PENDAHULUAN
Peran pendidikan vokasi menjadi sangat strategis sebagai penghasil manusia- manusia yang terampil, kompeten, dan profesional sesuai tuntutan dunia kerja, melahirkan manusia – manusia pencipta kerja, dan mengembangkan wirausahawan yang tangkas mengisi peluang usaha sesuai evolusi zaman. Sistem pendidikan vokasi harus proaktif dalam cara mereka menyesuaikan pasokan layanan pendidikan mereka untuk kepentingan individu, ekonomi , dan masyarakat di masa depan yang ditandai dengan perubahan yang cepat (Acton, Q. A, 2012). Pengetahuan, keterampilan, dan kompetensi yang dibutuhkan kaum muda dan orang dewasa untuk berkembang di dunia kerja akan berkembang pesat. Perubahan ini akan mempengaruhi keterampilan khusus pekerjaan, keterampilan dasar, keterampilan transversal / lunak, dan lebih luas lagi kapasitas untuk menangani perubahan dan untuk terlibat dalam komunitas lokal dan global (UNESCO, 2022).
Peran pendidikan vokasi makin besar ketika bertaut dengan tiga modal utama bangsa Indonesia, yakni modal demografi, modal digital, dan kekayaan sumber daya alam dan budaya sebagai ” bahan baku ” daya saing bangsa. Negara dengan konteks persentase kaum muda yang tinggi memerlukan perluasan sistem pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan dan cepat serta penciptaan lapangan kerja dalam skala besar, sementara negara-negara dengan jumlah angkatan kerja yang menyusut penduduk usia lanjut, pertumbuhan populasi lansia dan harapan hidup yang lebih tinggi memerlukan pengembangan keterampilan bagi pekerja senior (UNESCO, 2022). Indonesia sedang berada dalam masa persentase kaum muda yang tinggi. Sementara itu, revolusi teknologi digital berdampak pada pasar tenaga kerja dan permintaan akan keterampilan baru. Di kawasan Asia Pasifik, skill teknologi digital Indonesia berada di level cutting – edge dan kompetitif, terutama dalam computer networking, human – computer interaction, software engineering, dan security engineering (Coursera, 2020) .
Dekade ketiga Abad XXI adalah masa penting dan genting bagi pendidikan vokasi di Indonesia. Masa penting karena dekade 2020-an merupakan dekade awal bagi para milenial Gen Z memasuki dunia kerja, dan genting karena pendidikan vokasi didesak waktu dalam melakukan transformasi pendidikan untuk merebut peluang bonus demografi generasi milenial dan bonus digital (Acton, Q. A. 2019). Milenial Indonesia memiliki karekteristik kreatif, melek teknologi. terkoneksi, dan mandiri. Tujuh dari sepuluh (69,1 %) milenial Indonesia ingin memulai bisnisnya dari dalam dirinya sendiri (IDN Research Institute, 2019). Milenial Indonesia ini adalah aset generasi yang sangat penting. Mendukung peningkatan jumlah lembaga pendidikan vokasi dan pelatihan vokasi berkinerja tinggi yang dapat mengembangkan talenta milenial adalah strategi imperatif untuk mengejar momen bonus demografi 2030-2040, merebut peluang megatren, dan mencapai kejayaan Indonesia sebagaimana digambarkan dalam Visi Indonesia Maju 2045.
Revitalisasi pendidikan vokasi terus diupayakan di Indonesia dari dekade ke dekade. Sejak Repelita I pada dekade 1970-an mencanangkan industrialisasi, pendidikan vokasi menjadi isu besar dalam penyiapan sumber daya manusia (Acton, Q. A. 2012). Relevansi pendidikan dengan dunia kerja, ketepatan dan kesepadanan (link and match), pendidikan vokasi berorientasi pasar kerja (demand – driven), kurikulum bertujuan kompetensi, sistem ganda pendidikan vokasi, dll memenuhi wacana ruang publik pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia (Sukanto 1988). Dari masa ke masa pemerintahan, kebijakan pendidikan vokasi diperbarui dan program – program unggulan dikembangkan. Namun demikian, hasilnya seperti umumnya yang terjadi di banyak negara berkembang, belum cukup menggembirakan. Kesenjangan antara dunia pendidikan vokasi dan dunia usaha dan dunia industri masih menjadi masalah utama hingga sekarang .
SEJARAH PENDIDIKAN VOKASI DI INDONESIA
Sejarah mengenai pendidikan vokasi adalah berbicara mengenai skill Sumber Daya Manusia Indonesia untuk memasuki dunia kerja. Sejarah ini menegaskan bahwa pendidikan vokasi di Indonesia masih dianggap pendidikan nomor dua, dengan lulusan kompetensi yang sangat terbatas, dan tingkat penerimaan di dunia kerja masih terbatas (Mabhir, I. 2019). Padahal, dahulu pendidikan vokasi ini sangat membanggakan dengan tingkat kompetensi lulusan yang sangat tinggi dan daya serap ke dunia kerja sangat baik.
Pada Zaman Kemerdekaan sampai dengan Reformasi, masalah Pendidikan Vokasi yang berlangsung pada zaman Pendudukan Jepang masih belum bisa diatasi. Pendidikan vokasi terlanjur menjadi pendidikan yang kurang diperhatikan, dengan kualitas guru dan fasilitas yang tidak memadai, dan sistem yang tidak berjalan baik (Berk. 2022). Setelah reformasi, konsep pendidikan di Indonesia dirubah oleh pemerintah dengan menargetkan bahwa secara jumlah lembaga pendidikan vokasi harus mencapai 70%: 30% dari pendidikan umum. Angka ini merupakan pembalikan angka sebelumnya, yakni Pendidikan Vokasi hanya mencapai 30%:70% pendidikan umum. Menurut Suharno (2020), pembalikan itu merupakan penerapan dari Finlay theory yang menyatakan bahwa kota dimana populasi siswa pendidikan vokasi lebih besar maka perkembangan ekonomi dan produk domestik regional akan besar. Lebih dari itu, fakta menyebutkan bahwa lulusan Sekolah Umum yang tidak melanjutkan ke Perguruan Tinggi dan ingin langsung memasuki dunia kerja cukup tinggi. Dalam rancangan pendidikan yang baru tersebut, pemerintah menetapkan target prosentasi pada tahun 2009 mencapai 60% umum: 40% vokasi; tahun 2015, angkanya menjadi 50:50; tahun 2020, angkanya menjadi 40% umum: 10% vokasi; dan target tahun 2025 adalah 30%:70%. Target lembaga Pendidikan Vokasi mencapai 70% terjadi pada tahun 2025.
PENDIDIKAN VOKASI DAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA
Suatu tantangan yang menjadi tuntutan baik bagi dunia industri maupun bagi dunia pendidikan adalah pengembangan sumber daya manusia. Dari segi pendidikan, pengembangan kualitas sumber daya manusia dipandang sebagai upaya untuk memaksimalkan segenap kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik yang dimiliki anak didik. Kemampuan yang maksimal yang dimiliki tersebut digunakan untuk meraih prestasi terbaik dari setiap aktivitas belajar dan aktivitas kerja yang dialami diberbagai jenjang, jenis dan jalur pendidikan (Agrawal, T.2013). Dalam dimensi kognitif misalnya terkait dengan kemampuan berpikir kreatif dan berpikir logis. Kemampuan berpikir kreatif ditandai antara lain, ketrampilan berpikir lancar (Anwar 2007). Ketrampilan berpikir seperti ini dapat terlihat melalui kemampuan mencetuskan banyak gagasan, jawaban, penyelesaian masalah, dan dapat memberikan banyak cara atau saran untuk melakukan berbagai hal dan selalu memikirkan lebih dari satu kemungkinan jawaban.
Dengan demikian pengembangan kualitas sumber daya manusia dari aspek pendidikan adalah sebagai proses dan produk dalam mengembangkan kualitas melalui belajar, belajar bekerjasama, dan belajar mengenal jati diri untuk mencapai kemandirian, dan mampu berkompetitif. Wahyudin H. Dinn, dkk (2004) menjelaskan bahwa manusia yang kompetitif, bercirikan antara lain beretos kerja, profesional, bertanggung jawab, produktif, sehat jasmani dan sehat rohani, berjiwa patriotik, meningkatkan kebangsaan dan kesetiakawanan sosial serta berorientasi ke masa depan. Suatu pengembangan kualitas sumberdaya manusia yang dapat memenuhi kebutuhan pasar kerja merupakan tantangan bagi dunia pendidikan (Lantu, D. C. 2022). Dengan meningkatkan kualitas lulusan maka diharapkan dapat memenuhi pasar kerja adalah suatu hal yang sangat didambakan. Demikian pula pengembangan sumber daya manusia bagi dunia industri juga merupakan suatu kbutuhan yang tak terelakkan.
Secara ekonomi faktor sumber daya manusia memegang peranan yang sangat menentukan sebagai pelaksana pembagunan, dan sekaligus pada saat yang bersamaan sebagai tujuan yang menjadi sasaran pelaksanaan pembangunan (Carlsson, B. 2016). Dengan demikian pengembangan kualitas sumber daya manusia berperan sangat penting baik sebagai wahana mupun sebagai sasaran akhir pembangunan nasional. Kebutuhan akan tenaga kerja yang dapat bekerja secara efektif dan efisien merupakan suatu kebutuhan untuk dapat menekan ongkos produksi (Nurhadi, D. 2018). Kebutuhan akan tenaga kerja yang selalu siap menghadapi perubahan-perubahan teknologi punya hubungan erat dengan masalah produktivitas, pemasaran dan sebagai muaranya adalah dalam hal kompetisi hasl produksi.
Pendidikan vokasi memiliki peran yang penting dalam pengembangan sumber daya manusia (SDM) suatu negara. Pendidikan vokasi bertujuan untuk mengembangkan keterampilan praktis dan kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja (Anwar. 2007). Melalui program-program vokasi, individu dapat memperoleh keterampilan yang spesifik dalam bidang tertentu seperti teknik, pertanian, kesehatan, dan lain sebagainya.
Program pendidikan vokasi didesain dengan memperhatikan kebutuhan industri dan pasar kerja. Hal ini memungkinkan lulusan vokasi memiliki daya saing yang tinggi dan siap bekerja secara langsung setelah lulus (Agrawal, T. 2013). Dengan fokus pada pengembangan keterampilan praktis, pendidikan vokasi membantu meningkatkan ketersediaan tenaga kerja terampil di berbagai sektor. Hal ini mendukung pertumbuhan ekonomi dan pembangunan industri di suatu negara (Nurhadi, D. 2018). Salah satu masalah dalam pasar kerja adalah mismatch antara keterampilan yang dimiliki oleh tenaga kerja dengan kebutuhan yang diinginkan oleh industri. Pendidikan vokasi dapat membantu mengurangi masalah ini dengan menyediakan lulusan yang memiliki keterampilan sesuai dengan tuntutan industri (Mabhir, I 2019). Tenaga kerja yang terampil dan terlatih secara tepat dapat meningkatkan produktivitas perusahaan (Nsamenang, A. B. 2011). Selain itu, lulusan pendidikan vokasi yang memiliki keterampilan teknis juga dapat menjadi sumber inovasi dalam industri tertentu.
Lebih lanjut, Kerja sama antara lembaga pendidikan vokasi dengan industri sangat penting. Program magang, kerja sama proyek, dan pengembangan kurikulum berbasis kebutuhan industri adalah contoh kolaborasi yang dapat meningkatkan relevansi pendidikan vokasi dengan dunia kerja (Slamet, P. H. 2019). Melalui pendidikan vokasi yang berkualitas, masyarakat dapat memperoleh kesempatan untuk meningkatkan keterampilan dan mengakses pekerjaan yang lebih baik, sehingga berpotensi meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat secara keseluruhan. Dengan memperhatikan pentingnya pendidikan vokasi dalam pengembangan Sumber Daya Manusia, langkah-langkah seperti peningkatan kualitas pendidikan vokasi, pembangunan infrastruktur pendidikan yang memadai, serta penguatan kerja sama antara lembaga pendidikan, industri, dan pemerintah menjadi kunci untuk mencapai tujuan tersebut.
ARAH PENDIDIKAN VOKASI DI INDONESIA
Pemerintah Indonesia melalui kementrian pendidikan telah menambah direktorat baru di lingkungan Kemendikbud, yaitu Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi. Ditjen ini menggawangi empat direktorat, yaitu Direktorat Sekolah Menengah Kejuruan, Pendidikan Tinggi Vokasi dan Profesi, Kursus dan Pelatihan, serta Kemitraan dan Penyelarasan Dunia Usaha dan Dunia Industri. Hal ini dilandaskan kepada tantangan dan kebutuhan Sumber Daya Manusia di dunia industri yang semakin meningkat.
Arah pendidikan vokasi di Indonesia mengacu pada visi dan kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan relevansi pendidikan vokasi sesuai dengan kebutuhan pasar kerja. Pengembangan kurikulum pendidikan vokasi harus selaras dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan industri (Nsamenang, A. B 2019). Ini mencakup penyusunan mata pelajaran yang relevan, peningkatan metode pembelajaran yang interaktif dan aplikatif, serta integrasi teknologi informasi dan komunikasi dalam proses pembelajaran.
Selanjutnya, Di era digital menuntut keterampilan digital menjadi kompetensi yang sangat penting. Program pendidikan vokasi harus memperhatikan pembelajaran keterampilan digital seperti pemrograman, desain grafis, manajemen data, dan keahlian digital lainnya agar lulusan dapat bersaing di dunia kerja yang semakin terhubung secara digital (Nurhadi, D. 2018). Kemudian, Kerja sama antara lembaga pendidikan vokasi dengan industri sangat penting untuk memastikan kurikulum dan program pendidikan vokasi relevan dengan kebutuhan pasar kerja. Program magang, pelatihan kerja, dan pengembangan kurikulum berbasis industri perlu ditingkatkan untuk memperkuat keterhubungan antara dunia pendidikan dan industri.
Untuk mendukung pengembangannya, Kualitas tenaga pengajar di lembaga pendidikan vokasi harus ditingkatkan melalui pelatihan, sertifikasi, dan pengembangan profesionalisme. Tenaga pengajar yang berkualitas akan berdampak positif pada kualitas pembelajaran dan persiapan lulusan untuk dunia kerja (OCRC 2020). Hal ini tunjang dengan Investasi dalam pembangunan infrastruktur dan fasilitas pendidikan vokasi yang perlu ditingkatkan untuk mendukung proses pembelajaran yang efektif dan efisien. Laboratorium, workshop, perangkat lunak terkini, dan lingkungan belajar yang kondusif akan membantu meningkatkan kualitas pendidikan vokasi.
Selain fokus pada pendidikan vokasi di tingkat nasional, perlu juga memperkuat pendidikan vokasi di daerah-daerah untuk mendukung pengembangan ekonomi lokal dan mengurangi kesenjangan antarwilayah. Selain itu, mendorong pengembangan program kewirausahaan di pendidikan vokasi dapat membantu lulusan untuk menjadi pengusaha mandiri dan menciptakan lapangan kerja bagi orang lain (Yahya, M. 2016).
Upaya ini membutuhkan kerja keras dari kepala sekolah dan rektor. Pimpinan sekolah dan kampus vokasi tidak boleh terjebak dalam rutinitas birokrasi atau sekadar membuat memorandum of understanding (MoU) dengan perusahaan dan dimuat di berita tanpa tindak lanjut. Pada akhirnya, keberhasilan pendidikan vokasi di Indonesia tidak hanya dibebankan secara tunggal hanya kepada Kemendikbud, tetapi juga perlu sinergi baik antarkementerian, sekolah, perguruan tinggi, hingga industri. Dengan memperhatikan arah-arah tersebut, diharapkan pendidikan vokasi di Indonesia dapat terus berkembang menjadi lebih berkualitas, relevan, dan mampu menghasilkan lulusan yang siap pakai untuk memenuhi tuntutan pasar kerja dan mendukung pembangunan ekonomi nasional.
TANTANGAN DAN HAMBATAN PENDIDIKAN VOKASI DI INDONESIA
Tantangan dan hambatan pendidikan vokasi di Indonesia dapat berasal dari berbagai faktor. Salah satu tantangan utama adalah kurangnya kualifikasi dan keterampilan dari para guru dan instruktur di lembaga pendidikan vokasi (ILO. 2011). Hal ini dapat menghambat proses pembelajaran yang efektif dan berkualitas. Tantangan lainnya adalah kurikulum pendidikan vokasi yang belum sepenuhnya relevan dengan kebutuhan industri dan pasar kerja (Nsamenang, A. B. 2011). Kurangnya keterlibatan industri dalam penyusunan kurikulum dapat mengakibatkan kesenjangan antara keterampilan yang diajarkan dengan yang dibutuhkan oleh dunia kerja.
Banyak lembaga pendidikan vokasi di Indonesia masih menghadapi keterbatasan sarana dan prasarana seperti laboratorium, perangkat teknologi, dan fasilitas pembelajaran yang memadai. Hal ini dapat mempengaruhi kualitas pendidikan yang dapat diberikan. Pendidikan vokasi masih dianggap sebagai pilihan kedua setelah pendidikan formal seperti perguruan tinggi (Berk 2022). Persepsi ini dapat mengakibatkan kurangnya minat dari siswa dan orang tua untuk memilih pendidikan vokasi sebagai jalur karier yang potensial (Kamildzhanovna, M. N. 2022). Pemerintah masih terus berusaha merevitalisasi Pendidikan Tinggi Vokasi misalnya melalui pendirian akademi komunitas, pelatihan keterampilan, kemudahan akses dan layanan pendidikan vokasi, penyediaan sarana dan prasarana, penataan kelembagaan dan lain sebagainya (Mabhir, I, Kohler, T. 2019). Namun, data Forlap Dikti menyebutkan terdapat 275 politeknik di seIuruh Indonesia dengan jumlah hampir 900-an ribu mahasiswa. Atau hanya sekitar 6% dari total jumlah Perguruan Tinggi di Indonesia dengan jumlah mahasiswa 5,2% dari total jumlah seluruh mahasiswa di Indonesia, dan dengan jumlah rata-rata lulusan per-tahun sebesar 3.885 lulusan. Ditambah lagi dengan beberapa program pendidikan vokasi mengalami tingkat dropout yang tinggi, baik karena kurangnya minat siswa, kurangnya dukungan dari lingkungan, atau kurangnya pemahaman tentang manfaat pendidikan vokasi.
Tantangan lainnya adalah keterbatasan akses terhadap pendidikan vokasi di daerah-daerah terpencil serta kesenjangan kesetaraan dalam kesempatan pendidikan vokasi bagi berbagai kelompok masyarakat seperti perempuan, orang dengan disabilitas, dan kelompok minoritas. Hal ini ditambah dengan terdapatnya kesenjangan antara kebutuhan industri dengan lulusan pendidikan vokasi, baik dari segi keterampilan maupun sikap profesional. Hal ini dapat menghambat integrasi lulusan vokasi dengan dunia kerja secara langsung.
Untuk mengatasi tantangan dan hambatan tersebut, diperlukan langkah-langkah seperti peningkatan kualifikasi dan keterampilan guru, penyempurnaan kurikulum berbasis industri, peningkatan investasi dalam sarana dan prasarana pendidikan, sosialisasi yang lebih baik tentang manfaat pendidikan vokasi, serta kolaborasi yang erat antara lembaga pendidikan, industri, pemerintah, dan masyarakat secara keseluruhan.
REVITALISASI PENDIDIKAN VOKASI DI INDONESIA
Untuk dapat mengikuti revolusi industri 4.0 dan menghadapi revolusi industry 5.0, perbaikan dunia pendidikan menjadi krusial. Revitalisasi pendidikan vokasi di Indonesia menjadi salah satu agenda penting untuk memajukan sektor pendidikan dan memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang kompeten (OCRC. 2022). Sejak tahun 2019 pemerintah telah focus dalam merevitalisasi pendidikan vokasi. Selain untuk meningkatkan kualifikasi Sumber Daya Manusia dalam dunia kerja, pendidikan ini juga dikembangkan agar relevan dengan kebutuhan industri yang menjadi motor penggerak ekonomi. Beberapa langkah yang dapat diambil untuk melakukan revitalisasi pendidikan vokasi di Indonesia dimulai dengan melakukan revisi atau penyempurnaan kurikulum pendidikan vokasi agar lebih relevan dengan tuntutan industri dan pasar kerja. Kurikulum harus mencakup keterampilan praktis, teknologi terkini, dan aspek soft skill yang dibutuhkan dalam dunia kerja.
Kemudian, kerja sama yang erat antara lembaga pendidikan vokasi dengan industri menjadi hal yang sangat penting. Hal ini dapat dilakukan melalui pengembangan kurikulum berbasis industri, program magang, pelatihan kerja, serta kolaborasi proyek penelitian dan pengembangan bersama. Lebih lanjut, Guru dan instruktur pendidikan vokasi perlu mendapatkan pelatihan dan pengembangan keterampilan secara berkala agar dapat memberikan pembelajaran yang berkualitas dan sesuai dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan industry (Lantu, D. C. 2022). Hal ini didukung dengan Investasi dalam pembangunan sarana dan prasarana pendidikan vokasi yang perlu ditingkatkan. Hal ini mencakup laboratorium, workshop, perangkat teknologi, dan fasilitas lainnya yang mendukung pembelajaran praktis dan aplikatif.
Pemerintah telah mencanangkan link and match antara pendidikan vokasi dan industri. keterlibatan industri menjadi mutlak agar lulusan vokasi memenuhi standar kebutuhan, misalnya, melalui kegiatan praktik dengan melibatkan instruktur dari industri. Disamping itu, jika guru dan dosen diberi kesempatan mengikuti kegiatan serta penelitian terapan di industri, produktivitas industri juga akan meningkat (Killingberg, N. 2021). Indonesia tidak hanya membangun industri manufaktur, tetapi juga industri jasa, keuangan, kesehatan dan lainnya. Dengan demikian, revitalisasi perlu melibatkan semua sektor.
Revitalisasi tenaga pendidik juga harus diprioritaskan. Tenaga pendidik vokasi saat ini umumnya adalah lulusan sarjana dan magister pendidikan akademik, bukan pendidikan vokasi atau magister terapan. Kondisi ini berpengaruh pada cara mengajar dan mengevaluasi kompetensi. Jika dosen terlibat dalam kegiatan industri, pengalaman terapannya akan bertambah dan terbaharui, baik terkait metode kerja maupun peralatan dan teknologi industri termutakhir.
Proses evaluasi dan sertifikasi terhadap lulusan serta pengajar pendidikan vokasi perlu diperkuat untuk memastikan bahwa mereka benar-benar memiliki keterampilan dan kompetensi yang dibutuhkan oleh dunia kerja (Yahya, M. 2016). Sertifikasi juga dapat menjadi standar yang diakui oleh industri. Evaluasi dan sertifikasi akan mendorong inovasi dalam metode pembelajaran dan penggunaan teknologi dalam proses pendidikan vokasi sehigga dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembelajaran, serta mempersiapkan lulusan untuk menghadapi perkembangan teknologi di dunia kerja.
Revitalisasi pendidikan vokasi membutuhkan komitmen yang kuat dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga pendidikan, industri, dan masyarakat secara luas. Dengan langkah-langkah yang tepat, diharapkan pendidikan vokasi di Indonesia dapat menjadi lebih berkualitas, relevan, dan memberikan kontribusi positif bagi pengembangan sumber daya manusia dan pertumbuhan ekonomi negara.
TRANSFORMASI PENDIDIKAN VOKASI DI INDONESIA
Permasalahan dan tantangan pendidikan vokasi menuntut perubahan mendasar dan menyeluruh. Pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2022 tentang Revitalisasi Pendidikan Vokasi dan Pelatihan Vokasi. Revitalisasi Pendidikan Vokasi dan Pelatihan Vokasi dilakukan melalui upaya pembenahan Pendidikan Vokasi dan Pelatihan Vokasi secara menyeluruh, berkesinambungan, terintegrasi, dan terkoordinasi. Lima butir tujuan yang ditetapkan dalam Perpres ini, yakni (1) meningkatkan akses, mutu, dan relevansi penyelenggaraan Pendidikan Vokasi dan Pelatihan Vokasi sesuai dengan kebutuhan pasar kerja; (2) mendorong pembangunan keunggulan spesifik di masing-masing lembaga Pendidikan Vokasi dan Pelatihan Vokasi sesuai potensi daerah dan kebutuhan pasar kerja; (3) melakukan penguatan sinergi antara Pemerintah Pusat , Pemerintah Daerah , dunia usaha , dunia industri , dunia kerja , dan pemangku kepentingan lainnya dalam meningkatkan kualitas dan daya saing sumber daya manusia / tenaga kerja Indonesia; (4) membekali sumber daya manusia / tenaga kerja dengan kompetensi untuk bekerja dan / atau berwirausaha; dan (5) mendorong partisipasi dunia usaha, dunia industri, dan dunia kerja dalam rangka pelaksanaan Pendidikan Vokasi dan Pelatihan Vokasi .
Perpres Nomor 68/2022 ini diharapkan mampu mendorong terbentuknya ekosistem penyelenggaraan pendidikan vokasi dan pelatihan vokasi secara menyeluruh dan komprehensif yang lebih terkoordinasi, sinergi , fokus , efektif , dan efisien . Perpres ini mengatur pembagian peran dan tanggung jawab antar K / L dan pemangku kepentingan lainnya yang terlibat dalam penyelenggaraan revitalisasi pendidikan vokasi dan pelatihan vokasi. Sebagai turunannya , telah terbit Peraturan Menko PMK Nomor 6 Tahun 2022 tentang Strategi Nasional Revitalisasi Pendidikan Vokasi dan Pelatihan Vokasi sebagai panduan implementasi Perpres Nomor 68/2022 bagi K / L dan penyelenggara pendidikan vokasi dan pelatihan vokasi . Dalam Perpres ini tanggung jawab pendidikan vokasi diamanatkan kepada Menteri Pendidikan. Kebudayaan. Riset, dan Teknologi, sedanngkan pelatihan vokasi diamanatkan kepada Menteri Tenaga Kerja . Oleh karena itu , Kementerian Pendidikan , Kebudayaan , Riset , dan Teknologi menyusun Peta Jalan Pendidikan Vokasi sebagai tindak lanjut implementasi Perpres Nomor 68/2022 dan menujuk Peraturan Menko PMK Nomor 6/2022 . Implementasi Perpres Nomor 68 Tahun 2022 dilakukan melalui proses dan strategi transformasi pendidikan. Dalam hal ini, transformasi pendidikan vokasi dilakukan mulai dari aspek filosofis – paradigmatis hingga tataran praktis (Jenderal, D. 2022).
Transformasi Paradigmatik Menuju Pola Pikir Demand-Driven
Meskipun sejak kelahirannya secara filosofis pendidikan vokasi didedikasikan untuk memenuhi kebutuhan peran sosial di masyarakat, konkretnya pendidikan vokasi didesain untuk memenuhi kebutuhan dunia kerja, namun pendidikan vokasi di Indonesia belum bisa memenuhi tugas utamanya itu. Pendidikan vokasi menjalankan tugasnya tanpa didasarkan pada rujukan yang valid tentang kebutuhan dunia kerja karena memang tidak ada referensi kebutuhan dunia industri yang cukup akurat yang dapat dijadikan pegangan setiap satuan pendidikan vokasi (Mabhir, I 2019)
Penyelenggara pendidikan vokasi tidak memiliki akses informasi yang memadai tentang jenis pekerjaan yang berkembang di dunia kerja, jenis kecakapan dan setingkat apa kecakapan yang diperlukan dunia kerja, serta berapa jumlah kebutuhan tenaga kerja sektoralnya. Akibatnya , pendidikan vokasi selama ini terjebak dalam menjalankan tugasnya dengan pola supply – driven , sekedar melayani minat personal masyarakat , dan ketidakselarasan pendidikan vokasi dengan Dudi berlangsung dalam kurun waktu yang berkepanjangan . Transformasi pendidikan vokasi ke dalam kerangka pikir demand – driven (dengan makna demand yang luas) adalah imperatif dan keniscayaan revitalisasi pendidikan vokasi. Strategi transformasi pendidikan vokasi ini juga menekankan peran sektor swasta dalam menyelaraskan lebih lanjut kebutuhan keterampilan dengan pasokan keterampilan di pasar kerja di seluruh dunia. Selaras dengan strategi UNESCO , tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan relevansi system pendidikan vokasi dan untuk membekali semua pemuda dan orang dewasa dengan keterampilan yang dibutuhkan untuk pekerjaan yang layak , kewirausahaan , dan pembelajaran seumur hidup , dan untuk berkontribusi pada pelaksanaan Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan secara keseluruhan (Jenderal, D. 2021)
Transformasi Pendidikan Vokasi Melalui Penguatan Sinergitas Pendidikan Vokasi
Banyak lembaga pemerintah dan badan-badan bentukannya yang memiliki wewenang untuk mengatur penyelenggarsan pendidikan dan pelatihan vokasi, di mana cara kerjanya masih belum terintegrasi sehingga menciptakan ebijakan dan aturan yang wmpang tindih dan tidak Konsisten. Kondisi ini menciptakn kebingungan bagi seluruh penyelenggara pendidikan dan pelatihan Vokasi, sehingga penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan voksi Indonesia kurang efisien dan efektif. Penguatan sinergi antar lembaga akan membangkitkan ckosistem pendidikan vokasi yang efekif dan efsien (Clarke, A. J. 2019).
Merujuk pada ekosistem inovasi yang diajukan oleh Talmar, etal. (2020), pengembangan ckosistem pendidikan vokasi dapat dibangun dalam azas sinergits semua elemen yang terlibat, seperti industri, pemeriniah daerah, lembaga masyarakat, lembaga pembiayaan, dan pemangku kepentingan lainnya yang terlibat, Sinergi 4 dimensi: resources (R). activities (A), value-added (VA), dan value capture (VC) yang dimiliki oleh setiap elemen yang terlibat dalam ckosistem pendidikan vokasi yang dibangun akan menciptakan “keuntungan” (advantage) para pihak yang teribat di dalamnya. Dengan demikian, partisipasi masyarakat dalam pendidikan vokasi tidak hanya selo-selo, (etapi terbangun dalam ckosisiem yang harmonis dan dinars yang mampu mendorong Kinerja unggul, efekuf, dan efisien pendidikan vokasi (Jenderal, D. 2022).
Transformasi pendidikan vokasi dengan penguatan stok kecakapan relevan
Mitigasi Kecakapan masa depan secara besar-besaran sangat penting dilakukan sekarang untuk menyiapkan daya saing sumber daya manusia Indonesia di masa depan. Pendidikan vokasi tak akan cukup lagi hanya dengan menyiapkan manusia-manusia yang kompeten dalam pekerjaan tertentu, akan tetapi pendidikan vokasi harus menghasilkan manusia- ‘manusia kapabel yang mampu beradaptasi dengan perubahan (Jenderal, D. 2022).
Karena itu, pendidikan vokasi perlu menggeser visi dari penguasaan keterampilan sempit (narrow skis) ke kompetensi secara luas (broad competencies) dan ke kapabilitas (capability) ‘agar lulusan siap dan lentur menghadapi perubahan dunia kerja (Stason, 2010; Robeyns, 2003). Dalam era perubahan yang makin cepat, keterampilan kerja akan scmakin cepat usang. Karena itu, fokus pendidikan vokasi yang semula menghasilkan tenaga spesialis harus digeser ke menghasilkan expert-generalist yang adaptif terhadap perubahan. Pengetahuan lintas disiplin dan literasi digital menjadi dua fondasi kemampuan adaptif di samping keahlian ini Pembelajaran yang berfokus pada mono-disiplin harus digeser ke transdisiplin. Dunia kerja masa depan membutuhkan tenaga kerja yang memiliki kemampuan meta-knowledge (critical thinking/problem solving, creativity/innovation, communication skills, collaboration), yang menjadi ciri utama Kapabilitas sesorang. untuk menghadapi (antangan yang semakin komplek (Heick, 2018).
Penguatan kapabilitas tersebut, selaras dengan Strategi UNESCO untuk Pendidikan dan Pelatihan Vokasi 2022-2029, tentang identifikasi dan antsipasi kecakapan yang diperlukan untuk transis ke ekonomi digital dan ekonomi hijau (green economic). Bersama dengan mitra, “pelacak keterampilan global” perlu dikembangkan untuk pengembangan program pendidikan vokasi, pelatihan ulang, dan peningkatan kecakapan. Mitra di sektor swasta dan masyarakat sipil dimobilisasi untuk membangun pendidikan vokasi hijau (green vocational education). Pendidikan voksi tanggap terhadap tuntutan ransisi digital dan hijau yang inklusif di tempat Kerja, online, dan lingkungan pembelajaran lainnya (UNESCO, 2022).
Transformasi Pendidikan Vokasi Melalui Penguatan Pendidikan Profesionalisme dan Kewirausahaan
Dua skenario pendidikun vokasi perlu dikembangkan di Indonesia. Sebagai scenario Pendidikan vokasi yang tepat untuk Indonesia, selain skenario pendidikan vokasi untuk menyiapkan manusia terampil, Kompeten, dan profesional untuk industry, scenario pendidikan Kewirausahaan perlu diperkuat dan diperluas. Mengapa demikian? Daya serap industri terhadap tenaga kerja sangat kecil dibandingkan jumiah lulusan pendidikan (Carlsson, B. 2016).
Jumlah pekerja industri di Indonesia sekitar 17.56 juta, naik sekitar 3 juta dari tahun 2014 yang berjumlah sekita 14.5 juts, atau dapat dikatakan dalam kurun waktu tu daya serap industri sekitar 600-700 ribu per tahun. Jumlah serapan yang sangat Kurang memadai dibanding 3.3 juta lulusan setap tahun yang memasuki lapangan kerja. Statistik pendidikan vokasi (2021) mencatat 2273% lulusan pendidikan vokasi berwirausaha, sebagian besar dibantu oleh pekerja setengah berbayar, dan hanya 3.89% di antaranya berusaha dibantu oleh pekerja berbayar. Mereka mayorias bekerja di sekior jasa Kesehatan, perdagangan, dan jasa pendidikan. Ke depan, Indonesia membutuhkan 4 juta wirausahawan baru di banyak sektor untuk menjadi negara maju (Erick Tohir, Merdeka.com). Oleh karen ita, penguatan pendidikan kewirausahaan perlu dilakukan melalui ekosistem baru dalam pendidikan vokasi ke depan (Mabhir, I 2019).
Inovasi dan entrepreneur harus menjadi budaya dengan memanfaatkan kekayaan alam dan budaya sciempat. Hanya sekitar 15% lulusan pendidikan vokasi yang melanjutkan ke Jenjang pendidikan lebih tinggi. Lulusan yang diserap oleh industri, terutama manufaktur dan retail, juga semakin sedikit sejalan dengan hadimya robot dun otomasi. Karena itu, siswa pendidikan vokasi perl disiapkan untuk menjadi job creator, yakni inovator dan entrepreneur yang mampu merubah keunggulan alam dan budaya sctempat menjadi keungeulan ekonomi dan daya saing yang mensejahterakan masyarakat (Anwar. 2007).
Transformasi Pendidikan Vokasi Ke Pengembangan Vokasi Sebagai Proses Pembelajaran Berkelanjutan
Perubahan teknologi dan dunia kerja yang semakin cepat menuntut pekerja memiliki Kemauan untuk terus belajar sepanjang hayat memperbaruhi kompetensinya. Hidup di alam dan berpikir yang hiper-inovatif menuntut setiap orang “belanja * pengetahuan dan kecakapan baru secara terus-menerus untuk membangun Karir secara berkelanjutan. Karena itu satuan pendidikan perlu memperluas menu layanan pendidikannya sehingga menjadi tempat pembelajaran sepanjang hayat yang feksibel melalui reskilling and upskilling. Sistem modular bersertifikat dengan kurikulum selaras perkembangan dunia kerja perly mulai dikembangkan melalui layanan pendidikan formal maupun nonformal. Perlu sinegi vertical penyelenggaran pendidikan vokasi dari pendidikan menengalh hingga. perguruan tinggi demikian juga sinergi horizontal antar institusi pendikan voksi. Pendidikan vokasi perl terus mengidentifikasi keterampilan baru yang dibutubkan di pasar tenaga kerja sebagai tanggapan terhadap peran pening dan beskembangnya ilmu pengetahuan, eknologi, teknik rekayasa dan matematika dalam kehidupan sosial dan ekonomi, termasuk di bidang keterampilan digital tingkat lanjut dan memelihara keterampilan dan pola pikir Kewirausahaan dan mengintegrasikannya ke dalam sistem pendidikan vokasi (Jenderal, D, 2022).
Transformasi Tata Kelola Pendidikan Vokasi Menuju Penciptaan Institusi Otonom
Agar insttusi pendidikan vokasi bisa terus tumbuh dan belajar (growth and learning organization) sesuai keunikannya untuk menciptakan keunggulan sectoral, penciptsan insitusi yang lebih otonom menjadi imperatif. Fleksibilitas layanan pendidikan vokasi hanya akan dapat divujudkan bila ada otonomi institusi pendidikannya (Jenderal, D, 2022).
Otonomi juga diperlukan agar instiusi pendidikan bisa secara cepat dan mandiri mengembangkan keunggulan dan Keunikannya masing-masing sesudi dengan keragaman kebutuhan dunia kerja dan potensi sumberdaya alam di daerahnya. Otonomi mendukung tenaga ‘pengajar dan lembaga pendidikan kejuruan untuk mendorong Kualitas, inovasi dan Keunggulan, termasuk mendukung pengembangan kapasitas para pengambil keputusan dan pimpinan lembaga yang bertinggung juwab atas pelatihan staf pengajar.
Otonomi juga memperkuat tata kelola dan membuka peluang investasi dalam menciplakan platform pemangku kepentingan nasional, regional, dan sekioral untuk memfsilitasi partisipasi dan komunikasi scktor swasta dalam penguatan relasi dunia pendidikan dan dunia kerja. Ini juga akan mempromosikan investasi di pendidikan vokasi, termasuk pembiayaan inovatf dan berbagi pengalaman internasional. Otoromi juga akan menciptakan agilitas pendidikan vokasi dalam merespons ~ melalui pendekatan inklusif dan proakiif – tantangan yang ditimbulkan oleh perubahan teknologi, ketidakpastian ekonomi dan dunia kerja industri, pekerjaan informal, transisi demografs, dan masalah sosial terutama akibat migrasi skala besar di dalam maupun antarnegara yang terjadi di masa akan datang. Pada akhimya, otonomi akan mendorong sstuan pendidikan vokasi untuk terus cumbul dan belajar (Jenderal, D, 2022).
RENCANA STRATEGIS PENDIDIKAN VOKASI DI INDONESIA
Merujuk terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 68 tahun 2022 tentang Revitalisasi Pendidikan Vokasi dan Pelatihan Voksi, maka perlu diselaraskan kembali Strategi Nasional Pendidikan Vokasi dan Pelatihan Vokasi yang telah diterbitkan secara bersama oleh Kemenko Bidang Perekonomian, Kemenko Bidang PMK. BAPENAS, dan KADIN Tahun 2021. Perpres 68/2022 memberikan amanah kepada Kementerian dan Lembaga terkait untuk melaksanakan revitalisasi Pendidikan Vokasi Dan Pelatiban Vokasi dengan ruang lingkup meliputi (1) Kebutuhan sumber daya manusia/ tenaga kerja kompeten: (2) Penyelenggaraan; (3) Penyelarasan; (4) Penjaminan mutu; (5) Koordinasi; (6) Peran PEMDA; (7) Pemantauan, evaluasi, pelaporan; dan (8) Pendanaan. Dalam rangka penyelenggaraan revitalisasi Pendidikan Vokasi dan Pelatihan Vokasi, Pemerintah membentuk Tim Koordinasi Nasional Vokasi (TKNV) yang memiliki tugas mengkoordinasikan, menyinergikan, dan mengevaluasi penyelenggaraan revitalisas Pendidikan Vokasi dan Pelatiban Vokasi secara efekif, menyeluruh, dan terintegrasi dengan melibatkan pemangku kepentingan terkait ditingkat pusat dan dacrah, serta menyusun Strategi Nasional Pendidikan Vokasi.
Strategi Nasional Pendidikan Vokasi dan Pelatihan Vokas (Stranas PVPV) diharapkan menyajikan kebijakan rencana tindakan yang komprehensi dan terintegrasi penyelenggaruan Pendidikan Vokasi dan Pelatihan Vokasi yang berkualitas di Indonesia secara periodik 10 tahun ke depan dan berkelanjutan hingga tahun 2045. Strategi Nasional di wujudkan dalam kebijakan yang melput (1) Pengembangan sumber daya: (2) Pengembangan Sistem Informsi Pasar Kerja yang terintegrasi lima sekor bidang usaha; (3) Penguatan dan pengembangan penyelenggaraan Pendidikan Vokasi dan Pelatihan Vokasi yang adaptif dengan perubahan; (4) Penjaminan mutu Pendidikan Vokasi dan Pelatihan Vokasi: (5) Meningkatkan kapasits dan peran pemangku Kepentingan Pendidikan Vokasi dan Pelatihan Vokasi; dan (6) Memperkokoh pendanaan penyelenggaraan Pendidikan Vokasi dan Pelatihan Vokasi. Dengan demikian, Strategi nasional akan selaras dengan upaya Pemerintah membawa Indonesia menjadi Negara berpenghasilan menengah atas yang inovaif dan mandiri, serta menjadi salah satu negara dengan perekonomian terbesar di dunia pada tahun 2045.
IMPLEMENTASI RENCANA STRATEGIS PENDIDIKAN VOKASI DI INDONESIA
Kemajuan teknologi yang pesat di pasar tenaga kerja, diperlukan fleksibilitas dalam integrasi, Kemampuan beradaptasi, dan pemagangan berkelanjutan dalam penyediaan pelatihan. Salah satu perkembangan terpenting di sektor pendidikan vokasi adalah perubahan paradigma yang menghasilkan kebijakan yang lebih holistk yang berpihak pada pendidikan vokasi sehingga memungkinkan untuk mengadopsi dan mengakui perolehan keterampilan di semua bidang pelatihan dan pembelajaran baik formal, informal atau non-formal. Pendidikan vokasi harus menjadi sistem yang koheren dengan tujuan memenuhi tuntutan pembangunan ekonomi bangsa dalam hal kapasitas manusia yang terampil baik dalam jumlah dan kualitas yang cukup untuk Kesejahteraan sosial kolektif (Jenderal, D, 2022).
Tujuan utama pendidikan vokasi tidak hanya memberikan keterampilan untuk memperoleh pekerjaan yang dibayar tetapi juga untuk mendorong dan mendukung kreativitas, inovasi dan kewirausahaan dalam rangka mengembangkan kemampuan untuk menciptakan lapangan kerja dan kesempatan kerja. Straegi implementasi yang diperlukan untuk mencapa tujuan tersebut adalah sebagai berikut.
1. Kompas Pembelajaran
Kompas pembelajaran yang membantu peserta didik menavigasi menuju masa depan yang diinginkannya. Metafora kompas pembelajaran diadopsi untuk menekankan perlunya peserta didik belajar menavigasi sendiri melalui konteks yang tidak dikenal dan menemukan arah mereka dengan cara yang bermakna dan bertanggung jawab, meski hanya menerima instruksi atau arahan tetap dari guru mereka. Peserta didik yang memegang kompas pembelajaran, akan terlatih memiliki tyujuan dan rasa tanggung jawab sambil belajar untuk mempengaruhi orang, peristiwa, dan keadaan disekitarnya menjadi lebih baik. Setiap peserta didik belajar, tumbuh dan menjalankan hak pilihan mereka dalam konteks social dan dikelilingi oleh teman sebaya, guru, keluarga dan komunitas yang berinteraksi dan membimbing peserta didik menuju kesejahteraan (Jenderal, D, 2022).
2. Kompetensi Transformatif Untuk 2030
Kompetensi transformatif ini digunakan diberbagai konteks dan situasi dan dapat dilihat sebagai kompetensi tingkat yang lebih tinggi yang membantu peserta didik menavigasi situasi dan pengalaman yang berbeda (Grayling, 2017). Kemampuan untuk mengatasi ketidakpastian, mengembangkan sikap dan nilai baru, dan bertindak secara produktif dan bermakna, bahkan ketika tujuan berubah, untuk saat ini tetap merupakan keterampilan manusia yang unik (Laukonnen, Biddel and Gallagher, 2018). Mendamaikan ketegangan dan problematika membutuhkan membaca dan memahami konteks yang kompleks dan ambigu, dimana keterampilan ini, tidak dapat dengan mudah diprogram ke dalam suatu algoritme. Kompetensi transformatif dapat diajarkan dan dipelajari di sekolah dengan memasukkannya ke dalam kurikulum dan pedagogi yang ada. Negara dapat memasukkannya dalam desain kurikulum dengan tujuan menanamkan kompetensi “menciptakan nilai baru” ke dalam mata pelajaran seperti seni, bahasa, teknologi, ekonomi rumah tangga, matematika dan sains, dengan menggunakan pendekatan interdisipliner. Kompetensi transformatif juga dapat diperoleh di rumah, di keluarga, dan di masyarakat, selama interaksi dengan orang lain (Jenderal, D, 2022).
3. Siklus Anticipation-Action-Reflection (AAR)
Siklus Anticipation-Action-Reflection (AAR) adalah proses pembelajaran berulang di mana peserta didik secara terus menerus meningkatkan pemikiran mereka dan bertindak dengan sengaja dan bertanggung jawab menuju kesejahteraan kolektif. Melalui perencanaan, pengalaman dan refleksi, peserta didik memperdalam pemahaman mereka dan memperluas perspektif mercka. Siklus AAR adalah katalis untuk pengembangan kompetensi transformatif, dan tergantung pada kemampuan pelajar untuk menjadi adaptif dan reflektif dan untuk mengambil tindakan yang sesuai, dan untuk terus meningkatkan pemikirannya (Jenderal, D, 2022).
4. Pendekatan Atas Perubahan Paradigma Pendidikan Vokasi
Ini bertujuan untuk mempertanyakan permintaan dan tidak membatasi pada tawaran pendidikan dan pelatihan vokasi. Titik awalnya adalah bukan pada penyediaan pendidikan dan pelatihan vokasi yang terbukti tidak memadai dan telah menghasilkan lulusan yang menganggur, namun seharusnya adalah permintaan pendidikan dan pelatihan vokasi sebagai ekspresi dari sistem ekonomi secara umum untuk memenuhi kebutuhan keterampilan sektor- sektor utama mesin perekonomian negara dengan kolaborasi bersama pemerintah, KADIN, dan BNSP dalam menyiapkan SDM melalui penyediaan infrastruktur peralatan dan bahan pendukungnya (Jenderal, D, 2022).
5. Penelitian Bidang TVET
Pengembangan TVET harus ditempatkan di garis depan informasi teknis untuk mengikuti perkembangan teknologi secara global. TVET sendiri kemudian menjadi objek penelitian yang menempatkan lini produksi sebagai pusat pengembangan guna mendapatkan informasi sebagai antisipasi yang selalu dibutuhkan dalam sistem pendidikan. Melalui penelitian inilah sistem pendidikan dan pelatihan vokasi akan selalu mendapatkan tinjauan melalui kaji ulang secara periodik (Zelloth, H, 2014).
KESIMPULAN
Pengetahuan, keterampilan, dan kompetensi yang dibutuhkan kaum muda dan orang dewasa untuk berkembang di dunia kerja akan berkembang pesat. Revitalisasi pendidikan vokasi terus diupayakan di Indonesia dari dekade ke dekade. Konsep pendidikan di Indonesia dirubah oleh pemerintah dengan menargetkan bahwa secara jumlah lembaga pendidikan vokasi harus mencapai 70%: 30% dari pendidikan umum. Suatu tantangan yang menjadi tuntutan baik bagi dunia industri maupun bagi dunia pendidikan adalah pengembangan sumber daya manusia. Kebutuhan akan tenaga kerja yang selalu siap menghadapi perubahan-perubahan teknologi punya hubungan erat dengan masalah produktivitas, pemasaran dan sebagai muaranya adalah dalam hal kompetisi hasl produksi.
Pendidikan vokasi bertujuan untuk mengembangkan keterampilan praktis dan kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja. Arah pendidikan vokasi di Indonesia mengacu pada visi dan kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan relevansi pendidikan vokasi sesuai dengan kebutuhan pasar kerja. Revitalisasi pendidikan vokasi di Indonesia menjadi salah satu agenda penting untuk memajukan sektor pendidikan dan memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang kompeten. Beberapa langkah yang dapat diambil untuk melakukan revitalisasi pendidikan vokasi di Indonesia dimulai dengan melakukan revisi atau penyempurnaan kurikulum pendidikan vokasi agar lebih relevan dengan tuntutan industri dan pasar kerja. Kurikulum harus mencakup keterampilan praktis, teknologi terkini, dan aspek soft skill yang dibutuhkan dalam dunia kerja.
Pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2022 tentang Revitalisasi Pendidikan Vokasi dan Pelatihan Vokasi.. Perpres Nomor 68/2022 ini diharapkan mampu mendorong terbentuknya ekosistem penyelenggaraan pendidikan vokasi dan pelatihan vokasi secara menyeluruh dan komprehensif yang lebih terkoordinasi, sinergi , fokus , efektif , dan efisien. Merujuk terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 68 tahun 2022 tentang Revitalisasi Pendidikan Vokasi dan Pelatihan Voksi, maka perlu diselaraskan kembali Strategi Nasional Pendidikan Vokasi dan Pelatihan Vokasi. Strategi Nasional Pendidikan Vokasi dan Pelatihan Vokas (Stranas PVPV) diharapkan menyajikan kebijakan rencana tindakan yang komprehensi dan terintegrasi penyelenggaruan Pendidikan Vokasi dan Pelatihan Vokasi yang berkualitas di Indonesia secara periodik 10 tahun ke depan dan berkelanjutan hingga tahun 2045.
KEPUSTAKAAN
Acton, Q. A. (2012). Issues in Clinical Psychology, Psychiatry, and Counseling: 2011 Edition. United Stated: Scholarly Editions.
Agrawal, T. (2013). Vocational Education and Training Programs (VET): An Asian Perspective. Asia-Pacific Journal of Cooperative Education. 14. 1, 15-26.
Ahmad, A. M., Hussain, K., Ekiz, E., & Tang, T. (2020). Work-based learning: an approach towards entrepreneurial advancement. Worldwide Hospitality and Tourism Themes, 12(2). https://doi.org/10.1108/WHATT-12-2019-0076
Anjum, S. (2020). Impact of internship programs on professional and personal development of business students: a case study from Pakistan. Future Business Journal, 6(1). https://doi.org/10.1186/543093-019-0007-3
Anwar. (2007). Manajemen Pemberdayaan Perempuan (Perubahan Sosial Melalui Pembelajaran Vocational Skill pada keluarga Nelayan). Bandung : Alfabeta.
Berk. (2022). General Education Versus Vocational Education: Vocational Education and Its Future. In Education Policies in the 21st Century (pp. 131-158). Palgrave Macmillan, Singapore.
Carlsson, B. (2016). Industrial Dynamics: A Review of the Literature 1990-2009. Industry and Innovation. 23. 1, 1-61.
Clarke, A. J., Burgess, A., van Diggele, C., & Melis, C. (2019). The role of reverse mentoring in medical education: Current insights. In Advances in Medical Education and Practice (Vol. 10). hitps://doi.org/10.2147/AMEP.S 179303
Hug, A., & Gilbert, D. H. (2013). Enhancing graduate employability through work-based learning in social entrepreneurship: A case study. Education and Training, 55(6). hitps:/doi.org/10.1108/ET-04-2012-0047
ILO. (2011). A Skilled Workforce for Strong, Sustainable and Balanced Growth: A G20 Training Strategy. Geneva: International Labour Office (ILO).
Jenderal, D., Vokasi, P., Pendidikan, K., Teknologi, (2022) Peta Jalan Dan Strategi Nasional Pendidikan Vokasi.
Junipisa, N. M. E., & Aristana, I. N. (2021). Shadowing Technique To Improve Student’s Listening Skill. Jurnal Pendidikan Bahasa Inggris Undiksha, 9(2). https://doi.org/10.23887/jpbi.v9i2.32516
Kamildzhanovna, M. N., & Ubaydullaevich, A. M. (2022). The importance of varietic education in vocational training in general secondary educational institutions. Web of Scientist: International Scientific Research Journal, 3(3), 274-282.
Killingberg, N. M., Kubbergd, E., & Blenker, P. (2021). Preparing for a future career through entrepreneurship education: Towards a research agenda. Industry and Higher Education, 35(6). https://doi.org/10.1177/0950422220969635
Lantu, D. C., Suharto, Y., Fachira, I., Permatasari, A., & Anggadwita, G. (2022). Experiential learning model: improving entrepreneurial values through internship program at start-ups. Higher Education, Skills and Work-Based Learning, 12(1), 107-125. https://doi.org/10.1108/HESWBL-01-2021-0014
Luekitinan, W. (2018). The Impact of Cooperative Education: Considering Employability and Career Advancement of New Graduates. International Journal of Information and Education Technology, 8(10), 725-729. https://doi.org/10.18178/IJIET.2018.8.10.1129
Mabhir, I, Kohler, T., & Slamet, P. H. (2019). Career Guidance Shortages in Indonesian Vocational High School. KnE Social Sciences, 223-240.
Nsamenang, A. B., & Tchombe, T. M. (2011). Handbook of African Educational Theories and Practices: A Generative Teacher Education Curriculum. Camerron: Human Development Resource Centre (HDRC).
Nurhadi, D., & Lyau, N. M. (2018). Cultivating responsibilities of vocational teachers: a framework for preparing education to work. Jurnal Pendidikan Teknologi dan Kejuruan, 24(2), 295-302.
OCRC. (2022). Workplace Tour Activity Guide. Available at https://ocregionalconsortium.org/wbl-toolkit-about-us/guest-speaker-guide- 1/workplace-tourguide#:~:text=A%20Workplace%20Tour%20is%20a,and%200bserve%20work%20in%20progress.
Sukanto. (1988). Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum Pendidikan Teknologi dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. DIKTI, Jakarta : Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan.
Yahya, M., & Yahya, M. (2016). Pengaruh pembelajaran berbasis kerja terhadap wawasan wirausaha. Jurnal Kependidikan: Penelitian Inovasi Pembelajaran, 46(1), 29-40. https://doi.org/10.21831/jk.v46i1.8745
Zelloth, H. (2014). Technical and vocational education and training (TVET) and career guidance: The interface. In Handbook of career development (pp. 271-290). Springer, New York.