Latar Belakang Historis Pendidikan Kolonial di Hindia Belanda
Pada pertengahan abad ke-19, kondisi pendidikan di Hindia Belanda didominasi oleh kebijakan yang secara fundamental bersifat dualistis dan diskriminatif. Sistem pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda, terutama pada era kepemimpinan Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch, secara eksplisit membagi akses pendidikan menjadi dua jalur terpisah. Jalur pertama ditujukan untuk warga Belanda dan keturunan Eropa, menawarkan kurikulum yang lebih tinggi dan komprehensif yang mencakup ilmu pengetahuan, filsafat, dan bahasa. Tujuannya adalah untuk mencetak tenaga ahli yang diperlukan untuk memperlancar roda pemerintahan dan eksploitasi kolonial. Sebaliknya, pendidikan untuk kaum pribumi, yang sebagian besar diabaikan, hanya diperuntukkan bagi kalangan bangsawan (priyayi). Tujuannya sangat pragmatis, yaitu untuk melatih pegawai administrasi tingkat rendah yang dibutuhkan oleh birokrasi kolonial. Akibatnya, sistem ini tidak dirancang untuk mendorong kemajuan intelektual atau mobilitas sosial masyarakat pribumi secara luas, melainkan untuk memperkuat stratifikasi sosial dan mempertahankan kendali pemerintah kolonial.
Dalam konteks historis yang sangat restriktif ini, peran Willem Iskander muncul sebagai sebuah anomali dan perjuangan yang luar biasa. Namanya, yang lahir dengan nama Sati Nasution, sering kali terlupakan dalam narasi besar sejarah pendidikan nasional Indonesia, yang lebih sering mengedepankan tokoh-tokoh dari era Politik Etis (Ethische Politiek) atau pergerakan nasional awal di abad ke-20. Kebijakan Politik Etis, yang baru dimulai pada tahun 1901, memang membuka pintu bagi berdirinya sekolah-sekolah untuk kaum pribumi, namun perjuangan Willem Iskander dimulai jauh lebih awal, tepatnya pada pertengahan abad ke-19. Ia merintis jalan untuk pendidikan pribumi modern puluhan tahun sebelum Ki Hajar Dewantara lahir, beroperasi di era di mana perjuangan semacam itu belum mendapatkan dukungan atau pengakuan formal. Oleh karena itu, Willem Iskander adalah seorang pionir sejati yang beroperasi di luar kerangka kebijakan kolonial yang ada, menjadikannya tokoh yang fundamental namun sering terabaikan dalam sejarah pencerahan bangsa Indonesia. Laporan ini bertujuan untuk menggali dan meninjau kembali kontribusi multidimensinya dalam dunia pendidikan, sastra, dan nasionalisme.
Biografi dan Pembentukan Pemikiran Sang Pendidik
Willem Iskander, yang terlahir dengan nama Sati Nasution pada tahun 1840 di Pidoli Lombang, Mandailing Natal, Sumatera Utara, berasal dari keluarga bangsawan klan Nasution. Latar belakangnya yang istimewa ini memberinya akses ke pendidikan formal yang langka bagi sebagian besar pribumi pada masanya. Ia mengawali pendidikannya di Holland Inlandsche School di Panyabungan pada tahun 1853, dan hanya dua tahun kemudian, pada usia 15 tahun, ia sudah dipercaya untuk menjadi guru di sekolah yang sama, menjadikannya guru termuda di sana. Pencapaian ini mengindikasikan bakat dan dedikasinya yang luar biasa terhadap dunia pengajaran sejak usia dini.
Pada tahun 1857, Sati Nasution mendapatkan kesempatan langka untuk melanjutkan studinya ke Belanda. Di sana, ia menempuh pendidikan di Vreswjik, kemudian di Oefenschool untuk asisten guru. Pengalamannya di Belanda bukan sekadar untuk mendapatkan sertifikat mengajar, melainkan sebuah proses transformasi pemikiran yang mendalam. Ia terekspos pada kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan cara pandang Barat yang berbeda dari lingkungannya di Hindia Belanda. Ia menyadari bahwa penguasaan bahasa dan pengetahuan Barat adalah kunci untuk membuka gerbang kemajuan bagi bangsanya. Pemikiran ini menandai sebuah pergeseran kesadaran yang signifikan. Sebagai seorang bangsawan, ia bisa saja memilih untuk mengukuhkan posisinya dalam struktur sosial kolonial. Namun, ia memilih jalur perjuangan yang lebih sulit: menggunakan pengetahuannya yang diperoleh dari Barat untuk memberdayakan kaum pribumi. Alih-alih mempertahankan privilese, ia justru mendedikasikan hidupnya untuk memajukan pendidikan bagi seluruh rakyat, sebuah semangat yang mencerminkan proto-nasionalisme yang progresif.
Hubungannya dengan pemerintah kolonial Belanda, yang membiayai pendidikannya dan mendukung proyek-proyeknya, menunjukkan sebuah dinamika yang kompleks dan penuh ambiguitas. Pemerintah kolonial mungkin melihat Willem Iskander sebagai figur yang dapat mereka manfaatkan untuk mencapai tujuan administratifnya, yaitu mencetak pegawai-pegawai yang terdidik dan setia. Rencananya untuk mendirikan sekolah guru mendapatkan dukungan dari Gubernur Jenderal, pejabat Belanda, serta elit lokal Mandailing. Ia bahkan memperoleh beasiswa kedua pada tahun 1874 untuk kembali ke Belanda, sebuah hal yang sangat langka bagi pribumi. Namun, di balik dukungan ini, Willem Iskander secara diam-diam menggunakan celah tersebut sebagai medan perjuangan intelektual. Ia mengajarkan bahasa Belanda kepada murid-muridnya bukan untuk asimilasi, melainkan agar mereka memiliki kemampuan untuk memahami dunia luar dan menghadapi kekuatan kolonial secara setara. Karyanya juga menyuarakan perlawanan terhadap kolonialisme. Dengan demikian, ia adalah seorang figur ambivalen yang menggunakan kerangka kolonial untuk menumbuhkan perlawanan, sebuah strategi hibridisasi yang cerdas di mana pengetahuan Barat digabungkan dengan kearifan lokal untuk menciptakan identitas yang baru dan berdaya.
Fondasi Pendidikan Modern: Revolusi di Kweekschool Tano Bato
Pada tahun 1862, setelah kembali dari Belanda, Willem Iskander mendirikan sekolah guru pribumi pertama yang diberi nama Kweekschool Voor inlandsche onderwijzer di Tano Bato, Mandailing Natal. Pendirian sekolah ini merupakan sebuah tindakan revolusioner, karena ia beroperasi di luar struktur pendidikan kolonial yang sentralistik. Di saat pemerintah kolonial masih membatasi pendidikan untuk kalangan elit, Willem Iskander memulai gerakan pencerahan dari sebuah daerah terpencil (periphery). Ini menunjukkan bahwa ia tidak menunggu arahan dari pusat kekuasaan, melainkan mengambil inisiatif untuk membangun fondasi pendidikan yang kuat di tingkat lokal. Keberanian ini membuktikan visinya yang jauh melampaui masanya, karena ia percaya bahwa kemajuan harus dimulai dari akar rumput.
Proses pendirian dan operasionalisasi sekolah ini tidaklah mudah. Willem Iskander menghadapi tantangan besar, termasuk keraguan dari masyarakat yang takut akan biaya pendidikan yang mahal. Untuk mengatasi kelangkaan murid ini, ia menunjukkan kegigihan yang luar biasa dengan mensosialisasikan gagasannya dari rumah ke rumah (door-to-door), meyakinkan masyarakat tentang pentingnya pendidikan bagi masa depan mereka. Berkat kegigihan dan kesabarannya, sekolahnya berhasil menarik murid tidak hanya dari Panyabungan, tetapi juga dari berbagai wilayah Mandailing lainnya. Dalam beberapa tahun, kerja kerasnya terbukti membuahkan hasil nyata, dengan banyak lulusan yang menjadi guru dan penulis yang sukses.
Kurikulum dan metode pengajaran di Kweekschool Tano Bato mencerminkan filosofi pendidikan yang inovatif. Willem Iskander menyusun kurikulum yang tidak hanya mengajarkan mata pelajaran tradisional, tetapi juga berhasil “memerangi ketakhayulan” yang marak pada masa itu. Ia mengadopsi metode sederhana dan menggunakan bahasa Mandailing dalam pengajarannya, menghubungkan materi pelajaran dengan kehidupan sehari-hari para muridnya. Pendekatan ini adalah sebuah sintesis luar biasa yang menggabungkan pendidikan humanistik dan pragmatis. Di satu sisi, ia menggunakan bahasa lokal untuk mempermudah pemahaman dan mendorong literasi kultural. Di sisi lain, ia juga memasukkan mata pelajaran modern seperti matematika, fisika, geografi lima benua, dan bahkan teori politik pemerintahan Belanda di Hindia Belanda. Ia bahkan secara khusus mengajarkan bahasa Belanda kepada murid-muridnya, dengan keyakinan bahwa ini akan memperluas cakrawala pemikiran mereka dan membekali mereka untuk menghadapi dunia luar. Dengan demikian, ia menciptakan model pendidikan yang jauh melampaui kurikulum kolonial yang kaku, melatih murid-muridnya menjadi individu yang terampil secara teknis sekaligus memiliki kesadaran kultural dan nasionalisme yang kuat.
Peran Sastra sebagai Media Perjuangan dan Pencerahan
Willem Iskander tidak hanya dikenal sebagai seorang pendidik, tetapi juga sebagai seorang sastrawan, penyair, dan penerjemah yang produktif. Perannya sebagai sastrawan adalah bagian integral dari perjuangan pendidikannya, di mana ia menggunakan karya tulis sebagai media untuk menyebarkan gagasan pencerahan dan nasionalisme. Karya sastranya yang paling terkenal adalah Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk, yang diterbitkan pada tahun 1872. Buku ini, yang ditulis dalam bahasa Mandailing, berfungsi sebagai kurikulum tersembunyi yang menyampaikan nilai-nilai penting kepada para muridnya di luar materi pelajaran formal. Ia bahkan menuliskan pemikirannya dalam syair-syair berbahasa Mandailing untuk dibagikan langsung kepada peserta didik.
Analisis mendalam terhadap Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk mengungkapkan kekayaan pesan yang terkandung di dalamnya. Karya ini tidak hanya berisi tentang nilai-nilai pendidikan dan moral, tetapi juga tentang nasionalisme, religiositas, kasih sayang, dan kritik terhadap kaum penjajah. Salah satu contoh paling mencolok adalah puisinya yang berjudul “Mandailing,” di mana ia secara eksplisit mengkritik kondisi masyarakat pribumi yang “lengah” meskipun tanahnya subur. Lebih dari itu, ia juga secara terang-terangan menunjuk “orang luar (kaum penjajah)” sebagai penyebab kemunduran dan penderitaan ekonomi masyarakat.
Meskipun berisi kritik tajam terhadap kolonialisme, penelitian pascakolonial (postcolonial discourse) menyebutkan bahwa karya Willem Iskander juga menunjukkan ambivalensi. Teks tersebut memuat wacana perlawanan sekaligus konstruksi kolonial. Hal ini dapat diinterpretasikan sebagai strategi komunikasi yang cerdas dan berisiko tinggi. Dengan mengemas kritiknya dalam bentuk sastra lokal, ia mampu menyembunyikan pesan subversif dari pantauan ketat pemerintah kolonial, sementara pesan tersebut tetap sangat jelas bagi audiens pribumi. Ini adalah manifestasi dari proto-nasionalisme yang berbeda dari perlawanan fisik; ia adalah sebuah perjuangan yang dilakukan melalui pena dan pemikiran, menanamkan kesadaran kolektif yang pada akhirnya menjadi benih bagi gerakan perlawanan selanjutnya. Dengan demikian, karya sastranya tidak hanya sekadar cerminan budaya, tetapi juga sebuah dokumen perlawanan intelektual yang efektif dan bernuansa.
Dampak, Warisan, dan Tempatnya dalam Sejarah Nasional
Dampak langsung dari Kweekschool Tano Bato sangatlah signifikan. Dalam waktu yang relatif singkat, sekolah ini berhasil menghasilkan lulusan yang tidak hanya menjadi guru, tetapi juga penulis dan pemikir penting di kawasan Tapanuli. Mereka melanjutkan tradisi intelektual yang dimulai oleh Willem Iskander, menjadi pelopor pendidikan di daerahnya masing-masing. Namun, kesuksesan institusi ini sangat bergantung pada sosok sentral Willem Iskander. Ketika ia kembali ke Belanda pada tahun 1874 untuk melanjutkan studinya, Kweekschool Tano Bato terpaksa ditutup sementara. Penutupan ini menciptakan vakum kepemimpinan yang tidak dapat diisi.
Tragedi terjadi pada tahun 1876 ketika Willem Iskander meninggal dunia di Amsterdam pada usia 36 tahun, kabarnya karena stres. Kematiannya yang prematur ini mengakhiri perjuangan pribadinya dan menyebabkan Kweekschool dipindahkan ke Padangsidempuan dan dipimpin oleh Christiaan van Ophuijsen. Peristiwa ini menunjukkan kerapuhan perjuangan pendidikan yang dibangun oleh seorang individu visioner. Meskipun sukses dalam skala lokal, gerakan tersebut belum memiliki fondasi institusional yang cukup kuat untuk bertahan tanpa kehadirannya. Kematiannya yang mendadak menghentikan momentum besar yang telah ia bangun.
Meskipun demikian, warisan intelektualnya tidak sirna. Kumpulan prosa dan syairnya, terutama Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk, menjadi “gudang inspirasi” bagi generasi sesudahnya. Pemikiran-pemikirannya terus bergema dan memengaruhi gerakan kebangsaan di Tapanuli Selatan pada awal abad ke-20, dipimpin oleh tokoh-tokoh seperti Buyung Siregar dan Muhiddin Nasution. Dengan kata lain, perjuangan pribadi Willem Iskander berubah menjadi aset kolektif bagi pergerakan nasionalisme di tingkat lokal. Meskipun namanya tidak setenar Ki Hajar Dewantara, yang menginspirasi pergerakan nasional yang lebih luas dan masif, fondasi pemikiran yang diletakkan Willem Iskander adalah bagian tak terpisahkan dari sejarah pencerahan dan perjuangan pendidikan di Indonesia.
Pengakuan atas jasanya pun datang di kemudian hari. Pemerintah Republik Indonesia memberikan penghargaan dengan menamai sebuah jalan dengan namanya. Pada tahun 1983, SMA Negeri Willem Iskander diresmikan di lokasi bersejarah berdirinya Kweekschool Tano Bato di Tano Bato. Peresmian ini adalah bentuk penghormatan nasional yang mengakui peran pionirnya dalam pendidikan guru di Tanah Air. Pemikirannya, yang mengintegrasikan pengetahuan modern dengan kearifan lokal, tetap relevan dalam konteks pendidikan kontemporer, terutama di tengah tantangan globalisasi dan krisis identitas.
Kesimpulan:
Laporan ini menunjukkan bahwa peran Willem Iskander dalam pendidikan Indonesia jauh melampaui sekadar mendirikan sebuah sekolah. Ia adalah seorang pendidik, pembaharu, dan sastrawan yang mengimplementasikan pemikirannya secara holistik. Ia merupakan contoh unik dari seorang tokoh proto-nasionalisme yang tidak memilih perlawanan militer, melainkan menggunakan pena dan buku sebagai senjata utamanya.
Yang paling menarik dari sosoknya adalah posisi paradoks dan ambivalennya. Ia memanfaatkan sistem pendidikan kolonial dan bahkan mendapatkan dukungan dari pemerintah Belanda , namun pada saat yang sama, ia menanamkan benih-benih perlawanan dan nasionalisme di antara murid-muridnya. Ia bukan sekadar agen kolonial, melainkan seorang subversif yang bekerja dari dalam, menggunakan pengetahuan dan bahasa kolonial untuk memberdayakan kaum pribumi.
Meskipun Kweekschool Tano Bato tidak bertahan lama setelah kematiannya, warisan pemikirannya tetap hidup. Ia adalah tokoh yang berjuang untuk pendidikan pribumi jauh sebelum Politik Etis dan pergerakan nasional di awal abad ke-20. Gagasannya tentang perpaduan pendidikan modern dan kearifan lokal, serta keyakinan bahwa pendidikan adalah kunci untuk memerangi ketakhayulan dan mencapai kemandirian, tetap menjadi relevan hingga hari ini. Oleh karena itu, Willem Iskander layak mendapatkan tempat terkemuka dalam sejarah pendidikan nasional sebagai pelopor pencerahan dan perjuangan intelektual yang unik.