Tanjak, tengkolok, dan destar adalah penutup kepala tradisional Melayu yang kaya akan makna dan sejarah. Meskipun sering kali digunakan secara bergantian dan dianggap sinonim dalam percakapan sehari-hari , terdapat perbedaan fundamental dalam terminologi dan karakteristiknya yang mencerminkan fungsi dan status sosial pemakainya di masa lampau. Memahami nuansa ini sangat penting untuk mengapresiasi kedalaman budaya di balik artefak ini.
Secara tradisional, istilah tengkolok merujuk pada penutup kepala yang dibuat dari kain berkualitas tinggi, dengan lipatan yang kompleks, meruncing ke atas, dan berlapis-lapis. Karena kerumitan pembuatannya dan bahan yang digunakan, tengkolok sering kali diasosiasikan dengan institusi kerajaan dan dikenakan oleh raja atau sultan pada upacara-upacara formal. Contohnya adalah Tengkolok Diraja yang dipakai oleh Yang di-Pertuan Agong Malaysia.
Destar, di sisi lain, memiliki lipatan yang lebih rendah dan tipis dibandingkan tengkolok. Secara historis, destar dikenakan oleh para pembesar dan golongan bangsawan sebagai tanda kehormatan, namun dengan tingkat kekuasaan yang berbeda dari penguasa. Bentuknya yang lebih sederhana mencerminkan hierarki dalam struktur sosial Melayu, di mana setiap tingkatan masyarakat memiliki busana dan simbolnya sendiri.
Sementara itu, tanjak pada awalnya merupakan versi yang lebih ringkas dan ringan dari kedua jenis penutup kepala tersebut. Di masa lalu, tanjak biasa dikenakan oleh rakyat jelata, meskipun maknanya tidak kalah pentingnya sebagai bagian dari identitas budaya Melayu. Namun, seiring berjalannya waktu, istilah tanjak telah berevolusi dan kini sering digunakan sebagai sebutan umum untuk semua jenis penutup kepala pria Melayu, mencakup tengkolok dan destar. Laporan ini akan menggunakan istilah tanjak dalam konteks umum, sambil tetap menyoroti perbedaan tradisionalnya untuk memberikan pemahaman yang bernuansa dan akurat.
Sejarah Singkat dan Pergeseran Peran Tanjak
Sejarah tanjak merupakan cerminan dari perjalanan panjang peradaban Melayu di Nusantara. Jejaknya dapat ditelusuri hingga era Kesultanan Palembang, bahkan dipercaya sudah ada sejak zaman Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-8. Pada masa itu, tanjak dikenakan oleh kaum lelaki, terutama para bangsawan, panglima, atau tokoh adat, sebagai simbol kehormatan, martabat, dan jati diri. Pepatah Melayu, “Tak Melayu kalau tak bertanjak” , menegaskan betapa integralnya tanjak dalam identitas seorang lelaki Melayu.
Salah satu kisah legendaris yang menguatkan peran tanjak adalah cerita tentang Sultan Muzaffar Shah. Menurut legenda, saat dalam perjalanan untuk menjadi sultan pertama Perak, kapalnya hampir tenggelam. Setelah membuang semua barang berharga, termasuk mahkota logamnya, kapal tersebut akhirnya berhasil mengapung. Sultan Muzaffar Shah melihat peristiwa ini sebagai pertanda ilahi dan bersumpah tidak akan pernah memakai mahkota logam lagi. Sejak itu, ia memilih tanjak sebagai pengganti mahkota, sebuah tradisi yang kemudian diikuti oleh banyak kesultanan Melayu lainnya, menjadikan tanjak simbol yang setara dengan mahkota kerajaan.
Namun, perjalanan tanjak tidak selalu mulus. Pada tahun 1823, pemerintah kolonial Belanda secara resmi melarang penggunaannya di Palembang. Larangan ini dapat dipahami sebagai upaya untuk menindas simbol-simbol kekuasaan dan identitas budaya lokal. Alih-alih menghilang, tradisi ini justru bertahan dan berevolusi, menjadi simbol perlawanan dan jati diri yang berani.
Perjalanan tanjak dari simbol hierarki sosial menjadi simbol identitas kolektif ini merupakan respons budaya yang tangguh terhadap tantangan sejarah. Di era modern, tanjak tidak lagi hanya milik bangsawan atau upacara istana. Sebaliknya, ia telah diadopsi secara luas oleh masyarakat sebagai ekspresi kebanggaan budaya. Bahkan, arsitektur modern seperti masjid dan monumen di Riau dirancang menyerupai bentuk tanjak, menunjukkan bagaimana simbol ini telah melampaui fungsinya sebagai busana dan menjadi ikon budaya kolektif yang mempersatukan.
Dimensi Filosofis dan Simbolisme: Bahasa di Balik Lipatan dan Bahan
Simbolisme Bentuk dan Lipatan
Setiap aspek dari tanjak sarat dengan makna filosofis yang mendalam. Bentuknya yang meruncing ke atas, secara universal melambangkan cita-cita luhur dan aspirasi untuk mencapai derajat yang tinggi, baik dalam hal status sosial maupun kualitas diri. Kata tanjak sendiri berasal dari kata Melayu Palembang nanjak yang berarti “naik atau menjulang ke tempat yang tinggi,” merefleksikan pesan ini.
Bentuk tanjak yang tegak dan rapi tidak hanya sekadar estetika, tetapi juga melambangkan sikap disiplin, keteguhan hati, dan kejantanan. Sebaliknya, tanjak yang bentuknya menunduk sering kali dikenakan pada saat-saat duka, seperti saat menziarahi kematian, untuk menunjukkan rasa hormat dan kesedihan. Hal ini memperkuat gagasan bahwa tanjak adalah cerminan dari budi pekerti dan moral pemakainya.
Selain itu, gaya lipatan atau yang disebut solek, berfungsi sebagai kode sosial yang membedakan status pemakainya. Posisi pucuk tanjak dan simpulnya menjadi penentu status; misalnya, tanjak dengan pucuk yang diletakkan di atas telinga kiri biasanya dikenakan oleh rakyat biasa, sedangkan model tertentu hanya dipakai oleh kerabat diraja.
Makna Simbolis Simpul (Simpul)
Bagian terpenting dari tanjak adalah simpulnya. Simpul ini bukan hanya sekadar elemen struktural untuk mengikat kain, melainkan representasi kuat dari persatuan, ikatan kekeluargaan, dan asal-usul. Dalam budaya Melayu, simpul pada tanjak dapat melambangkan ikatan pernikahan dan kekeluargaan yang baru terjalin, menandakan dimulainya babak baru dalam kehidupan seseorang.
Secara lebih spesifik, gaya simpul juga dapat mengidentifikasi asal-usul regional pemakainya. Sebagai contoh, simpul Ketupat Palas sering dikaitkan dengan tradisi Melayu di Riau, Johor, Lingga, dan Pahang. Di sisi lain, simpul Garam Sebuku menjadi ciri khas warisan Perak. Terdapat pula simpul Ketupat Makassar yang menandakan akar budaya Makassar. Perbedaan-perbedaan ini menunjukkan bahwa simpul berfungsi sebagai penanda visual dari identitas kultural dan warisan leluhur.
Filsafat Warna dan Bahan
Warna dan bahan yang digunakan untuk membuat tanjak juga memiliki makna filosofis yang dalam dan berfungsi sebagai penanda status sosial. Dalam tradisi Melayu, setiap warna memiliki pesan tersendiri:
- Biru melambangkan ketenangan, kebijaksanaan, dan kedalaman hati.
- Merah melambangkan keberanian dan semangat juang yang tinggi.
- Hitam mencerminkan kekuatan, keteguhan, dan kerendahan hati.
- Kuning atau emas adalah warna kebangsawanan, kemuliaan, dan kejayaan, yang sering kali dikhususkan untuk raja dan bangsawan. Tanjak berwarna putih gading juga disebutkan sebagai warna yang secara khusus dipakai oleh sultan.
Pemilihan bahan pun tidak sembarangan. Kain songket yang ditenun dengan benang emas atau perak, dulunya hanya dipakai oleh priyayi, pangeran, dan pejabat tinggi sebagai simbol kekuasaan dan kemewahan. Sebaliknya, tanjak yang dibuat dari kain batik dapat dikenakan oleh bangsawan dan masyarakat umum dalam berbagai kegiatan. Selain itu, bahan lain seperti pardo dan angkinan juga digunakan.
Secara keseluruhan, tanjak adalah manifestasi fisik dari struktur sosial dan kosmologi Melayu. Aturan ketat mengenai warna, bahan, dan posisi lipatan secara visual merepresentasikan hierarki sosial yang ada. Lebih dari itu, artefak ini juga mengintegrasikan nilai-nilai spiritual. Sebagai contoh, lipatan pada solek Dendam Tak Sudah yang berjumlah lima dianggap melambangkan lima prinsip Rukun Islam. Hal ini menunjukkan bahwa budaya Melayu tidak memisahkan aspek sosial, etika, dan spiritualitas, melainkan mengintegrasikannya ke dalam setiap sendi kehidupan, sesuai dengan prinsip Adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah. Artinya, tanjak adalah artefak yang sangat kaya secara filosofis, mencerminkan peradaban yang berlandaskan adat dan hukum Islam.
Model dan Jenis Tanjak Berdasarkan Geografi di Indonesia
Kekayaan budaya Melayu di Indonesia tercermin dalam variasi model dan jenis tanjak di berbagai wilayah. Setiap daerah memiliki gaya, nama, dan simbolisme unik yang menjadi identitas khas.
Tanjak Khas Palembang: Empat Bentuk Warisan Kesultanan
Palembang memiliki sejarah panjang dengan tanjak, yang telah ada sejak masa Kesultanan Palembang Darussalam. Di wilayah ini, dikenal empat bentuk utama tanjak yang masing-masing memiliki fungsi dan ciri khasnya sendiri:
- Tanjak Meler: Terbuat dari kain tenun tradisional Palembang dan dikenal sejak sekitar tahun 1870.
- Tanjak Kepodang: Dibuat dari kain tenun Palembang dan mulai dikenal sekitar tahun 1900.
- Tanjak Belah Mumbang: Tanjak ini memiliki status khusus karena hanya diperuntukkan bagi Pangeran Nato Dirajo dan keturunannya.
- Tanjak Rantau Ayaw: Model ini dikenakan oleh masyarakat umum, baik warga lokal Palembang maupun mereka yang pergi merantau.
Secara teknis, terdapat perbedaan penting dalam proses lipatan antara Tanjak Kesultanan dan Tanjak Rantau Ayaw. Tanjak Kesultanan memiliki lipatan yang ditekuk ke dalam, sementara Tanjak Rantau Ayaw yang diperuntukkan bagi masyarakat umum memiliki lipatan yang menonjol keluar. Meskipun makna di balik perbedaan ini tidak dijelaskan dalam sumber yang tersedia, detail ini menyoroti kekayaan seni lipatan dan spesifikasi teknis yang mendalam. Warisan budaya ini telah diakui secara resmi, dengan Tanjak Kesultanan Palembang Darussalam terdaftar sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh kementerian terkait.
Tanjak Melayu Riau: Simbol Wibawa dan Otoritas
Di Riau, tanjak bukan sekadar penutup kepala, melainkan lambang wibawa dan otoritas. Tanjak Melayu Riau umumnya dikenakan dalam acara-acara formal dan festival besar. Salah satu model yang paling terkenal adalah Tanjak Laksamana, yang secara historis menjadi pakaian resmi bagi Laksamana Terengganu dan melambangkan keberanian, kepemimpinan, dan loyalitas. Proses pembuatannya pun spesifik: tapak kainnya terdiri dari tiga lapis, dan salah satu lipatannya menangkup simpul di atas telinga kiri, sementara pucuknya dilipat tegak di atas telinga kanan.
Pengakuan terhadap simbol tanjak di Riau terlihat dari adopsinya dalam arsitektur modern. Contohnya adalah Tanjak Mosque di Batam dan sebuah stadion di Pekanbaru, yang keduanya dirancang dengan bentuk yang menyerupai tanjak. Ini menunjukkan bahwa tanjak telah menjadi ikon visual yang merepresentasikan identitas budaya Riau.
Tanjak Melayu Deli dan Varian Sumatra Utara
Wilayah Sumatra Utara juga memiliki varian tanjaknya sendiri. Sebagai contoh, tanjak jenis tertentu dikenakan oleh para pangeran dari Kesultanan Deli, Langkat, dan Serdang sebagai bagian dari busana tradisional mereka. Upaya pelestarian warisan ini terus dilakukan. Pada tahun 2021, Pengurus Besar Majelis Belia Negeri (MBN) Kabupaten Langkat mengadakan seminar dan lokakarya tentang destar, tanjak, dan tengkolok untuk memperkenalkan ornamen-ornamen Melayu kepada masyarakat.
Varian Tanjak Lain di Nusantara
Selain wilayah-wilayah yang disebutkan, keragaman tanjak juga dapat ditemukan dalam kelompok etnis lain di Indonesia. Misalnya, suku Minangkabau memiliki Salwa atau Deta, sementara suku Bugis mengenal Pas Sapu. Variasi ini menegaskan betapa luasnya jangkauan budaya Melayu di seluruh kepulauan.
Nama Model | Wilayah Asal | Pengguna Tradisional | Ciri Khas/Simbolisme | Sumber (ID) |
Tanjak Meler | Palembang | Rakyat Umum | Terbuat dari kain tenun tradisional | |
Tanjak Kepodang | Palembang | Rakyat Umum | Terbuat dari kain tenun tradisional | |
Tanjak Belah Mumbang | Palembang | Pangeran Nato Dirajo & Keturunan | Khusus untuk kerabat diraja | |
Tanjak Rantau Ayaw | Palembang | Masyarakat Umum | Lipatan menonjol keluar | |
Tanjak Laksamana | Riau (terkait dengan Kedah) | Panglima, Menteri Besar | Melambangkan kepahlawanan dan loyalitas | |
Salwa / Deta | Minangkabau | Rakyat Umum | Khas penutup kepala Minangkabau | |
Pas Sapu | Suku Bugis | Rakyat Umum | Khas penutup kepala suku Bugis | |
Tanjak Deli, Langkat, Serdang | Sumatra Utara | Pangeran Kerajaan | Varian Sumatran yang dikenakan oleh kerabat diraja |
Teknik dan Seni Pembuatan (Solek): Tanjak sebagai Kerajinan Tradisional
Proses Dasar dan Keterampilan
Seni pembuatan tanjak tidak hanya memerlukan ketelitian, tetapi juga pemahaman mendalam tentang teknik lipatan dan simpul tradisional. Prosesnya dimulai dengan menyiapkan sehelai kain persegi, idealnya berukuran 90 cm x 90 cm. Kain ini kemudian dilipat secara diagonal hingga membentuk bidang segitiga yang simetris.
Langkah selanjutnya adalah proses melipat dasar yang memerlukan keahlian khusus, seperti mengukur dengan tiga jari untuk memastikan setiap lipatan memiliki ukuran yang seragam. Setelah lipatan dasar terbentuk, kain tersebut dibalik dan dijahit pada beberapa titik untuk mempertahankan strukturnya. Tahap terakhir yang paling krusial adalah mengikat simpul dari kedua sisi kain. Simpul ini, seperti yang telah dibahas sebelumnya, bukan sekadar penahan, melainkan elemen yang memberikan identitas dan makna pada tanjak itu sendiri.
Ragam Seni Lipatan (Solek) dan Namanya
Setiap gaya lipatan tanjak memiliki nama dan karakteristik unik yang mencerminkan sejarah, status, atau bahkan watak pemakainya. Salah satu
solek yang paling terkenal adalah Dendam Tak Sudah. Model ini dikenakan oleh Yang di-Pertuan Agong Malaysia pada upacara penobatannya. Secara filosofis, lima lipatannya melambangkan lima prinsip dalam Rukun Islam, yang menunjukkan bagaimana nilai-nilai keagamaan terintegrasi dalam seni budaya.
Ragam solek lainnya yang dikenal luas antara lain:
- Balung Raja: Tanjak resmi Sultan Selangor, yang mencerminkan status dan kekuasaan.
- Lang Menyusur Angin: Sebuah solek yang melambangkan keberanian, ketangguhan, dan kebijaksanaan, sering kali dikenakan oleh para pemimpin atau panglima.
- Bugis Tak Balik: Nama ini mencerminkan semangat juang dan pengorbanan tanpa menoleh ke belakang, sebuah representasi dari karakter suku Bugis.
- Tanjak Laksamana: Model yang menggambarkan keberanian, kepemimpinan, dan loyalitas
Pelestarian Tanjak di Era Kontemporer: Antara Tradisi dan Komersialisasi
Peran dan Fungsi Modern
Di era modern, peran tanjak telah mengalami pergeseran signifikan. Dari yang dulunya busana sehari-hari untuk menunjukkan status sosial, kini ia lebih sering berfungsi sebagai busana upacara yang terbatas pada acara-acara khusus.
Tanjak kini menjadi simbol warisan budaya yang membanggakan, dikenakan dalam upacara kenegaraan seperti yang terlihat pada perayaan Hari Kemerdekaan. Ia juga menjadi bagian tak terpisahkan dari busana pengantin pria Melayu dalam upacara pernikahan.
Pengaruh tanjak di era modern tidak hanya sebatas busana, tetapi juga merambah ke ranah arsitektur dan seni, seperti yang diwujudkan pada desain arsitektur Masjid Tanjak di Batam dan Tanjak Monument di Bengkalis. Hal ini menunjukkan bahwa tanjak tidak hanya menjadi warisan masa lalu, tetapi juga inspirasi kreatif di masa kini.
Tantangan Pelestarian di Era Globalisasi
Meskipun mendapat pengakuan yang luas, pelestarian tanjak menghadapi tantangan serius di era globalisasi. Komersialisasi dan produksi massal melalui platform daring telah menciptakan isu-isu baru. Banyak produk tanjak modern yang dijual secara online menggunakan bahan dan teknik yang tidak autentik, serta dinamai secara asal-asalan oleh penjual yang tidak memiliki pemahaman mendalam tentang tradisi. Hal ini berpotensi merusak makna dan keaslian tanjak sebagai artefak budaya yang sarat akan nilai.
Ketersediaan tutorial daring tentang cara membuat tanjak juga menimbulkan dilema. Di satu sisi, ia mendemokratisasi pengetahuan dan keterampilan, memungkinkan siapa pun untuk mempelajari seni ini. Namun, ini juga menimbulkan ketegangan dengan otoritas tradisi yang meyakini bahwa pengetahuan autentik tentang tanjak warisan hanya dapat diperoleh melalui bimbingan seorang guru atau maestro. Dengan demikian, ada kemungkinan di masa depan, akan ada dua kategori tanjak: tanjak sebagai aksesori mode yang terjangkau dan tanjak sebagai artefak budaya yang diwariskan secara otentik, di mana maknanya tetap terjaga.
Upaya Kebangkitan dan Inisiatif Pelestarian
Menghadapi tantangan ini, berbagai inisiatif positif telah dilakukan. Lokakarya dan pelatihan pembuatan tanjak, seperti yang diselenggarakan di Palembang dan Langkat , bertujuan untuk menanamkan pemahaman dan keterampilan tradisional kepada generasi muda. Inisiatif ini membantu menjembatani kesenjangan antara generasi dan memastikan bahwa seni ini terus hidup. Kolaborasi antara budayawan, pengrajin, dan akademisi sangat diperlukan untuk mendokumentasikan setiap solek dan teknik lipatan yang ada, sehingga dapat dijadikan referensi yang kredibel bagi pelestarian di masa depan.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Sintesis Temuan: Tanjak, Lebih dari Sekadar Penutup Kepala
Kajian ini menegaskan bahwa tanjak jauh melampaui fungsinya sebagai penutup kepala. Ia adalah artefak multi-dimensi yang sarat akan makna filosofis, sejarah, dan nilai sosial yang mendalam. Setiap aspeknya—mulai dari bentuk yang meruncing, makna warna, hingga kerumitan simpul—bercerita tentang peradaban Melayu yang menjunjung tinggi martabat, persatuan, dan budi pekerti. Keragaman model dan jenis tanjak di berbagai wilayah di Indonesia, seperti Palembang, Riau, dan Deli, mencerminkan kekayaan budaya Nusantara yang tak ternilai.
Komponen Tanjak | Makna Filosofis/Simbolisme | |
Pucuk/Bentuk Meruncing | Cita-cita luhur, martabat, wibawa, akal budi, dan peradaban yang tinggi | |
Simpul | Persatuan, ikatan kekeluargaan, ikatan pernikahan, dan asal-usul regional | |
Lipatan Tegak & Rapi | Disiplin, keteguhan hati, dan kejantanan | |
Lipatan Menunduk | Kesedihan dan rasa hormat (digunakan pada upacara duka) | |
Warna Kuning/Emas | Kebangsawanan, kemuliaan, dan kejayaan | |
Warna Hitam | Kekuatan, keteguhan, dan kerendahan hati | |
Kain Songket | Status sosial tinggi, kekuasaan, dan kemewahan (dahulu hanya bangsawan) | |
Lima Lipatan (Solek Dendam Tak Sudah) | Simbolisasi Rukun Islam |
Untuk memastikan warisan tanjak tetap lestari di tengah arus modernisasi, beberapa langkah strategis dapat direkomendasikan:
- Dokumentasi Holistik: Perlu adanya upaya sistematis untuk mendokumentasikan setiap solek dan teknik lipatan yang masih ada, terutama melalui kolaborasi dengan para maestro yang masih hidup. Dokumentasi ini harus mencakup tidak hanya visual, tetapi juga sejarah dan makna filosofis di baliknya.
- Integrasi Pendidikan: Materi mengenai sejarah dan filosofi tanjak harus diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan formal. Hal ini akan menumbuhkan kesadaran dan kecintaan generasi muda terhadap warisan budaya sejak dini.
- Dukungan untuk Pengrajin Tradisional: Pembentukan platform atau komunitas daring yang terkurasi dapat membantu membedakan antara produk autentik dan komersial. Platform ini dapat mendukung pengrajin tradisional dan edukasi publik tentang pentingnya membeli produk yang dibuat dengan teknik dan bahan yang benar.
- Promosi yang Bertanggung Jawab: Promosi tanjak harus dilakukan dengan cara yang bertanggung jawab, tidak hanya menonjolkan aspek estetika tetapi juga makna dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Ini akan mencegah tanjak hanya menjadi aksesori mode semata, dan sebaliknya, menjadikannya simbol yang terus dihormati.
Daftar Pustaka :
- Sejarah Tanjak – آكي ياما كاتو, diakses Agustus 24, 2025, http://sixnineart.blogspot.com/2014/08/sejarah-tanjak_3.html
- Tanjak, Tengkolok, dan Destar: Mahkota Lelaki Melayu yang Mengangkat Maruah, diakses Agustus 24, 2025, https://seasia.co/2025/04/30/tanjak-tengkolok-dan-destar-mahkota-lelaki-melayu-yang-mengangkat-maruah
- Tanjak Melayu Warisan Budaya Penuh Makna dan Filosofi – RRI.co.id, diakses Agustus 24, 2025, https://rri.co.id/lain-lain/377891/tanjak-melayu-warisan-budaya-penuh-makna-dan-filosofi
- Tanjak: A Towering Symbol of Malay Nobility | infobudaya.net, diakses Agustus 24, 2025, https://www.infobudaya.net/2025/04/tanjak-a-towering-symbol-of-malay-nobility/
- Makna Filosofis Tanjak Melayu, Pakaian Adat Prabowo saat Upacara Penurunan Bendera di Istana – Metro TV, diakses Agustus 24, 2025, https://www.metrotvnews.com/read/N0BC9zdl-makna-filosofis-tanjak-melayu-pakaian-adat-prabowo-saat-upacara-penurunan-bendera-di-istana
- Prabowo Pakai Tanjak Melayu Nuansa Biru saat Upacara Penurunan Bendera di Istana Merdeka – Metro TV, diakses Agustus 24, 2025, https://www.metrotvnews.com/read/bD2CM0mw-prabowo-pakai-tanjak-melayu-nuansa-biru-saat-upacara-penurunan-bendera-di-istana-merdeka
- ‘Stailo’ bertanjak – Harian Metro, diakses Agustus 24, 2025, https://www.hmetro.com.my/WM/2023/04/952582/stailo-bertanjak
- 4 Bentuk Tanjak Palembang yang Perlu Kamu Tahu, Ternyata Dulu Pernah Dilarang Belanda – Palpos.id, diakses Agustus 24, 2025, https://palpos.disway.id/read/637010/4-bentuk-tanjak-palembang-yang-perlu-kamu-tahu-ternyata-dulu-pernah-dilarang-belanda
- Keunikan Tanjak Warisan Melayu Siti Nur Aini Alias Nurul Huda Khalil Kamarul Azwan Azman Fakulti Pengurusan Maklumat UiTM Cawang, diakses Agustus 24, 2025, https://jslim.uitm.edu.my/pdf/IK10.pdf
- Tanjak Melayu Bukan Sekedar Penutup Kepala | Balai Pelestarian Nilai Budaya Kepulauan Riau – Direktorat Jenderal Kebudayaan, diakses Agustus 24, 2025, https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbkepri/tanjak-melayu-bukan-sekedar-penutup-kepala/
- Tanjak dan Tengkolok: Asal-usul, perbezaan dan maksud tersirat – SOSCILI, diakses Agustus 24, 2025, https://soscili.my/tanjak-tengkolok-dan-destar-apa-beza-dan-maksud-pemakaiannya/
- Tanjak lambang jati diri, keperibadian Melayu – BERITA Mediacorp, diakses Agustus 24, 2025, https://berita.mediacorp.sg/dunia/tanjak-lambang-jati-diri-keperibadian-melayu-158516
- tata cara hidup orang melayu riau: warisan budaya yang lestari the lifestyle of the malay people of, diakses Agustus 24, 2025, https://e-jurnal.jurnalcenter.com/index.php/micjo/article/download/409/294/2095
- Pelatihan Pembuatan Tanjak Sebagai Upaya Pelestarian Kearifan …, diakses Agustus 24, 2025, https://ejournal.stebisigm.ac.id/index.php/AKM/article/download/1178/485/
- 43 Jenis Ikatan Tanjak, Destar dan Tengkolok di Malaysia – Adi Channel, diakses Agustus 24, 2025, https://www.adichannel.com/2022/04/ikatan-tanjak-destar-tengkolok.html
- PB MBN Langkat Gelar Seminar, Perkenalkan Ornamen Melayu, diakses Agustus 24, 2025, https://www.langkatkab.go.id/berita/2726/pb-mbn-langkat-gelar-seminar-perkenalkan-ornamen-melayu
- Tanjak : Warisan Yang Kian Hilang Muhammad Aiman Muqri Mansor Nur Aida Syazwani Jasri Abdul Rahman Ahmad Fakulti Pengurusan Makl, diakses Agustus 24, 2025, https://ir.uitm.edu.my/92125/1/92125.pdf
- LokSeva – Jurnal, diakses Agustus 24, 2025, https://jurnal.utu.ac.id/lokseva/article/download/7040/pdf