik Pasif, penerima pengetahuan, terbelenggu kreativitas Aktif, kritis, kreatif, eksploratif, memiliki kesempatan menyampaikan pandangan
Kurikulum Kaku, homogen, terstandarisasi, sentralistik, tidak relevan lokal Fleksibel, bermuatan lokal, diversifikasi, adaptif terhadap keberagaman
Struktur Pengelolaan Sentralistik, hegemoni negara Desentralisasi, manajemen berbasis sekolah (MBS), otonomi daerah/sekolah
Penilaian Ujian sebagai ukuran akhir, verbalisme Penilaian holistik, berbasis proses, mendorong kreativitas

Desentralisasi Pendidikan dan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

Salah satu manifestasi paling nyata dari pengaruh postmodernisme dalam pendidikan di Indonesia adalah dorongan menuju desentralisasi pendidikan. Konsep ini mengandaikan pemberian peran yang lebih besar kepada pemerintah daerah tingkat Kabupaten atau Kotamadya sebagai basis pengelolaan pendidikan. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa kebutuhan lokal dan nilai-nilai sosial-kultural setiap daerah dapat diakomodasi secara lebih baik dalam sistem pendidikan. Desentralisasi ini merupakan pilihan strategis untuk menggantikan “grand narrative” yang selama ini mendominasi sistem pendidikan nasional, yang cenderung homogen dan sentralistik.

Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah implementasi konkret dari prinsip desentralisasi ini. MBS memberikan porsi kuat terhadap inisiatif dari sekolah itu sendiri, yang diharapkan akan berakar pada kondisi nyata masyarakat setempat, bukan lagi sekadar mengikuti petunjuk pemerintah secara mutlak. Pergeseran menuju desentralisasi dan MBS ini merupakan respons kebijakan strategis terhadap kritik postmodernisme terhadap kekuasaan terpusat dan standar universal. Ini adalah upaya untuk mendemokratisasi pendidikan dan membuatnya lebih responsif terhadap beragam realitas lokal, secara langsung mencerminkan penekanan postmodernisme pada “narasi lokal” dan pluralisme.

Pengembangan Kurikulum Bermuatan Lokal

Sebagai konsekuensi logis dari desentralisasi pendidikan yang dipengaruhi oleh pemikiran postmodernisme, pengembangan kurikulum bermuatan lokal menjadi sangat penting. Kurikulum pengajaran secara sengaja disesuaikan dengan kebutuhan spesifik daerah, meskipun tetap mempertimbangkan dinamika situasi global. Tujuan utama dari kurikulum bermuatan lokal ini adalah untuk menghasilkan lulusan yang tidak hanya memiliki pengetahuan umum, tetapi juga mampu memetakan dan memecahkan masalah-masalah riil yang dihadapi oleh masyarakat lokal mereka.

Pengembangan kurikulum bermuatan lokal ini merupakan konsekuensi langsung dari desentralisasi pendidikan, yang itu sendiri dipengaruhi oleh pemikiran postmodern. Hal ini menciptakan sebuah lingkaran umpan balik yang positif: pergeseran filosofis menuju pluralisme mengarah pada perubahan kebijakan berupa desentralisasi, yang kemudian memungkinkan inovasi pedagogis praktis seperti kurikulum lokal. Inovasi ini pada gilirannya semakin memperkuat premis filosofis awal tentang pentingnya relevansi kontekstual dan keberagaman, menunjukkan bagaimana ide-ide abstrak dapat diterjemahkan menjadi praktik pendidikan yang konkret dan relevan.

Integrasi Pendidikan Pesantren dan Pendidikan Umum (Studi Kasus UU No. 18 Tahun 2019)

Salah satu contoh paling menonjol dari implementasi postmodernisme dalam pendidikan di Indonesia adalah pengakuan dan integrasi pendidikan pesantren ke dalam sistem pendidikan nasional melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Undang-undang ini merupakan langkah krusial dalam mengakui otonomi pesantren untuk menyusun kurikulumnya sendiri, sebuah kebijakan yang secara jelas mencerminkan pendekatan postmodernisme yang menghargai fleksibilitas, perbedaan budaya, dan menolak standar tunggal yang berlaku secara universal.

Secara historis, pendidikan di Indonesia banyak dipengaruhi oleh sistem pendidikan Barat yang sentralistik, yang seringkali tidak sejalan dengan karakteristik mandiri pendidikan pesantren. Pendidikan pesantren secara umum menggunakan referensi dari kitab-kitab klasik yang berasal dari Irak, Yaman, dan Sudan, bukan dari standar Barat, yang merupakan bentuk penolakan terhadap tradisi Eropa sebagai satu-satunya rujukan kebenaran. Undang-undang ini memungkinkan pesantren untuk berkontribusi terhadap kualitas pendidikan di Indonesia tanpa harus mengikuti standar Barat yang sentralistik, yang sebelumnya mendominasi sistem pendidikan nasional.

Postmodernisme memberikan ruang bagi perbedaan dan diversifikasi pendidikan. Keberadaan berbagai model dan karakteristik pondok pesantren (Salafiyah, Khalafiyah, dan Kombinasi) membuktikan bahwa model pendidikan pesantren memberikan ruang luas bagi perbedaan, namun tetap pada tujuan yang sama, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Undang-undang ini secara eksplisit mengakui pendidikan pesantren sebagai alternatif yang setara dengan pendidikan formal lainnya, memberikan ruang bagi diversifikasi pendidikan yang adaptif terhadap kebutuhan masyarakat lokal. Kebijakan desentralisasi dalam UU ini menandai berakhirnya dominasi pemerintah dalam pendidikan di pondok pesantren, dengan menyerahkan sepenuhnya kewenangan pembentukan kurikulum kepada Kiai dan Dewan Masyayikh.

Dampak positif dari kebijakan ini sangat terasa. Data menunjukkan peningkatan signifikan jumlah santri yang mengikuti ujian kesetaraan sebagai syarat untuk masuk universitas, dari 36.604 pada tahun 2022 menjadi 59.582 pada tahun 2023. Peningkatan ini membuktikan bahwa pesantren, dengan model pembelajarannya yang di luar mainstream global, terbukti mampu menghadirkan warna baru dalam kualitas pendidikan Indonesia dan berhasil berdiri sejajar, bahkan beberapa lebih unggul secara kualitas, dengan pendidikan umum. Undang-Undang Pesantren adalah contoh empiris yang kuat tentang keberhasilan praktis postmodernisme dalam mendorong pluralisme pendidikan dan menantang hegemoni yang berpusat pada Barat di Indonesia. Hal ini menunjukkan bagaimana penolakan filosofis terhadap standar universal dapat mengarah pada perubahan kebijakan yang memberdayakan model pendidikan pribumi yang beragam, pada akhirnya memperkaya lanskap pendidikan nasional dan meningkatkan hasil yang terukur. Ini adalah studi kasus yang jelas tentang bagaimana “narasi lokal” dapat berkembang dan mengungguli “narasi besar.”

Penerapan dalam Kurikulum Bidang Studi (e.g., IPS, Seni, Bahasa)

Pengaruh postmodernisme tidak hanya terbatas pada kebijakan makro, tetapi juga meresap ke dalam pengembangan kurikulum di berbagai bidang studi, mengubah pendekatan pedagogis secara fundamental:

  • Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS): Postmodernisme dapat dijadikan sebagai salah satu landasan filosofis yang kuat dalam praktik penyusunan kurikulum, materi, hingga proses pembelajaran pendidikan IPS di setiap jenjang pendidikan. Hal ini mendorong pendekatan yang lebih kritis terhadap narasi sejarah dan sosial, mengakui berbagai perspektif dan menantang homogenitas.
  • Pendidikan Seni: Dalam pendidikan seni, wacana dekonstruksi-postmodernisme membawa dampak positif dan luas terhadap proses kreatif artistik dan pelaksanaan pembelajaran seni kontemporer di sekolah. Secara khusus, ia meningkatkan kemampuan berpikir kritis, kreativitas, kolaborasi, dan komunikasi (sering disebut sebagai keterampilan C4) peserta didik. Ini menunjukkan pergeseran dari sekadar reproduksi teknik menjadi eksplorasi makna dan ekspresi personal.
  • Pendidikan Bahasa: Dalam konteks pendidikan bahasa, konsep dasar postmodernisme membawa perubahan signifikan terhadap cara pandang terhadap bahasa, pengajaran, serta makna yang terkandung di dalamnya. Ini mendorong penolakan terhadap kebenaran absolut dalam tata bahasa, mempromosikan pluralitas perspektif, dekonstruksi makna, serta relativisme dalam metode pembelajaran. Pembelajaran bahasa tidak lagi hanya berfokus pada aturan-aturan tata bahasa yang normatif, tetapi juga mengakui keragaman cara pandang peserta didik dalam memahami makna sebuah teks atau narasi bahasa. Pendekatan ini memungkinkan peserta didik untuk lebih bebas mengeksplorasi bahasa sebagai alat komunikasi yang dinamis dan penuh makna ganda, sesuai dengan konteks sosial dan budaya.

Di luar kebijakan yang luas, pengaruh postmodernisme meresap ke dalam kurikulum mata pelajaran tertentu, mengubah pendekatan pedagogis dari pembelajaran hafalan menjadi pengembangan keterampilan berpikir tingkat tinggi dan merangkul fleksibilitas interpretatif. Ini menunjukkan aplikasi tingkat mikro dari prinsip-prinsip postmodern, menunjukkan dampak pervasifnya di berbagai domain pendidikan. Jika postmodernisme menekankan pemikiran kritis, pluralisme, dan dekonstruksi, maka penerapannya dalam mata pelajaran spesifik seperti IPS, Seni, dan Bahasa secara alami akan menggeser fokus dari hafalan dan interpretasi tunggal ke pengembangan kreativitas, analisis kritis, dan perspektif yang beragam. Keterampilan C4 dalam pendidikan seni adalah hasil langsung dari pergeseran ini, menunjukkan bagaimana ide-ide filosofis diterjemahkan menjadi hasil pembelajaran yang diinginkan.

Pergeseran Peran Guru dan Peserta Didik: Dari Otoritas Tunggal menjadi Fasilitator dan Mitra

Salah satu perubahan paling mendasar yang diinspirasi oleh postmodernisme dalam pendidikan adalah pergeseran peran guru dan peserta didik. Bagi gerakan postmodern, guru tidak lagi dipandang sebagai “dewa” yang memiliki segala kemampuan untuk mencerdaskan masyarakat. Gudang ilmu mengalami pergeseran, tidak lagi terpusat pada guru. Sebaliknya, guru berfungsi sebagai partner bagi anak didik dalam memperoleh pengetahuan, menciptakan hubungan yang lebih setara.

Sekolah juga mengalami redefinisi peran, tidak lagi menjadi institusi yang mendominasi, melainkan berfungsi sebagai “ruang” kondusif untuk komunikasi tanpa penguasaan, menjadi ruang komunikasi yang emansipatif bagi anak didik. Reformasi pendidikan di Indonesia secara umum juga mengarah pada perubahan paradigma dari pembelajaran yang lebih menekankan keaktifan guru/dosen menuju kepada pembelajaran yang lebih berpusat pada peserta didik. Prinsip-prinsip postmodern dapat menciptakan lingkungan pembelajaran yang lebih inklusif dan dialogis, di mana peserta didik memiliki kesempatan yang lebih besar untuk menyampaikan pandangannya dan terlibat aktif dalam proses pembelajaran.

Redefinisi peran ini merupakan konsekuensi langsung dan mendalam dari penolakan epistemologi postmodern terhadap kebenaran absolut dan otoritas tunggal. Hal ini menyiratkan hubungan pendidikan yang lebih demokratis dan memberdayakan, di mana pengetahuan dikonstruksi bersama daripada ditransmisikan secara unilateral. Pergeseran ini juga selaras dengan penekanan pada pemikiran aktif dan kritis, yang menjadi inti dari visi pendidikan postmodern. Jika postmodernisme menolak kebenaran absolut dan menantang otoritas, maka peran tradisional guru sebagai satu-satunya penyampai kebenaran menjadi tidak relevan. Hal ini secara logis mengarah pada pergeseran di mana guru menjadi fasilitator atau mitra, dan siswa menjadi peserta aktif dalam konstruksi pengetahuan. Ini adalah implikasi filosofis langsung pada hubungan pedagogis, mendorong lingkungan belajar yang lebih emansipatif.

Dampak dan Tantangan Postmodernisme dalam Pendidikan Indonesia

Penerapan prinsip-prinsip postmodernisme dalam pendidikan di Indonesia membawa serangkaian dampak, baik positif maupun negatif, serta menghadapi tantangan implementasi yang khas dalam konteks nasional. Untuk memberikan gambaran komprehensif, berikut adalah tabel yang merangkum dampak-dampak tersebut:

Tabel 2: Dampak Postmodernisme dalam Pendidikan Indonesia (Positif dan Negatif)

Aspek Dampak Positif Dampak Negatif/Tantangan
Inklusivitas & Dialog Lingkungan pembelajaran inklusif & dialogis; penghargaan perbedaan & pluralitas perspektif Potensi buta terhadap “kebusukan dalam narasi kecil”; kesulitan membedakan ideologi & etika universal
Kreativitas & Pemikiran Kritis Peningkatan kreativitas intelektual, pemikiran kritis, kolaborasi, komunikasi (C4) Potensi erosi individualitas; tantangan terhadap objektivitas & kebenaran mutlak
Relevansi Lokal Adaptasi dengan kebutuhan lokal; pengembangan pendidikan nasional sesuai daerah Tuntutan menyingkirkan cerita besar yang kontradiktif
Otoritas & Hierarki Pergeseran peran guru menjadi mitra; desentralisasi pendidikan; penolakan dogmatisme Inkonsistensi makna, ketidakjelasan bahasa; kesulitan jaminan kebenaran penafsiran 7
Kualitas Lulusan Peningkatan kualitas lulusan pesantren (studi kasus UU No. 18/2019) Potensi relativisme ekstrem yang mengikis nilai moral & epistemologi

Dampak Positif

Penerapan prinsip-prinsip postmodernisme telah memberikan kontribusi positif yang signifikan terhadap pendidikan di Indonesia:

  • Peningkatan Kreativitas dan Pemikiran Kritis: Postmodernisme mendorong pengembangan kreativitas intelektual secara bebas dan profesional. Dalam pendidikan seni, wacana dekonstruksi-postmodernisme membawa dampak positif yang luas terhadap proses kreatif artistik dan pembelajaran, khususnya pada aspek kemampuan berpikir kritis, kreativitas, kolaborasi, dan komunikasi (C4) peserta didik. Dampak positif ini menunjukkan bagaimana postmodernisme selaras dengan tujuan pendidikan kontemporer dalam mengembangkan keterampilan abad ke-21 dan mempromosikan kesetaraan serta relevansi. Ini menunjukkan sebuah keselarasan fungsional di mana cita-cita postmodern menawarkan solusi terhadap keterbatasan pendidikan modern.
  • Inklusivitas dan Dialogis: Prinsip-prinsip postmodern dapat menciptakan lingkungan pembelajaran yang lebih inklusif dan dialogis, di mana peserta didik memiliki kesempatan untuk menyampaikan pandangannya secara bebas. Hal ini juga mendorong penghargaan terhadap perbedaan dan pluralitas perspektif, menciptakan ruang yang lebih terbuka untuk diskusi dan pertukaran ide.
  • Relevansi Lokal dan Adaptasi: Postmodernisme memiliki dampak positif bagi pengembangan pendidikan nasional yang disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan daerah agar mampu dihadapkan pada wacana global. Desentralisasi pendidikan, yang diinspirasi oleh postmodernisme, secara eksplisit bertujuan untuk mengakomodasi kebutuhan lokal dan nilai-nilai sosial-kultural setiap daerah, menjadikan pendidikan lebih relevan dengan konteks masyarakat.
  • Penolakan Dogmatisme: Sebagai semangat zaman, postmodernisme diartikan sebagai keterbukaan untuk melihat hal-hal baru, yang berbeda, atau “yang lain,” sambil secara tegas menolak kecenderungan dogmatis dan ketaatan buta pada suatu otoritas tunggal. Hal ini mendorong lingkungan akademik yang lebih kritis dan reflektif.
  • Peningkatan Kualitas Lulusan (Studi Kasus Pesantren): Pengakuan otonomi pesantren melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 telah secara nyata meningkatkan kualitas lulusan, terbukti dari peningkatan jumlah santri yang mengikuti ujian kesetaraan untuk masuk universitas. Ini menunjukkan bahwa pendekatan yang menghargai keragaman model pendidikan dapat menghasilkan kualitas yang setara atau bahkan lebih baik.

Dampak Negatif dan Kritik

Meskipun memiliki dampak positif, penerapan postmodernisme juga menghadapi kritik dan potensi dampak negatif yang perlu diwaspadai:

  • Potensi Relativisme Ekstrem dan Kekaburan Nilai: Postmodernisme, meskipun sangat bersemangat mempromosikan narasi-narasi kecil, terkadang “buta” terhadap kenyataan bahwa banyak narasi kecil juga dapat mengandung “kebusukan” atau nilai-nilai yang merugikan. Postmodernisme juga seringkali tidak membedakan secara jelas antara ideologi dan prinsip etika universal. Relativisme yang diusungnya memandang nilai moral tidak universal, bersifat subjektif, dan irasional, berpotensi bertentangan dengan ajaran moral agama dan mengikis fondasi nilai bersama. Hal ini dapat menyebabkan kurangnya kenyataan mutlak, di mana segala yang ada dianggap hanya sebagai tanda-tanda tanpa makna yang pasti.
  • Inkonsistensi dan Ketidakjelasan Makna: Bahasa yang digunakan dalam wacana postmodernisme seringkali mengesankan ketidakjelasan makna dan inkonsistensi, bahkan banyak mengandung paradoks. Perubahan makna bahasa yang konstan, seperti yang diakui dalam postmodernisme, dapat menyulitkan jaminan kebenaran penafsiran pada suatu kurun waktu tertentu.
  • Erosi Individualitas: Berdasarkan pandangan postmodernisme, erosi gradual individualitas dapat muncul bersamaan dengan perkembangan kapitalisme dan rasionalitas, di mana kepribadian manusia cenderung menjadi sekadar “gaya hidup” yang mudah dikomodifikasi.
  • Tantangan terhadap Objektivitas Ilmu Pengetahuan: Postmodernisme secara fundamental menolak kebenaran mutlak dan objektivitas ilmu pengetahuan. Pengaruhnya dapat memiliki konsekuensi yang merusak dalam disiplin ilmu seperti sejarah, dengan menantang fondasi ideologis yang ada dan menyingkap relasi dialektis yang kompleks, yang bagi sebagian pihak dapat mengarah pada nihilisme epistemologis.
  • Kritik terhadap Tuntutan Kontradiktif: Tuntutan postmodernisme untuk menyingkirkan “cerita-cerita besar” demi “cerita kecil” atau lokal dianggap kontradiktif. Hal ini karena memaklumkan penolakan cerita besar itu sendiri adalah sebuah maklumat besar, yang pada dasarnya merupakan sebuah narasi besar tersendiri.

Tantangan paling signifikan terletak pada ketegangan inheren antara perayaan keragaman oleh postmodernisme dan potensinya untuk merusak prinsip-prinsip etika dan epistemologis yang mendasar. Hal ini menciptakan dilema bagi pendidikan: bagaimana mendorong pemikiran kritis dan pluralisme tanpa menyerah pada relativisme ekstrem yang dapat mengikis nilai-nilai bersama, pengetahuan objektif, atau akuntabilitas moral. Ini adalah area krusial yang membutuhkan diskusi yang bernuansa dalam penerapan postmodernisme.

Tantangan Implementasi di Konteks Indonesia

Meskipun prinsip-prinsip postmodernisme menawarkan potensi besar, implementasinya di Indonesia menghadapi berbagai tantangan praktis:

  • Kesenjangan Struktural dan Sosial-Ekonomi: Sistem pendidikan Indonesia masih bergulat dengan kesenjangan akses yang parah antara daerah perkotaan dan pedesaan, kualitas pendidikan yang belum merata, serta keterbatasan sarana prasarana di banyak wilayah. Biaya pendidikan yang belum terjangkau bagi semua lapisan masyarakat juga masih menjadi isu krusial dalam pengembangan sumber daya manusia. Tantangan struktural dan sosial-ekonomi yang ada ini dapat menghambat atau secara selektif membentuk implementasi prinsip-prinsip postmodern. Meskipun postmodernisme menganjurkan fleksibilitas dan adaptasi lokal, realitas praktis pembangunan yang tidak merata dan keterbatasan sumber daya mungkin membuat “pergeseran postmodern” secara penuh menjadi sulit atau tidak merata di seluruh nusantara.
  • Keterbatasan Pengembangan Penelitian: Penerapan penelitian postmodern di Indonesia belum berkembang secara maksimal, dan cenderung hanya berkembang pada disiplin ilmu tertentu, terutama pada disiplin ilmu pengetahuan alam. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman dan aplikasi konsep postmodernisme masih belum merata di seluruh bidang pendidikan.

Tokoh-tokoh Pendidikan Indonesia yang Relevan dengan Semangat Postmodernisme (Implisit)

Meskipun istilah “postmodernisme” mungkin belum secara eksplisit menjadi bagian dari diskursus pendidikan di Indonesia sejak awal, semangat dan prinsip-prinsipnya dapat ditemukan beresonansi dalam pemikiran beberapa tokoh pendidikan nasional terkemuka:

  • Bambang Ignatius Sugiharto: Beliau dikenal sebagai seorang tokoh terkemuka dalam filsafat kebudayaan dan paradigma postmodernisme di Indonesia. Dengan pengalaman mengajar lebih dari 35 tahun, beliau telah menjadi figur sentral dalam perkembangan filsafat di Indonesia, secara langsung memperkenalkan dan mengkaji pemikiran postmodern.
  • Ki Hajar Dewantara: Sebagai pendiri Taman Siswa, Ki Hajar Dewantara mengusung konsep pendidikan nasional yang sangat relevan dengan semangat postmodernisme, meskipun mendahului diskursus formalnya. Ia menekankan pentingnya kebudayaan Indonesia dan nilai-nilai nasional, menolak peniruan buta terhadap Barat. Ia memandang pendidikan sebagai sarana untuk membebaskan rakyat Indonesia dari kebodohan dan berjuang agar pendidikan menjadi hak setiap orang, tanpa memandang latar belakang atau status sosial. Ki Hajar Dewantara menekankan pentingnya pendidikan yang mendorong kemajuan individu tanpa terikat oleh pengaruh kolonial dan mendorong berpikir kritis. Pemikirannya mencakup pengembangan budi pekerti (karakter), pikiran (intelek), dan tubuh anak secara seimbang. Ia juga mengajarkan bahwa kebudayaan lokal, termasuk nilai-nilai Islam, adalah bagian integral dari identitas bangsa Indonesia. Filosofi Ki Hajar Dewantara, meskipun mendahului diskursus postmodern eksplisit, mewujudkan banyak prinsip intinya, terutama kritik terhadap pendidikan kolonial yang berpusat pada Barat dan penekanan pada relevansi budaya lokal, pengembangan holistik, dan pemikiran kritis. Hal ini menunjukkan adanya “semangat postmodern” pribumi dalam pemikiran pendidikan Indonesia, membuat diskusi filosofis saat ini menjadi penegasan kembali daripada impor yang sama sekali baru. Fokusnya pada “kebebasan dari pengaruh kolonial” secara langsung mencerminkan upaya dekonstruksi narasi dominan yang menjadi ciri postmodernisme.
  • Abdurrahman Wahid (Gus Dur): Dikenal sebagai salah satu tokoh besar Nahdlatul Ulama, Gus Dur memiliki pandangan progresif dalam dunia pendidikan. Gagasannya memberikan landasan yang kuat bagi pengembangan sistem pendidikan yang relevan dengan kebutuhan zaman tanpa kehilangan nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan. Ia mendukung inklusivitas dalam pendidikan dan integrasi ilmu agama dan ilmu umum. Penekanan Gus Dur pada inklusivitas dan integrasi ilmu agama dan ilmu umum secara langsung mencerminkan penolakan postmodernisme terhadap oposisi biner dan promosi pluralisme serta pemahaman holistik. Sikap progresifnya selaras dengan keinginan postmodern untuk bergerak melampaui sistem pengetahuan yang kaku dan terkotak-kotak menuju lanskap pendidikan yang lebih terintegrasi dan beragam.
  • A.R. Tilaar: Meskipun tidak secara eksplisit disebut sebagai pemikir postmodern, H.A.R. Tilaar telah merumuskan sebelas program reformasi sistem pendidikan nasional yang bertujuan menciptakan masyarakat terbuka, demokratis, dan pendidikan yang bermutu, serta menegakkan asas profesionalisme. Ide-ide reformisnya selaras dengan kebutuhan akan sistem yang dinamis dan responsif terhadap perubahan.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Postmodernisme, yang lahir sebagai kritik terhadap kegagalan modernisme dalam memenuhi janji-janji kemajuan sosial dan pengetahuan, telah secara signifikan memengaruhi paradigma pendidikan di Indonesia. Pengaruh ini terlihat dalam penolakan terhadap kebenaran universal, penekanan pada relativisme, dekonstruksi, pluralitas, dan kritik terhadap otoritas tunggal dalam pendidikan.

Implementasi nyata dari pemikiran postmodernisme dalam pendidikan Indonesia mencakup desentralisasi pendidikan melalui Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), pengembangan kurikulum bermuatan lokal yang relevan dengan konteks daerah, dan yang paling menonjol adalah pengakuan serta integrasi pendidikan pesantren ke dalam sistem pendidikan nasional melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019. Pergeseran peran guru dari otoritas tunggal menjadi fasilitator dan mitra bagi peserta didik, serta perubahan sekolah menjadi ruang komunikasi yang emansipatif, juga merupakan manifestasi penting dari semangat postmodern.

Dampak positif postmodernisme meliputi peningkatan kreativitas, pemikiran kritis, inklusivitas, dan kemampuan adaptasi pendidikan terhadap kebutuhan lokal yang beragam. Namun, terdapat juga dampak negatif dan kritik yang perlu diwaspadai, terutama terkait potensi relativisme ekstrem yang dapat mengikis nilai-nilai universal dan objektivitas, serta inkonsistensi makna yang dapat timbul dari penolakan terhadap narasi besar.

Menariknya, semangat postmodernisme juga beresonansi dengan pemikiran tokoh pendidikan nasional seperti Ki Hajar Dewantara yang menekankan pendidikan berbasis kebudayaan lokal dan kebebasan berpikir, serta Gus Dur yang mendukung inklusivitas dan integrasi ilmu. Hal ini menunjukkan bahwa ada fondasi filosofis pribumi yang kuat untuk ide-ide yang sejalan dengan postmodernisme di Indonesia.

Implikasi bagi Masa Depan Pendidikan di Indonesia

Masa depan pendidikan di Indonesia akan terus bergerak menuju model yang lebih fleksibel, adaptif, dan responsif terhadap kebutuhan lokal serta keberagaman masyarakat, menjauh dari pendekatan yang homogen dan sentralistik. Peran teknologi informasi akan semakin krusial dalam menyediakan akses pengetahuan yang tidak lagi terpusat pada institusi formal, sejalan dengan semangat desentralisasi sumber ilmu.

Pendidikan di era mendatang akan menuntut keseimbangan yang cermat antara mempertahankan nilai-nilai universal yang esensial untuk kohesi sosial dan identitas bangsa, dengan mempromosikan partikularisme lokal yang menghargai keberagaman budaya dan konteks. Tantangan utamanya adalah bagaimana menavigasi kompleksitas ini untuk menciptakan sistem pendidikan yang kuat, relevan, dan berkeadilan.

Rekomendasi untuk Kebijakan dan Praktik Pendidikan

Berdasarkan analisis di atas, beberapa rekomendasi dapat diajukan untuk kebijakan dan praktik pendidikan di Indonesia:

  • Pengembangan Kurikulum yang Berimbang: Penting untuk mendorong pengembangan kurikulum yang tidak hanya mengakomodasi kebutuhan lokal dan pluralitas perspektif, tetapi juga secara sadar memperkuat fondasi nilai-nilai etika universal dan objektivitas yang esensial. Hal ini krusial untuk mengatasi potensi kelemahan relativisme ekstrem yang dapat mengaburkan batas moral dan epistemologi. Kurikulum harus dirancang untuk menumbuhkan pemikiran kritis yang mampu membedakan antara keberagaman yang konstruktif dan relativisme yang merugikan.
  • Peningkatan Kapasitas Guru: Menginvestasikan lebih lanjut dalam pelatihan guru untuk membekali mereka dengan keterampilan yang diperlukan agar dapat berfungsi sebagai fasilitator dan mitra yang efektif bagi peserta didik. Guru harus mampu mendorong pemikiran kritis, kreativitas, dan kolaborasi peserta didik, sambil tetap menjaga arah dan tujuan pendidikan yang jelas, serta mengintegrasikan berbagai perspektif tanpa kehilangan fokus pada hasil pembelajaran yang terukur.
  • Pemerataan Akses dan Kualitas: Mengatasi kesenjangan akses dan kualitas pendidikan yang masih ada antara daerah perkotaan dan pedesaan, serta mengatasi keterbatasan sarana prasarana, adalah prasyarat fundamental. Ini krusial agar prinsip desentralisasi dan pluralisme yang diinspirasi postmodernisme dapat diterapkan secara merata dan efektif di seluruh wilayah Indonesia, memastikan bahwa semua anak bangsa memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan berkualitas.
  • Penelitian Lanjutan dan Diskusi Kritis: Mendorong penelitian lebih lanjut tentang dampak jangka panjang penerapan prinsip-prinsip postmodernisme dalam berbagai disiplin ilmu di Indonesia. Penting juga untuk secara terus-menerus mengkaji bagaimana menavigasi paradoks yang melekat pada pemikiran ini, memastikan bahwa fleksibilitas tidak mengarah pada kekaburan dan pluralisme tidak mengikis fondasi nilai bersama yang diperlukan untuk kohesi sosial dan kemajuan bangsa. Diskusi kritis yang berkelanjutan diperlukan untuk mengadaptasi postmodernisme secara konstruktif dengan konteks sosio-kultural Indonesia.

 

Daftar Pustaka :

  1. Seperti Apa Sistem Pendidikan Indonesia? Berikut Penjelasannya – UMSU, https://umsu.ac.id/berita/seperti-apa-sistem-pendidikan-indonesia-berikut-penjelasannya/
  2. Challenges of Indonesian Education – Kompas.id, https://www.kompas.id/baca/english/2024/05/01/en-tantangan-pendidikan-indonesia
  3. IMPLIKASI POSTMODERNISME DALAM PENDIDIKAN … – CORE, https://core.ac.uk/download/pdf/229880467.pdf
  4. MAKALAH ALIRAN FILSAFAT POSTMODERNISME – Repository Universitas Muhammadiyah Sidoarjo http://eprints.umsida.ac.id/7568/1/MAKALAH_ALIRAN_FILSAFAT_POSTMODERNISME%5B2%5D.pdf
  5. Postmodernisme.doc – Universitas Esa Unggul, https://lms-paralel.esaunggul.ac.id/pluginfile.php?file=%2F99817%2Fmod_resource%2Fcontent%2F1%2F12_7155_psi118_122018_doc%20poatmodernisme.doc
  6. Pengaruh Filsafat Postmodern Terhadap Pendidikan Bahasa https://proceedings.uinsa.ac.id/index.php/knm-bsa/article/download/2280/1871/
  7. Pengertian Postmodernisme, Sejarah, dan Tokoh-Tokohnya – Tirto.id, https://tirto.id/pengertian-postmodern-contoh-tokohnya-lyotard-hingga-baudrillard-gjDq
  8. POSTMODERNISME: IMPLIKASI ATAS PARADIGMA PENDIDIKAN INDONESIA https://www.jendelasastra.com/wawasan/artikel/postmodernisme-implikasi-atas-paradigma-pendidikan-indonesia
  9. PENDIDIKAN IPS ERA POSTMODERNISME – Ejournal2 Undiksha, https://ejournal2.undiksha.ac.id/index.php/PIPS/article/view/3362
  10. Tantangan Pendidikan di Era Postmodernisme – Semantic Scholar, diakses Juli 1, 2025, https://pdfs.semanticscholar.org/3310/d83e79057d3e66faec216fdd30e274dec191.pdf
  11. IMPLEMENTASI POST MODERNISME DALAM INTEGRASI  https://ejournal.iain-tulungagung.ac.id/index.php/legacy/article/download/10161/2712/
  12. Dampak dan Implikasi Wacana Dekonstruksi- Postmodernisme terhadap Proses Kreatif -Proceeding Universitas Negeri Semarang, https://proceeding.unnes.ac.id/index.php/snpasca/article/download/2090/1573
  1. PEMBAHASAN PENERAPAN PENELITIAN POSTMODERN DI INDONESIA DIDASARKAN ARTIKEL PENELITIAN KRITIS MODERN DAN POST MODERN https://journal.upgripnk.ac.id/index.php/edukasi/article/viewFile/219/218
  2. Dampak Negatif Postmodernisme terhadap Ilmu Sejarah – Sosialis Revolusioner –https://revolusioner.org/dampak-negatif-postmodernisme-terhadap-ilmu-sejarah/
  3. KRITIK PEMIKIRAN RELATIVISME MORAL YANG DIBANGUN DARI TEMUAN DI BIDANG NEUROSCIENCE – Semantic Scholar, diakses Juli 1, 2025, https://pdfs.semanticscholar.org/d014/952c5ad51cf2d663c59b05bda8a8c7f1433d.pdf
  4. Mengenal Post-Modern di Indonesia, Profil Prof. Bambang Ignatius Sugiharto. – Indonesiana, diakses Juli 1, 2025, https://www.indonesiana.id/read/181683/mengenal-post-modern-di-indonesia-profil-prof-bambang-ignatius-sugiharto
  5. TOKOH PENDIDIKAN ISLAM YANG BERPENGARUH DI INDONESIA https://journal.staittd.ac.id/index.php/at/article/download/297/243/898.
  6. Pemikiran Gus Dur: inklusivitas dalam pendidikan – Maccamigunani.id https://maccamigunani.id/pemikiran-gus-dur-inklusivitas-dalam-pendidikan/

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

CAPTCHA ImageChange Image

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.