Menyimak Jalan Transisi Dan Kontra Diksi (2025–2026)

Tahun 2025 merupakan periode krusial bagi Indonesia, ditandai dengan masa transisi politik pasca-pemilu yang secara bersamaan harus menjaga momentum ekonomi di tengah ketidakpastian global. Analisis menunjukkan bahwa tahun pertama pemerintahan baru berhasil mempertahankan stabilitas makroekonomi yang solid, bahkan mendapatkan pengakuan internasional sebagai titik terang global. Namun, stabilitas ini dicapai dengan harga politik yang signifikan, yang tercermin dari tren konsolidasi kekuasaan dan penurunan kualitas supremasi hukum.

Kontradiksi Kunci 2025: Stabilitas Ekonomi vs. Erosi Legalitas

Tahun 2025 dicirikan oleh dikotomi yang jarang terjadi. Di satu sisi, Indonesia mencapai kinerja makroekonomi yang luar biasa: pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) di atas 5% dan penurunan signifikan dalam rasio ketimpangan (Gini Ratio). Pencapaian ini memberikan credibility buffer ekonomi yang penting bagi rezim baru. Di sisi lain, bersamaan dengan stabilitas ekonomi ini, terlihat penurunan signifikan dalam kualitas rule of law (supremasi hukum) dan penyempitan ruang sipil. Hal ini mengindikasikan bahwa keberhasilan ekonomi jangka pendek telah digunakan untuk menjustifikasi, atau setidaknya mengalihkan perhatian dari, proses autocratic legalism yang sedang berlangsung.

Lima Pilar Prioritas Kebijakan 2026 yang Menguji Keberlanjutan

Proyeksi tahun 2026 akan menjadi ujian pertama yang sesungguhnya bagi pemerintahan dalam mengimplementasikan kebijakan strategis jangka menengah mereka, terutama melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026. Tantangan yang dihadapi tidak hanya bersifat teknis-fiskal, tetapi juga politis dan kelembagaan.

  1. Kedaulatan Fiskal:Kesiapan APBN 2026 dilihat sebagai “tes pertama” implementasi penuh kebijakan ekonomi pemerintahan yang baru. APBN harus menyeimbangkan ambisi program sosial yang mahal dengan kebutuhan untuk menjaga kredibilitas fiskal.
  2. Akselerasi Pertumbuhan:Terdapat target PDB yang ambisius, antara 5.8% hingga 6.3% , yang memerlukan akselerasi pertumbuhan yang inklusif melalui implementasi Paket Ekonomi 2025-2026.
  3. Ekuitas Sosial:Efektivitas, tata kelola, dan pembiayaan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang masif menjadi fokus utama, terutama dalam mengatasi tantangan implementasi di lapangan dan integrasinya dengan layanan kesehatan dasar.
  4. Reformasi Tata Kelola:Pemerintah harus menanggapi kritik terhadap konsolidasi kekuasaan dan praktik autocratic legalism untuk memulihkan mekanisme checks and balances yang vital bagi demokrasi.
  5. Ketahanan Lingkungan:Integrasi faktor Environmental, Social, and Governance (ESG) dan alokasi anggaran yang memadai untuk mitigasi perubahan iklim di 2026 menjadi elemen krusial untuk ketahanan ekonomi jangka panjang.

Refleksi 2025: Landasan Tahun Pertama Kepemimpinan Baru

Stabilitas Makroekonomi dan Ketahanan Fiskal di Masa Transisi

Tahun 2025 menunjukkan ketahanan ekonomi yang luar biasa. Data mengonfirmasi bahwa ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5% pada semester I 2025, yang didukung oleh kinerja yang kuat di sektor pertanian, jasa, dan ekspor neto. Momentum ini berlanjut, di mana Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya mengumumkan bahwa pertumbuhan ekonomi triwulan III 2025 mencapai 5,04%.

Resiliensi ini mendapatkan pengakuan global. Staf Dana Moneter Internasional (IMF) dalam misi Article IV mereka pada November 2025, mengidentifikasi Indonesia sebagai “global bright spot” (titik terang global) yang mempertahankan pertumbuhan kuat di tengah lingkungan eksternal yang penuh tantangan, dengan inflasi yang diharapkan tetap stabil dalam rentang target. Pemerintah merespons dengan Kebijakan Fiskal 2025 (KEM PPKF) yang fokus pada akselerasi pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Selain itu, Paket Ekonomi 2025 diluncurkan pada September 2025 sebagai strategi untuk mendorong pertumbuhan, meningkatkan investasi, dan menciptakan lapangan kerja.

Keberhasilan mempertahankan momentum pertumbuhan dan stabilitas makroekonomi di atas 5% di tahun transisi yang sensitif adalah indikator kuat dari manajemen kebijakan yang terkalibrasi dengan baik. Stabilitas ini menghasilkan buffer kredibilitas ekonomi yang vital. Modal kredibilitas ini memungkinkan pemerintahan baru untuk mengalihkan fokus publik dari isu-isu politik yang mungkin lebih kontroversial, memberikan ruang gerak politik yang luas, dan memfasilitasi peluncuran program-program ekspansif di tahun 2026. Namun, IMF telah memberikan peringatan bahwa menjaga “kredibilitas yang diperoleh dengan susah payah dan ruang kebijakan” tetap krusial di tengah meningkatnya ketidakpastian eksternal. Hal ini mengisyaratkan risiko fiskal yang mungkin timbul dari janji-janji program ambisius yang memerlukan pengawasan ketat terhadap disiplin anggaran.

Progres Ekuitas Sosial dan Efektivitas Anggaran

Di bidang sosial, tahun 2025 mencatat progres signifikan dalam upaya pengurangan ketimpangan. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan penurunan tingkat ketimpangan pendapatan, yang diukur dengan Gini Ratio, menjadi 0.375 pada Maret 2025, turun dari 0.381 pada September 2024. Penurunan ini terjadi baik di daerah perkotaan (menjadi 0.395) maupun perdesaan (menjadi 0.299), menunjukkan efektifitas kebijakan sosial-ekonomi yang diterapkan secara berkelanjutan.

Tabel 1: Indikator Kinerja Sosial Kunci Indonesia: Perbandingan 2024–2025

Indikator Kesejahteraan September 2024 (Baseline) Maret 2025 (Refleksi) Perubahan Poin Implikasi Kunci
Gini Ratio Nasional 0.381 0.375 -0.006 Penurunan signifikan, mendukung narasi ekuitas sosial
Gini Ratio Perkotaan 0.402 0.395 -0.007 Kontraksi ketimpangan di daerah urban
Gini Ratio Perdesaan 0.308 0.299 -0.009 Kontraksi terbesar, menunjukkan intervensi rural efektif

Instrumen fiskal, terutama subsidi, memainkan peran penting dalam menjaga stabilitas sosial ini. Pemerintah menyediakan kuota subsidi yang memadai di APBN hingga akhir 2025. Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mencatat bahwa subsidi dan kompensasi telah disalurkan dan dibayarkan kepada Badan Usaha Penyalur sebesar Rp315 triliun. Instrumen ini berfungsi sebagai shock absorber utama untuk menjaga daya beli masyarakat dan stabilitas harga, yang sangat penting untuk melindungi kelompok rentan.

Sejalan dengan komitmen sosial yang baru, Program Makan Bergizi Gratis (MBG) telah dimasukkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) untuk periode 2025–2029. Program ini membawa misi besar membentuk generasi sehat, cerdas, dan produktif menuju Visi Indonesia Emas 2045. BPS ditugaskan untuk melakukan survei baseline dan evaluasi pada Juli dan November 2025, membandingkan rumah tangga penerima dan non-penerima untuk menilai dampaknya terhadap ketahanan pangan dan pola konsumsi.

Meskipun capaian ekuitas sosial di 2025 merupakan hasil positif yang memberikan justifikasi sosial bagi kebijakan ekspansif, kompleksitas MBG tidak dapat diabaikan. Evaluasi yang dilakukan oleh lembaga akademik menyoroti tantangan mendasar terkait kesiapan infrastruktur, tata kelola pembiayaan, serta integrasi program dengan layanan kesehatan dasar. BPS di lapangan juga menemukan kendala teknis, seperti kurangnya data siswa yang lengkap di level sekolah dan masalah akurasi data responden. Jika tantangan tata kelola dan infrastruktur ini tidak segera teratasi, efisiensi program akan terganggu. Keberhasilan ekuitas sosial yang dicapai pada 2025 berisiko menciptakan fiscal complacency (rasa puas fiskal), yang berbahaya jika alokasi anggaran 2026 untuk MBG tidak dikelola dengan sangat disiplin, berpotensi membebani APBN tanpa memberikan hasil sosial yang optimal.

Ancaman Terhadap Rule Of Law Dan Dinamika Konsolidasi Politik 2025

Sementara sektor ekonomi mencatat stabilitas, lanskap politik dan hukum Indonesia di tahun 2025 menunjukkan tren yang mengkhawatirkan terkait tata kelola dan demokrasi.

Konsolidasi Kekuasaan dan Kontraksi Ruang Sipil

Sejak awal masa transisi, Presiden terpilih telah menyatakan pandangannya bahwa oposisi politik merupakan “budaya barat” dan mengajak berbagai partai politik untuk bergabung ke dalam kabinetnya. Pakar politik menilai upaya penyeragaman politik total ini mengancam masa depan demokrasi Indonesia, sebab keberadaan oposisi sangat penting untuk menjalankan mekanisme checks and balances.

Analisis politik yang dilakukan oleh Institute of Public Policy (IPP) UAJ menyimpulkan bahwa konsolidasi kekuasaan semakin kuat sepanjang tahun 2025. Penguatan ini terlihat melalui penyempitan ruang sipil, ditandai oleh maraknya aksi protes dan respons negara yang semakin represif. Data Indeks HAM 2025 yang dirilis SETARA Institute memperkuat indikasi ini, di mana indikator kebebasan berekspresi dan berpendapat mencatat skor terendah, hanya berada di angka 1.0 dari skala 1–7.

Skor rendah ini tidak terlepas dari tindakan represif aparat terhadap aksi massa, kekerasan yang dialami jurnalis (mencapai 82 kasus di 2025, meningkat dari 73 kasus tahun sebelumnya), hingga praktik kriminalisasi melalui Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang mencatat 710 kasus sejak 2018–2025. Tren ini menunjukkan bahwa konsolidasi kekuasaan bertujuan menciptakan stabilitas politik yang diperlukan untuk mengimplementasikan program ambisius tanpa hambatan. Namun, ketika kritik di ruang sipil disempitkan, stabilitas yang dihasilkan berisiko menjadi stabilitas otoritarian yang dilegitimasi secara hukum (autocratic legalism). Ini menciptakan lingkungan di mana kontrol politik lebih diutamakan daripada akuntabilitas publik, yang berpotensi meningkatkan risiko korupsi jangka panjang.

Praktik Autocratic Legalism dan Kualitas Supremasi Hukum

Dari perspektif hukum, terdapat penilaian mengenai penurunan signifikan terhadap kualitas rule of law (supremasi hukum), yang ditandai oleh praktik populisme hukum dan munculnya kebijakan yang mengarah pada autocratic legalismAutocratic legalism dicirikan oleh penggunaan instrumen hukum untuk melegitimasi dan memperkuat kekuasaan eksekutif.

Salah satu studi kasus legislasi kunci di tahun 2025 adalah Amandemen UU TNI. Pada Maret 2025, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan amandemen kontroversial terhadap UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Amandemen ini memperluas cakupan bagi perwira TNI aktif untuk menduduki posisi sipil tanpa syarat pengunduran diri. Kebijakan ini, yang memicu protes massa, dinilai sebagai manifestasi nyata dari autocratic legalism dan menguatnya militerisasi birokrasi, yang secara struktural mengancam prinsip supremasi sipil.

Di bidang hukum, DPR juga mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) menjadi undang-undang sebagai bagian dari reformasi peradilan. Meskipun diklaim merespons tuntutan akuntabilitas aparat, kebijakan hukum sebelumnya (KUHP 2023) telah dikritik sebagai salah satu manifestasi autocratic legalism karena pasal-pasalnya yang represif dan berpotensi menempatkan kekuasaan di atas hukum.

Transformasi Kelembagaan Legislatif dan Persepsi Publik

Dalam menghadapi gelombang kritik terhadap performa lembaga, DPR RI menutup tahun 2025 dengan serangkaian langkah korektif internal. Langkah-langkah ini, yang dipicu oleh tuntutan publik dan demonstrasi mahasiswa, mencakup penghapusan tunjangan rumah dinas anggota (sekitar Rp50 juta per bulan), penghapusan tunjangan lainnya (listrik, telepon, transportasi), serta pemberlakuan moratorium perjalanan dinas luar negeri. Keputusan ini diperkirakan menghemat anggaran negara setidaknya Rp260 miliar per tahun. Selain itu, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) menjatuhkan sanksi kepada beberapa anggota sebagai upaya penguatan mekanisme etik.

Langkah-langkah korektif DPR ini bersifat sangat simbolik dan efektif dalam meredam kemarahan publik. Namun, reformasi simbolik ini terjadi bersamaan dengan pengesahan legislasi yang secara struktural memperkuat eksekutif dan membatasi ruang sipil, seperti Amandemen UU TNI. Hal ini menunjukkan bahwa DPR berhasil menjalankan public relations politik yang baik, mengorbankan tunjangan yang relatif kecil untuk melindungi agenda legislatif yang jauh lebih besar dan strategis bagi konsolidasi kekuasaan. Kinerja pengawasan DPR sepanjang 2025 juga mencakup pembentukan Panja pengawasan MBG (Komisi IX), pengawasan seleksi ASN (Komisi II), dan dorongan Bea Cukai untuk memperketat pengawasan perbatasan (Komisi XI).

Proyeksi 2026: APBN Sebagai Ujian Ekonomi Pertama

Tahun 2026 akan menandai tahun penuh pertama implementasi program-program strategis pemerintahan yang baru, dengan APBN 2026 menjadi kerangka utama untuk mengukur kredibilitas dan keberlanjutan fiskal.

Kerangka Kebijakan Fiskal dan Fokus Pembangunan 2026

APBN Tahun Anggaran 2026 secara luas diakui sebagai “tes pertama kinerja ekonomi Prabowo”. Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) 2026, yang disampaikan pada Mei 2025, berfokus pada perwujudan Kedaulatan Pangan, Energi, dan Ekonomi, dengan tujuan akhir “Indonesia Tangguh, Mandiri, dan Sejahtera”.

Prioritas fiskal di tahun 2026 akan mencakup percepatan ketahanan pangan dengan mendorong produktivitas dan menjaga stabilitas harga, yang bertujuan untuk mewujudkan petani makmur dan nelayan sejahtera. Strategi akselerasi ekonomi yang dimulai pada 2025 (Paket Ekonomi 2025) akan dilanjutkan di 2026, di mana hilirisasi dan industrialisasi terus ditekankan sebagai kunci untuk meningkatkan kelas ekonomi Indonesia.

Proyeksi Makroekonomi dan Stabilitas Moneter 2026

Terdapat proyeksi pertumbuhan PDB yang optimis untuk tahun 2026, meskipun terdapat perbedaan signifikan antar lembaga. Bappenas dan Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di kisaran 5.8% hingga 6.3%. Target yang lebih tinggi (6.3%) mencerminkan ambisi yang digariskan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2026.

Di sisi lain, terdapat proyeksi yang lebih hati-hati. Chief Economist Bank Mandiri, Andry Asmoro, memproyeksikan pertumbuhan ekonomi berpeluang mencapai 5.2% pada 2026, didorong oleh kuatnya konsumsi rumah tangga dan pemulihan investasi. Bank Mandiri menekankan bahwa meskipun resiliensi domestik solid, Indonesia harus tetap waspada terhadap turbulensi global dan urgensi Belanja Negara yang Berkualitas untuk mendorong perekonomian. Bank Indonesia (BI) juga dipandang “mematok rendah” dibandingkan target Bappenas.

Tabel 2: Perbandingan Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 2026

Lembaga Proyeksi Target Pertumbuhan PDB 2026 Kebijakan Moneter (Suku Bunga BI) Konteks Risiko Kunci
Bappenas/Pemerintah 5.8% – 6.3% N/A Keberhasilan implementasi program strategis dan investasi
Bank Mandiri 5.2% N/A Kebutuhan Belanja Negara berkualitas, ancaman turbulensi global
CIMB/Model Ekonometrik N/A Stabil di 4.00% – Level Saat Ini Stabilitas moneter yang bergantung pada disiplin fiskal

Dalam kerangka moneter, stabilitas diperkirakan akan berlanjut. Model ekonometrik memproyeksikan Suku Bunga Indonesia akan berada di sekitar 4.00% pada tahun 2026. Analisis lain juga menyarankan bahwa BI akan menahan suku bunga di level saat ini hingga 2026. Proyeksi stabilitas moneter ini mengindikasikan bahwa otoritas moneter memiliki keyakinan bahwa tekanan inflasi akan tetap terkendali, yang pada gilirannya memberikan ruang fleksibilitas yang lebih besar bagi kebijakan fiskal pemerintah untuk menjadi ekspansif.

Risiko Politik, Sosial, dan Skenario Stabilitas 2026

Dinamika politik tahun 2026 cenderung memunculkan dua skenario polarisasi yang kontradiktif.

Skenario pertama didukung oleh data kepuasan publik. Survei pada akhir 2025 menunjukkan bahwa kepuasan publik terhadap Pemerintahan Prabowo-Gibran menembus 82.44%, dan diprediksi adanya peningkatan stabilitas ekonomi dan kepercayaan publik hingga 2026. Stabilitas ekonomi yang kuat di 2025 menjadi landasan utama skenario ini.

Skenario kedua, yang lebih pesimistis, diprediksi oleh Analis Komunikasi Politik yang melihat Indonesia tahun 2026 akan diwarnai oleh ketidakstabilan politik. Instabilitas ini diperkirakan didorong oleh kelesuan ekonomi dan tekanan hidup yang mencekik kelas menengah. Analisis bernuansa ini menempatkan kelas menengah sebagai titik patah (The Middle Class Fault Line). Kelompok ini, yang kurang mendapatkan manfaat langsung dari program subsidi sosial dibandingkan kelompok bawah (seperti MBG), namun sangat rentan terhadap inflasi dan kualitas layanan publik yang buruk, dapat menjadi sumber ketidakpuasan signifikan jika janji pertumbuhan ambisius (6.3%) tidak tercapai. Jika kelas menengah yang merupakan motor ekonomi ini merasa tercekik, risiko demonstrasi dan kritik politik terhadap konsolidasi kekuasaan akan meningkat tajam, menantang legitimasi yang dibangun dari kepuasan publik secara agregat.

Secara kelembagaan, dinamika konsolidasi kekuasaan diprediksi akan terus berlanjut di tahun 2026, di mana Institute of Public Policy (IPP) memetakan tantangan politik, hukum, dan ekonomi di tahun kedua pemerintahan. Isu penegakan hukum dan hak asasi manusia tetap menjadi fokus kritis, menuntut peran anak muda untuk memperkuat demokrasi melalui advokasi kebijakan dan partisipasi kritis di ruang publik digital.

Agenda Strategis Lintas Sektor: Digitalisasi dan Ekonomi Hijau

Tahun 2026 menuntut integrasi kebijakan lintas sektor, terutama terkait keberlanjutan dan teknologi.

Ekonomi Hijau dan ESG: Forum Green Economic Outlook 2026 menekankan pentingnya integrasi Environmental, Social, and Governance (ESG) sebagai strategi kunci untuk penguatan ketahanan ekonomi. Pemerintah merespons dengan peningkatan anggaran 2026 untuk pengelolaan sampah dan pengendalian perubahan iklim. Komisi XII DPR RI telah menegaskan pentingnya percepatan pembahasan RUU Perubahan Iklim dan RUU Pengelolaan Sampah sebagai landasan hukum yang kokoh untuk mencapai target pengelolaan sampah dan pengendalian emisi gas rumah kaca di tahun 2026.

Digitalisasi dan Kesenjangan Digital: Dalam konteks perkembangan teknologi, terdapat urgensi yang meningkat terkait regulasi kecerdasan artifisial (AI), perlindungan data, dan pemerataan literasi digital. Kebijakan ini diperlukan untuk mencegah meluasnya ketimpangan digital yang dapat memperburuk ketidaksetaraan sosial-ekonomi.

Tabel 3: Pilar Fokus Kebijakan Fiskal 2026 dan Risiko Kunci

Pilar Kebijakan 2026 Sasaran Strategis Keterkaitan Kebijakan (2025) Risiko Utama (Outlook 2026)
Kedaulatan Pangan Dorongan produktivitas pertanian, stabilitas harga pangan Implementasi MBG sebagai PSN Volatilitas komoditas global, tantangan logistik MBG
Kedaulatan Energi Percepatan pemulihan energi dan transisi energi hijau Alokasi subsidi APBN Kesiapan infrastruktur dan efisiensi belanja negara
Ekonomi Hijau (ESG) Pengelolaan sampah, pengendalian iklim, integrasi ESG di pasar modal Peningkatan anggaran lingkungan, RUU Perubahan Iklim Keterbatasan regulasi AI/Digital, komitmen sektor swasta

Kesimpulan

Refleksi tahun 2025 menunjukkan bahwa pemerintahan baru berhasil menavigasi masa transisi dengan kemudi fiskal yang stabil, mencapai pertumbuhan PDB di atas 5% dan progres signifikan dalam penurunan ketimpangan sosial (Gini Ratio 0.375). Stabilitas ekonomi ini berfungsi sebagai economic credibility buffer. Namun, harga politik dari stabilitas ini adalah konsolidasi kekuasaan yang kuat, penurunan kualitas rule of law (ditandai oleh populisme hukum), dan penyempitan ruang sipil.

Tahun 2026 menjadi periode ujian krusial. Keberhasilan mencapai target pertumbuhan PDB yang ambisius (hingga 6.3%) akan sangat bergantung pada kemampuan pemerintah untuk menerjemahkan program-program besar, terutama MBG, menjadi belanja negara berkualitas. Kegagalan dalam pengelolaan fiskal dan tata kelola program dapat mengikis kredibilitas ekonomi yang telah dibangun. Selain itu, dinamika politik akan dipengaruhi oleh sejauh mana tekanan ekonomi pada kelas menengah dapat diredam, karena kelompok ini berpotensi menjadi pemicu ketidakstabilan politik jika aspirasi mereka tidak terjawab.

Berdasarkan analisis kondisi 2025 dan proyeksi tantangan 2026, disarankan tiga fokus kebijakan strategis berikut:

  1. Disiplin Fiskal dan Akuntabilitas Program Sosial

Pemerintah harus memastikan bahwa Program Makan Bergizi Gratis (MBG) memiliki kerangka tata kelola yang transparan dan berbasis data akurat BPS. Manajemen fiskal harus sangat disiplin untuk menekan risiko fiscal complacency yang dapat timbul dari keberhasilan ekonomi 2025. Diperlukan peninjauan berkala dan audit eksternal yang ketat untuk memastikan bahwa pengeluaran APBN 2026, terutama untuk program-program masif, efisien dan tidak mengganggu stabilitas fiskal jangka panjang, sesuai dengan peringatan IMF.

  1. Pemulihan Supremasi Sipil dan Hukum

Untuk meredam risiko ketidakstabilan politik yang dipicu oleh erosi demokrasi, pemerintah dan DPR harus meninjau ulang kebijakan yang memperkuat militerisasi birokrasi, seperti amandemen UU TNI yang kontroversial. Langkah ini krusial untuk memulihkan prinsip supremasi sipil. Selain itu, pemerintah harus menjamin perlindungan hukum bagi kebebasan berekspresi, menghentikan praktik kriminalisasi melalui UU ITE, dan memastikan ruang publik tetap aman bagi kritik konstruktif dan kegiatan akademik, sebagai langkah awal untuk memulihkan rule of law yang terkikis.

  1. Fokus pada Resiliensi Kelas Menengah

Kebijakan akselerasi ekonomi di tahun 2026 harus mencakup langkah-langkah spesifik yang tidak hanya berfokus pada kelompok paling rentan, tetapi juga meredam tekanan ekonomi pada kelas menengah. Hal ini dapat diwujudkan melalui insentif investasi yang berdampak pada penciptaan lapangan kerja berkualitas, penjaminan ketersediaan bahan pokok dengan harga stabil, dan peningkatan kualitas layanan publik yang didanai APBN, untuk mencegah skenario ketidakstabilan politik yang diprediksi akan bersumber dari kelompok ekonomi yang tercekik ini.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

CAPTCHA ImageChange Image

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.