Memetakan Spektrum Ortodoksi dan Heterodoksi

Analisis terhadap sekte-sekte minoritas dalam Islam dan Kekristenan memerlukan definisi yang hati-hati. Istilah “sekte” sendiri seringkali bermuatan negatif, digunakan oleh kelompok mayoritas (ortodoksi) untuk mengidentifikasi penyimpangan fundamental, sementara “denominasi minoritas” adalah istilah yang lebih netral. Dalam kedua tradisi agama besar ini, penentuan apakah suatu kelompok merupakan ortodoks atau heterodoks didasarkan pada konsensus historis, teologis, dan hukum agama—seperti keputusan Ijma’ (konsensus ulama) dalam Islam atau keputusan Konsili Ekumenis dalam Kekristenan.

Terminologi Kunci: Definisi Sekte, Denominasi, dan Aliran Ekstrem

Dalam konteks agama, sekte adalah kelompok yang memisahkan diri dari denominasi yang lebih besar, umumnya karena perbedaan doktrinal pada isu-isu kunci, meskipun masih mempertahankan banyak ajaran dasar.

Sebuah kategori khusus dalam Islam adalah Aliran Sesat atau Ghulat. Istilah Ghulat (bentuk jamak dari Ghali, yang berarti “berlebihan”) merujuk pada cabang-cabang Syi’ah yang dianggap ekstrem karena melebih-lebihkan status Imam mereka, terkadang sampai pada tingkat penuhanan atau deifikasi.

Sementara itu, kriteria fundamental dalam Kekristenan untuk mengklasifikasikan sekte minoritas, terutama yang muncul pasca-Reformasi, adalah Nontrinitarianisme. Ini adalah penolakan terhadap ajaran ortodoks bahwa Tuhan adalah tiga pribadi (Bapa, Anak, Roh Kudus) yang setara, ko-eternal, dan tak terpisahkan dalam satu esensi.

Kriteria Batasan (Boundary Markers) Mayoritas

Kriteria dalam Islam (Ortodoksi Sunni/Syiah Arus Utama)

Batasan teologis utama dalam Islam ditetapkan oleh doktrin-doktrin fundamental yang disepakati secara luas. Garis patahan utama adalah konsep Khatamun Nubuwwah (Penutup Kenabian), yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad adalah nabi terakhir. Klaim kenabian baru setelah Muhammad dianggap sebagai pemisahan yang radikal dari konsensus Islam.

Penyimpangan serius lainnya berkaitan dengan Tauhid (Keesaan Tuhan) dan batas deifikasi. Penuhanan figur manusia setelah Nabi Muhammad, seperti yang terjadi dalam kelompok Ghulat terhadap Ali, dianggap sebagai syirik (politeisme) dan merupakan penyimpangan terparah.

Lembaga keagamaan formal di berbagai negara Muslim berperan penting dalam meresmikan status minoritas. Majelis Ulama Indonesia (MUI), misalnya, telah menetapkan 10 kriteria untuk mengantisipasi aliran sesat. Salah satu kriteria yang paling menonjol dan memisahkan adalah praktik  Takfir (pengkafiran). Kriteria ke-10 MUI menyebutkan pengkafiran sesama muslim tanpa dalil syar’i hanya karena mereka bukan bagian dari kelompoknya sendiri. Penggunaan takfir ini secara efektif bertindak sebagai mekanisme kontrol sosial dan hukum, mengubah sengketa teologis menjadi masalah ketertiban publik. Ketika otoritas keulamaan menetapkan kriteria ini, mereka meresmikan konflik sektarian, memungkinkan batasan teologis untuk diterjemahkan menjadi pembatasan legal oleh negara.

Kriteria dalam Kekristenan (Ortodoksi Trinitarian)

Batasan teologis dalam Kekristenan ortodoks (Katolik, Ortodoks Timur, dan sebagian besar Protestan) ditetapkan secara definitif pada abad ke-4 Masehi, terutama melalui Konsili Ekumenis Kuno. Konsili Nicea (325 M) menetapkan keilahian penuh Anak, dan Konsili Konstantinopel (381 M) menegaskan keilahian Roh Kudus. Kelompok yang menolak Kredo Nicea dan dogmatika ini secara historis ditempatkan di luar ortodoksi.

Penyimpangan utama berpusat pada Kristologi (Sifat Kristus). Penolakan terhadap keilahian penuh Kristus atau klaim bahwa Ia adalah makhluk ciptaan, seperti dalam Nontrinitarianisme atau Arianisme, adalah garis patahan yang tidak dapat dinegosiasikan bagi ortodoksi. Selain itu, keyakinan bahwa  Kanon (kitab suci yang diterima) bersifat terbuka, dengan penambahan kitab suci di luar Alkitab yang diakui secara luas, juga dianggap sebagai penyimpangan epistemologis yang fundamental.

Studi Kasus Minoritas dalam Islam

Tiga kelompok minoritas berikut menunjukkan bagaimana penyimpangan teologis mengenai otoritas kenabian, sifat ilahi, dan suksesi politik menghasilkan konsekuensi sosiopolitik yang berbeda.

Ahmadiyyah: Ujian atas Khatamun Nubuwwah

Latar Belakang dan Klaim Kenabian

Jemaat Ahmadiyyah didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad, yang lahir di Qadian, India, pada tahun 1835. Gerakan ini muncul di tengah kondisi kemerosotan politik, sosial, moral, dan agama umat Islam di India pada saat itu. Doktrin utama yang memicu konflik dengan Islam arus utama adalah keyakinan mereka terhadap Mirza Ghulam Ahmad sebagai Al-Mahdi dan Al-Masih yang dijanjikan, yang memiliki status kenabian. Menurut Ahmadiyyah, status kenabiannya berfungsi untuk melanjutkan ajaran Nabi Muhammad.

Ahmadiyyah meyakini bahwa wahyu masih tetap terbuka, dan wahyu yang diterima oleh Al-Mahdi bertugas menginterpretasikan Al-Qur’an sesuai dengan ide pembaharuannya. Terdapat pula skisma internal; versi Qadian percaya Ghulam Ahmad adalah  Nabi Haqiqi (Nabi Sejati), sementara versi Lahore memandangnya sebagai Nabi Lughawi (Nabi Metaforis). Klaim ini secara langsung menantang doktrin Khatamun Nubuwwah yang dipegang teguh oleh mayoritas Muslim.

Status Sosiopolitik dan Legal

Meskipun secara praktik ritual ibadah, Ahmadiyyah seringkali serupa dengan Muslim arus utama , mereka secara teologis dianggap menyimpang. Di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) secara tegas menyatakan Ahmadiyah menyimpang dari ajaran Islam yang seharusnya. Fatwa MUI No: 11 Munas VII MUI/15/2005 mengkategorikan Ahmadiyah sebagai aliran sesat.

Penyimpangan yang berakar pada masalah epistemologis (sumber wahyu/kenabian) ini memiliki dampak legal yang signifikan. Misalnya, di Sumatera Barat, kegiatan Ahmadiyyah dilarang melalui Peraturan Gubernur Nomor 17 Tahun 2011, yang menunjukkan bagaimana fatwa teologis kelompok ulama dapat diterjemahkan langsung menjadi kebijakan eksekutif negara. Dampak fatwa ini menciptakan kebingungan di masyarakat, sekaligus memicu pengekangan terhadap kebebasan berpikir kelompok minoritas tersebut, bahkan jika perlindungan pemerintah tampak “setengah hati”.

Alawi (Nusayri): Deifikasi dan Implikasi Geopolitik

Asal-usul Ghulat dan Doktrin Sentral

Alawi, yang dikenal juga sebagai Nusayri, adalah cabang dari Syi’ah yang secara luas diklasifikasikan sebagai Ghulat atau aliran yang berlebihan. Mayoritas ulama Sunni dan Syi’ah arus utama menganggap Alawi sebagai kelompok yang keluar dari payung Islam (kharij) dan mushrik (politeis) karena tingkat deifikasi mereka terhadap Ali bin Abi Thalib.

Doktrin utama mereka mencakup penuhanan Ali dan keyakinan pada tanasukh (metempsychosis atau reinkarnasi), sebuah konsep yang secara fundamental asing bagi eskatologi Islam arus utama. Literatur historis mencatat bahwa kelompok ini, khususnya di sekitar Jabal Nusayr, sering terlibat dalam penjarahan dan pembunuhan.

Status Sosiopolitik di Timur Tengah

Secara teologis, Alawi adalah minoritas ekstrem yang ditolak. Namun, secara politik dan militer, mereka mencapai anomali kekuasaan yang luar biasa di Suriah. Kelompok ini mendapatkan kekuatan signifikan setelah kudeta militer oleh Hafez al-Assad, yang berasal dari suku Nusayri, pada tahun 1971. Kekuatan politik ini dilanjutkan oleh putranya, Bashar al-Assad.

Kasus Alawi menggambarkan dinamika minoritas-mayoritas yang terbalik. Sebuah kelompok yang secara teologis dikafirkan oleh konsensus ulama Islam justru menjadi kekuatan politik-militer dominan yang mengendalikan negara, yang kemudian dituduh melakukan penindasan terhadap Muslim Sunni selama masa jabatan Bashar al-Assad. Keberhasilan mereka dalam menguasai aparatur negara menunjukkan bahwa kekuasaan sekuler dapat melindungi dan memberdayakan heterodoksi, bahkan ketika menghadapi penolakan teologis massal.

Ibadiyyah: Reformasi Khawarij dan Status Negara

Asal-usul Historis dan Teologi

Mazhab Ibadiyyah, yang dinamai dari Abdullah bin Ibadh, merupakan keturunan dari faksi Khawarij yang lebih moderat, yang muncul setelah ketidakpuasan terhadap kesepakatan arbitrase dalam Perang Shiffin pada tahun 657 M. Meskipun berasal dari kelompok yang dianggap radikal di awal sejarah Islam, Ibadiyyah mengembangkan teologi yang berbeda dan dianggap lebih moderat.

Secara teologis, Ibadiyyah menekankan bahwa amal (perbuatan) adalah bagian yang tidak terpisahkan dari iman (keyakinan). Pandangan ini berbeda dari mayoritas Sunni, yang cenderung membedakan antara iman dan amal, meskipun keduanya penting.

Status Dominan-Minoritas Regional

Ibadiyyah adalah contoh unik di mana minoritas teologis global telah mencapai status ortodoksi regional. Islam menyebar secara damai di Oman pada awal abad ke-7. Faksi Ibadiyyah, setelah melarikan diri dari Basra, mendirikan negara Ibadi pertama di Oman pada 750 M. Meskipun mengalami pasang surut, Ibadiyyah berhasil mengkonsolidasikan kekuasaan dan tetap menjadi agama negara di Oman. Keluarga kerajaan Oman saat ini adalah Ibadi, dan kelompok ini mewakili sekitar 45% dari populasi Muslim di negara tersebut.

Hal ini menunjukkan bahwa klasifikasi “minoritas” dalam konteks Islam sangat bergantung pada geografi dan sejarah politik. Ibadiyyah adalah minoritas jika dilihat dari perspektif global Ahlus Sunnah Wal Jama’ah atau Syi’ah Dua Belas Imam, namun mereka adalah kekuatan dominan dan penentu ortodoksi di Kesultanan Oman.

Studi Kasus Minoritas dalam Kekristenan (Nontrinitarianisme)

Garis Patahan Utama: Nontrinitarianisme dan Status Kristus

Mayoritas kelompok minoritas besar dalam Kekristenan modern diklasifikasikan berdasarkan penolakan mereka terhadap Tritunggal, sebuah ajaran yang dikodifikasikan oleh Konsili Nicea. Kelompok Nontrinitarianisme berpendapat bahwa doktrin Tritunggal tidak memiliki dasar Alkitabiah dan secara inheren membuat Yesus Kristus inferior terhadap Allah Bapa. Mereka juga merasa sulit memahami bagaimana Tuhan Yang Esa dapat menjadi tiga pribadi yang berbeda.

Saksi-Saksi Yehuwa (Jehovah’s Witnesses – JW)

Latar Belakang dan Kristologi

Saksi-Saksi Yehuwa (JW) memulai sejarah modern mereka pada abad ke-19 M di Amerika Utara sebagai kelompok belajar Alkitab sederhana yang dipelopori oleh Charles Taze Russel. Mereka percaya bahwa ajaran Tritunggal merupakan penyelewengan yang diprakarsai oleh Kaisar Konstantinus dan Kredo Athanasia, dan tujuan mereka adalah memulihkan gerakan Kekristenan abad pertama.

Dalam Kristologi, JW mengadopsi pandangan Subordinasionisme yang ketat. Mereka menolak pandangan Kekristenan arus utama bahwa Tuhan terdiri dari tiga pribadi yang setara. Mereka menganggap Yesus sebagai makhluk ciptaan, yang oleh Yehuwa dipilih untuk menjadi Penguasa Kerajaan Allah, dan bukan sebagai Allah yang setara dengan Bapa. Oleh karena itu, hanya Allah Bapa sajalah yang layak disembah.

Isu Etika dan Legal: Penolakan Transfusi Darah

Perbedaan teologis dalam interpretasi Kitab Suci menghasilkan implikasi praktis yang kritis. JW menolak transfusi darah, yang didasarkan pada interpretasi ketat mereka terhadap larangan Alkitabiah.

Isu ini sering memicu konflik etika biomedik dan masalah hukum, terutama ketika melibatkan anak-anak. Menghadapi tantangan ini, praktik medis telah beradaptasi, dan JW menyediakan informed consent kepada staf medis untuk membebaskan mereka dari tanggung jawab hukum sehubungan dengan penolakan darah, sambil tetap menerima cairan pengganti non-darah. Pengalaman operasional terhadap pasien JW telah meningkatkan kesadaran terhadap prinsip hukum  informed consent, yang memungkinkan praktik medis untuk menghormati keyakinan agama meskipun bertentangan dengan prosedur standar.

Gereja Yesus Kristus dari Orang-Orang Suci Zaman Akhir (LDS/Mormonisme)

Basis Doktrinal: Kanon Terbuka dan Pluralisme Ketuhanan

Gereja Yesus Kristus dari Orang-Orang Suci Zaman Akhir (LDS), atau Mormonisme, mendefinisikan dirinya terpisah dari Kekristenan arus utama melalui penerimaan Kitab Mormon sebagai “kesaksian lain tentang Kristus” dan kitab perjanjian baru, di samping Alkitab. Penambahan kitab suci ini merupakan penyimpangan epistemologis yang signifikan dari ortodoksi yang menganggap kanon Alkitab telah tertutup.

Konsep ketuhanan mereka juga non-Trinitarian, tetapi unik: Allah Bapa, Yesus Kristus, dan Roh Kudus adalah tiga pribadi yang terpisah, berlawanan dengan konsep co-equal dan co-eternal dari ortodoksi. Agama ini sangat fokus pada tata cara sakral (ordinances) yang dilaksanakan di Bait Suci (Temple), yang dianggap esensial untuk berkat kekal, termasuk praktik baptisan bagi leluhur yang telah meninggal.

Posisi dalam Kekristenan Arus Utama

Karena penyimpangan mendasar dalam konsep ketuhanan dan adanya kitab suci tambahan, LDS secara luas diklasifikasikan sebagai sekte oleh denominasi Katolik dan Protestan utama. Dalam analisis ini, penerimaan wahyu yang berkelanjutan dan kitab sukit tambahan menjadi penanda pemisahan yang jauh lebih dalam daripada sekadar perbedaan Kristologi. Sementara JW menolak Trinitas sebagai penyelewengan, LDS mendirikan kerangka kosmologi dan ketuhanan yang sama sekali baru.

Unitarianisme dan Universalism (UU)

Sejarah dan Kristologi Humanis

Unitarianisme muncul dari gerakan reformasi yang menolak Tritunggal dan, seiring waktu, juga menolak doktrin dosa asal (Augustine) dan penebusan substitusi (Calvin). Unitarianisme menekankan keesaan Tuhan (Oneness of God) dan menganggap Yesus sebagai makhluk ciptaan, seorang utusan Allah, dan bukan memiliki sifat keilahian (divinity) yang substansial. Bentuk Kristologi yang dominan dalam gerakan ini adalah   psilanthropism, yang memandang Yesus sebagai manusia yang diurapi atau memiliki hubungan unik dengan Tuhan.

Pluralisme dan Aproksimasi Islamik

Secara historis, Unitarianisme bergabung dengan Universalism, yang menolak konsep siksaan abadi dan percaya bahwa semua orang pada akhirnya akan diselamatkan. Unitarian Universalism (UU) modern adalah gerakan yang sangat liberal, meyakini bahwa kebenaran dan makna spiritual dapat ditemukan dalam semua agama (religious pluralism). Mereka menjunjung tinggi kebebasan individu untuk memilih keyakinan, menempatkan otoritas agama pada diri sendiri, bukan pada kredo atau institusi.

Pendekatan Unitarianisme, yang menekankan keesaan mutlak Tuhan dan menganggap Yesus sebagai nabi atau utusan, menunjukkan kesamaan yang mencolok dengan konsep Tauhid dalam da’wah Islam. Evolusi UU menunjukkan bagaimana sekte yang berawal dari penolakan doktrin inti (Tritunggal) dapat bertransformasi menjadi gerakan yang sangat inklusif dan liberal, melampaui batas-batas tradisional Kekristenan.

Analisis Komparatif Lintas Agama

Sumbu Perbedaan Teologis: Kenabian vs. Keilahian

Perbandingan antara sekte minoritas dalam Islam dan Kekristenan menunjukkan fokus konflik teologis yang berbeda.

Tabel 1: Garis Patahan Teologis Mayoritas dan Minoritas

Agama Doktrin Mayoritas (Ortodoksi) Titik Patahan Minoritas Kunci Contoh Sekte Dasar Teologis Penyimpangan
Islam Khatamun Nubuwwah Klaim kenabian pasca-Muhammad Ahmadiyyah Kenabian/Wahyu
Islam Tauhid Murni Deifikasi figur manusia/Keyakinan esoterik (Ghulat) Alawi (Nusayri) Sifat Ilahi/Syirik
Kekristenan Tritunggal (Kredo Nicea) Penolakan Tritunggal (Subordinasi/Unitarianisme) Saksi Yehuwa Kristologi/Ontologi
Kekristenan Kanon Tertutup (Alkitab) Penerimaan Kitab Suci Tambahan LDS (Mormon) Epistemologi/Wahyu Lanjutan

Konflik dalam Islam sering berakar pada isu otoritas suksesi kenabian atau imam (otoritas vertikal), baik melalui klaim kenabian baru (Ahmadiyyah) atau penuhanan suksesor (Alawi). Hal ini menentukan siapa yang berhak membawa pesan ilahi setelah Muhammad. Sebaliknya, konflik dalam Kekristenan minoritas, khususnya Nontrinitarianisme, berpusat pada isu ontologis (sifat hakiki Tuhan dan Kristus). Pertanyaan utamanya adalah, “Siapa Yesus di hadapan Bapa?”

Model Nontrinitarianisme: Kontras dalam Kristologi

Nontrinitarianisme bukanlah doktrin tunggal, melainkan spektrum yang luas dalam menolak Kredo Nicea, menunjukkan tiga model Ketuhanan yang berbeda:

Tabel 2: Perbandingan Posisi Kristologi dalam Nontrinitarianisme

Kelompok Kristen Pandangan tentang Yesus Kristus Sifat Roh Kudus Posisi Teologis Mayoritas Isu Utama Konsekuensi Sosial
Saksi Yehuwa Makhluk Ciptaan/Subordinat Kekuatan Aktif Allah Sekte (Non-Kristen) Penolakan Transfusi Darah
LDS (Mormon) Pribadi yang Terpisah (Tuhan) Pribadi yang Terpisah Sekte (Pluralistik/Kanon Terbuka) Tata Cara Eksklusif Bait Suci
Unitarianisme Manusia Diurapi (Psilanthropism) Spirit Moral/Kuasa Ilahi Heterodoks/Liberal Pluralisme Agama Radikal

JW mewakili Subordinasionisme Ketat, LDS mewakili Pluralisme Ketuhanan (tiga dewa berbeda), sementara Unitarianisme mewakili Humanisme Rasional dengan penekanan pada Yesus sebagai utusan moral. Keragaman ini menunjukkan bahwa penolakan terhadap satu doktrin (Tritunggal) dapat mengarah pada berbagai macam rekonstruksi teologis baru.

Konsensus Historis vs. Otoritas Modern: Nicea vs. Fatwa MUI

Kekristenan arus utama menetapkan batasan teologisnya secara definitif pada abad ke-4 Masehi melalui konsili. Konflik modern (JW, Unitarianisme) adalah penolakan terhadap otoritas historis ini. Namun, ortodoksi Kristen (di negara-negara sekuler) umumnya tidak memiliki mekanisme negara untuk membatasi aktivitas kelompok-kelompok tersebut secara legal.

Sebaliknya, dalam konteks Islam di banyak negara, otoritas keulamaan modern (seperti MUI di Indonesia) secara berkelanjutan memperbarui dan menegaskan batas-batas ortodoksi melalui fatwa. Fatwa teologis ini sering kali memiliki dampak politik dan legal yang langsung, menerjemahkan penolakan doktrinal menjadi larangan atau diskriminasi yang dilembagakan oleh negara. Hal ini mencerminkan interaksi yang jauh lebih ketat antara agama dan negara dalam mendefinisikan dan mengisolasi “aliran sesat” dalam dunia Islam kontemporer.

Kesimpulan dan Implikasi Teologis-Sosiologis

Pola Umum Kemunculan Sekte

Banyak sekte minoritas dalam kedua agama besar muncul sebagai respons terhadap krisis atau sebagai upaya reformasi. Ahmadiyyah dan Mormonisme, misalnya, lahir pada periode keruntuhan sosial dan politik di komunitas mereka, menawarkan wahyu atau kenabian baru untuk memperbaharui ajaran. Sementara itu, Unitarianisme dan Ibadiyyah merupakan gerakan reformasi yang menolak doktrin yang mereka anggap tidak rasional (Tritunggal) atau tidak sesuai dengan prinsip keadilan (sikap ekstrem Khawarij).

Dinamika Hubungan Mayoritas-Minoritas dan Dampaknya

Klasifikasi sebagai “sekte” membawa konsekuensi sosiopolitik yang bervariasi, dari persekusi hingga dominasi negara, tergantung pada konteks regional:

Tabel 3: Status Sosiopolitik dan Legal Minoritas Pilihan

Kelompok Geografi Utama Status Populer/Teologis Dampak Legal/Sosiopolitik Dukungan Data Kunci
Ahmadiyyah Indonesia/Global Menyimpang (Sesat)/Ditolak oleh MUI Larangan Kegiatan Negara/Diskriminasi Fatwa Teologis menjadi Kebijakan Negara
Alawi (Nusayri) Suriah Ghulat/Dikeluarkan dari Islam Status Penguasa Dominan Regional Kekuatan Politik-Militer
Ibadiyyah Oman Minoritas Global/Ortodoksi Regional Agama Negara/Struktur Kekuasaan Stabil Minoritas yang Berkuasa
Saksi Yehuwa Global Sekte (Non-Trinitarian) Konflik Hukum atas Etika Medis Konsekuensi Doktrinal di Ranah Publik

Kasus Ahmadiyyah di Indonesia menunjukkan bahwa doktrin minoritas dapat dilihat sebagai ancaman terhadap kohesi teologis dan membenarkan pembatasan kebebasan beragama oleh negara. Sebaliknya, Alawi di Suriah dan Ibadiyyah di Oman menunjukkan bahwa status minoritas teologis tidak selalu setara dengan ketidakberdayaan politik; mereka dapat mengkonsolidasikan kekuasaan negara untuk menjamin keberlangsungan hidup dan bahkan dominasi regional.

Sementara itu, Saksi Yehuwa menghadapi tantangan yang berbeda: doktrin mereka (penolakan transfusi darah) menciptakan krisis etika di ranah sekuler, memaksa sistem hukum dan kedokteran untuk bergulat dengan batas-batas informed consent dan hak beragama individu.

Kesimpulan Akhir

Tulisan ini menunjukkan bahwa sekte minoritas, baik dalam Islam maupun Kekristenan, ditentukan oleh penolakan atau penambahan doktrin yang dianggap fundamental oleh ortodoksi. Dalam Islam, penyimpangan biasanya menyentuh isu kenabian dan deifikasi Ali, sementara dalam Kekristenan, penyimpangan berpusat pada sifat Ketuhanan (Kristologi) dan otoritas Alkitab (kanon terbuka). Perbedaan paling signifikan terletak pada dampak sosiopolitiknya: di mana otoritas agama Islam memiliki daya ungkit yang kuat terhadap aparatur negara untuk membatasi kelompok yang dianggap menyimpang, Kekristenan minoritas di negara sekuler cenderung berjuang di ranah etika dan hukum publik. Memahami kelompok-kelompok minoritas ini membutuhkan pemisahan analisis teologis dari perlakuan legal dan sosiologis, serta pengakuan terhadap variasi konsekuensi historis dan geopolitik yang ekstrem.

 

 

Daftar Pustaka :

  1. The History of Nusayris (‘Alawis) in Ottoman Syria, 1831-1876 – ScholarWorks@UARK, diakses September 27, 2025, https://scholarworks.uark.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1761&context=etd
  2. Apa yang dimaksud dengan nontrinitarianisme? – Got Questions, diakses September 27, 2025, https://www.gotquestions.org/indonesia/nontrinitarianisme.html
  3. (PDF) Doktrin Kenabian Ahmadiyah Perspektif Teologis dan Analisis Sejarah Kemunculan, diakses September 27, 2025, https://www.researchgate.net/publication/364524826_Doktrin_Kenabian_Ahmadiyah_Perspektif_Teologis_dan_Analisis_Sejarah_Kemunculan
  4. 10 KRITERIA ALIRAN SESAT MENurut majelis uLAMA INDONESIA, diakses September 27, 2025, https://kejari-denpasar.go.id/uploads/pakem/7ffbd-qsfb1327657194.pdf
  5. Trinitas: Satu Tuhan dalam Tiga Pribadi – Katolisitas, diakses September 27, 2025, https://katolisitas.org/trinitas-satu-tuhan-dalam-tiga-pribadi/
  6. Unitarian Universalist History – First UU Wilmington, diakses September 27, 2025, https://firstuuwilm.org/about/about-unitarian-universalism/unitarian-universalist-history/
  7. Unitarianism and Universalism – English Origins, Beliefs, Practices | Britannica, diakses September 27, 2025, https://www.britannica.com/topic/Unitarianism/English-Unitarianism
  8. Menelaah Kitab Mormon dan Doktrinnya Dapat Memperkuat Iman Saya kepada Yesus Kristus, diakses September 27, 2025, https://www.gerejayesuskristus.org/area/leader-message/2024/01-Studying-the-Book-of-Mormon?lang=ind-id
  9. Apakah Mormonisme didefinisikan secara tepat sebagai sebuah sekte? – Got Questions, diakses September 27, 2025, https://www.gotquestions.org/Indonesia/Mormonisme-sekte.html
  10. 17 BAB II SEJARAH BERDIRINYA AHMADIYAH DAN PERKEMBANGANYA A. Sejarah Berdirinya Ahmadiyah 1. Awal Berdirinya Jemaat Ahmadiyah Aw, diakses September 27, 2025, http://digilib.uinsa.ac.id/201/5/Bab%202.pdf
  11. Madinah : Jurnal Studi Islam ISSN : 1978-659X (Printed),: 2620-9497 (Online) https://ejournal.iai-t, diakses September 27, 2025, https://ejournal.iai-tabah.ac.id/index.php/madinah/article/download/1553/1033/2653
  12. studi kritis terhadap fatwa mejelis ulama indonesia nomor 11 tahun 2005 tentang aliran ahmadiyah, diakses September 27, 2025, https://mail.e-journal.metrouniv.ac.id/akademika/article/download/400/448
  13. Qurrā dan Kelompok Radikal di Awal Perkembangan Islam: Studi Atas Resepsi Kelompok Khawarij Terhadap Al-Qur’an – ResearchGate, diakses September 27, 2025, https://www.researchgate.net/publication/394799686_Qurra_dan_Kelompok_Radikal_di_Awal_Perkembangan_Islam_Studi_Atas_Resepsi_Kelompok_Khawarij_Terhadap_Al-Qur’an
  14. Pemikiran Al-Ibadiyyah Dalam Ilmu Kalam | PDF | Karier & Perkembangan – Scribd, diakses September 27, 2025, https://id.scribd.com/document/465244296/PEMIKIRAN-AL-IBADIYYAH-DALAM-ILMU-KALAM
  15. dogma tritunggal menurut kristen saksi-saksi yehuwa – ResearchGate, diakses September 27, 2025, https://www.researchgate.net/publication/335792200_DOGMA_TRITUNGGAL_MENURUT_KRISTEN_SAKSI-SAKSI_YEHUWA
  16. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang memiliki penduduk yang beragam. Keberagaman tersebut tercermi – Universitas Muhammadiyah Surabaya, diakses September 27, 2025, https://repository.um-surabaya.ac.id/id/eprint/9060/2/BAB%201.pdf
  17. KEDUDUKAN YESUS DALAM AJARAN KRISTEN SAKSI YEHUWA – E-Journal UIN SUKA, diakses September 27, 2025, https://ejournal.uin-suka.ac.id/ushuluddin/SosiologiAgama/article/download/112-08/1194/3049
  18. ANALISIS PRINSIP ETIKA BIOMEDIK TERHADAP PENOLAKAN TRANSFUSI DARAH OLEH SAKSI YEHUWA – ETD UGM, diakses September 27, 2025, https://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/204905
  19. Saksi-Saksi Yehuwa—Tantangan dalam Operasi/secara Etis, diakses September 27, 2025, https://wol.jw.org/id/wol/d/r25/lp-in/1101990005
  20. Bait Suci Gereja Yesus Kristus dari Orang-Orang Suci Zaman Akhir, diakses September 27, 2025, https://www.churchofjesuschrist.org/study/manual/gospel-topics/temples-of-the-church-of-jesus-christ-of-latter-day-saints?lang=ind
  21. Pandangan Katolik Tentang Gereja Mormon | PDF – Scribd, diakses September 27, 2025, https://id.scribd.com/document/415176592/Pandangan-Katolik-Tentang-Gereja-Mormon
  22. Unitarian Universalism – Wikipedia, diakses September 27, 2025, https://en.wikipedia.org/wiki/Unitarian_Universalism
  23. UNITARIANISM DALAM AJARAN KRISTIAN: IDEA, SEJARAH DAN PERKEMBANGAN – UM Journal, diakses September 27, 2025, https://ejournal.um.edu.my/index.php/JUD/article/download/7301/4947/15648

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

CAPTCHA ImageChange Image

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.