Salah satu pergulatan ideologis paling signifikan dalam sejarah modern Indonesia adalah polemik antara Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan Manifesto Kebudayaan (Manikebu). Perdebatan ini, yang mencapai puncaknya pada era Demokrasi Terpimpin, bukanlah sekadar pertentangan estetika antara “seni untuk rakyat” dan “seni untuk seni.” Sebaliknya, laporan ini menunjukkan bahwa polemik tersebut adalah cerminan dari pertarungan politik yang jauh lebih besar, di mana seni dan sastra menjadi medan pertempuran ideologi. Lekra, dengan doktrin realisme sosialisnya, berfungsi sebagai garda terdepan Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam ranah kebudayaan, sementara Manikebu, dengan gagasan humanisme universal, muncul sebagai respons kritis yang menuntut independensi artistik dari intervensi politik. Intervensi Presiden Soekarno melalui kebijakan Nasakom pada akhirnya mengakhiri perdebatan ini dengan pembubaran Manikebu. Namun, babak akhir yang sesungguhnya terjadi pasca-peristiwa G30S, yang menghapus jejak Lekra dan memungkinkan narasi sejarah polemik ini didominasi oleh pihak Manikebu. Laporan ini menguraikan bagaimana pergeseran kekuasaan mengubah nasib kedua kubu secara drastis, meninggalkan warisan berupa dilema abadi antara seni dan kekuasaan yang masih relevan hingga kini.

Pengantar: Prahara Kebudayaan di Era Revolusi

Latar belakang historis Indonesia pasca-kemerdekaan pada periode 1945-1950 adalah masa pencarian identitas yang intens. Bangsa ini, yang baru saja memproklamasikan kemerdekaannya, tidak hanya disibukkan dengan urusan politik dan ekonomi, tetapi juga dengan perumusan arah kebudayaan nasional yang baru. Dalam suasana revolusi yang belum tuntas, kebudayaan tidak dianggap sebagai entitas terpisah, melainkan sebagai bagian integral dari perjuangan untuk membebaskan diri sepenuhnya dari sisa-sisa kolonialisme, imperialisme, dan feodalisme. Konsepsi ini menjadi lahan subur bagi munculnya berbagai lembaga kebudayaan dengan pandangan ideologis yang berbeda, yang pada akhirnya akan berujung pada sebuah perdebatan besar.

Di tengah gejolak ini, muncul dua kutub ideologis yang dominan. Pertama, adalah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), sebuah gerakan budaya dan sosial yang produktif yang didirikan pada 17 Agustus 1950, dengan tokoh-tokoh sentral seperti D.N. Aidit, Njoto, M.S. Ashar, dan A.S. Dharta. Lekra mengusung visi “seni untuk rakyat” dan mendorong seniman, penulis, serta guru untuk mengikuti doktrin realisme sosialis. Visi ini menarik banyak seniman untuk mengabdikan diri pada revolusi Indonesia.

Kedua, adalah Manifesto Kebudayaan (Manikebu), sebuah deklarasi yang diumumkan oleh sekelompok penulis dan intelektual pada akhir 1963. Manikebu muncul sebagai sebuah tantangan terhadap Manifesto yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno dan sebagai bentuk penolakan terhadap intervensi politik dalam seni. Pihak Manikebu, yang diinisiasi oleh nama-nama besar seperti H.B. Jassin, Goenawan Mohamad, dan Wiratmo Soekito, menganut ideologi humanisme universal yang menuntut kebebasan berekspresi.

Tulisan ini berargumen bahwa polemik antara Lekra dan Manikebu adalah manifestasi dari polarisasi politik yang mendalam di era Demokrasi Terpimpin. Seni dan sastra tidak lagi sekadar ruang ekspresi, melainkan berubah menjadi medan pertempuran ideologi di mana narasi kebudayaan digunakan untuk memperjuangkan tujuan-tujuan politik. Peristiwa-peristiwa krusial dalam perdebatan ini dapat dipetakan melalui kronologi berikut:

Peristiwa Kunci Tanggal Deskripsi
Pendirian Lekra 17 Agustus 1950 Organisasi kebudayaan yang berafiliasi dengan PKI didirikan dengan visi “seni untuk rakyat”.
Kemunculan Majalah Sastra 1961 Majalah yang menjadi wadah bagi pandangan anti-mainstream terhadap politik kebudayaan Demokrasi Terpimpin, yang kemudian berujung pada keterlibatannya dalam Manikebu.
Deklarasi Manifes Kebudayaan 17 Agustus 1963 Sekelompok seniman mengumumkan deklarasi yang menolak politisasi seni dan mengusung “humanisme universal” sebagai respons terhadap Lekra.
Pelarangan Manikebu 8 Mei 1964 Presiden Soekarno menyatakan pelarangan Manikebu karena dianggap menunjukkan keraguan terhadap revolusi dan menyaingi Manifesto Politiknya.
Peristiwa G30S 1965 Peristiwa politik yang mengakhiri era Demokrasi Terpimpin dan mengawali kehancuran total bagi Lekra serta kebangkitan bagi kelompok Manikebu.

Kekuatan Lekra: Ideologi, Jaringan, dan Dominasi Budaya

Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) didirikan pada 17 Agustus 1950, dengan tujuan utama membangun kebudayaan nasional yang berpusat pada rakyat dan revolusi. Para pendirinya, termasuk D.N. Aidit dan Njoto, menyerukan agar para seniman dan pekerja kebudayaan mengabdikan diri pada perjuangan revolusi Indonesia. Lekra mengusung sebuah gagasan baru bagi kaum seni di tanah air yang dengan cepat menarik simpati seniman dari berbagai kelas, menjadikannya organisasi yang naik pamor dalam waktu singkat. Visi “seni untuk rakyat” Lekra mendasarkan diri pada doktrin “realisme sosialis,” di mana karya seni—baik sastra, musik, rupa, maupun film—harus merepresentasikan kehidupan kaum pekerja dan memperjuangkan kepentingan mereka. Pandangan ini menolak seni yang dianggap abstrak atau borjuis, yang dipandang tidak relevan dengan realitas sosial rakyat Indonesia.

Untuk mencapai tujuannya, Lekra menerapkan prinsip dan taktik organisasi yang efektif. Mereka mencetuskan prinsip kerja 1-5-1 pada Kongres Nasional I tahun 1959, yang meliputi: “Politik sebagai Panglima,” lima kombinasi asas penciptaan, dan metode kerja “Turun ke Bawah” (Turba). Prinsip “Politik sebagai Panglima” menjadi landasan ideologis Lekra, menegaskan bahwa seni harus memiliki muatan politik dan mendukung pemerintah untuk memajukan kebudayaan yang revolusioner. Metode Turba, di mana seniman Lekra secara langsung berinteraksi dengan petani dan buruh, memungkinkan mereka mengangkat isu-isu sosial dan memobilisasi massa melalui seni. Keberhasilan taktik ini membuat Lekra menjadi organisasi yang sangat besar dan mendominasi ranah kebudayaan Indonesia pada masanya.

Meskipun Lekra secara formal adalah organisasi yang berdiri sendiri, terdapat keterkaitan yang sangat erat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Hubungan ini dipengaruhi oleh adanya persamaan pandangan dan pemikiran dalam hal revolusi kebudayaan Indonesia. PKI bahkan memfasilitasi Lekra dengan memberikan ruang bagi seniman mereka untuk berkarya melalui surat kabar  Harian Rakjat dan Lekra turut membantu PKI dalam kampanye Pemilu 1955. Kedekatan ini memberikan Lekra kekuatan politik yang signifikan dan keunggulan dalam menjatuhkan lawan-lawan yang berseberangan secara ideologis.

Hubungan simbiotik antara Lekra dan PKI yang berujung pada ketergantungan ini pada akhirnya menjadi kelemahan fatal. Keterikatan ini mentransformasi Lekra dari sebuah gerakan kebudayaan yang independen menjadi sebuah alat politik yang dimanfaatkan oleh PKI untuk mencapai tujuan ideologisnya. Kedekatan ini, yang pada awalnya memberikan Lekra dominasi, justru mengunci nasibnya dengan nasib partai politik yang menaunginya. Prinsip “Politik sebagai Panglima,” yang dimaksudkan untuk memastikan seni berpihak pada rakyat, pada praktiknya justru digunakan untuk menekan lawan ideologis. Politisasi seni secara masif menciptakan iklim budaya yang tidak sehat, di mana kritik dan perbedaan pandangan dianggap sebagai tindakan “kontra-revolusioner”. Ketika situasi politik berbalik, logika penindasan yang mereka terapkan justru berbalik menghantam mereka sendiri, menunjukkan ironi dari prinsip yang diusungnya.

Suara Manikebu: Humanisme Universal sebagai Perlawanan

Manifesto Kebudayaan (Manikebu) muncul sebagai suara yang berlawanan dengan hegemoni Lekra. Deklarasi ini, yang dibuat oleh sekelompok seniman dan intelektual, selesai naskahnya pada 17 Agustus 1963. Manikebu dapat dipandang sebagai respons terhadap “teror-teror” yang dilancarkan Lekra di ranah budaya dan sebuah perlawanan terhadap penyempitan ruang gerak kesenian. Di antara para tokoh penting yang menandatangani deklarasi tersebut adalah H.B. Jassin, Goenawan Mohamad, Wiratmo Soekito, dan Taufiq Ismail.

Inti dari ideologi Manikebu adalah prinsip “Humanisme Universal”. Deklarasi mereka menyatakan bahwa “kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia” dan bahwa Pancasila adalah falsafah kebudayaan mereka. Kelompok ini menolak konsep “politik sebagai panglima” yang diusung Lekra dan mendukung kebebasan berekspresi, di mana seni harus bebas dari intervensi politik. Mereka berpendapat bahwa kebudayaan harus lahir dari hati nurani yang jujur dan didasarkan pada kemanusiaan yang universal, bukan pada slogan-slogan partai politik.

Munculnya Manikebu memicu perdebatan sengit yang mencerminkan pertarungan ideologis antara kebebasan berekspresi dan seni sebagai alat perjuangan politik. Lekra, sebagai pihak yang berkuasa, merespons dengan keras. Mereka mengejek Manikebu dengan akronim “mani kebu” atau “sperma kerbau”. Akronim ini menunjukkan tidak hanya intensitas perdebatan, tetapi juga personalisasi dan penghinaan yang terjadi di dalamnya.

Meskipun Manikebu mengklaim sebagai gerakan non-politik yang hanya berfokus pada seni, tindakan mereka secara intrinsik bersifat politis. Deklarasi mereka adalah sebuah pernyataan politik yang berupaya menantang hegemoni yang berkuasa. Dengan merespons “teror” budaya dari Lekra, yang merupakan lengan kebudayaan dari PKI, Manikebu secara tidak langsung menantang struktur politik yang menaunginya. Tindakan perlawanan yang diklaim “non-politik” ini adalah sebuah tindakan politik yang tak terhindarkan, yang menunjukkan bahwa di era Demokrasi Terpimpin, tidak ada ruang yang murni bebas dari politik. Meskipun Manikebu menghendaki kebudayaan yang tidak mendukung Manipol-USDEK atau Nasakom , sikap non-politik mereka terbukti tidak dapat menjamin keselamatan dalam iklim politik yang sangat tegang.

Medan Pertempuran Intelektual: Perang Kata dan Gagasannya

Polemik antara Lekra dan Manikebu terjadi di medan pertempuran intelektual yang menggunakan media massa sebagai senjata utama. Majalah Sastra, yang terbit pada tahun 1961, menjadi salah satu wadah utama bagi pandangan yang tidak sejalan dengan Lekra. Majalah ini mempertahankan pendiriannya bahwa seni harus jujur dan lahir dari hati nurani, bukan dari kepentingan partai. Pendirian ini dianggap tidak mengikuti semangat revolusi yang belum selesai, sehingga memicu serangan dari berbagai pihak, terutama Lekra.

Salah satu studi kasus yang paling menonjol dari perdebatan ini adalah polemik sastra antara H.B. Jassin dan pihak Lekra. H.B. Jassin, sebagai pentolan Manikebu, membela sastrawan Hamka yang dituduh melakukan plagiarisme oleh pihak yang terafiliasi dengan Lekra. H.B. Jassin berargumen bahwa karya Hamka,  Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, hanya terinspirasi dari karya sastrawan Mesir, Manfaluti, dan bukan merupakan plagiarisme. Peristiwa ini menunjukkan bagaimana perbedaan ideologi dapat digunakan sebagai senjata untuk menyerang lawan secara personal dan profesional.

Secara fundamental, perdebatan ini adalah benturan antara dua konsep kebudayaan yang saling bertolak belakang, sebagaimana dirangkum dalam tabel berikut:

Aspek Perbandingan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) Manifesto Kebudayaan (Manikebu)
Ideologi Dasar Realisme Sosialis Humanisme Universal
Tujuan Seni Alat untuk revolusi dan perjuangan kelas Perjuangan untuk menyempurnakan kondisi manusia
Hubungan dengan Politik Politik sebagai Panglima. Seni harus melayani ideologi tertentu. Seni bebas dari intervensi politik. Tidak mendukung Nasakom.
Karya yang Didukung Realis, pro-rakyat, mengangkat tema buruh dan tani Ekspresi individu yang beragam, termasuk seni abstrak
Hubungan dengan Kekuasaan Mendukung kekuasaan yang ada (Soekarno) dan berafiliasi dengan PKI Menantang kekuasaan yang mengontrol seni

Intervensi Kekuasaan: Peran Soekarno dan Akhir Polemik (1964)

Perdebatan antara Lekra dan Manikebu tidak berlangsung di ruang hampa; ia terjadi dalam konteks politik Demokrasi Terpimpin di bawah Presiden Soekarno. Pada masa ini, Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis) menjadi ideologi negara yang diterapkan di seluruh bidang pemerintahan. Konsep ini dimaksudkan oleh Soekarno untuk menyeimbangkan kekuatan politik yang ada dan melegitimasi kekuasaannya sebagai pemimpin tertinggi. Setiap manifestasi ideologis yang tidak sejalan dengan Nasakom, termasuk di ranah kebudayaan, dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas dan revolusi yang sedang berjalan.

Pelarangan Manikebu pada 8 Mei 1964 menjadi bukti nyata dari intervensi kekuasaan dalam polemik ini. Soekarno, yang memiliki kecenderungan pada pendapat Lekra, akhirnya melarang kelompok Manikebu. Ia menyebut deklarasi mereka sebagai “Manifesto Kebudayaan” yang menunjukkan keraguan terhadap revolusi dan dianggap menyaingi Manifesto Politiknya sendiri. Keputusan ini bukanlah murni penilaian estetika, melainkan langkah politik untuk menjaga stabilitas ideologisnya.

Polemik kebudayaan ini dapat dipandang sebagai sebuah proxy war politik. Soekarno, yang ingin menjaga keseimbangan kekuatan antara PKI, Militer, dan kelompok Nasionalis-Agama, tidak menyerang salah satu pihak secara langsung. Sebaliknya, ia menekan perwakilan kultural yang menantang ideologinya. Dengan melarang Manikebu, Soekarno secara efektif memperkuat posisi PKI dan Lekra sebagai sekutu utama dalam konstelasi Nasakom. Ini adalah cara halus untuk menekan kelompok yang dianggap melemahkan ideologi negara tanpa secara langsung memicu konfrontasi politik yang lebih besar.

Setelah Badai: Nasib Lekra dan Manikebu Pasca-1965

Babak akhir dari polemik kebudayaan ini ditandai oleh peristiwa tragis G30S pada tahun 1965. Peristiwa ini membawa konsekuensi yang drastis dan asimetris bagi kedua kubu yang berdebat. Bagi Lekra, yang memiliki kedekatan dengan PKI, kehancuran total adalah keniscayaan. Seniman dan anggota Lekra dikejar-kejar, disiksa, dipenjara, dibunuh, dan diasingkan ke tempat-tempat terpencil seperti Pulau Buru. Karya-karya mereka dimusnahkan, dan jejak organisasi mereka dihapus dari sejarah. Ini bukan hanya sebuah penghancuran fisik, tetapi juga penghilangan memori kolektif. Kantor pusat mereka di Jalan Cidurian Nomor 19 bahkan dihancurkan dan kini berdiri bangunan lain di atasnya.

Sementara itu, setelah Lekra runtuh, para tokoh Manikebu menemukan posisi yang lebih baik dalam tatanan politik Orde Baru. Mereka memanfaatkan kesempatan ini untuk membentuk narasi sejarah versi mereka sendiri. Pada masa-masa awal Orde Baru, para penandatangan Manikebu sangat aktif mempublikasikan tulisan-tulisan yang bertujuan untuk menjelaskan peristiwa tersebut dari sudut pandang mereka. Mereka menempatkan Lekra sebagai bagian dari PKI yang memberontak, sebuah narasi yang selaras dengan kepentingan politik rezim baru.

Polemik ini tidak berakhir dengan rekonsiliasi ideologis, melainkan dengan pemusnahan salah satu pihak. Sejarah yang kita pahami hari ini adalah sejarah yang ditulis oleh pemenang. Pasca-1965, Manikebu mendapatkan kesempatan untuk berbicara dan menjelaskan posisinya, sementara Lekra dan para anggotanya dibungkam dan karya-karya mereka dimusnahkan. Asimetri ini menciptakan dominasi narasi yang menganggap perdebatan sebagai pertarungan antara “kebebasan” dan “ideologi politik,” sebuah interpretasi yang dibentuk oleh pihak yang memenangkan pertarungan politik secara mutlak.

Warisan dan Relevansi: Dilema yang Tak Pernah Usai

Perdebatan Lekra dan Manikebu memiliki warisan yang mendalam bagi kebudayaan Indonesia modern. Polemik ini secara efektif membentuk peta jalan kesenian dan sastra selanjutnya, terutama pada masa Orde Baru. Ideologi Manikebu menjadi lebih diterima dan membentuk arus baru dalam seni dan budaya Indonesia. Gagasan tentang kebebasan berekspresi dan otonomi seniman menjadi landasan yang kuat. Sebaliknya, ideologi Lekra hampir seluruhnya hilang dari wacana publik selama puluhan tahun, seolah-olah dihapus dari catatan sejarah.

Meskipun telah berlalu puluhan tahun, perdebatan ini masih relevan karena ia mengangkat dilema abadi antara seni dan kekuasaan. Peristiwa Lekra-Manikebu adalah studi kasus yang memperlihatkan konsekuensi ekstrem ketika kekuatan politik mencoba mengendalikan narasi kebudayaan, atau ketika seniman menghadapi dilema antara berkarya untuk kepentingan politik atau mempertahankan otonomi kreatif.

Perdebatan ini bukanlah sekadar artefak sejarah. Ia relevan dalam setiap era di mana dilema-dilema tersebut muncul. Dengan mempelajari polemik ini, dapat dipahami pola-pola historis dalam hubungan antara seni dan kekuasaan. Ini memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya menjaga ruang kebudayaan sebagai arena yang bebas dari dominasi politik, untuk mencegah terulangnya tragedi di mana perbedaan pandangan tidak lagi menjadi polemik, melainkan menjadi alat untuk menindas dan menghancurkan.

Dari Sejarah Gelap Menuju Pencerahan

Secara keseluruhan, polemik Lekra dan Manikebu adalah sebuah peristiwa multidimensi yang mencerminkan ketegangan politik, ideologis, dan sosial yang kompleks di Indonesia pasca-kemerdekaan. Ini adalah kisah tentang bagaimana seni menjadi medan pertarungan, dan bagaimana nasib seniman ditentukan oleh gejolak kekuasaan. Lekra, yang terperangkap dalam logika “politik sebagai panglima,” menemukan bahwa afiliasi politiknya menjadi bumerang yang menghancurkan. Sebaliknya, Manikebu, yang mencoba menolak politisasi seni, harus menerima bahwa tindakan mereka tetap terperangkap dalam pusaran politik dan bahwa kebebasan berkreasi tidak dapat sepenuhnya terlepas dari kekuasaan.

Tragedi yang terjadi pasca-1965 menunjukkan bahwa perdebatan ini tidak selesai dengan argumen, melainkan dengan pemusnahan salah satu pihak, yang menghasilkan sejarah yang ditulis oleh pemenang. Oleh karena itu, penting untuk terus mengkaji ulang sejarah kebudayaan dari berbagai sudut pandang, termasuk yang sebelumnya dihilangkan, untuk mendapatkan pemahaman yang utuh dan bernuansa. Dengan demikian, dilema abadi antara seni dan kekuasaan dapat terus menjadi pelajaran berharga dalam menjaga ruang kreatif tetap independen, demi sebuah kebudayaan yang sejati-jujurnya lahir dari hati nurani rakyat.

 

Daftar Pustaka :

  1. LEMBAGA KEBUDAYAAN RAKYAT (LEKRA) DALAM PERSPEKTIF …, accessed August 28, 2025, https://repository.unja.ac.id/54892/
  2. Bagaimana karya seni di Indonesia pada zaman adanya Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA)?, accessed August 28, 2025, https://kkyt.quora.com/Bagaimana-karya-seni-di-Indonesia-pada-zaman-adanya-lembaga-kebudayaan-rakyat-Lekra
  3. Mengulik Sejarah Lekra – Artikel Terkini | Ganto.co, accessed August 28, 2025, https://www.ganto.co/artikel/471/mengulik-sejarah-lekra.html
  4. en.wikipedia.org, accessed August 28, 2025, https://en.wikipedia.org/wiki/Manifesto_Kebudayaan#:~:text=The%20Cultural%20Manifesto%20(Republican%20spelling,and%20intellectuals%20in%20late%201963.
  5. Apa Itu Manifesto Kebudayaan (Manikebu)? – Cekricek.id, accessed August 28, 2025, https://cekricek.id/manifesto-kebudayaan-manikebu/
  6. Lekra Vs Manikebu: Perlawanan Majalah Sastra terhadap Politik Kebudayaan Pemerintah Masa Demokrasi Terpimpin (1961-1964) | Susanti | FACTUM – Jurnal UPI, accessed August 28, 2025, https://ejournal.upi.edu/index.php/factum/article/view/20121
  7. Sosiolog Soe Hok Djin, Lekra dan Manikebu – IndependensI, accessed August 28, 2025, https://independensi.com/2020/04/24/sosiolog-soe-hok-djin-lekra-dan-manikebu/
  8. Lekra yang Dihapuskan dari Sejarahnya – BASABASI.CO, accessed August 28, 2025, https://basabasi.co/lekra-yang-dihapuskan-dari-sejarahnya/
  9. [Resensi] Lekra dan Geger 1965 – KORAN KAMPUS IPB, accessed August 28, 2025, https://korpusipb.com/budaya/resensi-lekra-dan-geger-1965/
  10. Peran Lekra dalam Membentuk Kehidupan Budaya di Medan (1950 -1966), accessed August 28, 2025, https://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/9670
  11. TELUSUR AKTIVITAS LEKRA MASA DEMOKRASI TERPIMPIN TAHUN 1959-1965 – Jurnal UPI, accessed August 28, 2025, https://ejournal.upi.edu/index.php/historia/article/download/67593/27490
  12. Pergulatan Pemikiran Terbesar dalam Sejarah Indonesia: Polemik Kebudayaan yang Menggugah Jiwa Halaman 5 – Kompasiana.com, accessed August 28, 2025, https://www.kompasiana.com/gorbysaputra71844/644be833a7e0fa795b437883/pergulatan-pemikiran-terbesar-dalam-sejarah-indonesia-polemik-kebudayaan-yang-menggugah-jiwa?page=5&page_images=1
  13. LEMBAGA KEBUDAYAAN RAKYAT (LEKRA) DI SURAKARTA …, accessed August 28, 2025, https://digilib.uns.ac.id/dokumen/download/24447/NTE4NTQ=/Lembaga-Kebudayaan-Rakyat-LEKRA-di-Surakarta-Tahun-1950-1965-ANDIKA-KRISNA-WIJAYA-C-0503010.pdf
  14. PELARANGAN BUKU-BUKU KARYA … – E-Journal Unesa, accessed August 28, 2025, https://ejournal.unesa.ac.id/index.php/avatara/article/view/9068/9045
  15. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Dasar Penelitian Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) merupakan lembaga kebudayaan terbesar dan berpengaruh – Repository UNJ – Universitas Negeri Jakarta, accessed August 28, 2025, http://repository.unj.ac.id/40003/2/BAB%201.pdf
  16. Manifes Kebudayaan – Sastra-Indonesia.com, accessed August 28, 2025, http://sastra-indonesia.com/2014/06/manifes-kebudayaan/
  17. The Existence of Universal Humanism in The Reform Era of Indonesian Literary Criticism, accessed August 28, 2025, https://ijmmu.com/index.php/ijmmu/article/view/2797
  18. nilai kemanusiaan dalam bingkai pluralisme dan multikulturalisme dalam komik “sandhora” (1970) karya teguh santosa, accessed August 28, 2025, https://publikasi.dinus.ac.id/index.php/andharupa/article/download/1287/1037/3800
  19. Manikebu dan Pergerakan Seni Budaya dalam Arus Politik Indonesia – Marhaen ID, accessed August 28, 2025, https://marhaen.id/manikebu-dan-pergerakan-seni-budaya-dalam-arus-politik-indonesia/
  20. LEKRA VS MANIKEBU: Perlawanan Majalah Sastra … – Jurnal UPI, accessed August 28, 2025, https://ejournal.upi.edu/index.php/factum/article/download/20121/10200
  21. Manifesto Kebudayaan: Latar Belakang, Tujuan, dan Tokoh – Kompas.com, accessed August 28, 2025, https://www.kompas.com/stori/read/2021/11/01/150000779/manifesto-kebudayaan-latar-belakang-tujuan-dan-tokoh
  22. LEKRA VS MANIKEBU: Perlawanan Majalah Sastra terhadap Politik Kebudayaan Pemerintah Masa Demokrasi Terpimpin (1961-1964) – Jurnal UPI, accessed August 28, 2025, https://vm36.upi.edu/index.php/factum/article/download/20121/10200
  23. Seniman dalam Arus Politik dari Masa ke Masa – CNN Indonesia, accessed August 28, 2025, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230703132357-617-968821/seniman-dalam-arus-politik-dari-masa-ke-masa
  24. www.kompasiana.com, accessed August 28, 2025, https://www.kompasiana.com/awangarsy/600beb278ede486a25456d62/mwngusut-huru-hara-antara-lekra-dan-manifes-kebudayaan
  25. NASAKOM SEBAGAI IDEOLOGI NEGARA TAHUN 1959-1965 – E-Journal Unesa, accessed August 28, 2025, https://ejournal.unesa.ac.id/index.php/avatara/article/view/20612/18892
  26. Lekra vs Manikebu – Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950-1965, accessed August 28, 2025, https://rowlandpasaribu.wordpress.com/wp-content/uploads/2013/09/alexander-supartono-lekra-vs-manikebu.pdf
  27. Politik Sastra: Konflik Aliran Sastra Antara Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan Manifes Kebuadayaan (Manikebu) 1950-1965 – Repositori USU, accessed August 28, 2025, https://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/3680
  28. Perkembangan Kesusastraan Indonesia Periode Orde Baru – Indonesiana.id, accessed August 28, 2025, https://www.indonesiana.id/read/155554/perkembangan-kesusastraan-indonesia-periode-orde-baru

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

CAPTCHA ImageChange Image

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.