MEMAHAMI HUBUNGAN BURUH – PENGUSAHA

Oleh :  Ade  P. Nasution

Buruh, Kata Karl Marx, adalah sekelompok mayoritas masyarakat yang tertindas akibat  penguasaan faktor produksi dan akumulasi kapital para kapitalis. Pernyataan  Marx setidaknya masih relevan pada situasi saat ini, apalagi melihat gejolak yang terjadi antara buruh-pengusaha di tanah air. Hal ini bisa kita lihat pada setiap tahunnya di berbagai belahan dunia sering terdengar demonstrasi buruh yang memperjuangkan haknya.

Pada hakikatnya, ada suatu hukum alam yang terjadi dalam hubungan antara buruh dan pengusaha. Sejak abad ke 19 sampai sekarang pola hubungan buruh-pengusaha bersifat konflik yang terus menerus. Disatu sisi pengusaha  akan selalu berupaya terus menerus mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Disisi lain buruh pun punya kepentingan untuk mendapatkan upah yang sebesar-besarnya dari pengusaha.

Hubungan buruh – pengusaha di zaman ekonomi klasik yang ditandai dengan rezim ekonomi liberal dimana campur tangan intervensi pemerintah sama sekali tidak ada, posisi kaum buruh semakin tertindas, karena pada masa itu buruh adalah dipandang sebagai salah satu faktor produksi yang kualitas dan kuantitasnya ditentukan oleh kekuatan Permintaan-penawaran (supply Demand)

Buruh, pada masa kini, pada saat dunia berfahamkan ideologi kapitalisme modifikasi, yang ditandai dengan adanya campur tangan pemerintah dalam hubungan buruh-pengusaha, mulai mengakomodir keberadaan buruh ketempat yang lebih baik. Buruh pada saat ini, di negara-negara maju, diposisikan sebagai  asset perusahaan. Kalau dulu tujuan perusahaan adalah untuk mendapatkan laba maksimum maka saat ini tujuan perusahaan yang paling utama adalah kesejahteraan karyawan. Dengan posisi sebagai asset, buruh mempunyai daya tawar (bargaining) yang cukup kuat dengan pengusaha. Apalagi ada kebijakan yang memungkinkan buruh untuk ikut serta dalam kepemilikan saham. Tentu saja kondisi ini hanya berlaku di negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa.

Bagaimana di Indonesia yang merupakan kelompok negara berkembang ?, posisi buruh di Indonesia secara faktual masih dianggap sebagai salah satu produksi . posisi buruh masih tetap lemah walaupun beberapa instrumen peraturan perundangan telah dibuat oleh pemerintah. Berbagai kelemahan daya tawar buruh dapat dilihat dari alotnya pembahasan berbagai bentuk upah yang dengan mudah ditebak, selalu dimenangkan oleh kepentingan pengusaha. Demikian juga tuntutan-tuntutan terhadap hak-hak normatif buruh  seperti kesejahteraan dan peningkatan kualitas kerja, hasilnya sering dikompromikan sesuai dengan keinginan pengusaha.

Dari pengamatan terhadap berbagai gerakan demonstrasi buruh yang sering terjadi di Kota Batam dan kota lainnya di Indonesia, ada beberapa kelemahan yang cukup signifikan yang dihadapi oleh kelompok buruh. Pertama, secara organisasi, kesadaran berserikat dikalangan anggota buruh masih sebatas ikut-ikutan tanpa mengerti arti substansi pergerakan buruh, yang ditandai misalnya pengurus serikat buruh  di Indonesia pada umumnya di ikuti hanya pekerja level terbawah sampai mandor (foreman), dan kondisi ini berbeda dengan negara tetangga, dimana serikat pekerjanya (union) juga melibatkan para manajer menengah dan manajer puncak, yang secara intelektual dan teknis mereka cukup menguasai permasalahan perburuhan dan perusahaan. Faktor internal lainnya adalah tidak adanya hubungan dan koordinasi yang harmonis diantara serikat buruh yang ada, mereka cenderung mempunyai platform perjuangan yang berbeda-beda jadi ketika satu serikat buruh mengendakan suatu aksi, serikat buruh lainnya tidak mendukung dan ada kesan merasa diremehkan.

Disisi lain, pengusaha yang memiliki penguasaan modal dan kekuasaan, melihat perpecahan antara serikat buruh merupakan suatu yang diharapkan.bagaimana tidak, dalam keadaan kompak dan bersatu pun, pengusaha memiliki peluang yang cukup besar untuk memenangkan konflik kepentingan buruh-pengusaha.

Karakteristik serikat buruh di Kota Batam adalah cenderung lebih mengutamakan jalan mogok daripada menempuh jalan berunding. Hal ini disebabkan oleh adanya kecenderungan pengurus serikat pekerja kurang memiliki pengetahuan yang baik tentang permsalahan ekonomi dan tentunya filosofi pergerakan buruh. Yang menjadi masalah adalah sebagian besar pengurus serikat pekerja tersebut tidak profesional di bidangnya, tidak mempunyai latar belakang perjuangan serikat bekerja, tidak mempunyai program kerja dan sasaran yang jelas, tidak mempunyai kemampuan negosiasi. Banyak kasus-kasus yang terjadi mengindikasikan bahwa “perjuangan” mereka sangat diragukan untuk kepentingan pekerja. Sebagian mempunyai muatan politik, sebagian lagi lebih menonjolkan kepentingan pribadi. Tingkah laku serikat pekerja sekarang ini bukan saja terkesan menakutkan, akan tetapi dalam jangka panjang dapat merusak disiplin dan etos kerja para karyawan. Pengalaman para pengusaha di Amerika Serikat dan Eropa menghadapi perilaku serikat pekerja seperti itu dalam awal tahun 1970-an adalah menciptakan teknologi yang sangat sedikit menggunakan tenagakerja. Hal seperti itu dapat ditiru di Indonesia. Oleh sebab itu, salah satu prioritas utama ketenagakerjaan sekarang ini adalah pembekalan dan pemberdayaan para pemimpin serikat pekerja, supaya betul-betul mempunyai idealisme memperjuangkan kepentingan pekerja, memahami perjuangan serikat pekerja, mempunyai profesionalisme dalam mencapai sasaran organisasi, serta dapat menjadi mitra pengusaha menciptakan hubungan industrial yang harmonis supaya dapat meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya.