Fenomena kecemasan, yang secara tradisional dipahami sebagai kondisi psikologis individual, telah meluas dan memanifestasikan dirinya dalam skala kolektif sebagai histeria massa atau kecemasan sosial yang meluas. Dalam konteks global yang semakin terhubung dan kompleks, penyebaran ketidakpastian dan ketakutan kini dapat terjadi dengan kecepatan yang belum pernah ada sebelumnya. Laporan ini bertujuan untuk menguraikan fenomena kecemasan massal secara komprehensif, dari akar teoritisnya hingga implikasi praktis di era kontemporer. Analisis ini tidak hanya akan mendefinisikan konsep tersebut, tetapi juga akan meninjau bagaimana dinamika psikologis dan sosiologis berinteraksi untuk memicu dan menyebarkan perilaku irasional di tengah masyarakat.
Definisi Konseptual: Dari Individu ke Massa
Kecemasan pada dasarnya adalah kondisi psikologis yang ditandai dengan perasaan takut dan khawatir terhadap sesuatu yang belum pasti akan terjadi. Kondisi ini dapat bervariasi dari ringan hingga berat, di mana pada tingkat yang parah, kecemasan dapat mengganggu fungsi kognitif, membatasi rentang perhatian, dan bahkan menyebabkan individu tidak dapat berkonsentrasi atau menyelesaikan masalah secara efektif.
Secara spesifik, kecemasan massal dan histeria kolektif adalah fenomena yang merujuk pada penyebaran ilusi atau ketakutan kolektif, baik yang nyata maupun yang khayalan, kepada sekelompok orang dalam masyarakat. Istilah “histeria massa” dalam kedokteran juga digunakan untuk menyebut manifestasi spontan gejala fisik yang serupa pada lebih dari satu orang. Meskipun masyarakat umum terkadang mengartikannya sebagai fenomena kesurupan, histeria massa adalah gangguan psikologis yang ditandai dengan tingkah laku emosional yang berlebihan yang dapat terjadi secara berkelompok pada waktu yang bersamaan. Laporan ini akan mengkaji bagaimana kecemasan dan histeria ini dapat bermula dari tingkat individu dan menyebar, diperkuat oleh interaksi sosial dan faktor lingkungan, untuk menjadi fenomena kolektif yang signifikan.
Fondasi Teoritis dan Konseptual
Perspektif Psikologis: Memahami Kecemasan Klinis
Kecemasan adalah respons alami tubuh terhadap stres, tetapi dapat menjadi gangguan jika sensasi ini terjadi secara berlebihan dan tidak terkontrol. Kecemasan memiliki berbagai tingkatan, dari ringan yang memungkinkan seseorang tetap fokus pada hal penting, hingga berat yang mengganggu konsentrasi dan kemampuan belajar.1 Tanda dan gejala dari kecemasan berat sangat beragam dan dapat dikategorikan menjadi beberapa aspek. Secara kognitif, individu mungkin mengalami kekhawatiran yang mengganggu, ketakutan akan kehilangan kendali, keyakinan bahwa sesuatu yang mengerikan akan terjadi tanpa penjelasan jelas, dan bahkan merasa bahwa “dunia sedang runtuh”. Pikiran-pikiran ini bisa menjadi campur aduk dan membingungkan, membuat individu merasa tidak mampu mengatasinya.
Secara fisik, kecemasan berat dan panik dapat memanifestasikan diri sebagai gejala somatik yang kuat, termasuk sakit kepala, pusing, mual, gemetar, palpitasi (jantung berdebar), dan takikardi (detak jantung cepat). Gejala lain yang sering dilaporkan adalah keringat berlebihan, hiperventilasi atau napas pendek, nyeri dada, dan gangguan pencernaan seperti perut kembung atau diare. Tanda-tanda perilaku kecemasan meliputi gelisah, mondar-mandir, tangan gemetar, alis berkerut, dan pernapasan cepat. Pada tingkat yang paling ekstrem, kecemasan dapat memicu serangan panik, suatu kondisi yang ditandai dengan rasa takut atau tidak nyaman yang muncul tiba-tiba dengan gejala fisik dan psikologis yang intens, sering kali membuat individu merasa seperti sedang mengalami serangan jantung.
Histeria massa, dalam pengertian psikologis, adalah gangguan yang ditandai dengan perilaku emosional yang berlebihan, yang dapat disebabkan oleh serangan panik, trauma psikologis berat, atau gangguan kepribadian. Gejalanya dapat mencakup emosi yang tidak stabil, halusinasi, perilaku dramatis, tubuh bergetar hebat yang disertai tawa atau tangis, hingga kehilangan ingatan sesaat. Penting untuk dicatat bahwa histeria, termasuk histeria massa, dapat berakar pada berbagai faktor risiko, seperti riwayat keluarga, paparan zat beracun, stres berat, atau trauma psikologis.
Perspektif Sosiologis: Teori Perilaku Kolektif
Untuk memahami penyebaran kecemasan dalam skala massal, perlu menelaah teori-teori sosiologi dan psikologi kerumunan. Salah satu tokoh seminal dalam bidang ini adalah Gustave Le Bon, yang dalam karyanya tahun 1895, The Crowd: A Study of the Popular Mind, berpendapat bahwa kerumunan bukanlah sekadar penjumlahan individu-individu yang membentuknya. Menurut Le Bon, di dalam kerumunan, terbentuk entitas psikologis baru yang memiliki karakteristik yang berbeda dari anggota individualnya.
Le Bon menguraikan tiga tahapan utama dalam psikologi kerumunan: submergence, contagion, dan suggestion.
- Submergence: Dalam kerumunan, individu kehilangan rasa diri dan tanggung jawab pribadi, didorong oleh anonimitas yang diberikan oleh kelompok.
- Contagion: Emosi dan ide-ide menyebar secara cepat dan tak terkendali di antara individu yang ‘terbenam’, mirip dengan penyebaran penyakit.
- Suggestion: Kerumunan menjadi sangat rentan terhadap ide-ide dan emosi yang dominan, yang seringkali berasal dari ideologi tak sadar kolektif.
Le Bon berpendapat bahwa kerumunan adalah kekuatan yang hanya bisa bersifat destruktif, irasional, dan primitif. Individu yang berbudaya dan terpelajar, ketika berada dalam kerumunan, dapat kembali ke keadaan “barbar” dan bertindak berdasarkan insting.
Sebuah kerangka teoretis yang lebih terstruktur disediakan oleh Neil J. Smelser dalam teorinya tentang “nilai tambah” perilaku kolektif. Teori ini mengidentifikasi enam faktor yang menentukan perilaku kolektif, yang berfungsi sebagai tahapan yang saling membangun dan meningkatkan intensitasnya.
- Kesesuaian Struktural: Kondisi sosial yang memungkinkan perilaku kolektif terjadi, seperti kebijakan yang merugikan masyarakat umum.
- Ketegangan Struktural: Adanya ketidakadilan sosial, seperti kesenjangan ekonomi atau pencabutan hak, yang memicu rasa frustrasi.
- Faktor yang Mendahului: Isu atau peristiwa dramatis yang berbau kecemasan atau kecurigaan yang secara langsung memicu perilaku kolektif, seperti isu kenaikan harga bahan bakar.
- Pertumbuhan dan Penyebaran Keyakinan: Penyebaran keyakinan tentang sumber ketidaknyamanan.
- Mobilisasi untuk Bertindak: Perekrutan dan motivasi anggota kelompok.
- Kegagalan Kontrol Sosial: Pihak berwenang gagal mengelola atau meredakan situasi, yang memungkinkan perilaku kolektif berlanjut.
Tabel di bawah ini membandingkan dua kerangka teori sosiologis utama yang relevan dengan kecemasan massal:
Aspek Analisis | Teori Gustave Le Bon | Teori Neil Smelser |
Fokus Utama | Psikologi kerumunan dan perubahan sifat individu dalam kelompok | Faktor-faktor struktural dan tahapan yang mengarah pada perilaku kolektif |
Mekanisme Penyebaran | Anonimitas (submergence), penularan emosi (contagion), dan sugesti (suggestion) | Proses nilai tambah: dari kondisi struktural hingga mobilisasi dan kegagalan kontrol |
Sifat Perilaku | Irasional, destruktif, primitif | Terstruktur, respons terhadap ketidakadilan dan ketegangan sosial |
Relevansi Kontemporer | Sangat relevan dalam memahami dinamika media sosial dan penyebaran konten viral | Berguna untuk menganalisis akar masalah yang lebih dalam, seperti ketidakadilan ekonomi dan politik yang memicu protes dan kerusuhan |
Pandangan Le Bon, meskipun berfokus pada kerumunan fisik, menjadi sangat relevan dalam memahami dinamika media sosial kontemporer. Anonimitas di dunia digital (submergence) dan kecepatan penyebaran informasi viral (contagion) menciptakan “kerumunan digital” yang bertindak mirip dengan kerumunan fisik yang dijelaskan oleh Le Bon. Ketiadaan batasan fisik dan anonimitas digital membuat individu lebih berani mengekspresikan emosi berlebihan dan kurangnya pertimbangan, yang merupakan ciri khas kecemasan massal. Fenomena ini menunjukkan bahwa kecemasan kolektif dapat memperkuat dan memanifestasikan ketegangan sosial yang tersembunyi.
Studi Kasus Historis dan Evolusi Fenomena
Histeria Kolektif Historis: Ketika Mitos Menjadi Realitas
Sejarah mencatat berbagai kasus histeria kolektif yang menunjukkan bagaimana ketakutan dan ketidakpastian dapat memicu respons sosial yang tidak rasional. Dua contoh paling terkenal adalah Wabah Menari dan Pengadilan Penyihir Salem.
Wabah Menari (1374)
Pada tanggal 24 Juni 1374, sebuah wabah misterius menyebar di kota Aachen, Jerman, di mana penderitanya menari tanpa henti di jalanan hingga pingsan. Fenomena ini kemudian menyebar ke seluruh Eropa. Interpretasi kontemporer mencoba menjelaskan fenomena ini, salah satunya adalah hipotesis keracunan jamur Claviceps purpurea yang tumbuh pada gandum hitam, yang dapat menyebabkan halusinasi dan kejang. Namun, teori ini dibantah karena wabah terjadi di berbagai daerah dan tidak selalu pada musim tumbuhnya jamur. Sebaliknya, histeria massa yang dipicu oleh tekanan psikologis ekstrem—seperti kelaparan, gagal panen, dan penyakit yang meluas—dianggap sebagai penyebab yang lebih mungkin. Masyarakat pada saat itu sangat percaya bahwa mereka dihukum oleh Tuhan, dan tekanan ini termanifestasi dalam bentuk tarian yang tak terkendali.
Pengadilan Penyihir Salem (1692)
Peristiwa Pengadilan Penyihir Salem di Amerika Serikat adalah contoh nyata bagaimana ketakutan tak berdasar dan kesalahpahaman terhadap hal-hal supranatural dapat memicu histeria massal. Awalnya, tuduhan dipicu oleh gejala aneh yang dialami oleh sekelompok gadis muda, seperti kejang-kejang dan berbicara tidak jelas, yang tidak dapat dijelaskan secara medis. Masyarakat yang sangat religius pada saat itu menghubungkan gejala ini dengan sihir, yang kemudian memicu histeria kolektif. Tuduhan tak berdasar ini, yang sering kali didorong oleh prasangka sosial terhadap wanita yang dianggap berbeda, menyebabkan penangkapan, pengadilan, dan eksekusi terhadap 20 orang yang dianggap sebagai penyihir. Pengadilan bahkan menggunakan “bukti spektral” (kesaksian berdasarkan penglihatan dan mimpi) sebagai dasar untuk menghukum orang yang tidak bersalah, menunjukkan bahaya ketakutan kolektif yang tidak terkendali.
Pandemi sebagai Pemicu Kecemasan Kolektif
Sejarah juga menunjukkan bahwa pandemi adalah pemicu kuat untuk kecemasan massal. Selama abad ke-20, dunia mengalami tiga pandemi influenza besar: Flu Spanyol (1918), Flu Asia (1957), dan Flu Hong Kong (1968). Peristiwa ini menciptakan kekhawatiran dan ketidakpastian di seluruh dunia.
Pandemi COVID-19 adalah kasus kontemporer yang relevan. Ketika laporan awal tentang virus baru yang mirip pneumonia muncul di Tiongkok pada akhir 2019, berita tersebut menyebar dengan cepat melalui media sosial dan menyebabkan kekhawatiran massal di seluruh penjuru Tiongkok.16 Kekhawatiran ini tidak hanya terbatas pada masalah kesehatan, tetapi juga memicu perilaku sosial irasional, seperti penimbunan barang langka.17 Situasi yang dianggap ambigu dan simpang siur memungkinkan individu untuk menafsirkan dan melakukan tindakan apa pun yang mereka anggap tepat untuk meredakan ketidakpastian. Pandemi ini secara jelas menunjukkan bahwa kecemasan kolektif bukanlah fenomena baru, melainkan respons terhadap ketidakpastian dan ketegangan struktural yang sudah ada. Di Salem, kecemasan terhadap hal yang tidak dimengerti disalurkan melalui prasangka sosial yang sudah ada, mengubah individu yang berbeda menjadi target. Wabah Menari adalah manifestasi dari tekanan psikologis ekstrem dari kelaparan dan penyakit. Pandemi modern menunjukkan pola yang sama: ketidakpastian, tekanan, dan informasi yang ambigu memicu kepanikan. Ini menunjukkan bahwa kecemasan kolektif memperkuat dan memanifestasikan ketegangan sosial yang tersembunyi.
Pemicu dan Katalis Kontemporer
Peran Media dan Ekosistem Disinformasi
Di era digital, media sosial telah menjadi katalis utama bagi penyebaran kecemasan massal. Penelitian menunjukkan adanya hubungan positif dan signifikan antara durasi penggunaan media sosial dengan tingkat kecemasan. Mahasiswa yang menghabiskan lebih banyak waktu di media sosial memiliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi, dengan sebagian besar kasus tergolong kecemasan ringan hingga berat. Hubungan positif ini diperkuat oleh studi lain yang menunjukkan adanya korelasi kuat antara kecemasan sosial dan intensitas penggunaan media sosial.
Kecemasan ini diperburuk oleh meluasnya disinformasi dan hoaks. Misinformasi, yang didefinisikan sebagai penyebaran informasi yang tidak benar atau menyesatkan, telah menjadi isu signifikan karena platform digital memungkinkan penyebarannya secara cepat dan luas. Judul-judul yang sensasional dan provokatif dirancang untuk menarik perhatian dan menggugah emosi, mendorong pengguna untuk menyebarkannya tanpa memeriksa keakuratan informasi. Akibatnya, misinformasi dapat memengaruhi pengambilan keputusan individu, memicu kepanikan, dan bahkan merusak kepercayaan terhadap institusi. Ketidakpercayaan ini semakin diperparah ketika tanggapan pemerintah terhadap krisis dianggap ambigu atau simpang siur. Penyebaran informasi yang salah juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap media dan sumber informasi lainnya, membuat sulit untuk membedakan antara fakta dan kebohongan.
Ketidakstabilan Ekonomi dan Politik
Ketidakstabilan ekonomi merupakan pemicu kuat untuk kecemasan kolektif. Krisis ekonomi, inflasi, dan ketidakpastian dalam pasar kerja dapat memicu “kecemasan finansial” yang meluas di masyarakat. Perasaan tidak aman secara finansial meningkat ketika seseorang tidak memiliki penghasilan stabil, utang menumpuk, atau tabungan darurat yang tidak memadai. Studi menunjukkan bahwa resesi ekonomi dapat secara signifikan meningkatkan risiko gangguan kesehatan mental seperti kecemasan dan depresi, terutama di kalangan individu yang kehilangan pekerjaan. Di tengah ketidakstabilan ini, perasaan tertekan akibat perbandingan sosial di media sosial dapat memperburuk kecemasan finansial, karena individu merasa “tertinggal” dari orang lain yang terlihat lebih stabil.
Di sisi lain, polarisasi politik juga bertindak sebagai katalis utama. Polarisasi politik memecah masyarakat menjadi kelompok-kelompok yang saling berseberangan, yang melemahkan kohesi sosial dan meningkatkan ketegangan. Aktor politik sering kali mengeksploitasi keresahan publik untuk mengaktifkan kebencian, yang pada gilirannya dapat memicu konflik sosial, seperti demonstrasi yang berujung kekerasan. Peningkatan polarisasi ini dapat mendorong sebagian masyarakat ke arah radikalisme dan mengikis kepercayaan terhadap institusi negara seperti parlemen, peradilan, dan media. Hal ini menciptakan siklus di mana ketidakstabilan ekonomi dan politik menciptakan ketegangan struktural, yang kemudian dieksploitasi oleh media dan aktor politik melalui disinformasi, mempercepat penyebaran kecemasan dan perilaku irasional.
Manifestasi dan Dampak pada Individu dan Masyarakat
Implikasi Perilaku: Dari Panik hingga Pengunduran Diri
Kecemasan massal memanifestasikan diri dalam berbagai bentuk perilaku, baik di tingkat individu maupun kolektif. Salah satu manifestasi paling nyata adalah fenomena panic buying, yang sering kali terjadi selama krisis seperti pandemi. Perilaku ini didorong oleh kebutuhan untuk merasa aman dan mengendalikan situasi yang tidak stabil. Studi menunjukkan bahwa panic buying memiliki pengaruh signifikan terhadap impulse buying, yang menunjukkan bahwa kecemasan dapat mendorong perilaku konsumtif yang irasional.
Dampak lain dari kecemasan massal adalah penarikan diri sosial (social withdrawal). Selama pandemi COVID-19, pembatasan sosial menyebabkan perasaan kesepian dan keterasingan, bahkan bagi mereka yang tinggal bersama keluarga. Kurangnya interaksi sosial yang bermakna memicu perasaan terisolasi, yang berkorelasi dengan meningkatnya depresi, kecemasan umum, insomnia, dan kurangnya motivasi.
Erosi Kepercayaan Publik
Dampak jangka panjang yang paling merusak dari kecemasan massal adalah erosi kepercayaan publik. Penyebaran misinformasi dan hoaks yang masif merusak kepercayaan masyarakat terhadap media dan sumber informasi lainnya. Ketidakpercayaan ini diperburuk oleh respons pemerintah yang dianggap tidak transparan atau ambigu selama krisis, yang menciptakan ruang bagi spekulasi dan perilaku yang tidak terkoordinasi. Erosi kepercayaan ini adalah dampak yang sangat serius karena merusak kohesi sosial dan mempersulit respons kolektif terhadap krisis di masa depan. Sebuah studi tentang kepercayaan pada media di Amerika Serikat menunjukkan bahwa penurunan kepercayaan ini telah terjadi sejak tahun 1970-an, dan meskipun media baru memperburuknya, fenomena ini tidak hanya terbatas pada era internet.
Tabel berikut merangkum manifestasi fisik dan psikologis dari kecemasan massal, yang diambil dari berbagai sumber data.
Aspek Manifestasi | Gejala Fisik | Gejala Kognitif dan Emosional | Gejala Perilaku |
Manifestasi Fisik | Detak jantung cepat, palpitasi, takikardi, nyeri dada. | Ketakutan akan kematian atau serangan jantung. | Mondar-mandir, gemetar, gelisah, pernapasan cepat. |
Kognitif dan Emosional | Sakit kepala, pusing, mual, perut kembung. | Persepsi kabur, tidak dapat berkonsentrasi, pikiran campur aduk. | Menghindari kontak mata, sulit membuat keputusan. |
Perilaku | Keringat berlebihan, otot terasa kaku atau nyeri. | Merasa dunia runtuh, khawatir berlebihan terhadap hal sepele. | Menghindar dari situasi sosial atau keramaian. |
Keterkaitan Lintas Aspek | Hiperventilasi dan napas pendek. | Kekhawatiran akan pikiran sendiri, rasa terancam oleh orang atau peristiwa normal. | Memiliki pikiran obsesif dan tidak terkendali. |
Strategi Intervensi dan Rekomendasi Kebijakan
Pendekatan Psikologis dan Dukungan Komunitas
Mengatasi kecemasan massal memerlukan strategi yang komprehensif, dimulai dari tingkat individu hingga kebijakan publik. Pada tingkat individu, intervensi psikologis berperan penting dalam mengurangi gejala dan meningkatkan kemampuan seseorang untuk menghadapi tekanan. Berbagai teknik telah terbukti efektif, seperti terapi relaksasi progresif yang membantu mengontrol ketegangan otot dan terapi eksposur yang melatih individu untuk mengurangi respons takut terhadap situasi yang memicu kecemasan. Teknik lain seperti Emotional Freedom Technique (EFT) dan relaksasi imajinasi juga membantu mengelola emosi dan pikiran yang mengganggu.
Pada tingkat komunitas, peran dukungan sosial sangat krusial. Kelompok dukungan sebaya (peer support groups) telah terbukti menjadi strategi berbasis komunitas yang efektif untuk meningkatkan ketahanan mental kolektif. Kelompok-kelompok ini menciptakan ruang aman bagi individu untuk berbagi pengalaman, mengurangi stigma terhadap masalah kesehatan mental, dan memperkuat hubungan interpersonal. Komunikasi berbasis empati di dalam kelompok ini membantu membangun rasa saling menghormati dan mendukung di antara anggota.
Pendekatan Kebijakan Publik dan Komunikasi Strategis
Pemerintah dan institusi publik memiliki peran vital dalam mengelola kecemasan massal melalui kebijakan dan komunikasi yang efektif. Strategi komunikasi yang transparan dan jelas sangat penting untuk meredakan kecemasan dan ketidakpastian publik selama krisis. Contohnya adalah kampanye edukasi kesehatan masyarakat yang dilakukan selama pandemi COVID-19, yang berfokus pada protokol kesehatan dan program vaksinasi untuk memberikan panduan yang jelas kepada masyarakat. Namun, keberhasilan komunikasi ini sangat bergantung pada literasi publik.
Untuk mengatasi penyebaran disinformasi, diperlukan pendidikan media yang melatih masyarakat untuk berpikir kritis dan memverifikasi informasi sebelum menyebarkannya. Upaya ini harus dilakukan secara kolaboratif antara pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan platform media. Selain itu, pemerintah perlu memperkuat infrastruktur kesehatan mental. Kebijakan harus memastikan bahwa layanan kesehatan mental tersedia dan terjangkau bagi semua orang, terutama selama dan setelah krisis. Contoh nyata dari upaya ini adalah Layanan Psikologi Sehat Jiwa (SEJIWA) yang disediakan oleh Kementerian Kesehatan, yang menawarkan layanan konsultasi gratis melalui telepon.
Tantangan dalam mengimplementasikan solusi-solusi ini di era modern cukup besar. Pemerintah yang mencoba menerapkan komunikasi transparan akan berhadapan dengan audiens yang sudah memiliki prasangka dan ketidakpercayaan akibat paparan misinformasi. Pesan yang disampaikan melalui media massa dapat disalahartikan atau diserang oleh narasi disinformasi, memicu perpecahan lebih lanjut. Oleh karena itu, strategi penanganan kecemasan massal harus holistik, adaptif, dan melibatkan komunitas secara aktif untuk membangun kembali kepercayaan dari bawah ke atas. Ini adalah investasi jangka panjang yang krusial untuk ketahanan masyarakat di masa depan.
Kesimpulan
Kecemasan massal adalah fenomena kompleks yang berakar pada interaksi antara faktor psikologis individu, dinamika sosiologis kolektif, dan pemicu lingkungan. Analisis ini menunjukkan bahwa kecemasan massal bukanlah sekadar masalah mental individu yang terpisah, melainkan hasil interaksi yang saling memperkuat antara ketidakstabilan ekonomi, polarisasi politik, dan ekosistem media yang penuh disinformasi. Dari kasus historis seperti Pengadilan Penyihir Salem hingga tantangan kontemporer seperti pandemi COVID-19, pola yang konsisten muncul: ketidakpastian dan ketegangan struktural menciptakan lahan subur bagi penyebaran ketakutan dan perilaku irasional.
Di masa depan, dunia akan terus menghadapi krisis global yang berulang—baik itu pandemi, krisis iklim, maupun resesi ekonomi—yang berpotensi memicu kecemasan massal yang lebih besar. Oleh karena itu, penting untuk membangun benteng pertahanan yang kuat. Hal ini membutuhkan kepemimpinan yang bijaksana dan komunikasi berbasis empati untuk mencegah histeria sosial yang destruktif. Secara strategis, rekomendasi jangka panjang harus mencakup investasi yang signifikan dalam infrastruktur kesehatan mental yang terintegrasi dan mudah diakses, pembangunan literasi publik untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis, dan upaya berkelanjutan untuk membangun kembali kohesi sosial yang terkikis oleh polarisasi dan ketidakpercayaan. Dengan demikian, masyarakat dapat lebih siap menghadapi ketidakpastian di masa depan dengan ketahanan mental yang lebih kuat dan respons yang lebih terkoordinasi.
Daftar Pustaka :
- BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Dasar Kecemasan 1. Definisi Kecemasan Pada dasarnya kecemasan adalah kondisi psikologis seseor – Repository Politeknik Kesehatan Denpasar, accessed September 6, 2025, http://repository.poltekkes-denpasar.ac.id/7453/3/BAB%20II%20Tinjauan%20Pustaka.pdf
- Berita – Fakultas Psikologi – Untag Surabaya, accessed September 6, 2025, https://psikologi.untag-sby.ac.id/web/beritadetail/aratikel-3-61.html
- Berita Memahami Gangguan Kecemasan Sosial Pada Remaja – Rumah Sakit Jiwa Aceh, accessed September 6, 2025, https://rsj.acehprov.go.id/berita/kategori/artikel/memahami-gangguan-kecemasan-sosial-pada-remaja
- Serangan Panik/Panic Attack – Gejala, Penyebab, & Pengobatan – Halodoc, accessed September 6, 2025, https://www.halodoc.com/kesehatan/serangan-panik
- The Crowd: A Study of the Popular Mind – Wikipedia, accessed September 6, 2025, https://en.wikipedia.org/wiki/The_Crowd:_A_Study_of_the_Popular_Mind
- GERAKAN SOSIAL MASYARAKAT TERHADAP PERUSAHAAN …, accessed September 6, 2025, http://repository.unhas.ac.id/31293/2/E41116305_skripsi_01-08-2023%20bab%201-2.pdf
- Wabah Misterius Menyambar Eropa, Pengidapnya Menari Sampai …, accessed September 6, 2025, https://voi.id/memori/61651/wabah-misterius-menyambar-eropa-pengidapnya-menari-sampai-drop-dalam-sejarah-hari-ini-24-juni-1374
- Salem: Kota Pembantaian Para Penyihir – Majalah Sunday, accessed September 6, 2025, https://majalahsunday.com/salem-kota-pembantaian-para-penyihir/
- BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sudah lebih dari satu tahun pandemi COVID-19 berlangsung di seluruh dunia. Pandemi, accessed September 6, 2025, https://digilib.uns.ac.id/dokumen/download/473622/NDczNjIy
- PANIC BUYING: KONSUMERISME MASYARAKAT INDONESIA DI TENGAH PANDEMI COVID-19 PERSPEKTIF PSIKOANALISIS JACQUES LACAN, accessed September 6, 2025, https://jurnal.ugm.ac.id/wisdom/article/download/56722/31089
- BRPKM Buletin Riset Psikologi dan Kesehatan Mental – Journal of Universitas Airlangga, accessed September 6, 2025, https://e-journal.unair.ac.id/BRPKM/article/download/28611/pdf/116716
- Hubungan durasi penggunaan media sosial dengan tingkat kecemasan pada mahasiswa program sarjana kedokteran Universitas Tanjungpura, accessed September 6, 2025, https://jurnal.untan.ac.id/index.php/JC/article/download/54184/75676595424
- Kecemasan sosial dan intensitas penggunaan media sosial pada remaja – e-journal ibrahimy, accessed September 6, 2025, https://journal.ibrahimy.ac.id/index.php/psycomedia/article/download/2527/1657/12101
- PENGARUH PENGGUNAAN MEDIA SOSIAL TERHADAP KECEMASAN SOSIAL DI KALANGAN MAHASISWA ILMU KOMUNIKASI UMS, accessed September 6, 2025, https://eprints.ums.ac.id/106470/1/Naskah%20Mutiara%20Vina%20F.pdf
- Studi Kasus Mengenai Misinformasi Pada Media Sosial – Gudang Jurnal, accessed September 6, 2025, https://gudangjurnal.com/index.php/gjmi/article/download/1412/1332/3524
- Apa itu Financial Anxiety dan Bagaimana Cara Mengatasinya? – HOKIbank, accessed September 6, 2025, https://www.hokibank.co.id/apa-itu-financial-anxiety-dan-bagaimana-cara-mengatasinya/
- Perlu Tahu, Ini 5 Dampak Resesi Ekonomi bagi Kesehatan Mental – Halodoc, accessed September 6, 2025, https://www.halodoc.com/artikel/perlu-tahu-ini-5-dampak-resesi-ekonomi-bagi-kesehatan-mental
- Polarisasi Politik dan Dampaknya Terhadap Masyarakat – JDIH Kabupaten Sukoharjo, accessed September 6, 2025, https://jdih.sukoharjokab.go.id/berita/detail/polarisasi-politik-dan-dampaknya-terhadap-masyarakat
- Jurnal Manajemen Vol. 16 No. 1 April 2022 (ISSN Cetak 1978-6573) (ISSN Online 2477-300X) 72 PENGARUH PANIC BUYING TE, accessed September 6, 2025, https://fe.ummetro.ac.id/ejournal/index.php/JM/article/viewFile/770/464
- Perceived Consequences of Extended Social Isolation on Mental Well-Being: Narratives from Indonesian University Students during the COVID-19 Pandemic – MDPI, accessed September 6, 2025, https://www.mdpi.com/1660-4601/18/19/10489
- Psychological Consequences of Social Isolation During COVID-19 Outbreak – Frontiers, accessed September 6, 2025, https://www.frontiersin.org/journals/psychology/articles/10.3389/fpsyg.2020.02201/full
- What Does “Trust in the Media” Mean? | American Academy of Arts and Sciences, accessed September 6, 2025, https://www.amacad.org/publication/daedalus/what-does-trust-media-mean
- Gangguan Kecemasan Sosial – Gejala, Pencegahan & Pengobatan – Halodoc, accessed September 6, 2025, https://www.halodoc.com/kesehatan/gangguan-kecemasan-sosial
- Intervensi Psikologis: Metode Efektif dalam Mengatasi Masalah Kesehatan Mental, accessed September 6, 2025, https://www.ciputra.ac.id/psy/intervensi-psikologis-metode-efektif-dalam-mengatasi-masalah-kesehatan-mental/
- pendampingan pada remaja dalam mengatasi cemas saat public speaking menggunakan emotional freedom technique, accessed September 6, 2025, https://jurnal.unpad.ac.id/jppm/article/viewFile/35130/pdf
- intervensi peer support groups berbasis komunikasi untuk ketahanan mental dalam situasi darurat – Cohesin, accessed September 6, 2025, https://prosiding.umkla.ac.id/cohesin/index.php/home/article/download/90/85/539
- PELAYANAN KESEHATAN MASYARAKAT DALAM KRISIS: PEMBELAJARAN DARI STRATEGI RESPONS PANDEMI DI INDONESIA – jurnal stipan, accessed September 6, 2025, https://jurnal.stipan.ac.id/index.php/wahana-bina-pemerintahan/article/download/125/192/483
- Menanggulangi Gangguan Kecemasan: Strategi Efektif dalam Kesehatan Mental, accessed September 6, 2025, https://dinkes.bandaacehkota.go.id/2024/01/30/menanggulangi-gangguan-kecemasan-strategi-efektif-dalam-kesehatan-mental/
- Tetap Jaga Kesehatan Mental di Masa Duka Pandemi, accessed September 6, 2025, https://ayosehat.kemkes.go.id/tetap-jaga-kesehatan-mental-di-masa-duka-pandemi