Tulisan ini membahas fenomena “pengkhianatan intelektual” dalam konteks Indonesia. Berangkat dari landasan filosofis Julien Benda dalam La Trahison des Clercs dan dialektika kritis dari pemikir seperti Antonio Gramsci dan Edward Said, laporan ini mengupas manifestasi, akar masalah, dan dampak dari deklinasi peran cendekiawan. Penelitian menunjukkan bahwa pengkhianatan intelektual di Indonesia tidak hanya terjadi dalam ranah politik, tetapi juga meresap ke dalam ekosistem akademik dan hukum. Motivasi utama meliputi pragmatisme ekonomi, hedonisme, dan tekanan struktural dari sistem oligarki yang beradaptasi. Dampak yang ditimbulkan sangat serius: erosi kepercayaan publik, degradasi mutu riset, dan terhambatnya perjuangan untuk keadilan sosial. Laporan ini menyimpulkan dengan seruan untuk merekonstruksi peran intelektual melalui revitalisasi integritas personal dan reformasi kelembagaan guna mengembalikan peran mereka sebagai penjaga kebenaran dan agen perubahan.
Pendahuluan: Ideal dan Realitas Peran Intelektual
Secara tradisional, kaum cendekiawan dan intelektual dipandang sebagai garda terdepan penjaga moralitas dan kebenaran.1 Perguruan tinggi, sebagai lembaga pendidikan tertinggi, adalah “benteng terakhir” dalam mengawal moral bangsa, dan para intelektual mengabdikan diri pada pencarian dan penyebaran kebenaran demi kesejahteraan masyarakat. Peran historis ini menempatkan mereka di luar pusaran kekuasaan praktis, menjaga jarak dari politik demi integritas mereka. Namun, realitas modern sering kali menunjukkan adanya deklinasi peran ini, di mana kaum intelektual justru terlibat dalam praktik yang bertentangan dengan idealisme mereka.
Tulisan ini berupaya menjawab beberapa pertanyaan kunci: Apa sebenarnya yang dimaksud dengan pengkhianatan intelektual? Bagaimana konsep ini berkembang dalam diskursus filsafat? Apa saja bentuk-bentuk manifestasinya dalam konteks Indonesia? Mengapa para intelektual terdorong untuk berkhianat? Dan apa konsekuensi jangka panjangnya bagi bangsa dan negara? Tujuan ltulisan n ini adalah menyajikan analisis mendalam, holistik, dan bernuansa tentang pengkhianatan intelektual, mengidentifikasi akar penyebab, mengupas manifestasinya di Indonesia, menganalisis dampak negatifnya, dan mengusulkan kerangka kerja untuk mengembalikan peran integritas kaum intelektual.
Landasan Konseptual: Membedah Pengkhianatan Intelektual
Pengkhianatan intelektual didefinisikan sebagai tindakan kaum terpelajar yang mengabaikan tanggung jawab moral dan etis mereka demi kepentingan politik atau pribadi. Ini adalah pengkhianatan terhadap “integritas kecendekiaan” itu sendiri. Perilaku yang terkait dengan pengkhianatan ini sering kali merupakan bentuk manipulasi. Seorang intelektual yang berkhianat mungkin akan memutarbalikkan fakta, menahan informasi penting, atau melakukan victim blaming. Ciri lain yang umum adalah intellectual bullying, di mana data atau fakta yang tidak dikuasai lawan dipaparkan secara berlebihan untuk membuat orang lain merasa tidak berdaya dalam sebuah diskusi atau pengambilan keputusan.
Perilaku ini menunjukkan bahwa pengkhianatan intelektual bukanlah sekadar sebuah ketidakaktifan atau pengabaian, melainkan sebuah praktik yang secara aktif merusak. Intelektual yang berkhianat menggunakan alat-alat kognitif—ilmu pengetahuan, data, dan logika—yang seharusnya digunakan untuk mencari kebenaran, justru untuk menyesatkan dan mengendalikan. Ini merupakan bentuk korupsi yang paling dalam karena merusak fondasi dari peran intelektual itu sendiri, yaitu kejujuran dan objektivitas.
Julien Benda dan Asal-usul Filosofis Konsep
Konsep pengkhianatan intelektual secara historis diperkenalkan oleh Julien Benda dalam bukunya yang terkenal, La Trahison des Clercs (1927). Benda membagi masyarakat menjadi dua golongan: kaum awam (laity) yang mengejar tujuan praktis dan duniawi, dan kaum intelektual (clercs) yang bertugas menjaga nilai-nilai transenden dan universal seperti kebenaran dan keadilan. Menurut Benda, pengkhianatan terjadi ketika kaum intelektual menyerah pada “nafsu politik” dan mengabdikan diri pada kegiatan politik praktis, sehingga melupakan tugas mereka sebagai penjaga moral. Ia berpendapat bahwa keterlibatan intelektual dalam politik adalah bentuk pengkhianatan terhadap integritas diri.
Dialektika Peran Intelektual: Menara Gading vs. Aksi Nyata
Konsep Benda memicu perdebatan sengit tentang peran ideal intelektual. Kritik datang dari berbagai pemikir yang menolak pemisahan tegas antara “intelektual” dan “masyarakat,” berpendapat bahwa kaum terpelajar memiliki tanggung jawab sosial yang lebih besar.
Kritik Terhadap Benda: Pandangan Alternatif
- Antonio Gramsci: Menolak pandangan Benda yang memisahkan kaum intelektual dari masyarakat, berpendapat bahwa setiap kelompok masyarakat memiliki intelektualnya sendiri. Ia memperkenalkan konsep “intelektual organik,” yang tugasnya adalah mengartikulasikan kepentingan kelas sosialnya, menghubungkan ketidakpuasan individual ke dalam aktivisme sosial kolektif, dan menjadi agen perubahan.
- Edward Said: Menggambarkan intelektual sebagai individu yang “bebas, independen, dan tidak berada dalam sistem”. Peran mereka adalah “menyampaikan kebenaran di hadapan kekuasaan” (speaking truth to power). Meskipun pandangannya mirip Benda dalam hal independensi, Said menekankan perlunya intelektual untuk secara aktif terlibat dalam membela masyarakat dari penyimpangan kekuasaan.
- Karl Mannheim: Bahkan menuduh cendekiawan yang tidak terlibat dalam kerja-kerja praktis sebagai pengkhianat. Baginya, hanya menyuarakan kebenaran dari “menara gading ilmu” adalah bentuk pengkhianatan, karena ia mengabaikan masalah sosial nyata yang membutuhkan intervensi.
Perbandingan Pandangan Filosofis tentang Peran Intelektual
Kontradiksi antara pandangan Benda dengan Gramsci, Said, dan Mannheim menunjukkan sebuah dilema fundamental dalam peran intelektual. Benda menganggap keterlibatan adalah pengkhianatan, sementara Mannheim dan Gramsci menganggap ketidak-keterlibatan sebagai pengkhianatan. Dilema ini bukan hanya perbedaan pendapat, melainkan cerminan dari posisi intelektual yang berada di persimpangan jalan antara idealisme abstrak dan realitas sosial yang praktis. Persoalan ini terlihat jelas dalam kasus Dreyfus Affair , di mana para intelektual Perancis bangkit menanggapi ketidakadilan. Bagi Benda, tindakan itu adalah pengkhianatan terhadap peran tradisional mereka, sementara bagi yang lain, itu adalah perwujudan tanggung jawab yang seharusnya. Oleh karena itu, pertanyaan krusialnya bukan lagi apakah intelektual harus terlibat, melainkan kapan dan dalam kondisi apa penglibatan mereka menjadi pengkhianatan. Pengkhianatan sejati terjadi ketika, terlepas dari alasan keterlibatan, mereka mengabaikan prinsip-prinsip moral demi keuntungan pragmatis dan kekuasaan.
Pemikir | Filosofi Inti | Pandangan tentang Keterlibatan Politik | Jenis “Pengkhianatan” |
Julien Benda | Detasemen | Bentuk pengkhianatan terhadap tugas moral | Meninggalkan kebenaran demi kekuasaan |
Antonio Gramsci | Organisisme | Bagian yang melekat dari peran intelektual | Mengabaikan kepentingan kelas sosial |
Edward Said | Oposisional | Penting untuk melawan kekuasaan | Tunduk pada sistem kekuasaan |
Karl Mannheim | Keterlibatan | Diperlukan untuk perubahan sosial | Bersembunyi di “menara gading ilmu” |
Manifestasi Pengkhianatan Intelektual dalam Konteks Indonesia
Pengkhianatan Akademik dan Ilmiah
Pengkhianatan dalam ranah akademik di Indonesia terwujud dalam berbagai bentuk. Heru Nugroho mengkritik fenomena “banalitas intelektual,” di mana akademisi lebih mementingkan nilai pragmatis seperti pendapatan dan jabatan daripada nilai-nilai ilmu pengetahuan. Contohnya adalah dosen yang tidak fokus mengajar karena pekerjaan sampingan, atau akademisi yang menjadi “pakar instan” di media, hanya menghasilkan kritik yang tidak berbobot. Nugroho menyebutnya sebagai “fenomena klobotisme,” suara gemerisik yang kosong makna.
Selain itu, terdapat kasus korupsi akademik yang lebih serius. Data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2014 menunjukkan bahwa 10 profesor dan 200 doktor terlibat dalam kasus korupsi. Bahkan, kasus korupsi juga ditemukan dalam jalur penerimaan mahasiswa mandiri, di mana motif ekonomi menjadi modus operandinya. Contoh ini menunjukkan bahwa intelektual, bahkan yang sudah makmur secara finansial, masih bisa berkhianat demi keuntungan materi.
Pengkhianatan akademik juga terlihat dalam legitimasi ketidakadilan pembangunan. Akademisi dan institusi pendidikan (disebutkan UGM dalam) disewa untuk melegitimasi proyek-proyek yang merugikan masyarakat dan lingkungan, seperti penerbitan Amdal pabrik semen. Studi kasus “Mafia Berkeley” di era Orde Baru menjadi contoh historis “perselingkuhan intelektual dengan penguasa”.
Fenomena ini tidak terlepas dari tekanan institusional dan finansial. Universitas mengejar label ambisius seperti “world class university,” yang mendorong akademisi untuk menerbitkan artikel di jurnal bereputasi internasional demi insentif finansial yang mencapai puluhan juta rupiah per artikel. Hal ini menciptakan budaya yang mereduksi riset menjadi sekadar alat “mendongkrak kenaikan pangkat” dan menghasilkan “kredensial palsu”. Kondisi ini menyebabkan pengkhianatan intelektual di ranah akademik menjadi kegagalan sistemik, di mana institusi yang seharusnya menjadi benteng moral justru menjadi “pabrik kerupuk” yang memproduksi akademisi pragmatis.
Pengkhianatan Politik dan Moral
Fenomena “pengkhianatan” juga marak dalam ranah politik. Dosen Unair, Airlangga Pribadi, mengkritik banyak intelektual yang “melacur” dan menjadi kaki tangan kekuatan oligarki untuk melanggengkan kekuasaan, alih-alih membela rakyat. Oligarki di Indonesia, yang dikuasai sekelompok elit, tidak lenyap setelah era Orde Baru, melainkan “menunggangi sistem demokrasi sekarang ini”. Untuk melanggengkan cengkeramannya, oligarki membutuhkan legitimasi, dan pengetahuan serta kredibilitas intelektual menjadi target utama.
Fenomena “cendekiawan kerupuk” yang mentalnya mudah remuk oleh tekanan, seperti yang dikemukakan oleh Rocky Gerung, adalah bentuk lain dari pengkhianatan ini. Mereka adalah intelektual yang anti-kritik, dogmatis, dan hanya berani di hadapan kekuasaan yang berpihak pada mereka.
Sejarah juga mencatat fenomena di mana aktivis mahasiswa yang gigih menentang kekuasaan justru “berkhianat” sebagai intelektual ketika jalan menuju kekuasaan terbuka lebar. Contoh historisnya adalah banyak aktivis ’66 yang kemudian menjadi anggota DPR-GR. Bahkan dalam konteks politik aktual, istilah “pengkhianatan” sering digunakan untuk menggambarkan tindakan politisi yang melanggar janji atau komitmen politiknya, seperti kasus Anies, AHY, dan Muhaimin yang ramai dibicarakan publik.
Kooptasi Politik dan Hilangnya Independensi
Pergeseran posisi para akademisi dari dunia kampus ke panggung kekuasaan merupakan fenomena yang menimbulkan perdebatan filosofis yang signifikan. Motivasi di baliknya seringkali idealistis, yaitu keinginan untuk menerjemahkan gagasan akademik menjadi kebijakan berbasis bukti. Namun, ada juga godaan untuk mendapatkan akses ke sumber daya, pengaruh, dan kekuasaan.
Keterlibatan yang terlalu dalam menciptakan dilema etika di mana prinsip ilmiah dapat dikompromikan demi kepentingan politik. Penelitian pun berisiko digunakan sebagai alat untuk melegitimasi kebijakan yang tidak sepenuhnya didasarkan pada data atau bukti ilmiah yang kuat. Fenomena ini terjadi ketika intelektual publik… tidak lagi memiliki jarak dengan kekuasaan, seringkali didorong oleh kepentingan politik maupun ekonomi. Dengan demikian, intelektual yang seharusnya menjadi kritikus malah berubah menjadi alat legitimasi kekuasaan, melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap ilmu pengetahuan secara keseluruhan.
Malpraktik Ilmiah dan Korupsi sebagai Pengkhianatan Ilmiah
Pengkhianatan intelektual tidak selalu bersifat politis, melainkan juga terjadi di dalam ruang lingkup ilmiah itu sendiri. Malpraktik ilmiah adalah bentuk pengkhianatan terhadap kebenaran, di mana cendekiawan mengkhianati prinsip-prinsip dasar keilmuan. Bentuk-bentuknya termasuk manipulasi data, gratifikasi, hingga korupsi.
Manipulasi data, misalnya, secara langsung mengkhianati prinsip verifikatif yang merupakan jantung dari ilmu pengetahuan. Ini adalah pengkhianatan terhadap kebenaran itu sendiri, yang pada gilirannya dapat merugikan banyak pihak, seperti kasus manipulasi Analisis Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) dan laporan kebijakan. Fenomena manipulasi data bahkan ditemukan dalam ranah hukum dan administrasi , menunjukkan erosi yang lebih luas terhadap kepercayaan pada data dan informasi.
Pengkhianatan Melalui Keheningan
Bentuk pengkhianatan intelektual yang paling halus namun berbahaya adalah keheningan moral. Hal ini terjadi ketika lembaga pendidikan tinggi senyap dari hiruk pikuk membahas gagasan atau ketika kampus berdiam diri di tengah kebohongan yang merajalela. Metafora cendekiawan kerupuk menggambarkan mentalitas yang rapuh dan mudah remuk di hadapan tekanan.
Keheningan ini terjadi karena intelektual takut lapar dan kehilangan nuraninya, yang membuat mereka kehilangan integritas dan menjadi oportunis. Mereka yang seharusnya berdiri kokoh seperti batu karang dan berani terbang sendirian malah memilih untuk bersembunyi di balik ketidakpedulian, gagal menjalankan peran mereka sebagai kritikus dan agen perubahan.
Studi Kasus Korupsi Intelektual di Indonesia
Indonesia mencatat beberapa kasus yang secara gamblang menunjukkan bentuk pengkhianatan ini. Contohnya adalah kasus korupsi yang menjerat Rudi Rubiandini dan Rokhmin Dahuri. Keduanya adalah guru besar yang seharusnya menjadi penjaga moral dan pembangun bangsa. Korupsi yang mereka lakukan secara langsung mengkhianati tanggung jawab etis dan visi moral yang melekat pada status akademis mereka.
Rudi Rubiandini, seorang guru besar dari Institut Teknologi Bandung, terjerat kasus suap saat menjabat sebagai Kepala SKK Migas. Demikian pula Rokhmin Dahuri, guru besar dari Institut Pertanian Bogor, terjerat korupsi dana non-bujeter saat menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan. Kasus-kasus ini bukan sekadar tindak pidana, melainkan tragedi moral yang memperlihatkan runtuhnya integritas di kalangan cendekiawan yang telah terkooptasi oleh kekuasaan dan kepentingan.
Kasus Historis dan Konteks Indonesia
Studi Kasus Historis: Skandal Dreyfus sebagai Titik Awal
Skandal Dreyfus adalah kasus historis yang menginspirasi Benda untuk menulis La trahison des Clers. Kasus ini bermula pada tahun 1894 ketika Alfred Dreyfus, seorang perwira Yahudi, dituduh menjual rahasia militer dan dijatuhi hukuman. Pengadilan yang tidak adil ini memicu kemarahan kaum cendekiawan dan liberal.
Pada Januari 1898, jurnalis Émile Zola menerbitkan artikel berjudul J’accuse…! yang mengkritik pemerintah dan militer Prancis karena menyembunyikan bukti bahwa Kapten Dreyfus tidak bersalah. Zola bersama sejumlah cendekiawan lainnya bangkit dan mengumumkan sebuah “Manifes Para Intelektual” sebagai reaksi terhadap ketidakadilan tersebut. Kasus Dreyfus menunjukkan bahwa dalam situasi krisis moral, cendekiawan tidak dapat berdiam diri. Intervensi mereka adalah kerja-kerja praksis yang membuktikan bahwa kebenaran harus diperjuangkan di ruang publik, sesuai dengan pandangan Mannheim dan Gramsci, bahkan jika hal itu bertentangan dengan prinsip Benda.
Lintasan Pengkhianatan Intelektual di Indonesia
Dinamika hubungan antara cendekiawan dan kekuasaan di Indonesia memiliki sejarah yang panjang, ada semenjak nomenklatur bangsa ini adalah Hindia Belanda. Sejarawan Peter Kasenda menggambarkan hubungan ini sejak era Orde Lama, di mana beberapa pemikir dicap sebagai pelacur intelektual karena mengabdi pada kekuasaan yang dianggap menyimpang. Pada era Orde Baru, intelektual yang masuk ke dalam lingkaran pemerintahan juga dilabeli sebagai intelektual terkooptasi.
Fenomena ini berlanjut hingga kini, di mana banyak intelektual publik yang dikenal kritis terhadap pemerintah, tidak lagi menjaga jarak dari kekuasaan. Mereka menjadi bagian dari kekuasaan itu sendiri, yang sering kali didorong oleh basis kepentingan politik maupun ekonomi. Sejarah ini menunjukkan bahwa pengkhianatan intelektual bukan fenomena baru, melainkan tantangan yang terus relevan dan berulang di setiap era pemerintahan.
Tabel di bawah ini mengelompokkan manifestasi pengkhianatan intelektual berdasarkan jenisnya, dengan contoh kasus nyata dan dampak sosial-etis yang ditimbulkannya.
Jenis Pengkhianatan | Definisi Singkat | Contoh Kasus | Dampak Sosial-Etis |
Kooptasi Politik | Cendekiawan meninggalkan independensinya untuk menjadi bagian dari struktur kekuasaan. | Kasus Jokowi era 2014: Intelektual publik menjadi bagian dari kekuasaan, kehilangan jarak kritis. | Penelitian digunakan untuk melegitimasi kebijakan, bukan berdasarkan data. Melemahkan kepercayaan pada ilmu pengetahuan. |
Malpraktik Ilmiah | Manipulasi data dan korupsi dalam ranah keilmuan. | Manipulasi AMDAL: Laporan yang dimanipulasi untuk merugikan banyak pihak. | Pengkhianatan terhadap kebenaran ilmiah, merugikan masyarakat, mengikis kepercayaan publik. |
Korupsi | Penyalahgunaan wewenang dan jabatan oleh cendekiawan. | Rudi Rubiandini & Rokhmin Dahuri: Guru besar yang terjerat korupsi saat menjabat di pemerintahan. | Tragedi moral yang mencederai status cendekiawan sebagai panutan, mengkhianati tugas etis dan visi moral. |
Keheningan Moral | Cendekiawan memilih untuk diam di tengah ketidakadilan atau kebohongan. | Cendekiawan Kerupuk: Metafora bagi intelektual yang mudah remuk oleh tekanan, takut lapar dan kehilangan nurani. | Kehilangan integritas, menjadi oportunis, dan gagal menjalankan peran sebagai kritikus. |
Kompromi Berprinsip | Memilih pihak dalam polarisasi politik, mengorbankan objektivitas. | Deklarasi dukungan untuk calon presiden: Dukungan yang dipandang punya motif politik jangka pendek, bukan kebenuan. | Logika either you are with us, or against us merusak kredibilitas dan objektivitas. |
Studi Kasus Lainnya
Tuduhan “pengkhianatan” tidak hanya terbatas pada konteks moral dan politik. Dalam sejarah, label ini juga digunakan untuk menyerang lawan ideologis, seperti dalam perseteruan Tan Malaka dan Partai Komunis Indonesia (PKI). PKI menuduh Tan Malaka sebagai pengkhianat karena dianggap mengkhianati keputusan partai sebelum, selama, dan sesudah Pemberontakan 1926. Ia dituduh mendirikan partai tandingan (PARI) untuk mensabotase pemberontakan.
Selain itu, pengkhianatan intelektual juga terjadi dalam ranah hukum dan media. Intelektual bermental “pelacur” dapat disewa oleh koruptor untuk mengeluarkan dalil dan argumen yang memengaruhi hakim demi meringankan vonis. Di media, mereka digunakan sebagai konsultan politik untuk membenarkan kebijakan partai, tidak peduli apakah kebijakan itu merugikan rakyat.
Akar Masalah: Mengapa Pengkhianatan Terjadi?
Motivasi Ekonomi dan Pragmatis
Godaan uang, jabatan, dan kekuasaan adalah faktor pendorong utama terjadinya pengkhianatan. Meskipun sulit diterima akal sehat, sebagian intelektual yang berkhianat mungkin didorong oleh “dendam terhadap kemelaratan masa lalu” atau oleh pragmatisme ekstrem, di mana nilai-nilai keilmuan ditukar dengan nilai praktis yang menghasilkan pendapatan. Fenomena hedonisme, di mana kesenangan pribadi menjadi prioritas di atas tugas dan tanggung jawab, juga menjadi salah satu akar masalah ini.
Tekanan Struktural dan Politik
Sistem oligarki yang berkuasa menciptakan jebakan bagi kaum intelektual. Terdapat kecenderungan untuk mengadopsi orientasi politik “aji mumpung berjangka pendek”. Oligarki tidak hanya menguasai politik, tetapi juga berperan sebagai “the big other” yang menentukan arah pemikiran, ekonomi, dan pembangunan. Intelektual yang berhadapan dengan kekuasaan sering kali berada pada dilema: apakah harus berkompromi dengan struktur politik yang ada atau bekerja di luar kekuasaan. Dalam banyak kasus, tawaran politik menjadi terlalu menggoda untuk ditolak.
Kegagalan Institusi
Kegagalan institusi, khususnya kampus, turut berkontribusi pada masalah ini. Kampus, yang seharusnya menjadi “kawah candradimuka” , justru menjadi birokrasi dan “pabrik kerupuk” , di mana pemilihan rektor lebih semarak daripada diskusi ilmiah. Lingkungan ini menciptakan sebuah siklus umpan balik negatif. Kegagalan institusi menghasilkan intelektual yang “banal” dan pragmatis. Intelektual yang pragmatis ini kemudian direkrut atau terlibat dalam politik oligarki. Keterlibatan ini memperkuat sistem oligarki yang pada gilirannya menekan dan membatasi ruang gerak intelektual yang independen. Akibatnya, lingkungan akademik yang buruk tidak hanya merusak individu, tetapi juga secara sistemik memperburuk kondisi sosial dan politik, menciptakan kondisi di mana pengkhianatan intelektual menjadi norma, bukan anomali.
ampak Pengkhianatan: Konsekuensi Sosial dan Kultural
Pengkhianatan intelektual memiliki konsekuensi serius dan luas bagi masyarakat. Dampak terbesarnya adalah rusaknya kepercayaan publik. Ketika intelektual mengabaikan tanggung jawab mereka, masyarakat mulai kehilangan kepercayaan pada mereka sebagai agen perubahan. Keterlibatan intelektual dalam korupsi atau perilaku hedonis akan menghancurkan kredibilitas mereka, yang pada gilirannya “menurunkan kepercayaan publik terhadap kredibilitas ASN” dan institusi publik secara umum.
Pengkhianatan ini juga merusak ekosistem riset dan pengetahuan. Praktik pelanggaran akademik, seperti publikasi palsu demi insentif, merusak integritas ilmiah. Hal ini menyebabkan database penelitian dipenuhi karya-karya ilmiah yang meragukan, yang pada akhirnya “merusak ekosistem riset” dan membuat publik menjadi “apatis dengan ilmu pengetahuan”. Dampak ini sangat berbahaya karena mengarah pada replikasi pengetahuan yang salah dan menghambat kemajuan sains.
Pada skala yang lebih besar, pengkhianatan intelektual melanggengkan ketidakadilan sosial. Ketika intelektual tidak lagi menyuarakan kebenaran di hadapan kekuasaan, pembangunan menjadi semakin tidak merata, terkonsentrasi pada segelintir orang. Pengabaian peran intelektual sebagai agen perubahan secara langsung berkontribusi pada berlanjutnya ketimpangan, segregasi, dan penindasan struktural.
Jalan Menuju Integritas: Mengembalikan Peran Intelektual Sejati
Untuk mengembalikan peran intelektual sejati, diperlukan komitmen kolektif untuk melawan godaan pragmatisme dan oligarki.
Perjuangan Intelektual Organik
Diperlukan konsolidasi intelektual “organik” yang konsisten membela kepentingan publik dan tidak membebek pada kepentingan oligarki. Intelektual harus berani menjadi “provokator kemajuan sains,” bukan “provokator politik” yang memecah belah. Mereka harus memfokuskan energi mereka pada perjuangan untuk kebenaran dan keadilan, tidak hanya melalui wacana, tetapi juga melalui basis politik yang sehat dan kuat.
Membentengi Diri dan Institusi
Secara individu, intelektual harus melawan godaan materi dan hedonisme. Mereka harus memiliki “keberanian intelektual untuk jujur kepada dirinya sendiri serta orang lain”. Pada tingkat institusional, kampus harus kembali ke fungsi asalnya sebagai “benteng terakhir dalam mengawal moral”. Ini memerlukan reformasi untuk mengembalikan martabat jabatan penelitian dan jurnal ilmiah, bukan hanya jabatan birokratis seperti rektor atau dekan.
Melawan Godaan dan Pelacuran Nalar
Melawan pengkhianatan intelektual berarti secara tegas menolak “pelacuran intelektual” dan “pemerkosaan daya nalar”. Ini adalah perjuangan melawan manipulasi yang memanfaatkan otoritas intelektual untuk tujuan yang tidak etis. Dengan membentengi diri dari godaan dan mereformasi institusi, kaum intelektual dapat mengembalikan marwahnya sebagai penjaga kebenaran dan agen perubahan, bukan sebagai alat kekuasaan.
Kesimpulan: Rekonstruksi Peran Intelektual di Indonesia
Pengkhianatan intelektual di Indonesia adalah fenomena kompleks yang berakar pada perpaduan antara kelemahan moral individu dan tekanan struktural dari sistem politik-ekonomi. Ini adalah pengabaian terhadap tanggung jawab moral yang diemban kaum terpelajar untuk menjadi penjaga kebenaran dan keadilan. Dilema historis antara keterlibatan dan detasemen tetap relevan, namun esensinya terletak pada integritas, bukan posisi. Rekonstruksi peran intelektual memerlukan komitmen kolektif untuk melawan godaan pragmatisme dan oligarki, serta revitalisasi institusi pendidikan sebagai pabrik moral dan keilmuan. Tanpa perjuangan ini, kaum intelektual akan terus menjadi bagian dari masalah, bukan solusi.
Daftar Pustaka :
- Pengkhianatan Kaum Intelektual | kumparan.com, diakses Agustus 31, 2025, https://m.kumparan.com/pendidikan-abad-21/pengkhianatan-kaum-intelektual-20DOgg6eT63
- Cendekiawan dalam Pusaran Kekuasaan « Institut Filsafat dan …, diakses Agustus 31, 2025, https://www.iftkledalero.ac.id/e-mading/detail/cendekiawan-dalam-pusaran-kekuasaan
- Pengkhianat kaum intelektual Halaman 1 – Kompasiana.com, diakses Agustus 31, 2025, https://www.kompasiana.com/sahli1282/674856afed64157eaf2c5742/pengkhianat-kaum-intelektual
- Pengkhianatan Idealisme Cendekiawan – NU Online, diakses Agustus 31, 2025, https://www.nu.or.id/opini/pengkhianatan-idealisme-cendekiawan-7yEcl
- Pelanggaran akademis di Indonesia masih marak: merusak ekosistem riset dan menyalahgunakan uang rakyat – ScienceWatchdog.id, diakses Agustus 31, 2025, https://sciencewatchdog.id/2024/03/28/pelanggaran-akademis-di-indonesia-masih-marak-merusak-ekosistem-riset-dan-menyalahgunakan-uang-rakyat/
- Cendekiawan dalam Pusaran Kekuasaan – Media Indonesia, diakses Agustus 31, 2025, https://mediaindonesia.com/opini/184585/cendekiawan-dalam-pusaran-kekuasaan
- Intelektual Jangan Jadi Alat Oligarki – Ahlulbait Indonesia, diakses Agustus 31, 2025, https://www.ahlulbaitindonesia.or.id/berita/s13-berita/intelektual-jangan-jadi-alat-oligarki/
- Pengkhianatan Kaum Intelektual Refleksi Keindonesiaan – Viva, diakses Agustus 31, 2025, https://www.viva.co.id/vstory/opini-vstory/1466427-ade-armando-pengkhianatan-kaum-intelektual-refleksi-keindonesiaan
- Pelacuran Intelektual: Pemerkosaan Daya Nalar yang Harus Dilawan – Bangsamahardika, diakses Agustus 31, 2025, https://bangsamahardika.co/populer/pelacuran-intelektual-pemerkosaan-daya-nalar-yang-harus-dilawan/
- AKAR BANALITAS INTELEKTUAL (SUATU KAJIAN FILSAFAT ILMU) Anastasia Jessica Adinda S. – Jurnal Universitas Gadjah Mada, diakses Agustus 31, 2025, https://jurnal.ugm.ac.id/wisdom/article/download/13219/9461
- Mahasiswa sebagai Cendekiawan dan Bayang-Bayang Pengkhianatan – Floresa.co, diakses Agustus 31, 2025, https://floresa.co/perspektif/analisis-dan-esai/48650/2021/11/09/mahasiswa-sebagai-cendekiawan-dan-bayang-bayang-pengkhianatan
- Isu Pengkhianatan dalam Konteks Sosial dan Politik di Indonesia – Kompasiana.com, diakses Agustus 31, 2025, https://www.kompasiana.com/herupratikno1410/651a271c08a8b52d676a71d2/isu-pengkhianatan-dalam-konteks-sosial-dan-politik-di-indonesia
- Pemberontakan 1926, Tan Malaka & Pengkhianatan Itu …, diakses Agustus 31, 2025, https://indoprogress.com/2012/06/pemberontakan-1926-tan-malaka-pengkhianatan-itu/
- Pengkhianatan Kaum Intelektual Indonesia – beritajatim.com, diakses Agustus 31, 2025, https://beritajatim.com/pengkhianatan-kaum-intelektual-indonesia
- Pengkhianatan Kaum Intelektual – Katong NTT, diakses Agustus 31, 2025, https://katongntt.com/pengkhianatan-kaum-intelektual/
- DISKUSI PUBLIK DARING: Meninjau Ulang Demokrasi Indonesia Era Reformasi – AIPI | Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, diakses Agustus 31, 2025, https://aipi.or.id/frontend/news/read/63384769714834784454786a3049534f3650796d56374350575a62566f456f367a48426b4e6842427038346473566d556a4c47664f7247415064486c7a754e757251573164614b374c4351686e7356664c6c502b5a513d3d
- Oligarki dalam Kerangka Subjek Zizekian dan Populisme Kiri sebagai Opsi Dekonstruksi Oligarki di Indonesia – Islam Bergerak, diakses Agustus 31, 2025, https://islambergerak.com/2018/11/oligarki-dalam-kerangka-subjek-zizekian-dan-populisme-kiri-sebagai-opsi-dekonstruksi-oligarki-di-indonesia/
- Memaknai Ulang Peran Intelektual dari Edward Said, diakses Agustus 31, 2025, https://omong-omong.com/memaknai-ulang-peran-intelektual-dari-edward-said/
- Gerakan Intelektual Kolektif Komunitas #Ayokedamraman dalam Pemberdayaan Warga Membangun Pariwisata Alam dan Ekonomi Kreatif, diakses Agustus 31, 2025, https://e-journal.metrouniv.ac.id/index.php/nizham/article/download/987/828/2474
- SEJARAH INTELEKTUAL – Repository Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, diakses Agustus 31, 2025, http://eprints.umsida.ac.id/195/1/sejarah%20intelektual%20sebuah%20pengantar-2014.pdf