Keberhasilan Jepang yang mampu mengimbangi dominasi dunia barat dalam aspek ekonomi dan teknologi, setidaknya membuka mata kita bahwa budaya lokal sutau bangsa dan ajaran agama dapat berpengaruh terhadap sistem manajemen dan etos kerja suatu bangsa. Jepang yang mulai bangkit dari reruntuhan perang tahun 1945 dalam waktu relatif singkat walau dengan keterbatasan sumberdaya alam dan teknologi, mampu mengubah kiblat manajemen yang tadinya di barat sekarang beralih ke timur, keberhasilan Jepang adalah bukti keberhasilan manajemen masa kini dan yang akan datang. Keberhasilan Jepang ini pun banyak diikuti oleh negara negara seperti Taiwan dan Korea yang mengadopsi latar belakang budaya dan ajaran agama sebagai sebagai pijakan/fondasi dalam melaksanakan kegiatan ekonomi.
John Naisbit dan Patricia Aburdene dalam “Megatrend 2000”, menyebutkan bahwa paradoks globalisasi yang timbul adalah munculnya sentimen kultural nasionalisme, yang akibat dari keseragaman gaya hidup globalisasi, akan menyebabkan orang mencari identititas dirinya pada nilai yang dianutnya baik itu budaya, agama, keluarga dan lain-lain. Seiring dengan banyaknya kegagalan-kegagalan sistem manajemen yang berlandaskan dunia barat (individual dan kebebasan), seperti skandal-skandal perusahaan besar baik di Amerika maupun di Eropa, seharusnya membuat kita berpikir ulang untuk mencari sistem manajemen dan etos kerja berdasarkan nilai lokal masing-masing negara atau bangsa.
Bergesernya kekuatan ekonomi ke timur termasuk asia pasifik, memunculkan kekuatan-kekuatan tatanan ekonomi baru yang berdasarkan bangsa dan budaya masing-masing antara lain Jepang, Korea, China, Taiwan, Singapura dan Malaysia. Pergeseran ini menurut para pakar, untuk sebagian negara di Timur adalah merupakan suatu anugerah (blessing) akibat sistem ekonomi dan manajemen barat yang mencapai tahap kejenuhan.Hanya negara yang mampu mengimplementasikan budaya dan ajaran agama kedalam pandangan hidup dan pilosofi bekerja bagi masyarakatnyalah yang dapat bertahan. Hal ini dimaklumi bahwa sistem manajemen dan etos kerja yang diimport dari luar, akan menimbulkan kerancuan dalam pelaksanaannya, karena terkadang implementasinya berbenturan dengan kondisi sosial budaya masyarakat.
Indonesia sebagai contoh, sampai sekarang belum menemukan suatu sistem manajemen dan etos kerja yang berbingkai budaya lokal yang tepat. Kita masih ingat bahwa zaman Sukarno, asas sosialisme dipaksa diterapkan sebagai landasan etos kerja padahal jelas itu bukan budaya lokal, kemudian zaman Suharto, Pancasila merupakan landasan manajamen, etos kerja dan merupakan manifestasi seluruh kebudayaan yang ada di indonesia, namun hasil yang diharapkan masih jauh dari yang diharapkan, karena terlalu luas pengertian dan penjabarannya dan terkadang muncul dualisme yang membingungkan masyarakat.
Pengaruh kemampuan memofdifikasi manajemen terhadap eksistensi kebangsaan dan kenegaraan semakin besar terutama dalam hal ekonomi dan teknologi. Kondisi ini mengharuskan adanya kemampuan sistem manajemen yang memadai untuk semua perusahaan baik perusahaan publik maupun swasta, kalau bangsa itu ingin bisa bersaing dalam persaingan internasional, diperlukan suatu sistem manajemen yang didasarkan aspek kultur dan sosial. Dalam konteks manajemen, sebenarnya manajemen itu sendiri adalah hasil suatu kebudayaan. Itulah sebabnya aspek sosial budaya suatu bangsa mempunyai pengaruh terhadap kemampuan dan kondisi manajemen suatu bangsa. Seluruh sistem nilai yang berlaku dalam kehidupan suatu bangsa, pandangan hidupnya serta habit (kebiasaan-kebiasaan) memberikan dampaknya terhadap pelaksanaan manajemen secara makro kebangsaan. Sebaliknya juga penyelanggaraan manajemen memberikan kontribusi kepada perkembangan budaya dan sosial, kalau sebelumnya tidak pengertian tentang manajemen dalam kehidupan suatu bangsa, maka setelah bangsa bangsa itu menjalankan manajemen dengan cara berdasarkan susial budaya lokal maka akan terjadi peningkatan budaya bangsa. Hali ini dapat dibuktikan berdasarkan fakta bahwa seluruh budidaya dan aspek sosial setiap bangsa selalu dipengaruhi oleh pengaruh budaya-budaya luar. Misalnya saja Bahasa Inggris, sekitar 65 % perkataan bahasa Inggirs berasal dari budaya luar seperti Latin, Yunani, Jerman dan lain-lain. Demikian juga bahasa dan budaya melayu, pengaruh budaya dan bahasa asing sekitar 35 % yaitu yang berasal dari Arab, Inggris, Jawa dan kepulauan indonesia, China, Tamil, Portugis dan lain-lain. Dengan demikian sangat mungkin sekali, pengaruh luar yang memberikan sumbangan bahasa juga meninggalkan sedikit banyak pengaruh budaya dan gaya hidup masing-masing negara atau bangsa luar kepada budaya melayu itu sendiri.
Siapa yang disebut Melayu ?
Dalam konteks mikro, menurut orang Belanda dan Inggris yang pernah menjajah indonesia, dan Malaysia, menyatakan hampir seluruh penduduk nusantara (Indonesia) dan penduduk disemenanjung malaya adalah suku melayu, hal ini didasarkan pada warna kulit, profil tubuh, dan bahasa yang dipakai hampir sama
Lebih sempit dan spesifik tentang kategori bangsa melayu adalah menurut Tengku Luckman Sinar dalam bukunya “Jatidiri Melayu” bahwa pada awalnya orang Melayu tersebut mendiami wilayah Thailand Selatan, Malaysia Barat dan Timur, Singapura, Brunei, Kalimantan Barat, Temiang (Aceh Timur), pesisir timur Sumatera Utara, Riau, Jambi, dan pesisir Palembang. Dengan demikian jika dibagi berdasarkan teritorial negara maka ada 4 negara yang berbudaya dan berbahasa melayu yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunai dan sebagian Thailand
Karakteristik Budaya Melayu
Menurut Selo Sumarjan menyimpulkan bahwa secara sosiologis bahwa kebudayaan suku-suku di indonesia, termasuk melayu sebagai ras, lebih berorientasi kepada kehidupan bermasyarakat (socially oriented) ketimbang berorientasi pada material (material oriented). Selain itu beberapa pakar sosiologi dan antropologi menyebutkan bahwa kekuatan budaya melayu adalah bahwa melayu sebagai suku sangat menghargai keteladanan, dalam hal ini bawahan akan berusaha menjadi lebih baik jika atasannya memberi teladan yang baik. Disamping karakteristik diatas, ada juga karakteristik negatif yang melekat pada budaya melayu dan budaya-budaya di Indonesia pada umumnya yaitu : berorientasi pada masa lalu, aji mumpung dan boros
Karakteristik diatas sedikit banyak menujukkan bahwa pada umumnya budaya-budaya bangsa di timur adalah kurang lebih sama. Persamaannya adalah berorientasi pada masyarakat (Di Jepang ; kelompok), menghormati yang lebih tua (senioritas) dan menghargai keteladanan pimpinan atau yang dituakan
Harapan Baru : Sistem Manajemen dan Ekonomi Berbasis Budaya Melayu
Setidaknya ada 3 (tiga) faktor eksternal yang dapat menjadi katalisator agar budaya melayu dijadikan falsafah dan pijakan dalam sistem manajemen dan ekonomi di seluruh negara-negara yang berpenduduk Melayu khususnya Indonesia, Malaysia, dan Brunai yaitu :
- Kegagalan Komunisme dan Kapitalisme yang diambang kehancuran. Ternyata sejarah kemudian tidak memberikan kesempatan pada sistem komunisme untuk bertahan lama, sistem ini akhirnya runtuh seiring dengan bubarnya Uni Soviet dan negara-negara pendukungnya yang menandai berakhirnya kekuasaan Blok Timur di dunia. Sementara, kapitalisme yang masih bertahan pun, saat ini dinilai tidak mampu menjawab kepincangan ekonomi yang makin tajam dengan jumlah pengangguran, perselisihan usaha, gelombang urbanisasi, serta degradasi lingkungan yang semakin tinggi.
- Kegagalan banyak negara termasuk Indonesia, akibat terlalu berkiblat dan berpedoman kepada manajemen barat dan budayanya sekaligus. Fenomena rontoknya berbagai perusahaan besar dan skandal-skandal manajemen di dunia barat, membuktikan bahwa tidak mungkin sistem ekonomi suatu bangsa akan berhasi jika tidak didasarkan atas kebudayaan dan tata nilai yang dianut oleh sebuah bangsa.
- Kawasan ASEAN yang didalamnya terdapat negara-negara yang berbudaya melayu telah menjadi salah satu pusat perekonomian yang diperhitungkan dunia saat ini. Hal ini didukung oleh jumlah penduduk yang besar, sumber daya alam yang melimpah ruah dan letak posisi ASEAN yang sangat strategis untuk perdagangan dunia
Disamping itu, ada juga faktor internal yang selama ini diabaikan oleh negara/bangsa Melayu akibat imperialisme/penjajahan barat namun merupakan suatu kekuatan besar dalam dunia melayu adalah bahwa bangsa Melayu adalah bangsa serumpun yang tidak terikat oleh batas-batas geografis dan kultural dalam wilayah administratif tertentu, melainkan tersebar di berbagai negara termasuk Cina dan Afrika Selatan. Disamping itu juga Melayu berhasil membangun suatu budaya yang bisa bertahan terutama di kawasan Asia Tenggara selama berabad-abad lamanya. Disamping itu terdapatnya ikatan kekeluargaan secara tradisional antara penduduk satu negara dengan penduduk negara lainnya.
Berdasarkan karakteristik kekuatan dan kelemahan budaya melayu baik secara internal maupun eksternal seperti pada uraian diatas, tidak ada salahnya jika mulai sekarang kita memikirkan bagaimana aspek budaya dan tatanan nilai bangsa Melayu dapat ditransformasikan kedalam sistem ekonomi dan manajemen bagi negara-negara yang berbangsa melayu sebagai etos kerja dan falsafah hidup rakyatnya. Namun sebagaimana Jepang yang berhasil memasukkan unsur budaya kedalam sistem manajemen dan etos kerjanya yang dimotori oleh pemimpinnya dan kemudian diikuti oleh rakyatya, menjadi persoalan mendasar bagi penerapan budaya melayu kedalam sistem manajemen, karena semua bisa berhasil apabila kalau pemimpin-pemimpin negara bangsa melayu mempunyai keinginan dan mempunyai tekad yang kuat. Masalahnya sekarang adalah belum adanya tindakan konkrit antara pemimpin-pemimpin formal negara-negara Melayu untuk menerapkan atau minimal merencanakan sistem manajemen melayu bagi kawasan ini, padahal saatnya sudah tepat untuk mengganti sistem manajemen yang berasal dari barat karena ternyata lebih banyak gagalnya ketimbang suksesnya. Jangan-jangan peribahasa “semut diseberang lautan dapat dilihat, tapi gajah didepan hidung tak tampak” mungkin lagi menghinggapi para pemimpin di negara kawasan melayu ini.