Studi mengenai warisan kepresidenan di Indonesia memiliki signifikansi yang mendalam dalam memahami evolusi negara-bangsa. Setiap era kepemimpinan tidak hanya mencerminkan tantangan dan peluang zamannya, tetapi juga membentuk fondasi bagi perkembangan politik, ekonomi, sosial, dan budaya di masa depan. Analisis ini penting untuk mengidentifikasi kontinuitas kebijakan, diskontinuitas yang signifikan, serta dampak jangka panjang dari keputusan-keputusan strategis yang diambil oleh para pemimpin. Peran presiden dalam konteks sejarah Indonesia yang dinamis sangat kompleks, melibatkan konsolidasi kemerdekaan, pembangunan ekonomi, reformasi politik, dan penyesuaian terhadap dinamika global.
Untuk memberikan gambaran awal mengenai suksesi kepemimpinan, berikut adalah daftar presiden Republik Indonesia beserta masa jabatannya:
Tabel 1: Daftar Presiden Republik Indonesia dan Masa Jabatan
No. Urut | Nama Presiden | Masa Jabatan | Wakil Presiden |
1 | Soekarno | 1945–1967 | Mohammad Hatta (1945–1956) |
2 | Soeharto | 1967–1998 | Hamengkubuwono IX, Adam Malik, Umar Wirahadikusumah, Soedharmono, Try Sutrisno, B.J. Habibie |
3 | B.J. Habibie | 1998–1999 | – |
4 | Abdurrahman Wahid | 1999–2001 | Megawati Soekarnoputri |
5 | Megawati Soekarnoputri | 2001–2004 | Hamzah Haz |
6 | Susilo Bambang Yudhoyono | 2004–2014 | Muhammad Jusuf Kalla, Boediono |
7 | Joko Widodo | 2014–2024 | Jusuf Kalla, Ma’ruf Amin |
8 | Prabowo Subianto | 2024–2029 | Gibran Rakabuming |
Era Orde Lama: Soekarno (1945-1967)
Ir. Soekarno, yang akrab disapa Bung Karno, menjabat sebagai Presiden pertama Republik Indonesia dari 18 Agustus 1945 hingga 12 Maret 1967. Perannya sebagai Proklamator Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 dan Bapak Bangsa tidak hanya menandai berakhirnya penjajahan Belanda, tetapi juga menjadi simbol kebangkitan nasionalisme Indonesia. Kepemimpinannya dimulai di tengah revolusi fisik dan tantangan besar dalam mengkonsolidasikan kedaulatan negara yang baru merdeka.
Visi Ideologis: Pancasila dan Konsep NASAKOM
Soekarno adalah salah satu penggagas Pancasila sebagai dasar negara Indonesia, lima prinsip yang menjadi fondasi ideologis bangsa. Selain itu, ia juga memperkenalkan konsep NASAKOM, singkatan dari Nasionalisme, Agama, dan Komunisme. Gagasan ini bertujuan untuk menggalang kerukunan nasional di antara perbedaan ideologi yang ada di masyarakat. Konsep ini sebenarnya telah diungkapkan oleh Soekarno muda pada tahun 1926, meskipun dengan nama yang berbeda, yaitu Nasionalis, Islamis, dan Marxis. Tujuannya adalah menyatukan tiga kekuatan dominan dalam pergerakan nasional. Implementasi konsep ini terlihat dalam pembentukan Front Nasional dan penyelenggaraan Pendidikan Kilat Kader Nasakom untuk memasyarakatkan ajarannya.
Meskipun konsep NASAKOM dirancang untuk menyatukan kekuatan ideologis yang berbeda—Nasionalis, Agama (Islam), dan Komunis—dalam satu wadah politik, upaya ini secara inheren mengandung benih polarisasi dan ketegangan. Penyatuan ideologi yang secara fundamental bertentangan, terutama antara Komunisme dan Agama, menciptakan sebuah “bom waktu” politik. Konflik internal yang tidak terselesaikan ini pada akhirnya meledak, berkontribusi pada peristiwa Gerakan 30 September/PKI dan transisi kekuasaan, yang menunjukkan bahwa upaya sintesis ideologi yang terlalu ambisius dapat menghasilkan instabilitas jangka panjang.
Kebijakan Politik Dalam Negeri: Demokrasi Terpimpin dan Sentralisasi Kekuasaan
Soekarno adalah pencetus Demokrasi Terpimpin, sebuah sistem pemerintahan baru yang ia yakini lebih sesuai untuk kondisi Indonesia saat itu. Dalam kerangka ini, ia melakukan langkah-langkah yang memusatkan kekuasaan di tangannya. Salah satu kebijakan kontroversial adalah pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tahun 1960. DPR hasil Pemilu 1955 dianggap tidak sejalan dengan pemerintah setelah menolak Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) yang diajukan. DPR tersebut kemudian diganti dengan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR GR). Selain itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) juga pernah mengangkat Soekarno sebagai Presiden Seumur Hidup, sebuah keputusan yang tidak dikenal dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan pada akhirnya tidak berlaku.
Pembubaran DPR dan penetapan presiden seumur hidup mencerminkan pergeseran drastis dari demokrasi parlementer menuju otoritarianisme yang berpusat pada Soekarno. Langkah-langkah ini menunjukkan ketidakpercayaan Soekarno terhadap mekanisme demokrasi liberal yang dianggapnya tidak efektif dalam menghadapi tantangan besar bangsa saat itu. Meskipun tujuannya mungkin untuk mencapai stabilitas dan mempercepat jalannya revolusi, dampaknya adalah melemahnya institusi legislatif dan penguatan eksekutif yang berlebihan. Hal ini kemudian menjadi preseden bagi pemerintahan yang lebih otoriter di masa depan.
Kebijakan Luar Negeri: Konfrontasi dan Peran Global
Dalam kebijakan luar negerinya, Soekarno menunjukkan ambisi besar untuk kedaulatan dan kepemimpinan di kancah global, khususnya di negara-negara berkembang. Salah satu kebijakan yang menonjol adalah konfrontasi dengan Malaysia dari tahun 1963 hingga 1966, sebagai bentuk penentangan terhadap pembentukan negara Malaysia. Ia juga memimpin perjuangan pembebasan Irian Barat, sebuah masalah yang belum tuntas sejak Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949. Perjuangan ini dilakukan melalui berbagai strategi: konfrontasi politik (pembatalan KMB, pembentukan pemerintahan sementara Irian Barat, pemutusan hubungan diplomatik dengan Belanda), diplomasi (melalui Konferensi Colombo, Konferensi Asia Afrika, dan PBB), ekonomi (larangan maskapai Belanda, pembatalan utang, nasionalisasi perusahaan Belanda), dan militer (pembelian senjata dari Blok Timur, pembentukan Tri Komando Rakyat/Trikora, dan Komando Mandala). Indonesia juga dikenal sebagai salah satu penggagas Gerakan Non-Blok, menunjukkan perannya dalam politik global yang tidak memihak blok Barat maupun Timur. Namun, kebijakan luar negeri Soekarno juga mencakup keputusan kontroversial untuk keluar dari keanggotaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1965.
Politik luar negeri Soekarno yang konfrontatif dan berani, seperti konfrontasi dengan Malaysia dan keputusan keluar dari PBB, menunjukkan ambisi besar untuk menegaskan kedaulatan dan kepemimpinan Indonesia di Global South. Pendekatan ini, meskipun berhasil membangkitkan semangat nasionalisme yang tinggi, juga membawa risiko isolasi internasional dan ketidakstabilan domestik. Tindakan-tindakan ini menciptakan tekanan eksternal yang signifikan dan ketegangan ekonomi internal, yang menyoroti adanya pertukaran antara kebijakan luar negeri yang asertif dan kebutuhan akan stabilitas di dalam negeri.
Pembangunan Infrastruktur dan Simbol Nasional (“Proyek Mercusuar”)
Di bidang pembangunan, Soekarno meninggalkan banyak warisan infrastruktur yang menjadi simbol nasional. Beberapa di antaranya adalah Monumen Nasional (Monas) dengan hiasan emas berbentuk kobaran api dan koleksi diorama di dalamnya, Stadion Gelora Bung Karno (GBK), Hotel Indonesia (HI), serta Masjid Istiqlal yang didesain bersama Friedrich Silaban. Selain itu, ia juga membangun Patung Dirgantara atau Pancoran dan Patung Pembebasan Irian Barat yang menggantikan patung J.P. Coen di Lapangan Banteng. Infrastruktur strategis lainnya meliputi Jembatan Ampera di Palembang yang menghubungkan dua sisi Sungai Musi, Bendungan Ir. H. Juanda (Jatiluhur) di Purwakarta, dan Bandara Juanda di Sidoarjo. Pada masa kepemimpinannya, banyak sekolah dan universitas juga didirikan, termasuk Universitas Gadjah Mada. Proyek-proyek pembangunan besar ini sering disebut sebagai “Proyek Mercusuar,” yang bertujuan untuk menarik perhatian dunia internasional terhadap Ibu Kota Indonesia.
Kontroversi dan Transisi Kekuasaan: Peristiwa G30S/PKI dan Supersemar
Masa kepresidenan Soekarno berakhir di tengah gejolak politik yang ekstrem, terutama setelah peristiwa Gerakan 30 September/PKI pada tahun 1965. Peristiwa ini secara signifikan mengguncang stabilitas politik nasional. Puncaknya adalah dikeluarkannya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada 11 Maret 1966. Latar belakang Supersemar adalah situasi inflasi yang sangat tinggi, mencapai lebih dari 600%, dan permintaan dari Letnan Jenderal Soeharto untuk mengatasi konflik dan memulihkan keamanan. Isi Supersemar memberikan wewenang kepada Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu demi menjamin keamanan, ketenangan, dan stabilitas jalannya pemerintahan, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Presiden.
Dampak Supersemar sangat luas dan transformatif. Hal ini membuka jalan bagi pemberantasan komunisme di Indonesia, di mana Partai Komunis Indonesia (PKI) dinyatakan terlarang dan banyak anggotanya diberantas, bahkan secara massal, dengan keturunan PKI mendapatkan stigmatisasi. Supersemar juga mengubah arah kebijakan luar negeri Indonesia; pengaruh Blok Timur memudar, dan Indonesia mulai condong ke Blok Barat. Kebijakan luar negeri baru ini memungkinkan Indonesia untuk kembali menjadi anggota PBB setelah sebelumnya keluar pada tahun 1965. Yang paling krusial, Supersemar membuka jalan bagi Soeharto untuk naik menjadi presiden, menandai munculnya pemerintahan otoriter Orde Baru. Hingga saat ini, keberadaan naskah asli Supersemar masih menjadi kontroversi karena tidak pernah ditemukan.
Supersemar bukan sekadar penyerahan wewenang; peristiwa ini merupakan titik balik fundamental yang mengakhiri Orde Lama dan meletakkan dasar bagi rezim otoriter Orde Baru, dengan konsekuensi politik, ideologis, dan sosial yang mendalam. Dokumen ini, yang secara formal memberikan wewenang kepada Soeharto, digunakan sebagai instrumen untuk membubarkan PKI dan membersihkan unsur-unsur pro-Soekarno dari pemerintahan dan militer, secara efektif mentransformasi lanskap politik Indonesia. Meskipun Soekarno mungkin menganggapnya sebagai perintah teknis dan administratif, Soeharto dan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) mengesahkannya menjadi Ketetapan MPRS pada tahun 1967, menjadikannya alat legitimasi kekuasaan selama 32 tahun. Peristiwa ini menunjukkan bagaimana krisis politik dapat dimanfaatkan untuk konsolidasi kekuasaan dan perubahan rezim yang mendalam, dengan dampak jangka panjang pada hak asasi manusia dan arah politik luar negeri.
Warisan Abadi dan Dampak Jangka Panjang
Warisan Soekarno tetap hidup hingga hari ini. Ia dikenang sebagai Bapak Proklamator dan simbol perjuangan nasionalisme yang mampu membangkitkan rasa persatuan di kalangan rakyat Indonesia. Sebagai salah satu penggagas Pancasila, ia meletakkan fondasi ideologis negara. Infrastruktur monumental seperti Monas, GBK, Masjid Istiqlal, dan Jembatan Ampera masih berdiri sebagai bukti visinya. Visi Soekarno tentang Indonesia yang merdeka, berdaulat, dan aktif di kancah global terus menjadi inspirasi, meskipun pendekatannya kadang membawa risiko isolasi internasional dan ketidakstabilan domestik.
Era Orde Baru: Soeharto (1967-1998)
Soeharto menjabat sebagai Presiden kedua Indonesia dari 12 Maret 1967 hingga 21 Mei 1998. Masa pemerintahannya yang dikenal sebagai Orde Baru, dimulai setelah periode krisis darurat dan pertumpahan darah pasca-G30S/PKI. Era ini ditandai oleh konsolidasi kekuasaan yang kuat dan fokus pada pembangunan ekonomi.
Konsolidasi Kekuasaan dan Stabilitas Politik
Pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto didasarkan pada sistem yang otoriter, yang oleh para kritikus sering disebut sebagai “demokrasi terpimpin” karena kekuasaan dan kontrol sangat terpusat pada presiden dan kelompok elit politik yang mendukungnya. Sistem ini menghasilkan kebijakan-kebijakan yang mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi, seperti pembatasan kebebasan berpendapat dan berorganisasi.
Salah satu pilar utama otoritarianisme Orde Baru adalah kebijakan Dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), yang meliputi TNI dan kepolisian. Kebijakan ini memberikan peran ganda kepada ABRI, yaitu sebagai kekuatan pertahanan keamanan dan sebagai kekuatan sosial politik. Konsep Dwifungsi ABRI adalah strategi politik fundamental yang memungkinkan militer terlibat dalam semua tingkatan pemerintahan dan masyarakat. Ini memberikan Soeharto kekuatan yang tak tertandingi untuk menetralkan perbedaan pendapat internal dan mengendalikan oposisi. Meskipun menciptakan stabilitas politik yang diperlukan untuk pembangunan ekonomi, hal ini juga menghambat perkembangan demokrasi, membatasi kebebasan sipil, dan menciptakan ketergantungan pada kekuatan militer dalam urusan sipil.
Kebijakan Ekonomi: Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dan Liberalisasi Ekonomi
Fokus utama pemerintahan Soeharto adalah pembangunan ekonomi, yang membuatnya dijuluki “Bapak Pembangunan Indonesia”. Program utamanya adalah Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), sebuah satuan perencanaan yang dilaksanakan selama 30 tahun masa jabatannya, menerapkan pembangunan terpusat untuk ekonomi makro dan perkebunan. Terdapat enam periode Repelita (I-VI), dengan tujuan utama membangun infrastruktur Indonesia. Repelita I (1969-1974) secara keseluruhan berhasil dilaksanakan sesuai target, bertujuan meningkatkan taraf hidup rakyat dan meletakkan dasar pembangunan tahap selanjutnya.
Untuk menarik investasi dan memajukan ekonomi, pemerintah Orde Baru mengesahkan Undang-Undang Penanaman Modal Asing (PMA) pada tahun 1967 dan Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) pada tahun 1968. Pada tahun 1967, dibentuk juga Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI), sebuah proyek pembiayaan bersama oleh kreditor non-komunis internasional untuk liberalisasi ekonomi Indonesia.Pemerintah juga memprioritaskan pembayaran utang luar negeri yang ditinggalkan oleh pemerintahan Orde Lama.
Kebijakan ekonomi Orde Baru yang berorientasi pada stabilitas, investasi asing, dan pembangunan infrastruktur berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Ini berhasil menstabilkan ekonomi yang kacau pasca-Orde Lama dan mendorong pertumbuhan yang signifikan, sehingga Soeharto dijuluki “Bapak Pembangunan”. Namun, model pembangunan yang terpusat dan berorientasi pada modal asing ini juga dituding menyebabkan kesenjangan ekonomi yang besar, ketidakadilan sosial, dan eksploitasi sumber daya alam. Selain itu, model ini menciptakan ketergantungan pada utang luar negeri, yang menjadi rentan saat krisis moneter Asia pada tahun 1997.
Kebijakan Sosial: Kontrol dan Pembangunan Sumber Daya Manusia
Di bidang sosial, Orde Baru meluncurkan beberapa program penting. Program Keluarga Berencana (KB) dengan jargon “Dua Anak Cukup” berhasil mengendalikan pertumbuhan penduduk Indonesia. Pemerintah juga membangun Sekolah Inpres (Instruksi Presiden) secara masif, yang menghasilkan peningkatan rasio pendaftaran sekolah dasar hingga 90% pada tahun 1983 dan hampir menghilangkan kesenjangan pendidikan antara anak laki-laki dan perempuan.
Selain itu, Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) diwajibkan sebagai program indoktrinasi ideologi Pancasila bagi seluruh lapisan masyarakat, mulai dari siswa sekolah dasar hingga pegawai negeri. P4 menekankan loyalitas politik di atas keahlian dan bertujuan untuk membatasi politik dalam batas-batas yang ditentukan oleh pemerintah, dengan kurikulum yang berfokus pada hafalan dan pengulangan.
Kebijakan Politik Dalam Negeri: Kontrol dan Stabilitas
Untuk menjaga stabilitas politik, Orde Baru melakukan serangkaian kebijakan kontrol yang ketat. Partai Komunis Indonesia (PKI) dibubarkan, dinyatakan terlarang, dan diberantas secara menyeluruh. Pemerintah juga melakukan penyederhanaan partai politik dari sekitar 10 partai menjadi hanya tiga: Golongan Karya (Golkar), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Golkar, yang didominasi pemerintah, selalu memenangkan pemilihan umum pada masa Orde Baru. Kebijakan lain yang diterapkan adalah Asas Tunggal Pancasila, yang mewajibkan semua partai politik dan organisasi kemasyarakatan untuk mengadopsi Pancasila sebagai satu-satunya asas mereka. Untuk mewujudkan ketertiban dan keamanan, dibentuk juga Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) setelah peristiwa G30S. Kebebasan berpendapat sangat dibatasi melalui pengawasan media massa, sensor informasi, dan Undang-Undang Organisasi Masyarakat (UU Ormas) yang memungkinkan pembubaran gerakan sosial dan politik yang dianggap mengancam pemerintah. Sentralisasi kekuasaan juga menjadi ciri khas, di mana keputusan politik terpusat pada presiden dan elit pendukungnya, mengakibatkan kurangnya partisipasi politik masyarakat umum.
Kebijakan Luar Negeri: Normalisasi dan Peran Regional
Di bidang hubungan luar negeri, Soeharto melakukan normalisasi hubungan yang sempat tegang di era sebelumnya. Indonesia kembali menjadi anggota PBB pada 28 September 1966, setelah sebelumnya keluar pada tahun 1965. Hubungan dengan Malaysia dan Singapura diperbaiki melalui pembentukan himpunan persahabatan dan kerja sama diplomatik. Hubungan dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRC) juga diperbaiki setelah ketegangan ideologis sebelumnya. Indonesia menjadi salah satu pendiri Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) pada tahun 1967, yang bertujuan untuk kerja sama regional. Kebijakan politik luar negeri bebas aktif tetap dipertahankan, di mana Indonesia berperan aktif dalam urusan internasional tanpa menjadi bagian dari blok politik tertentu. Selain itu, pada masa pemerintahannya, Timor Timur berintegrasi ke dalam wilayah Indonesia pada tahun 1976.
Kontroversi: Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), Otoritarianisme, Pelanggaran HAM
Meskipun Orde Baru berhasil dalam pembangunan ekonomi dan menciptakan stabilitas politik, warisannya juga mencakup sistem Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang mengakar, otoritarianisme yang menekan kebebasan sipil, dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). KKN merajalela, dengan berbagai skandal seperti salah urus di Pertamina di bawah pimpinan Ibnu Sutowo yang membebani utang negara hingga 10 miliar dolar AS, serta penyalahgunaan dana oleh Bulog di bawah pimpinan Jenderal Achmad Tirtosudiro. Upaya pemberantasan korupsi, seperti pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), Komite Empat, dan Operasi Tertib (Opstib), gagal membuahkan hasil signifikan karena adanya intervensi politik dan lemahnya posisi komite.
Kontroversi terkait KKN juga terlihat dari Ketetapan MPR (Tap MPR) No. XI/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, yang secara eksplisit menyebut mantan Presiden Soeharto. Tap MPR ini sulit dicabut karena perubahan sistem ketatanegaraan pasca-amandemen UUD 1945, dan faktanya tetap berlaku dan efektif sebagai bentuk komitmen pemberantasan KKN. Di sisi lain, pemerintahan Orde Baru juga dikritik karena pelanggaran HAM, termasuk pembatasan kebebasan berpendapat dan berorganisasi, dominasi militer dalam pemerintahan, dan penggunaan polisi politik untuk menekan aktivis dan oposisi.
Keberhasilan pembangunan ekonomi dan stabilitas politik yang dicapai Orde Baru adalah sisi terang dari era ini. Namun, harga yang dibayar adalah sistem yang sangat sentralistik dan otoriter, di mana kekuasaan terkonsentrasi dan KKN merajalela. Kegagalan pemberantasan KKN dan pembatasan kebebasan menunjukkan bahwa stabilitas yang diciptakan bersifat semu, dibangun di atas penindasan dan korupsi. Kontroversi Tap MPR No. XI/1998 adalah bukti nyata bagaimana warisan KKN ini masih menjadi beban historis dan tantangan bagi upaya reformasi. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi tanpa tata kelola yang baik dan penghormatan HAM dapat menciptakan fondasi yang rapuh, yang pada akhirnya memicu krisis multidimensional dan tuntutan reformasi.
Warisan Pembangunan dan Tantangan Demokrasi
Warisan Soeharto mencakup pembangunan infrastruktur yang masif, stabilitas politik dan ekonomi jangka panjang (meskipun dengan biaya), serta sistem pendidikan dasar yang lebih merata. Namun, era ini juga meninggalkan tantangan besar berupa KKN yang mengakar, budaya otoritarianisme, dan pelanggaran HAM yang belum terselesaikan, yang menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintahan selanjutnya.
Era Reformasi Awal: B.J. Habibie (1998-1999)
B.J. Habibie menjabat sebagai Presiden ketiga Indonesia dari 21 Mei 1998 hingga 20 Oktober 1999. Ia mengambil alih kepemimpinan dari Soeharto di tengah krisis ekonomi yang parah, yang merupakan tugas berat untuk memulihkan kondisi Indonesia.
Kebijakan Ekonomi: Penanganan Krisis Moneter dan Restrukturisasi Perbankan
Saat Habibie menjabat, Indonesia masih dilanda krisis ekonomi yang berat sejak tahun 1997, ditandai dengan penurunan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, inflasi tinggi, dan kontraksi Produk Domestik Bruto (PDB) hingga -13.13% pada tahun 1998. Untuk mengatasi krisis ini, pemerintahannya melakukan berbagai reformasi ekonomi dan restrukturisasi keuangan. Kebijakan-kebijakan yang diterapkan meliputi rekapitalisasi perbankan, rekonstruksi ekonomi, likuidasi beberapa bank bermasalah, dan upaya peningkatan nilai tukar rupiah hingga di bawah Rp 10.000,- per dolar AS. Pemerintah juga mengimplementasikan reformasi ekonomi yang disyaratkan oleh Dana Moneter Internasional (IMF). Dampak dari kebijakan ini cukup positif, terlihat dari peningkatan pertumbuhan ekonomi populasi dari sebelumnya -7.7% menjadi 5%. Selain itu, ada kebijakan privatisasi dengan melepas beberapa aset Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ke sektor swasta.
Kebijakan ekonomi Habibie yang berani dan pragmatis dalam menghadapi krisis moneter berhasil menstabilkan ekonomi dalam waktu singkat, menunjukkan kapasitas kepemimpinan yang kuat di tengah turbulensi. Langkah-langkah seperti rekapitalisasi bank, likuidasi bank bermasalah, dan implementasi reformasi IMF adalah keputusan yang sangat sulit namun krusial untuk memulihkan kepercayaan pasar dan menstabilkan nilai tukar rupiah. Keberhasilan ini, meskipun singkat, menunjukkan bahwa Habibie memiliki pemahaman teknokratis yang mendalam dan keberanian politik untuk mengambil keputusan yang tidak populer demi kesehatan ekonomi jangka panjang.
Reformasi Politik: Fondasi Demokrasi Baru
Masa pemerintahan Habibie menjadi peletak dasar reformasi politik yang signifikan. Ia memberikan kebebasan kepada pers dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, sebuah kebijakan yang membalikkan praktik pembungkaman pers di era Orde Baru. Untuk mewujudkan pemilu yang demokratis, ia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Pemilu, yang menghasilkan partisipasi 48 partai politik dalam pemilu tahun 1999, menjadikannya pemilu legislatif yang paling demokratis dan bebas.
Mengingat luasnya wilayah Indonesia dan keanekaragaman budaya serta karakteristiknya, Habibie juga memberlakukan kebijakan otonomi daerah dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Kebijakan ini bertujuan untuk meredakan gejolak disintegrasi yang pernah terjadi. Selain itu, sebagai respons terhadap kasus kekerasan seksual terhadap wanita, terutama etnis Tionghoa, pada Mei 1998, ia membentuk Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan) melalui Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1998. Ia juga menghapuskan larangan terhadap partai politik selain Golkar, membuka jalan bagi sistem multipartai di Indonesia.
Reformasi politik yang diinisiasi Habibie, terutama kebebasan pers, pemilu demokratis, dan otonomi daerah, secara fundamental mengubah lanskap politik Indonesia dari otoritarianisme menjadi demokrasi multipartai, meskipun dalam waktu yang sangat singkat. Kebijakan-kebijakan seperti UU Pers, UU Pemilu, dan UU Otonomi Daerah adalah langkah-langkah revolusioner yang secara langsung membongkar struktur otoriter Orde Baru. Kebebasan pers membuka ruang kritik, pemilu demokratis memungkinkan partisipasi politik yang luas, dan otonomi daerah mendesentralisasi kekuasaan. Ini menunjukkan bahwa Habibie, meskipun merupakan bagian dari sistem Orde Baru, memiliki visi yang jelas untuk transisi menuju demokrasi, bahkan jika itu berarti mengorbankan posisinya sendiri.
Kontroversi: Jajak Pendapat Timor Timur dan Dampaknya
Salah satu keputusan paling kontroversial pada masa pemerintahan Habibie adalah pengadaan jajak pendapat di Timor Leste pada tahun 1999, yang akhirnya menyebabkan wilayah tersebut memisahkan diri dari Indonesia dan menjadi negara merdeka. Keputusan ini diambil sebagai respons terhadap desakan internasional dan menawarkan dua opsi kepada rakyat Timor Timur: otonomi khusus (tetap menjadi bagian Indonesia) atau merdeka. Meskipun sempat mendapat penolakan dari pihak militer Indonesia, keputusan tersebut tetap dilaksanakan.
Pasca pengumuman hasil jajak pendapat, terjadi kerusuhan dan kekerasan di Timor Timur, yang menimbulkan dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat. Meskipun keputusan Habibie untuk mengadakan jajak pendapat Timor Timur memenuhi tuntutan internasional dan prinsip hak asasi manusia, hal ini merupakan keputusan politik yang sangat berisiko dan kontroversial dengan konsekuensi geopolitik dan kemanusiaan yang signifikan bagi Indonesia. Keputusan ini menunjukkan dilema antara memenuhi prinsip universal tentang penentuan nasib sendiri dan menjaga stabilitas domestik, serta kompleksitas warisan kolonial yang belum tuntas.
Warisan Reformasi dan Fondasi Demokrasi
Meskipun masa jabatannya singkat, B.J. Habibie meninggalkan warisan penting sebagai peletak dasar reformasi politik dan ekonomi di Indonesia. Ia berhasil memulihkan citra Indonesia di mata negara-negara lain melalui kunjungan ke luar negeri dan membuka peluang kerja sama. Kebijakan-kebijakannya membuka keran kebebasan dan partisipasi politik, menjadi fondasi bagi transisi demokrasi Indonesia.
Era Reformasi: Abdurrahman Wahid (1999-2001)
Abdurrahman Wahid, yang akrab disapa Gus Dur, menjabat sebagai Presiden keempat Indonesia dari 20 Oktober 1999 hingga 23 Juli 2001. Kepemimpinannya menandai periode penting dalam transisi demokrasi Indonesia.
Visi Pluralisme dan Hak Minoritas: Pengakuan Konghucu
Gus Dur dikenal luas sebagai “Bapak Pluralisme” Indonesia karena komitmennya yang kuat dalam membela hak-hak kaum minoritas dan mengusung kemajemukan. Baginya, pluralisme berarti menghargai adanya pluralitas sebagai Sunnatullah (ketentuan Tuhan). Ia secara tegas membedakan pluralisme versinya dari pemahaman umum yang menyamaratakan semua agama; bagi Gus Dur, setiap agama tetaplah paling benar bagi penganutnya, namun kesadaran akan kemajemukan beragama sangat penting dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Pembelaannya terhadap kelompok minoritas didasari oleh prinsip keadilan.
Salah satu manifestasi nyata dari visinya adalah pengakuan terhadap etnis Tionghoa dan agama Konghucu. Setelah kerusuhan tahun 1998, Gus Dur mengakui etnis Tionghoa memiliki kedudukan yang sama dengan etnis-suku lainnya sebagai warga negara yang sah. Ia mencabut Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 tentang agama dan adat istiadat Tionghoa, yang sebelumnya membatasi hak-hak mereka. Pencabutan Inpres ini membuka pintu bagi etnis Tionghoa untuk merayakan Tahun Baru Imlek secara terbuka, dan pada tahun 2000, ia secara resmi mengakui Konghucu sebagai agama keenam di Indonesia.
Visi pluralisme Gus Dur bukan sekadar toleransi pasif, melainkan pengakuan aktif terhadap keberagaman sebagai sunatullah dan fondasi keadilan sosial. Hal ini direalisasikan melalui kebijakan yang berpihak pada minoritas dan menantang pemahaman agama yang kaku. Pengakuan Konghucu dan pencabutan Inpres 14/1967 adalah tantangan langsung terhadap ideologi negara yang cenderung monolitik di era Orde Baru. Tindakan ini menunjukkan pemahaman mendalam tentang keberagaman Indonesia dan kesediaan untuk mengimplementasikan kebijakan yang mungkin kontroversial tetapi esensial untuk keadilan sosial dan persatuan nasional.
Upaya Demokratisasi dan Reformasi Militer
Dalam upaya demokratisasi, Gus Dur membuka ruang partisipasi politik yang lebih luas, memberikan kebebasan pers, dan kebebasan berserikat. Ia juga memiliki ambisi untuk mereformasi militer (TNI) dan mengurangi pengaruh politiknya, yang telah menjadi ciri khas di era Orde Baru.
Tantangan Politik dan Instabilitas
Meskipun pemerintahan Gus Dur membawa harapan baru bagi demokratisasi setelah Orde Baru, masa jabatannya juga ditandai oleh berbagai tantangan dan instabilitas politik. Kondisi ekonomi Indonesia mulai pulih dari krisis, namun masih banyak hambatan yang harus diatasi. Pemerintahan Gus Dur terganggu oleh konflik politik yang mengganggu ekonomi negara , serta konflik horizontal di beberapa wilayah seperti Maluku dan Poso yang menunjukkan instabilitas keamanan internal. Ketidaksepakatan dari beberapa pihak terhadap kebijakannya juga menjadi faktor penyebab instabilitas. Hubungan Gus Dur dengan TNI juga memburuk selama masa kepresidenannya.
Visi reformasi dan pluralisme Gus Dur yang progresif seringkali berbenturan dengan realitas politik pasca-Orde Baru yang masih rapuh dan resistensi dari elit lama. Upaya-upayanya untuk membongkar sisa-sisa struktur kekuasaan Orde Baru dan gaya politiknya yang tidak konvensional menciptakan gesekan signifikan dengan parlemen dan militer. Hal ini menyoroti ketegangan inheren antara reformasi radikal dan kebutuhan akan stabilitas politik selama masa transisi demokrasi yang rapuh, yang pada akhirnya berkontribusi pada instabilitas dan pemakzulannya.
Kronologi dan Kontroversi Pemakzulan
Puncak dari instabilitas politik ini adalah pemakzulan Gus Dur sebagai presiden pada 23 Juli 2001. Kronologi pemakzulan dimulai dengan dikeluarkannya memorandum pertama oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 1 Februari 2001, yang disusul oleh memorandum kedua pada 30 April 2001. Memorandum kedua ini juga disertai dengan permintaan DPR kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk mengadakan sidang khusus.
Menanggapi upaya ini, Abdurrahman Wahid mengeluarkan dekret yang menyatakan pembubaran MPR/DPR dan penangguhan Partai Golkar, serta menetapkan pemilu dalam waktu satu tahun. Namun, dekret tersebut tidak mendapat dukungan dari berbagai pihak. Pada 23 Juli 2001, pukul 15:00 WIB, MPR mengadakan rapat paripurna untuk pemungutan suara pemakzulan Wahid. Hasilnya, 591 suara mendukung pemberhentian Abdurrahman Wahid sebagai presiden, dan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri ditunjuk sebagai presiden pengganti.
Pemakzulan Gus Dur menjadi kontroversial. Pada 22 Agustus 2021, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Indonesia, Mahfud MD, menyatakan bahwa pemakzulan Wahid adalah tindakan yang inkonstitusional dan melanggar hukum, tidak sesuai dengan Ketetapan MPR No. III tahun 1978 tentang Kedudukan dan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara. Versi Rizal Ramli juga menyebutkan bahwa Megawati Soekarnoputri sempat menyatakan tidak akan membela Gus Dur jika ia tidak meminta maaf atas perkataannya.
Pemakzulan Gus Dur merupakan puncak dari ketegangan antara visi reformasi radikal dan konsolidasi kekuatan politik pasca-Orde Baru. Peristiwa ini menunjukkan kerentanan institusi demokrasi yang baru terbentuk terhadap konflik elit dan interpretasi konstitusional. Meskipun ada alasan formal yang mendasari pemakzulan (konflik dengan DPR), pernyataan Mahfud MD tentang inkonstitusionalitas dan narasi Rizal Ramli mengindikasikan adanya permainan politik yang lebih dalam. Ini merefleksikan perjuangan antara kekuatan lama dan baru, serta tantangan dalam membangun sistem checks and balances yang kuat di tengah transisi demokrasi.
Warisan Gus Dur sebagai Bapak Pluralisme
Warisan utama Gus Dur adalah pengukuhan nilai-nilai pluralisme dan toleransi di Indonesia. Ia dikenang atas pembelaannya terhadap kaum minoritas dan upayanya mengubah pemahaman agama dari formalistik menjadi lebih substansial dan relevan dalam kehidupan masyarakat beragama.
Era Reformasi: Megawati Soekarnoputri (2001-2004)
Megawati Soekarnoputri menjabat sebagai Presiden kelima Indonesia dari 23 Juli 2001 hingga 20 Oktober 2004. Ia menggantikan Abdurrahman Wahid setelah pemakzulannya. Masa pemerintahannya berfokus pada konsolidasi stabilitas politik dan ekonomi pasca-krisis dan transisi yang bergejolak.
Konsolidasi Stabilitas Politik dan Ekonomi
Di bawah kepemimpinan Megawati, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang stabil dan tinggi, meskipun masih menghadapi berbagai tantangan seperti korupsi dan kelemahan infrastruktur. Pemerintahannya berupaya menciptakan stabilitas setelah periode yang penuh gejolak politik.
Kebijakan Politik: Pemilu Langsung dan Konsolidasi Lembaga Negara
Pemerintahan Megawati berperan krusial dalam meletakkan fondasi institusional demokrasi pasca-Reformasi. Ia memperkenalkan sistem kepartaian dan pemilu yang baru, termasuk pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, yang merupakan tonggak sejarah demokrasi Indonesia. Selain itu, ia menerapkan mekanisme Pergantian Antarwaktu (Recall) bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang dilakukan pada masanya juga memuat upaya untuk menyamaratakan lembaga-lembaga negara demi mendorong demokratisasi lembaga negara.
Kebijakan Megawati untuk memperkenalkan sistem pemilu baru dan pemilihan presiden/wakil presiden secara langsung adalah langkah monumental dalam konsolidasi demokrasi Indonesia. Ini menunjukkan komitmen untuk mentransformasi sistem politik dari model perwakilan tidak langsung menjadi demokrasi yang lebih partisipatif, langsung, dan akuntabel kepada rakyat. Perubahan UUD 1945 di eranya juga memperkuat lembaga-lembaga negara, menciptakan kerangka kerja yang lebih stabil untuk pemerintahan demokratis.
Pemberantasan Korupsi: Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Salah satu warisan paling signifikan dari pemerintahan Megawati adalah komitmennya dalam pemberantasan korupsi. Ia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), yang menjadi lembaga independen dengan kewenangan luar biasa untuk memberantas korupsi. Selain itu, ia juga mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) tentang pembentukan panitia seleksi calon pimpinan KPK.
Pembentukan KPK di era Megawati adalah respons terhadap masalah korupsi yang mengakar sejak Orde Lama dan Orde Baru. Hal ini merupakan pengakuan bahwa institusi hukum yang ada, seperti kejaksaan dan kepolisian, tidak cukup efektif dalam memberantas korupsi. Pembentukan KPK menjadi langkah strategis untuk membangun lembaga yang independen dan memiliki kewenangan luar biasa untuk memerangi KKN yang telah menjadi kronis di Indonesia. Keberadaan KPK menjadi salah satu warisan paling signifikan dari era Megawati dalam upaya membangun tata kelola pemerintahan yang bersih.
Kebijakan Ekonomi dan Pendidikan
Di bidang ekonomi, pemerintahannya melakukan reformasi sektor keuangan, deregulasi, dan reformasi perpajakan untuk meningkatkan investasi. Ia juga fokus pada pengembangan sektor pertanian melalui program padi dan jagung serta revitalisasi BULOG. Selain itu, kebijakan imbal beli diterapkan untuk mendorong peningkatan ekspor non-migas, yang berhasil meningkatkan volume ekspor non-migas hingga 6% atau senilai 50,7 miliar dolar AS. Di sektor pendidikan, pemerintah membentuk program Pendidikan untuk Semua (PUS) guna mempercepat wajib belajar sembilan tahun di Indonesia.
Warisan dalam Konsolidasi Institusi Demokrasi
Warisan utama Megawati Soekarnoputri adalah peletak dasar sistem pemilu langsung dan penguatan lembaga anti-korupsi melalui pembentukan KPK. Sebagai putri Bung Karno, ia juga membawa warisan diplomasi bebas-aktif yang bersendikan pada keadilan, anti-kolonialisme, dan solidaritas Global South, memperteguh posisi Indonesia sebagai bangsa yang konsisten berpihak kepada rakyat yang tertindas.
Era Reformasi: Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014)
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjabat sebagai Presiden keenam Indonesia selama dua periode, dari 20 Oktober 2004 hingga 20 Oktober 2014. Masa pemerintahannya ditandai oleh stabilitas ekonomi dan politik yang signifikan.
Stabilitas Ekonomi dan Pertumbuhan Inklusif
Pada masa pemerintahan SBY, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan stabil. Keberhasilan ini menjadikan Indonesia berhasil keluar dari status negara berkembang menjadi negara berpendapatan menengah. Pemerintahannya juga fokus pada peningkatan investasi dan promosi pariwisata melalui program “Visit Indonesia Year”.
Stabilitas ekonomi yang dicapai SBY di tengah krisis global menunjukkan ketahanan ekonomi Indonesia pasca-Reformasi dan keberhasilan dalam reformasi struktural. Ini menunjukkan kemampuan pemerintah dalam mengelola makroekonomi dan menjaga pertumbuhan di tengah gejolak eksternal. Namun, pertanyaan tentang pemerataan hasil pembangunan dan inklusivitas pertumbuhan tetap menjadi tantangan yang berkelanjutan, yang merupakan warisan dari era sebelumnya dan terus berlanjut.
Reformasi Struktural
Pemerintahan SBY melakukan berbagai reformasi struktural, termasuk reformasi pajak, reformasi birokrasi, dan reformasi perbankan, yang membawa dampak positif bagi perekonomian Indonesia.
Peran Indonesia di Kancah Internasional
SBY memperkuat posisi Indonesia sebagai pemain inti dalam ekonomi internasional dan diplomasi global. Pemerintahannya aktif dalam diplomasi perdamaian dan meluncurkan Deklarasi Kemitraan Strategis Baru di Asia Afrika (NAASP).
Pernyataan bahwa Indonesia telah menjadi “pemain inti dalam ekonomi internasional” dan peluncuran NAASP menunjukkan bahwa SBY berhasil meningkatkan profil dan pengaruh Indonesia di kancah global. Ini merupakan kelanjutan dari politik luar negeri bebas aktif yang diwariskan sejak era Soekarno, namun dengan penekanan pada diplomasi dan kerja sama ekonomi, mencerminkan kematangan Indonesia sebagai negara demokrasi yang stabil dan berpengaruh.
Penanganan Bencana Alam dan Konflik
Salah satu pencapaian signifikan di bidang keamanan adalah penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 15 Agustus 2005, yang secara efektif mengakhiri konflik berkepanjangan di Aceh. Keberhasilan ini mustahil dicapai sekiranya kedua belah pihak tidak memiliki komitmen.
Penandatanganan MoU Helsinki adalah pencapaian signifikan dalam resolusi konflik internal, menunjukkan kapasitas negara untuk menyelesaikan masalah domestik melalui negosiasi damai. Terobosan besar ini tidak hanya membawa kedamaian bagi Aceh tetapi juga meningkatkan citra Indonesia di mata internasional sebagai negara yang mampu menyelesaikan konflik internal secara damai, sebuah kontras dengan penanganan konflik di masa lalu.
Pencapaian dan Tantangan Pemerintahan Dua Periode
Secara keseluruhan, pemerintahan SBY berhasil menjaga stabilitas politik dan keamanan. Dalam upaya pemberantasan korupsi, pemerintahannya menyeret sebagian koruptor, baik pejabat pemerintah di daerah maupun di pusat, dan mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Korupsi serta Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2003 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Warisan dalam Demokrasi dan Pembangunan
Warisan SBY mencakup konsolidasi demokrasi melalui dua kali pemilihan umum langsung, stabilitas ekonomi yang berkelanjutan, dan penyelesaian konflik Aceh. Ia berhasil membawa Indonesia ke posisi yang lebih stabil dan dihormati di kancah internasional.
Era Kontemporer: Joko Widodo (2014-2024)
Joko Widodo, yang akrab disapa Jokowi, menjabat sebagai Presiden ketujuh Indonesia selama dua periode, dari 20 Oktober 2014 hingga 20 Oktober 2024. Kepemimpinannya dikenal dengan fokus yang kuat pada pembangunan infrastruktur dan program-program sosial.
Fokus Pembangunan Infrastruktur Skala Besar
Salah satu ciri khas utama pemerintahan Jokowi adalah fokus masif pada pembangunan infrastruktur skala besar di berbagai wilayah Indonesia, yang membuatnya dijuluki “Bapak Infrastruktur Indonesia”. Proyek-proyek besar yang digarap meliputi pembangunan jalan tol Trans Jawa dan Trans Sumatera , serta sistem transportasi massal seperti Moda Raya Terpadu (MRT) dan Lintas Rel Terpadu (LRT) di perkotaan. Selain itu, banyak bendungan dan berbagai proyek infrastruktur lainnya juga dibangun atau ditingkatkan. Belanja negara untuk infrastruktur meningkat secara signifikan, dari kurang dari 10% pada tahun 2013 menjadi 19% dari total anggaran negara pada tahun 2017.
Fokus masif Jokowi pada pembangunan infrastruktur merupakan upaya strategis untuk meningkatkan konektivitas dan daya saing ekonomi Indonesia. Pendekatan ini dapat dilihat sebagai kelanjutan dari cita-cita pembangunan Soeharto, namun dengan pendekatan yang lebih terdesentralisasi dan inklusif. Sementara Soeharto fokus pada infrastruktur makro untuk industrialisasi, penekanan Jokowi pada jalan tol, MRT/LRT, dan bendungan bertujuan untuk meningkatkan konektivitas, mengurangi biaya logistik, dan merangsang aktivitas ekonomi di berbagai daerah. Pergeseran ini mencerminkan pengakuan bahwa pembangunan yang merata memerlukan keterhubungan fisik dan peningkatan akses, yang diharapkan dapat mengatasi beberapa disparitas regional yang muncul dari model pembangunan sebelumnya.
Kebijakan Ekonomi dan Program Sosial
Di bidang ekonomi, Jokowi mendorong kebijakan hilirisasi industri, yang bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah produk-produk Indonesia dengan mengolah bahan mentah di dalam negeri. Pemerintahannya juga meluncurkan berbagai program sosial untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, seperti Kartu Pra Kerja untuk meningkatkan keterampilan tenaga kerja, BPJS Kesehatan untuk layanan kesehatan universal, dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk membantu masyarakat rentan.
Kebijakan hilirisasi industri dan program-program sosial Jokowi menunjukkan upaya untuk menciptakan nilai tambah ekonomi domestik dan memperkuat jaring pengaman sosial. Hilirisasi adalah langkah untuk menggeser ekonomi Indonesia dari sekadar pengekspor bahan mentah menjadi negara yang mengolah sumber daya alamnya sendiri, meningkatkan nilai tambah dan kemandirian ekonomi. Bersamaan dengan itu, program-program sosial menunjukkan komitmen terhadap kesejahteraan masyarakat dan pengurangan kemiskinan, mencerminkan pergeseran dari pembangunan yang hanya berorientasi pertumbuhan menuju pembangunan yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Pendekatan Politik dan Gaya Kepemimpinan “Blusukan”
Joko Widodo adalah presiden pertama Indonesia yang tidak berasal dari elit politik atau militer. Ia dikenal dengan gaya kepemimpinan “blusukan,” yaitu kunjungan atau inspeksi mendadak ke berbagai tempat untuk berinteraksi langsung dengan masyarakat dan memantau kondisi di lapangan. Pendekatan ini bertujuan untuk merevitalisasi politik lokal, memperkenalkan transparansi, dan meningkatkan birokrasi, serta mengurangi korupsi.
Gaya kepemimpinan “blusukan” Jokowi merepresentasikan upaya untuk mendemokratisasi birokrasi dan membangun koneksi langsung dengan rakyat. Ini bukan hanya pencitraan, tetapi juga metode untuk memotong birokrasi, mengidentifikasi masalah di lapangan secara langsung, dan membangun kepercayaan publik. Pendekatan ini merupakan upaya untuk mendemokratisasi pemerintahan dari bawah ke atas, berbeda dengan pendekatan top-down yang dominan di era Orde Baru.
Pencapaian dan Kritik terhadap Kebijakan
Pembangunan infrastruktur yang masif merupakan pencapaian utama pemerintahannya. Peningkatan belanja infrastruktur yang signifikan menunjukkan komitmen kuat terhadap sektor ini. Namun, meskipun pembangunan infrastruktur Jokowi sangat ambisius dan berhasil, tantangan pembiayaan dan potensi dampak lingkungan memerlukan evaluasi jangka panjang untuk memastikan keberlanjutan warisannya. Proyek infrastruktur yang ambisius memerlukan pembiayaan besar, dengan harapan lebih dari 70% berasal dari sektor swasta melalui skema kemitraan pemerintah-swasta (PPP). Namun, ketergantungan pada dukungan asing dan multilateral, serta potensi dampak lingkungan dari proyek-proyek besar, adalah aspek yang memerlukan pengawasan ketat. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun visi pembangunan fisik tercapai, keberlanjutan dan dampak sosial-lingkungan jangka panjang tetap menjadi tantangan penting bagi warisannya.
Warisan Jokowi sebagai “Bapak Infrastruktur”
Warisan utama Joko Widodo adalah transformasi lanskap fisik Indonesia melalui pembangunan infrastruktur yang masif. Selain itu, ia juga menguatkan jaring pengaman sosial melalui berbagai program, dan memperkenalkan gaya kepemimpinan yang lebih merakyat.
Era Kontemporer: Prabowo Subianto (2024-Sekarang)
Prabowo Subianto menjabat sebagai Presiden kedelapan Indonesia mulai 20 Oktober 2024 hingga 2029. Ia menggantikan Joko Widodo, dengan putra Jokowi, Gibran Rakabuming, sebagai wakil presidennya.
Program Prioritas Awal
Pada awal pemerintahannya, Prabowo Subianto telah menunjukkan fokus pada penguatan ekonomi kerakyatan. Salah satu langkah awal yang signifikan adalah peluncuran 80.081 koperasi di seluruh penjuru negeri, dengan tujuan memperkuat basis ekonomi di tingkat desa dan kelurahan, serta mendorong Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dan usaha berbasis komunitas untuk naik kelas.
Peluncuran koperasi dalam skala besar menunjukkan upaya Prabowo untuk memperkuat ekonomi kerakyatan dan UMKM. Ini dapat menjadi ciri khas warisannya dalam pembangunan ekonomi yang lebih merata. Langkah ini bisa menjadi kontras atau pelengkap dari fokus infrastruktur masif di era sebelumnya, menunjukkan diversifikasi dalam pendekatan pembangunan ekonomi.
Selain itu, Prabowo juga menunjukkan keberlanjutan pembangunan infrastruktur dari era sebelumnya. Ia meresmikan proyek pembangkit listrik yang merupakan warisan dari Presiden Joko Widodo di Sumedang, Jawa Barat, yang terdiri dari 26 pembangkit listrik dengan total kapasitas 3,2 gigawatt (GW) serta rangkaian 11 proyek lanjutan pembangunan gardu dan jaringan.
Proyeksi Warisan Awal dan Tantangan Masa Depan
Warisan awal Prabowo diproyeksikan akan mencakup kontinuitas pembangunan infrastruktur dari era Jokowi, dengan penekanan baru pada penguatan ekonomi kerakyatan dan koperasi. Tantangan ke depan bagi pemerintahannya meliputi melanjutkan pertumbuhan ekonomi, mengatasi kesenjangan sosial-ekonomi, dan menjaga stabilitas politik di tengah dinamika global dan domestik.
Analisis Komparatif dan Temuan KuncSejarah kepresidenan Indonesia menunjukkan pola siklus yang menarik antara sentralisasi kekuasaan dan upaya demokratisasi, dengan pembangunan ekonomi sebagai benang merah yang konstan namun dengan pendekatan yang berbeda di setiap era.
Pola dan Pergeseran Kebijakan Lintas Era
Soekarno memusatkan kekuasaan melalui Demokrasi Terpimpin, membubarkan DPR, dan diangkat sebagai presiden seumur hidup, menunjukkan pergeseran ke arah otoritarianisme. Pola ini kemudian dilanjutkan dan diperkuat oleh Soeharto dalam sistem Orde Baru yang sangat otoriter, ditandai oleh Dwifungsi ABRI, penyederhanaan partai politik, dan pembatasan kebebasan. Krisis 1998 memicu gelombang reformasi yang mengembalikan Indonesia ke jalur demokrasi, dimulai oleh Habibie dengan kebebasan pers dan pemilu demokratis, dilanjutkan oleh Gus Dur dengan pluralisme, Megawati dengan konsolidasi institusi demokrasi dan pembentukan KPK, serta SBY dengan stabilitas dan resolusi konflik.
Meskipun bentuk pemerintahan berubah, pembangunan ekonomi selalu menjadi prioritas utama. Soekarno memiliki “Proyek Mercusuar” sebagai simbol pembangunan. Soeharto meluncurkan Repelita yang masif untuk stabilisasi dan pertumbuhan ekonomi. Habibie fokus pada stabilisasi ekonomi pasca-krisis. SBY berhasil menjaga stabilitas dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Jokowi mengedepankan pembangunan infrastruktur skala besar. Sementara itu, Prabowo Subianto memulai dengan fokus pada ekonomi kerakyatan melalui koperasi, sambil melanjutkan proyek infrastruktur sebelumnya. Pola ini menunjukkan bahwa meskipun bentuk pemerintahan berubah, tantangan pembangunan dan kebutuhan akan stabilitas tetap menjadi isu sentral yang direspons dengan strategi yang berbeda oleh setiap pemimpin.
Dampak Kumulatif Warisan Kepresidenan terhadap Pembangunan Bangsa
Secara kumulatif, warisan para presiden Indonesia telah membentuk bangsa ini secara mendalam. Dimulai dengan pembentukan identitas nasional melalui Pancasila oleh Soekarno, diikuti oleh konsolidasi kedaulatan dan integritas wilayah. Ekonomi Indonesia telah bertransformasi dari agraris menuju lebih industrial, meskipun dengan tantangan pemerataan. Sistem politik telah berkembang dari otoritarianisme menuju demokrasi multipartai, dengan penguatan institusi dan partisipasi publik yang lebih besar. Di kancah global, Indonesia telah meningkatkan perannya sebagai aktor yang aktif dan berpengaruh.
Tantangan Berkelanjutan dan Pelajaran Historis
Meskipun banyak kemajuan telah dicapai, beberapa tantangan berkelanjutan tetap menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia. Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) masih menjadi isu krusial yang memerlukan komitmen berkelanjutan. Penguatan institusi demokrasi dan supremasi hukum adalah fondasi penting untuk tata kelola yang baik. Pemerataan pembangunan dan keadilan sosial tetap menjadi prioritas untuk mengurangi kesenjangan antarwilayah dan antarkelompok masyarakat. Terakhir, menjaga persatuan di tengah keberagaman yang kaya adalah tugas abadi yang memerlukan kepemimpinan yang inklusif dan toleran.
Tabel 2: Perbandingan Kebijakan Kunci Setiap Presiden (Politik, Ekonomi, Sosial, Luar Negeri)
Presiden | Kebijakan Politik Kunci | Kebijakan Ekonomi Kunci | Kebijakan Sosial Kunci | Kebijakan Luar Negeri Kunci |
Soekarno | Demokrasi Terpimpin, Pembubaran DPR, Pengangkatan Presiden Seumur Hidup, Konsep NASAKOM | Proyek Mercusuar, Pembangunan Infrastruktur (Monas, GBK, Jembatan Ampera) | Pendirian Universitas (UGM) | Konfrontasi Malaysia, Pembebasan Irian Barat, Keluar PBB, Gerakan Non-Blok |
Soeharto | Orde Baru Otoriter, Dwifungsi ABRI, Penyederhanaan Partai Politik, Asas Tunggal Pancasila, Kopkamtib | Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), UU PMA/PMDN, IGGI, Pembayaran Utang Luar Negeri | Program KB, Sekolah Inpres, Penataran P4 | Kembali ke PBB, Pembentukan ASEAN, Normalisasi Hubungan (Malaysia, RRC), Integrasi Timor Timur |
B.J. Habibie | Kebebasan Pers (UU Pers), Pemilu Demokratis (UU Pemilu), Otonomi Daerah (UU Pemda), Pembentukan Komnas Perempuan | Penanganan Krisis Moneter, Rekapitalisasi Perbankan, Likuidasi Bank Bermasalah, Privatisasi BUMN | – | Jajak Pendapat Timor Leste |
Abdurrahman Wahid | Reformasi Militer (TNI), Kebebasan Berpendapat | Pengurangan Subsidi BBM | Pengakuan Konghucu sebagai agama resmi, Pembelaan Hak Minoritas, Pencabutan Inpres 14/1967, Bapak Pluralisme | Diplomasi Internasional (Memperoleh jaminan integritas wilayah) |
Megawati Soekarnoputri | Pemilihan Presiden & Wakil Presiden Langsung, Sistem Kepartaian Baru, Perubahan UUD 1945 | Reformasi Sektor Keuangan, Pengembangan Pertanian, Peningkatan Ekspor Non-Migas | Pendidikan untuk Semua (PUS) | Diplomasi Bebas-Aktif (melanjutkan warisan Soekarno) |
Susilo Bambang Yudhoyono | Konsolidasi Demokrasi, Penegakan Hukum (UU Korupsi, KPK) | Pertumbuhan Ekonomi Tinggi & Stabil, Reformasi Pajak/Birokrasi/Perbankan, Peningkatan Investasi & Pariwisata | Penanganan Bencana Alam, Resolusi Konflik Aceh (MoU Helsinki) | Diplomasi Perdamaian, NAASP, Peningkatan Peran Global |
Joko Widodo | Gaya Kepemimpinan “Blusukan”, Presiden non-elit politik/militer | Pembangunan Infrastruktur Masif (Trans Jawa/Sumatera, MRT/LRT, Bendungan), Hilirisasi Industri | Kartu Pra Kerja, BPJS Kesehatan, Bantuan Langsung Tunai (BLT) | Penekanan Kedaulatan (penenggelaman kapal ikan ilegal), Prioritas Hukuman Mati Narkoba |
Prabowo Subianto | – | Peluncuran 80.081 Koperasi, Keberlanjutan Pembangunan Infrastruktur (Pembangkit Listrik) | – | – |
Tabel 3: Indikator Pembangunan Utama per Era Kepresidenan
Presiden | Periode Jabatan | Indikator Ekonomi (Rata-rata Pertumbuhan PDB, Inflasi, Nilai Tukar Rupiah) | Indikator Sosial (Tingkat Kemiskinan, Indeks Pembangunan Manusia, Angka Harapan Hidup) | Capaian Infrastruktur Kunci (Panjang Jalan Tol, Jumlah Bendungan) |
Soekarno | 1945–1967 | Inflasi >600% (akhir masa jabatan) | Pendidikan Perguruan Tinggi (UGM), Rumah Sakit Penting | Monas, GBK, Hotel Indonesia, Masjid Istiqlal, Patung Dirgantara, Jembatan Ampera, Bendungan Ir. H. Juanda, Bandara Juanda |
Soeharto | 1967–1998 | Inflasi menurun dari 650% (1966) menjadi 0.9% (1971/1972) | Rasio pendaftaran SD mencapai 90% (1983) ; Program KB berhasil | Pembangunan 6.000 SD (periode pertama), 22.600 SD (1982-1983), 150 ribu unit SD Inpres (1993-1994) ; Jalan Tol Jagorawi (1973-1978) |
B.J. Habibie | 1998–1999 | PDB kontraksi -13.13% (1998), pertumbuhan ekonomi populasi meningkat menjadi 5% ; Nilai tukar rupiah di bawah Rp 10.000,- | – | – |
Abdurrahman Wahid | 1999–2001 | Perekonomian mulai pulih dari krisis | – | – |
Megawati Soekarnoputri | 2001–2004 | Pertumbuhan ekonomi stabil dan tinggi ; Ekspor non-migas meningkat 6% atau $50.7 miliar | Program Pendidikan untuk Semua (PUS) | – |
Susilo Bambang Yudhoyono | 2004–2014 | Pertumbuhan ekonomi tinggi dan stabil ; Indonesia keluar dari status negara berkembang menjadi negara menengah | – | Beberapa proyek infrastruktur kunci di sektor tenaga listrik |
Joko Widodo | 2014–2024 | Belanja infrastruktur meningkat dari <10% (2013) menjadi 19% (2017) dari total anggaran | Program BPJS Kesehatan, Kartu Pra Kerja, BLT | Jalan Tol Trans Jawa & Trans Sumatera, MRT & LRT, Bendungan |
Prabowo Subianto | 2024–2029 | Peluncuran 80.081 koperasi | – | Peresmian 26 pembangkit listrik (warisan Jokowi) |
Catatan: Data untuk beberapa indikator pembangunan tidak tersedia secara lengkap dalam materi yang diberikan. Tabel ini mencerminkan informasi yang dapat diekstraksi dari sumber yang ada.
Kesimpulan
Sejarah kepresidenan Indonesia adalah narasi yang kaya akan perjuangan, adaptasi, dan transformasi. Setiap pemimpin telah meninggalkan jejak yang membentuk karakter dan arah bangsa.
- Soekarno dikenang sebagai Proklamator dan Bapak Bangsa, peletak dasar Pancasila, dan simbol perjuangan nasionalisme yang membangun fondasi kebangsaan dan identitas. Warisan infrastruktur monumentalnya masih berdiri sebagai saksi visinya.
- Soeharto memimpin era pembangunan ekonomi yang masif dan stabilitas politik yang panjang melalui Repelita, namun dengan biaya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang mengakar serta sistem otoritarianisme yang menekan kebebasan sipil dan menimbulkan pelanggaran HAM.
- J. Habibie adalah peletak dasar reformasi, berhasil menangani krisis ekonomi yang parah dalam waktu singkat, dan membuka keran demokrasi melalui kebebasan pers, pemilu yang lebih demokratis, dan otonomi daerah, meskipun keputusannya tentang Timor Timur menuai kontroversi.
- Abdurrahman Wahid diakui sebagai Bapak Pluralisme, gigih membela hak-hak minoritas dan mengubah pemahaman agama ke arah yang lebih substansial, meskipun masa jabatannya diwarnai instabilitas politik yang berujung pada pemakzulan.
- Megawati Soekarnoputri berperan dalam konsolidasi institusi demokrasi, terutama melalui pengenalan pemilu langsung dan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), serta menjaga stabilitas ekonomi.
- Susilo Bambang Yudhoyono memimpin Indonesia menuju stabilitas ekonomi yang berkelanjutan dan pertumbuhan yang tinggi, berhasil menyelesaikan konflik Aceh melalui negosiasi damai, dan meningkatkan peran Indonesia di kancah global.
- Joko Widodo dikenal sebagai Bapak Infrastruktur Indonesia, dengan fokus masif pada pembangunan infrastruktur dan penguatan jaring pengaman sosial melalui berbagai program, serta memperkenalkan gaya kepemimpinan yang merakyat.
- Prabowo Subianto, sebagai presiden saat ini, menunjukkan fokus awal pada penguatan ekonomi kerakyatan melalui koperasi, sambil melanjutkan pembangunan infrastruktur dari era sebelumnya.
Implikasi jangka panjang dari warisan kepresidenan ini bagi Indonesia sangatlah besar. Bangsa ini telah belajar dari siklus sentralisasi dan demokratisasi, serta pentingnya keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, dan demokrasi. Tantangan-tantangan seperti pemberantasan KKN, penguatan institusi demokrasi, pemerataan pembangunan, dan menjaga persatuan di tengah keberagaman tetap menjadi agenda utama yang harus terus diupayakan.
Untuk studi lebih lanjut dan perumusan kebijakan publik, disarankan untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam mengenai dampak jangka panjang dari kebijakan-kebijakan spesifik, terutama dalam konteks perubahan iklim, transformasi digital, dan dinamika geopolitik global. Pelajaran dari warisan masa lalu dapat menjadi panduan berharga dalam merancang strategi yang lebih inklusif, berkelanjutan, dan berkeadilan bagi masa depan Indonesia.
Daftar Pustaka :
- Ketahui 7 Urutan Presiden Indonesia serta Wakil dan Periodenya! – Gramedia, diakses Agustus 14, 2025, https://www.gramedia.com/literasi/urutan-presiden-indonesia/
- Presiden dan Wakil Presiden – Laman Resmi Republik Indonesia • Portal Informasi Indonesia, diakses Agustus 14, 2025, https://indonesia.go.id/profil/presiden
- Ini Daftar Nama Presiden Indonesia dari Masa ke Masa – CNN Indonesia, diakses Agustus 14, 2025, https://www.cnnindonesia.com/edukasi/20241016140921-561-1155985/ini-daftar-nama-presiden-indonesia-dari-masa-ke-masa
- Warisan Soekarno Sebagai Pemimpin Tetap Hidup Sampai Saat Ini – Kompasiana.com, diakses Agustus 14, 2025, https://www.kompasiana.com/cyndikagalehputraprtama4388/66e044f0ed64154d411e18a2/warisan-soekarno-sebagai-pemimpin-tetap-hidup-sampai-saat-ini
- Daftar Warisan Abadi Soekarno – Jokowi: GBK, KPK, BPJS Hingga MRT – CNBC Indonesia, diakses Agustus 14, 2025, https://www.cnbcindonesia.com/research/20241020070050-128-581101/daftar-warisan-abadi-soekarno–jokowi-gbk-kpk-bpjs-hingga-mrt
- Politik Indonesia Masa Kepemimpinan Soekarno – Gudang Jurnal, diakses Agustus 14, 2025, https://gudangjurnal.com/index.php/gjmi/article/download/477/435/1644
- Apa Peran Soekarno pada Masa Demokrasi Terpimpin?, diakses Agustus 14, 2025, https://www.kompas.com/stori/read/2022/06/10/150000479/apa-peran-soekarno-pada-masa-demokrasi-terpimpin
- BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nasakom merupakan, diakses Agustus 14, 2025, https://repository.upi.edu/10834/2/s_sej_0800276_chapter1.pdf
- Apa yang Dimaksud dengan Konsep Nasakom? Ini Fakta yang Terjadi | kumparan.com, diakses Agustus 14, 2025, https://kumparan.com/sejarah-dan-sosial/apa-yang-dimaksud-dengan-konsep-nasakom-ini-fakta-yang-terjadi-22sZtX7DRqZ
- 4 Kebijakan Kontroversial Era Presiden Soekarno – PAGE ALL : Okezone Nasional, diakses Agustus 14, 2025, https://nasional.okezone.com/read/2022/12/05/337/2720473/4-kebijakan-kontroversial-era-presiden-soekarno?page=all
- Masa Demokrasi Terpimpin – Kebijakan Ekonomi dan Politik – Pijar …, diakses Agustus 14, 2025, https://www.pijarbelajar.id/blog/masa-demokrasi-terpimpin
- Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret): Sejarah, Isi dan …, diakses Agustus 14, 2025, https://fahum.umsu.ac.id/info/supersemar-surat-perintah-sebelas-maret-sejarah-isi-dan-dampaknya/
- Kebijakan Politik Luar Negeri pada Masa Orde Baru di Indonesia …, diakses Agustus 14, 2025, https://www.pijarbelajar.id/blog/kebijakan-politik-luar-negeri-pada-masa-orde-baru
- 5 Kebijakan Soeharto untuk Rakyat Indonesia di Era Orde Baru – PAGE ALL, diakses Agustus 14, 2025, https://edukasi.okezone.com/read/2022/06/08/624/2607810/5-kebijakan-soeharto-untuk-rakyat-indonesia-di-era-orde-baru?page=all
- (PDF) Kebijakan-Kebijakan Politik Pemerintahan Orde Baru …, diakses Agustus 14, 2025, https://www.researchgate.net/publication/376030459_Kebijakan-Kebijakan_Politik_Pemerintahan_Orde_Baru_terhadap_NKRI
- 5 Kebijakan Politik Dalam Negeri pada Masa Orde Baru dan …, diakses Agustus 14, 2025, https://m.kumparan.com/sejarah-dan-sosial/5-kebijakan-politik-dalam-negeri-pada-masa-orde-baru-dan-dampaknya-22IwlPqcdqo
- Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) – Kompas.com, diakses Agustus 14, 2025, https://www.kompas.com/stori/read/2021/09/29/090000479/rencana-pembangunan-lima-tahun-repelita
- POLITIK HUKUM PROGRAM KELUARGA BERENCANA DI INDONESIA, diakses Agustus 14, 2025, https://scholarhub.ui.ac.id/cgi/viewcontent.cgi?article=1062&context=jhp
- on-campus ideological indoctrination – Human Rights Watch, diakses Agustus 14, 2025, https://www.hrw.org/legacy/reports98/indonesia2/Borneote-08.htm
- 5 Kebijakan Soeharto untuk Rakyat Indonesia di Era Orde Baru …, diakses Agustus 14, 2025, https://edukasi.okezone.com/read/2022/06/08/624/2607810/5-kebijakan-soeharto-untuk-rakyat-indonesia-di-era-orde-baru
- Dua partai hasil penyederhanaan partai pada masa Orde Baru adal… – Filo, diakses Agustus 14, 2025, https://askfilo.com/user-question-answers-smart-solutions/12-dua-partai-hasil-penyederhanaan-partai-pada-masa-orde-3235313331343834
- Sejarah Korupsi Masa Orde Baru: Tantangan Memberantas KKN, diakses Agustus 14, 2025, https://www.kompas.com/stori/read/2025/06/18/160000179/sejarah-korupsi-masa-orde-baru-tantangan-memberantas-kkn
- Kontroversi Tap MPR No XI/1998 | ICW, diakses Agustus 14, 2025, https://www.antikorupsi.org/id/article/kontroversi-tap-mpr-no-xi1998
- 5 Kebijakan BJ Habibie yang Menghasilkan Reformasi Besar …, diakses Agustus 14, 2025, https://m.kumparan.com/sejarah-dan-sosial/5-kebijakan-bj-habibie-yang-menghasilkan-reformasi-besar-22VdkrNvLwr
- FOOTNOTE HISTORIS: KEISTIMEWAAN PARA MANTAN PRESIDEN INDONESIA (3), diakses Agustus 14, 2025, https://uin-alauddin.ac.id/opini/detail/footnote-historis–keistimewaan-para-mantan-presiden-indonesia-3
- PELANGGARAN HAM YANG TERJADI PADA PASCA JAJAK …, diakses Agustus 14, 2025, https://eprints.undip.ac.id/18336/1/SRIE_SUNARISASI.pdf
- Abdurrahman Wahid, Pluralitas dan Pluralisme Agama, diakses Agustus 14, 2025, https://www.uingusdur.ac.id/info/abdurrahman-wahid-pluralitas-dan-pluralisme-agama
- KONSEP TEOLOGI PLURALISME GUS DUR DALAM MERETAS …, diakses Agustus 14, 2025, https://jurnalfuda.iainkediri.ac.id/index.php/asketik/article/download/1102/714/2554
- Kronologi Pemakzulan Gus Dur 20 Tahun Lalu Mencekam, Rizal …, diakses Agustus 14, 2025, https://www.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-012267899/kronologi-pemakzulan-gus-dur-20-tahun-lalu-mencekam-rizal-ramli-arah-moncong-tank-ke-istana
- Kebijakan Megawati Soekarnoputri pada Masa Reformasi – Kompas.com, diakses Agustus 14, 2025, https://www.kompas.com/stori/read/2022/03/31/080000179/kebijakan-megawati-soekarnoputri-pada-masa-reformasi?page=all
- Menakar Gagasan Polugri Megawati Soekarnoputri: Isu Timur Tengah Kontemporer, diakses Agustus 14, 2025, https://kumparan.com/aji-cahyono/menakar-gagasan-polugri-megawati-soekarnoputri-isu-timur-tengah-kontemporer-25d9NR5jSE4
- Lima Capaian Besar Pemerintahan SBY, diakses Agustus 14, 2025, https://www.menpan.go.id/site/berita-terkini/lima-capaian-besar-pemerintahan-sby
- Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Politik Luar Negeri Indonesia – ejournal brin, diakses Agustus 14, 2025, https://ejournal.brin.go.id/jpp/article/download/11058/8667/30902
- Prabowo Luncurkan 80.081 Koperasi, Wali Kota Viman: Kota Tasikmalaya 100% Siap!, diakses Agustus 14, 2025, https://portal.tasikmalayakota.go.id/index.php/q/berita_detail/1870
- Prabowo Mengaku Beruntung Bisa Resmikan Warisan Jokowi, Klaim Terbesar di Dunia, diakses Agustus 14, 2025, https://www.youtube.com/watch?v=BY9MAkslPww
- Mengenang Kebijakan BJ Habibie Dalam Lepasnya Timor Leste dari Indonesia – Journals, diakses Agustus 14, 2025, https://journal.ikmedia.id/index.php/jishum/article/view/141