Didunia ini, kita dikelilingi oleh orang yang bekerja, petani bekerja di sawah atau ladangnya, Tukang bekerja membuat rumah atau bangunan, istri dirumah bekerja membersihkan dan memasak. Saat ini hidup tanpa pekerjaan adalah hal yang sulit dibayangkan.
Pada zaman awal kehidupan modern manusia yakni dimana peradaban telah menjadikan ilmu pengetahuan dan sistem pemerintahan sebagai pedoman, pekerjaan bukanlah suatu yang terhormat. Para filosof memandang rendah pada pekerjaan, Plato, misalnya mengatakan hanya filsafatlah yang merupakan kegiatan yang sesuai dengan martabat manusia. Aristoteles memasukkan pekerjaan sebagai sebagai sesuatu yang kurang bernilai, bagi aristoteles tindakan komunikatif, khususnya berpolitik lah yang paling bernilai bagi manusia.
Walaupun pada masa itu, kerja dipandang sebagai sesuatu yang rendah. Warga bangsawan tidak perlu bekerja. Mereka mendapatkan harta dari status mereka. Bahkan dapat dikatakan bahwa pada masa itu, manusia yang sesungguhnya tidak perlu bekerja. Ia hanya perlu berpikir dan menulis di level teoritis. Semua pekerjaan fisik diserahkan pada budak. Dan tentu saja budak tidak dianggap sebagai manusia seutuhnya.
Demikian juga dengan stratafikasi kasta di Jawa pada zaman terdahulu yang membagi 3 tingkatan yaitu priyayi, santri dan abangan. Kelompok pekerja dan pedagang masuk dalam kasta terendah yaitu kasta abangan.sama dengan stratifikasi ,asyarakat Yunani, masyarakat jawa juga memandang bahwa kerja adalahhal yang rendah dan diberikan kepada kelompok abangan.
Di dalam Kitab Suci Yahudi yang sudah berusia sangat tua diceritakan bagaimana kerja merupakan hukuman Tuhan kepada manusia, karena ia tidak patuh pada perintah-nya. Sekitar 2600 tahun yang lalu di Yunani, Hesiodotus menulis sebuah puisi tentang kerja yang berjudul Work and Days. Di dalamnya ia berpendapat, bahwa kerja adalah isi utama dari kehidupan manusia.
Barulah pada saat awal zaman Industri, definisi pekerjaan baru mendapat perhatian dari para pemikir dan pakar. Munculnya penemuan-penemuan baru dalam bidang teknologi dan sains disertai dengan penggunaannya secara komersil seperti contoh mesin uap dan dan turbin, membuka cakrawala yang tak terbatas manusia untuk menaklukkan alam melalui pekerjaan, seiring dengan itu nilai-nilai feodal yang menganggap pekerjaan secara fisik adalah hina, lambat laun mulai rontok dan terpaksa mengikuiti arus zaman. Sejak saat itu, dunia memproklamirkan bahwa pekerjaan adalah kegiatan manusia yang paling khas dan merupakan peradaban baru.
John Locke (1632-1704) menemukan bahwa pekerjaan menciptakan hak, yaitu suatu hak alamiah atas kepemilikan terhadap benda dan tanah.adalah pekerjaan yang memberikan nilai tambah ekonomis pada setiap komoditas.
Secara universal, pekerjaan, menurut Adam Smith, membuat suatu pernyataan bahwa semua hasil kebudayaan difahami sebagai hasil dari pekerjaan manusia. Dibelakang kekayaan objektif suatu bangsa (kekayaan ekonomis, budaya) terdapat pekerjaan orang yang memproduksinya.
Dari pandangan Locke dan Smith inilah definisi pekerjaan menghasilkan suatu suatu perubahan yang fundamental tentang cara pandang peradaban dan manusia nya terhadap pekerjaan. Pekerjaan, dari kedudukannya yang paling rendah dalam struktur kehidupan masayarakat pada era terdahulu, menjadi kedudukan yang universal yang kelak mendasari semua aspek kemajuan dan kebudayaan manusia.
Baik Locke maupun Smith, juga Hegel dan Marx, mendefinisikan pekerjaan sebagai suatu pekerjaan yang bersifat fisik atau jasmani. Seperti yang dirangkum oleh Frans Magnis Suseno, menyebutkan tidak segala sesuatu tindak tanduk manusia merupakan pekerjaan. Makan, Berjalan-jalan atau bersetubuh itu merupakan kesibukan tapi bukan pekerjaan. Pekerjaan adalah sesuatu yang direncanakan, jadi memerlukan pemikiran khusus yang tidak dapat dilakukan oleh binatang, yang tidak hanya karena pelaksanaan kegiatan itu menyenangkan, tetapi melainkan karena kita dengan sungguh-sungguh mengusahakan sebuah hasil yang kemudian berdiri sendiri., misalnya sebuah benda, karya atau sumber energi. Kegiatan itu dapat berupa pemakaian tenaga jasmani sekaligus rohani.
Manusia adalah makhluk multid imensi yang menarik. Di satu pihak ia adalah “makhluk alami” seperti binatang—ia membutuhkan alam untuk hidup. Di lain pihak ia berhadapan dengan alam sebagai sesuatu yang asing—ia harus terlebih dahulu menyesuaikan alam dengan kebutuhan-kebutuhannya. Manusia bekerja secara bebas dan universal. Bebas, karena ia dapat bekerja meskipun tidak merasakan kebutuhan langsung. Universal, karena di satu pihak ia dapat memakai pelbagai cara untuk tujuan yang sama, di lain pihak ia dapat menghadapi alam tidak hanya dalam kerangka salah satu kebutuhannya.
Bekerja berarti bahwa manusia memberikan bentuknya sendiri dari obyek alami. Melalui pekerjaan itu, manusia mengobyektivasikan dirinya ke dalam alam. Bakat dan kemampuannya tidak tinggal dalam anagan-angannya, melainkan telah menjadi obyek yang nyata. Manusia dapat melihat dirinya di dalam pekerjaannya. Kerja menjadi cerminan hakekat manusia.
Manusia tidak bekerja sendirian. Kebutuhan-kebutuhannya dapat ia penuhi melalui hasil pekerjaan orang lain. Begitu pula hasil pekerjaan kita pun berguna untuk memenuhi kebutuhan orang lain. Penerimaan dan penghargaan orang lain terhadap hasil kerja kita, membuat kita merasa diakui. Kita merasa berarti karena tahu bahwa kita mampu memenuhi kebutuhan orang lain. Pekerjaan menjadi sesuatu yang menggembirakan karena orang lain menerima dan menghormati hasil pekerjaan kita. Di situ tampak bahwa manusia pada hakekatnya bersifat sosial, dan hakekat itu nyata di dalam pekerjaan. Melalui pekerjaan, manusia membuktikan diri sebagai makhluk sosial.
Kerja memiliki dimensi historis. Alam, tradisi-tradisi pengetahuan manusia, ilmu pengetahuan, alat-alat kerja, dunia kita dan segala isinya bukanlah sesuatu yang ada begitu saja, melainkan warisan hasil pekerjaan generasi-generasi sebelumnya. Dunia kita dan segala isisnya merupakan produk sejarah.
Kerja dari Perspektif Agama
Banyak ajaran agama memandang kerja adalah sebuah bentuk ibadah, bekerja untuk mendpatkan rezeki untuk dikonsumsi secara halal dan baik adalah merupakan jihad. Dalam Islam, sebenarnya kekayaan dalam bentuk materi atau spiritual menjadi keutamaan dan memiliki nilah lebih jika dibandingkan dengan umatnya yang dalam kemiskinan, akan tetapi kekayaan dalam bentuk materi sendiri bukan lantas menjadi hal yang paling utama dan menjadi tujuan akhir hidup manusia.
Kekayaan yang diperoleh dengan cara bekerja hanya menjadi jalan untuk memakmurkan bumi sehingga dalam Al Quran sendiri juga mencela orang yang hanya bekerja untuk menumpuk harta akan tetapi tidak peduli dengan nasib lainnya. [Al Quran 104:1-9]
Referensi :
Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar “Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral”, Pustaka Filsafat-Kanisisus, Yogyakarta, 1987.