Indonesia, khususnya Pulau Jawa, merupakan pusat peradaban Hindu-Buddha yang kaya, meninggalkan jejak monumental berupa candi. Bangunan-bangunan kuno ini bukan sekadar struktur batu, melainkan cerminan kompleksitas sejarah, kepercayaan, seni, dan teknologi masyarakat masa lampau. Candi-candi Hindu di Indonesia, yang sebagian besar dibangun antara abad ke-4 hingga ke-15 Masehi, adalah bukti nyata pengaruh kebudayaan India yang berakulturasi secara mendalam dengan tradisi lokal.
Peran candi melampaui fungsi religius semata. Struktur-struktur ini juga mencakup aspek sosial, politik, dan ekonomi dalam masyarakat kuno, menjadikannya warisan budaya yang tak ternilai bagi identitas bangsa Indonesia. Keberadaan candi-candi ini memberikan pemahaman yang mendalam tentang bagaimana peradaban di Nusantara berkembang dan berinteraksi dengan pengaruh dari luar.
Sejarah dan Perkembangan Candi Hindu di Indonesia
Keberadaan candi Hindu di Indonesia erat kaitannya dengan perkembangan kerajaan-kerajaan bercorak Hindu yang berkuasa di Nusantara. Periode ini, yang sering disebut sebagai Zaman Hindu-Buddha atau Periode Klasik Indonesia, berlangsung sekitar abad ke-4 hingga ke-15 Masehi.
Salah satu kekuatan utama di Jawa Tengah adalah Kerajaan Mataram Kuno, yang berkuasa sekitar abad ke-8 Masehi. Kerajaan ini awalnya bercorak Hindu-Siwa dan ditandai dengan pembangunan candi-candi megah. Pembangunan candi-candi besar pada masa ini seringkali dipicu oleh dinamika politik dan keagamaan. Sebagai contoh, Candi Prambanan dibangun oleh Rakai Pikatan sebagai tandingan candi Buddha Borobudur dan Sewu yang terletak tidak jauh dari Prambanan. Pembangunan ini menandai kembalinya kekuasaan Wangsa Sanjaya yang Hindu dan dukungan kuat terhadap Hinduisme aliran Siwa setelah sebelumnya Wangsa Sailendra cenderung mendukung Buddha Mahayana. Ini menunjukkan bahwa arsitektur monumental seringkali berfungsi sebagai alat legitimasi politik dan religius, menegaskan dominasi suatu dinasti atau aliran kepercayaan.
Di Jawa Timur, Kerajaan Kediri dan Singhasari (abad ke-11–13 Masehi) juga meninggalkan jejak candi Hindu yang signifikan. Candi Penataran, misalnya, dikaitkan dengan masa Kerajaan Kediri dan berlanjut hingga periode Majapahit. Kemudian, Kerajaan Majapahit (abad ke-13–15 Masehi), meskipun pada akhirnya menjadi kerajaan yang lebih sinkretis, tetap membangun candi-candi Hindu, terutama pada masa akhir pengaruhnya. Candi Sukuh dan Candi Cetho adalah contoh candi Hindu yang dibangun pada periode akhir Majapahit.
Kronologi Pembangunan Candi-Candi Utama
Pembangunan candi-candi Hindu di Indonesia berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, mencerminkan evolusi peradaban dan kekuasaan di Nusantara:
- Candi Gunung Wukir: Diperkirakan dibangun paling awal, sekitar tahun 732 Masehi, pada masa pemerintahan Raja Sanjaya dari Kerajaan Mataram Kuno, berdasarkan Prasasti Canggal.
- Candi Dieng: Kumpulan candi Hindu beraliran Syiwa ini diperkirakan dibangun antara akhir abad ke-7 hingga abad ke-9 Masehi, menjadikannya salah satu candi tertua di Jawa.
- Candi Prambanan: Dibangun sekitar tahun 850 Masehi oleh Rakai Pikatan, dan terus disempurnakan serta diperluas oleh raja-raja berikutnya seperti Raja Lokapala dan Raja Balitung Maha Sambu. Nama aslinya adalah Siwagrha atau Siwalaya, yang berarti ‘Rumah Siwa’ atau ‘Ranah Siwa’, didedikasikan untuk Dewa Siwa. Selama pembangunannya, dilakukan juga pekerjaan umum untuk memindahkan aliran Sungai Opak yang dianggap terlalu dekat dan berpotensi membahayakan konstruksi candi.
- Candi Gedong Songo: Diperkirakan dibangun sezaman dengan Candi Dieng, antara abad ke-7 hingga ke-9 Masehi, pada masa Dinasti Sanjaya dari Kerajaan Mataram Lama.
- Candi Penataran: Kompleks candi ini dibangun secara bertahap mulai dari masa Raja Srengga dari Kerajaan Kadiri sekitar 1200 Masehi, dan terus berlanjut hingga masa Kerajaan Majapahit di bawah Raja Jayanagara, Ratu Tribhuwanotunggadewī, Raja Hayam Wuruk, dan Ratu Suhita. Terdapat perbedaan informasi dalam sumber mengenai Candi Penataran; sebagian besar sumber mengidentifikasinya sebagai candi Hindu dari periode Kediri-Majapahit, sementara satu sumber menyatakan bahwa candi ini adalah persembahan Buddha Mahayana dari Kerajaan Singhasari. Namun, berdasarkan konsistensi dan detail historis dari berbagai sumber, candi ini umumnya diakui sebagai candi Hindu dari era Kediri-Majapahit. Perbedaan ini dapat menunjukkan adanya kompleksitas dalam klasifikasi situs keagamaan pada periode sinkretisme budaya di Jawa. Bukti menunjukkan bahwa intrik dalam keluarga kerajaan dan wabah kelaparan pada masa Wikramawarddhana juga menghambat konsentrasi pada bidang seni dan pembangunan candi ini.
- Candi Sukuh: Diperkirakan dibangun pada masa akhir Kerajaan Majapahit, yaitu abad ke-15, pada masa pemerintahan Ratu Suhita (1429–1446 Masehi).
- Candi Cetho: Dibangun sekitar tahun 1452-1470 Masehi, juga pada masa akhir Kerajaan Majapahit di bawah Prabu Brawijaya V.
- Candi Klero: Meskipun tidak ada catatan sejarah yang jelas mengenai tahun berdirinya, para sejarawan sepakat bahwa Candi Klero adalah peninggalan Hindu yang sangat tua, ditemukan dalam kondisi runtuh pada tahun 1995.
Distribusi Geografis Candi Hindu di Indonesia
Konsentrasi Utama di Jawa
Sebagian besar candi Hindu di Indonesia terkonsentrasi di Pulau Jawa, yang menjadi pusat perkembangan kebudayaan Hindu-Buddha dari abad ke-4 hingga ke-15 Masehi.
- Jawa Tengah: Wilayah ini memiliki kepadatan candi yang sangat tinggi, terutama di Kabupaten Sleman (Yogyakarta), Magelang, dan Klaten. Area ini mencakup Dataran Kedu (lembah Sungai Progo, daerah Temanggung-Magelang-Muntilan) dan Dataran Kewu (lembah Sungai Opak, sekitar Prambanan), yang dianggap sebagai “cradle of Javanese civilization” atau tempat lahirnya peradaban Jawa. Contoh candi Hindu di Jawa Tengah meliputi Candi Prambanan (Sleman, Yogyakarta), Candi Dieng (Wonosobo), Candi Gedong Songo (Semarang), Candi Sukuh (Karanganyar), Candi Gunung Wukir (Magelang), Candi Cetho (Karanganyar), Candi Klero (Semarang), serta Candi Asu Sengi, Candi Umbul, Candi Pringapus, dan Candi Ngempon.
- Jawa Timur: Juga merupakan wilayah penting dengan kompleks candi yang signifikan, terutama di daerah Malang, Blitar, dan Trowulan. Contohnya adalah Candi Penataran (Blitar), Candi Pari (Sidoarjo), Candi Sumur (Sidoarjo), Gunung Gangsir (Pasuruan), Candi Jawi (Tretes), Candi Jabung (Probolinggo), dan Candi Kedaton Probolinggo.
- Jawa Barat: Meskipun memiliki jumlah candi yang lebih sedikit, beberapa situs Hindu yang signifikan tetap ditemukan, seperti Candi Cibuaya (bercorak Vishnuite Hindu, Karawang) dan Candi Cangkuang (Leles, Garut).
Konsentrasi geografis candi-candi ini secara langsung merefleksikan pergeseran pusat-pusat kekuasaan politik dan keagamaan sepanjang periode Hindu-Buddha di Indonesia. Kepadatan candi di Jawa Tengah menunjukkan keberadaan kerajaan awal yang kuat, sementara situs-situs di Jawa Timur mengindikasikan perkembangan budaya Hindu yang berkelanjutan pada periode selanjutnya. Pola ini memperlihatkan lanskap kekuasaan dan difusi budaya yang dinamis dan terus berkembang, bukan sekadar keberadaan yang statis.
Keberadaan Candi di Luar Jawa
Meskipun lebih langka dibandingkan di Jawa, candi Hindu juga ditemukan di luar Jawa, menunjukkan jangkauan pengaruh Hindu di Nusantara.
- Bali: Arsitektur candi Hindu Bali seringkali meniru candi Jawa Timur dan berfungsi sebagai kuil untuk dewa tertentu. Candi di Bali tidak selalu kuno, karena terus dibangun ulang dalam pura sebagai bagian dari arsitektur pura kontemporer. Contohnya termasuk Candi Gunung Kawi (Gianyar, 989 Masehi) dan Candi Mengening (Gianyar, 1022 Masehi). Candi Bentar, sebuah gerbang terbelah khas, juga merupakan fitur integral arsitektur pura Bali dan candi Jawa klasik.
- Sumatra: Beberapa reruntuhan candi Hindu-Buddha telah ditemukan, meskipun jumlahnya lebih sedikit dibandingkan Jawa. Contohnya adalah Candi Biaro Bahal (Tapanuli Selatan, Sumatera Utara), Candi Bumiayu (Penukal Abab Lematang Ilir, Sumatera Selatan) yang merupakan kompleks candi Syiwa dari abad ke-8 hingga ke-13 Masehi dan terkait dengan Kerajaan Sriwijaya, serta Candi Muara Takus (Riau).
- Kalimantan Selatan: Wilayah ini merupakan basis Kerajaan Hindu Negara Dipa dan Negara Daha. Contoh candi Hindu di sini adalah Candi Agung (Hulu Sungai Utara).
Tabel 1: Sebaran Geografis Candi Hindu Utama di Indonesia
Nama Candi | Lokasi (Provinsi, Kabupaten/Kota) | Periode Pembangunan (Abad/Tahun) | Kerajaan/Dinasti Terkait | Dewa Utama/Fungsi Khas | Catatan Penting |
Candi Prambanan | Yogyakarta, Sleman | 9 Masehi (~850 M) | Mataram Kuno (Sanjaya) | Trimurti (Siwa utama) | Situs Warisan Dunia UNESCO, kompleks candi Hindu terbesar di Indonesia, relief Ramayana. |
Candi Dieng | Jawa Tengah, Wonosobo | Akhir 7 – 9 Masehi | Mataram Kuno (Sanjaya) | Siwa | Kumpulan candi tertua di Jawa, suasana sejuk. |
Candi Gedong Songo | Jawa Tengah, Semarang | 7 – 9 Masehi | Mataram Kuno (Sanjaya) | Pemujaan Dewa (Siwa Mahakala, Ganesha) | Sembilan candi di lereng Gunung Ungaran. |
Candi Sukuh | Jawa Tengah, Karanganyar | 15 Masehi (~1437 M) | Majapahit Akhir (Ratu Suhita) | Kesuburan, Ruwatan | Desain piramida terpancung unik, relief simbol seksual, Kidung Sudamala. |
Candi Penataran | Jawa Timur, Blitar | 12 – 15 Masehi (~1200 M – 1477 M) | Kediri, Majapahit | Siwa, Wisnu | Kompleks candi terbesar di Jawa Timur, relief Ramayana & Kresnayana, candi negara. |
Candi Gunung Wukir | Jawa Tengah, Magelang | 8 Masehi (732 M) | Mataram Kuno (Sanjaya) | Siwalingga | Salah satu candi Hindu tertua, terkait Prasasti Canggal. |
Candi Cetho | Jawa Tengah, Karanganyar | 15 Masehi (~1452-1470 M) | Majapahit Akhir (Prabu Brawijaya V) | Ruwatan, Pemujaan | Arsitektur punden berundak, tempat ziarah Kejawen. |
Candi Klero | Jawa Tengah, Semarang | Sangat Tua (ditemukan 1995) | Tidak diketahui pasti | Tidak diketahui pasti (Yoni) | Candi Hindu kuno, ukuran lebih kecil, bentuk berundak. |
Candi Cibuaya | Jawa Barat, Karawang | 6 Masehi | Tarumanegara | Wisnu | Terbuat dari bata merah. |
Candi Cangkuang | Jawa Barat, Garut | 8 Masehi | Tidak diketahui pasti | Siwa | Satu-satunya candi Hindu Jawa Barat yang masih berdiri, di tengah danau. |
Candi Gunung Kawi | Bali, Gianyar | 10 Masehi (989 M) | Tidak diketahui pasti | Pemujaan Dewa | Candi yang dipahat di lereng batu, salah satu yang tertua di Bali. |
Candi Mengening | Bali, Gianyar | 11 Masehi (1022 M) | Raja Marakata | Tidak diketahui pasti | – |
Candi Bumiayu | Sumatera Selatan, Penukal Abab Lematang Ilir | 8 – 13 Masehi | Sriwijaya | Siwa | Kompleks candi Syiwa dari bata merah. |
Candi Agung | Kalimantan Selatan, Hulu Sungai Utara | Tidak diketahui pasti | Negara Dipa, Negara Daha | Tidak diketahui pasti | – |
Karakteristik Arsitektur dan Simbolisme Candi Hindu
Pengaruh Vastu Shastra dan Akulturasi Budaya Lokal
Arsitektur candi Hindu di Indonesia mengikuti tradisi arsitektur Hindu India yang khas, terutama berdasarkan prinsip Vastu Shastra, sebuah sistem desain kuno yang mengatur tata letak dan konstruksi bangunan suci. Tata letak candi seringkali menggabungkan pengaturan denah candi mandala, yang dirancang untuk meniru Gunung Meru, gunung suci tempat tinggal para dewa, sebagai model alam semesta Hindu.
Meskipun dipengaruhi kuat oleh India, bentuk dasar candi-candi di Indonesia pada hakikatnya adalah punden berundak, sebuah unsur asli Indonesia yang telah ada sejak zaman prasejarah. Integrasi antara punden berundak dan konsep arsitektur India ini menunjukkan adanya akulturasi budaya yang mendalam. Ini bukan sekadar adopsi pasif tradisi asing, melainkan sebuah kemampuan budaya lokal untuk mengintegrasikan dan mengadaptasi elemen-elemen tersebut, menghasilkan ekspresi arsitektur yang unik, yang sekaligus mencerminkan pengaruh global dan identitas khas Indonesia. Proses selektif dalam mengadopsi dan mengadaptasi ini memungkinkan berkembangnya identitas budaya hibrida yang kaya.
Struktur Tiga Zona (Kosmologi Hindu)
Struktur dan tata letak candi Hindu mengakui hierarki zona, dari yang kurang suci hingga yang paling suci, mencerminkan konsep kosmologi Hindu dan lapisan Loka. Konsep ini membagi bangunan candi menjadi tiga bagian utama secara vertikal:
- Bhurloka (dalam Buddhisme: Kāmadhātu): Alam terendah, dunia fana manusia biasa yang terikat oleh nafsu dan keinginan. Bagian ini dilambangkan oleh halaman luar dan kaki (dasar) setiap candi.
- Bhuvarloka (dalam Buddhisme: Rupadhatu): Alam tengah, tempat orang-orang suci, rishi, pertapa, dan dewa-dewa kecil. Orang-orang di alam ini mulai melihat cahaya kebenaran. Bagian ini dilambangkan oleh halaman tengah dan badan setiap candi.
- Svarloka (dalam Buddhisme: Arupadhatu): Alam tertinggi dan tersuci para dewa, juga dikenal sebagai svargaloka. Bagian ini dilambangkan oleh halaman dalam dan atap setiap candi. Puncak atap struktur Hindu biasanya dimahkotai dengan ratna (permata) atau vajra, atau struktur kubus pada periode Jawa Timur.
Elemen Arsitektur Khas
Candi Hindu di Indonesia memiliki elemen arsitektur khas yang membedakannya:
- Kala-Makara: Aplikasi kala-makara sebagai elemen dekoratif dan simbolis pada pintu masuk candi adalah ciri khas candi Jawa kuno. Kala adalah raksasa yang melambangkan waktu yang mengonsumsi segalanya, sementara makara adalah monster laut mitologis.
- Bentuk Ramping vs. Tambun: Terdapat perbedaan gaya arsitektur antara candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Candi Jawa Tengah umumnya berbentuk tambun, dihiasi dengan kalamakara pada pintu masuk, memiliki puncak stupa, terbuat dari batu andesit, dan menghadap timur. Sebaliknya, candi Jawa Timur cenderung lebih ramping, dengan hiasan yang lebih sederhana, puncak berbentuk kubus, terbuat dari batu bata, dan menghadap barat. Perbedaan gaya ini bukan sekadar preferensi estetika, melainkan cerminan pergeseran budaya dan politik yang signifikan seiring waktu. Perpindahan pusat kerajaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur kemungkinan memengaruhi ketersediaan material, teknik konstruksi, dan bahkan interpretasi estetika keagamaan yang berkembang. Pergeseran menuju ornamen yang lebih sederhana dan penekanan kembali pada bentuk-bentuk pribumi (seperti piramida terpancung pada Candi Sukuh dan Cetho) pada candi-candi Jawa Timur yang lebih baru dapat menunjukkan penurunan dukungan kerajaan, penegasan kembali tradisi seni lokal, atau bahkan respons terhadap munculnya pengaruh keagamaan baru. Evolusi ini mencerminkan interaksi dinamis antara patronase, sumber daya, dan identitas budaya.
- Lingga-Yoni: Simbolisme lingga (tiang falus, simbol Dewa Siwa dan kekuatan kreatif) dan yoni (dasar datar, simbol rahim dan Parwati, pasangan Siwa) ditemukan secara eksklusif di candi Hindu beraliran Siwa. Contoh tertua dari lingga-yoni dapat ditemukan di candi Dieng.
- Relief Naratif: Dinding candi sering dihiasi bas-relief yang berfungsi sebagai elemen dekoratif sekaligus menyampaikan makna simbolis religius melalui narasi visual. Relief di Prambanan mengisahkan epos Ramayana dan Krishna. Candi Sukuh menampilkan Kidung Sudamala dan simbol kesuburan, sementara Candi Penataran menggambarkan kisah Ramayana dan Kresnayana.
- Kalpataru: Pohon suci pengabul keinginan, yang menurut kepercayaan Hindu-Buddha, sering diapit oleh kinnara (makhluk setengah manusia setengah burung) atau berbagai jenis hewan.
Tabel 2: Elemen Arsitektur Khas Candi Hindu dan Simbolismenya
Elemen Arsitektur | Deskripsi Fisik | Simbolisme/Makna Religius | Contoh Candi |
Struktur Tiga Zona | Kaki (dasar), Badan (tengah), Atap (puncak) | Representasi kosmologi Hindu: Bhurloka (dunia fana), Bhuvarloka (alam pembersihan jiwa), Svarloka (alam dewa) | Umum pada semua candi Hindu, misalnya Prambanan |
Kala-Makara | Kepala raksasa (Kala) di atas pintu masuk, sering dengan monster laut (Makara) di sisi tangga/pintu | Kala melambangkan waktu yang mengonsumsi segalanya; Makara melambangkan kekuatan dan perlindungan. | Prambanan, Dieng, Klero (Makara) |
Ratna/Vajra | Bentuk permata atau struktur kubus di puncak atap candi | Simbol alam tertinggi (Svarloka), tempat tinggal para dewa. | Prambanan (Ratna), Candi Jawa Timur (Kubus) |
Lingga-Yoni | Tiang falus (Lingga) yang ditempatkan di dasar datar (Yoni) | Lingga simbol Dewa Siwa dan kekuatan kreatif maskulin; Yoni simbol rahim dan energi feminin (Parwati). | Candi Dieng, Candi Klero (Yoni saja) |
Bas-Relief Naratif | Ukiran pada dinding candi yang menggambarkan cerita atau mitologi | Media penyampaian ajaran agama, kisah epik, dan nilai-nilai moral. | Prambanan (Ramayana, Krishna), Sukuh (Kidung Sudamala, Garudeya), Penataran (Ramayana, Kresnayana) |
Punden Berundak | Struktur berteras yang meningkat ke atas | Unsur asli Indonesia yang melambangkan gunung suci atau tingkatan spiritual menuju kesempurnaan. | Candi Sukuh, Candi Cetho, Candi Klero |
Arca Trimurti | Patung Dewa Brahma, Wisnu, dan Siwa | Representasi tiga dewa utama dalam Hinduisme. | Prambanan |
Kalpataru | Pohon pengabul keinginan yang diapit oleh makhluk mitologis atau hewan | Simbol kemakmuran, kesuburan, dan harapan. | Prambanan |
Fungsi Religius dan Sosial Candi Hindu
Candi sebagai Tempat Pemujaan Dewa
Candi Hindu umumnya dipersembahkan untuk dewa-dewa utama dalam agama Hindu, terutama Trimurti: Brahma (Pencipta), Wisnu (Pemelihara), dan Siwa (Pelebur). Candi Prambanan, misalnya, meskipun didedikasikan untuk Trimurti, memiliki konsep Siwaistik yang kuat, dengan Siwa dipuja sebagai Dewata tertinggi, dibuktikan dengan keberadaan arca Siwa Mahadewa setinggi tiga meter di bilik utama candi. Candi Dieng juga didedikasikan untuk Dewa Siwa.
Fungsi Mortuari dan Peringatan Raja
Dalam tradisi Hindu di Indonesia, candi juga memiliki fungsi mortuari, yaitu sebagai tempat penyimpanan abu jenazah raja atau bangsawan yang telah dikremasi. Konsep “mendewakan” raja yang telah meninggal, di mana raja dianggap telah bersatu dengan dewa pelindungnya, sangat menonjol. Sebagai contoh, arca Siwa di Prambanan diyakini juga mempersonifikasikan Raja Balitung sebagai reinkarnasi Siwa, sehingga candi tersebut dibangun untuk memperingati dan memuliakannya setelah wafat. Istilah “candi” sendiri diyakini berasal dari “Candika,” salah satu manifestasi Dewi Durga sebagai dewi kematian, yang semakin menguatkan fungsi mortuari ini.
Candi sebagai Pusat Pendidikan dan Ritual
Selain sebagai tempat ibadah, candi juga berfungsi sebagai pusat spiritual dan pendidikan. Pada masa kejayaannya, Prambanan menjadi pusat studi Veda dan aktivitas Brahmana, dengan ratusan pendeta dan siswa berkumpul dan tinggal di halaman luar candi untuk belajar. Berbagai ritual keagamaan dilakukan di candi, seperti persembahan sesaji berupa bunga, dupa, atau makanan, pelantunan mantra-mantra suci, pradaksina (berjalan mengelilingi candi searah jarum jam), dan meditasi di depan arca dewa atau Buddha.
Beberapa candi memiliki fungsi ritual khusus yang lebih spesifik. Candi Cetho, misalnya, digunakan untuk ritual ruwatan, yaitu upacara pembebasan seseorang dari kutukan atau kesalahannya. Sementara itu, Candi Sukuh terkenal terkait dengan upacara kesuburan dan ritual Yadnya, yang didukung oleh relief-reliefnya yang menggambarkan simbol-simbol kesuburan.
Fungsi candi yang beragam ini—sebagai tempat pemujaan, monumen pemakaman raja, dan pusat pendidikan—mengungkapkan bahwa candi merupakan institusi sentral dalam kerajaan-kerajaan kuno di Indonesia. Mereka mewujudkan titik temu kekuasaan religius, politik, dan intelektual. Dengan menampung abu jenazah raja, melegitimasi penguasa melalui asosiasi ilahi, dan berfungsi sebagai pusat pendidikan, candi memainkan peran krusial dalam menjaga tatanan sosial, mentransmisikan pengetahuan, dan memperkuat otoritas elit penguasa. Ini menunjukkan sifat terintegrasi antara pemerintahan dan kehidupan spiritual pada masa itu.
Profil Candi Hindu Terkemuka
Candi Prambanan: Kompleks Terbesar dan Terpenting
Candi Prambanan, yang juga dikenal sebagai Candi Rara Jonggrang, adalah kompleks candi Hindu terbesar di Indonesia dan situs candi Hindu terbesar kedua di Asia Tenggara setelah Angkor Wat. Candi ini didedikasikan untuk Trimurti (Brahma, Wisnu, Siwa), dengan Candi Siwa sebagai struktur tertinggi (47 meter) dan terbesar di kompleks tersebut. Dinding-dinding candi dihiasi relief yang mengisahkan epos Ramayana.
Dibangun sekitar abad ke-9 Masehi oleh Rakai Pikatan, pembangunan Prambanan merupakan simbol kebangkitan kembali Hinduisme di Jawa dan sebuah pernyataan politik keagamaan yang megah. Pembangunannya dimaksudkan sebagai tandingan candi Buddha Borobudur dan Sewu. Dedikasi utamanya kepada Dewa Siwa (nama aslinya Siwagrha) dan kemungkinan personifikasi Raja Balitung sebagai Siwa, menunjukkan bagaimana arsitektur keagamaan monumental pada masa Jawa kuno sangat terkait erat dengan teologi politik. Skala, dedikasi, dan bahkan ikonografi dewa utama berfungsi untuk melegitimasi dinasti penguasa (Sanjaya) dan menegaskan dominasi sekte keagamaan tertentu (Saiwa) atas kepercayaan yang bersaing (Buddha Mahayana). Ini adalah pernyataan kekuasaan yang agung, baik ilahi maupun temporal, yang diukir dalam batu. Candi Prambanan telah diakui sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO sejak tahun 1991.
Candi Sukuh: Keunikan Arsitektur dan Simbolisme Kesuburan
Terletak di lereng Gunung Lawu, Karanganyar, Jawa Tengah, Candi Sukuh dibangun pada abad ke-15 Masehi, di masa akhir Kerajaan Majapahit. Candi ini memiliki desain yang sangat unik, menyerupai piramida terpancung, yang sangat berbeda dari gaya candi Jawa pada umumnya. Keunikan arsitekturnya dilengkapi dengan relief dan ornamen yang secara eksplisit menggambarkan simbol-simbol seksual dan ritual kesuburan, seperti lingga dan yoni. Reliefnya juga menceritakan mitologi Kidung Sudamala dan Garudeya.
Pembangunan Candi Sukuh pada masa kemunduran Majapahit dan bentuknya yang berbeda dari candi klasik, menunjukkan adanya penekanan kembali pada kepercayaan dan praktik pribumi yang lebih tua. Pergeseran arsitektur dan simbolisme ini mengisyaratkan bahwa seiring melemahnya otoritas politik pusat, terjadi kemunculan kembali atau penekanan ulang pada kepercayaan animisme pra-Hindu/Buddha dan praktik-praktik lokal, khususnya yang berkaitan dengan kesuburan dan pemujaan leluhur (punden berundak). Candi Sukuh dengan demikian menjadi representasi nyata dari ketahanan dan adaptasi budaya, di mana kerangka keagamaan asing diinterpretasikan ulang melalui lensa lokal yang kuat, terutama selama periode transisi masyarakat.
Candi Cetho: Candi Akhir Majapahit dengan Nuansa Kejawen
Candi Cetho terletak di lereng Gunung Lawu, Karanganyar, Jawa Tengah, dan dibangun sekitar tahun 1452-1470 Masehi pada masa pemerintahan Prabu Brawijaya V dari Kerajaan Majapahit. Candi ini memiliki arsitektur punden berundak yang mirip dengan Candi Sukuh, dengan 11 teras yang melambangkan tingkatan spiritual menuju kesempurnaan. Candi Cetho digunakan untuk ritual ruwatan dan menjadi tempat penting bagi umat Hindu serta penganut kepercayaan Kejawen untuk ziarah dan pemujaan.
Candi Penataran: Kompleks Terbesar di Jawa Timur
Candi Penataran, yang terletak di Blitar, Jawa Timur, adalah kompleks candi Hindu terbesar di Jawa Timur. Pembangunannya dilakukan secara bertahap, dimulai dari masa Kerajaan Kediri (sekitar 1200 Masehi) dan berlanjut hingga masa Kerajaan Majapahit (abad ke-15 Masehi). Candi ini terkenal dengan relief-reliefnya yang menggambarkan kisah mitologi Hindu seperti Ramayana dan Kresnayana. Candi Penataran berfungsi sebagai tempat pemujaan Dewa Siwa, pusat pendidikan agama, dan candi negara Majapahit.
Candi Dieng, Gedong Songo, Gunung Wukir, dan Candi Klero: Representasi Lainnya
- Candi Dieng: Kumpulan candi Hindu tertua di Jawa Tengah (abad ke-8/9 Masehi), didedikasikan untuk Dewa Siwa, dan dikenal dengan suasana sejuk serta pemandangan alam yang indah.
- Candi Gedong Songo: Terdiri dari sembilan candi yang tersebar di lereng Gunung Ungaran (abad ke-9 Masehi), dibangun oleh Wangsa Syailendra, dan menawarkan pemandangan alam yang menakjubkan.
- Candi Gunung Wukir: Salah satu candi Hindu tertua (abad ke-8 Masehi), merupakan bukti kejayaan Kerajaan Mataram Kuno, dan terkait dengan penemuan Prasasti Canggal.
- Candi Klero: Candi Hindu kuno di Semarang, Jawa Tengah, berukuran lebih kecil namun masih terjaga dengan baik. Candi ini memiliki bentuk berundak mirip Candi Sambisari.
Upaya Konservasi dan Pelestarian
Status Warisan Dunia UNESCO dan Implikasinya
Candi Prambanan telah diakui sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO sejak tahun 1991. Status ini membawa implikasi besar dalam hal standar konservasi dan pengakuan global terhadap nilai universal luar biasa situs tersebut. Pengakuan UNESCO mendorong upaya pelestarian yang lebih sistematis dan terencana, namun juga membawa tantangan terkait pariwisata massal dan potensi komersialisasi yang berlebihan.
Peran Lembaga Konservasi
Pelestarian candi di Indonesia dilakukan oleh lembaga pemerintah seperti Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB), yang kini disebut Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK), di bawah Kementerian Kebudayaan. Lembaga-lembaga ini bertanggung jawab atas perlindungan, pendataan, pendokumentasian, pemanfaatan, dan kemitraan dalam pelestarian cagar budaya. Contoh spesifik adalah Balai Konservasi Borobudur yang juga terlibat dalam upaya pelestarian candi-candi di sekitarnya, termasuk dalam menghadapi ancaman bencana alam.
Sejarah konservasi candi di Indonesia menunjukkan perkembangan yang signifikan. Dari penemuan awal yang seringkali diikuti oleh penjarahan dan pembongkaran yang tidak teratur pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, upaya pelestarian bergeser menuju restorasi yang lebih sistematis mulai tahun 1930-an. Hal ini berpuncak pada penerapan aturan rekonstruksi yang ketat, seperti persyaratan bahwa setidaknya 75% batu asli harus ada untuk sebuah candi direkonstruksi. Pembentukan BPCB/BPK dan pengakuan UNESCO menandai formalisasi pendekatan konservasi. Lintasan historis ini menunjukkan kematangan yang signifikan dalam pendekatan Indonesia terhadap pengelolaan warisan budaya. Dari periode pengabaian dan eksploitasi, beralih ke pengelolaan yang terstruktur dan berdasarkan ilmu pengetahuan, seringkali dipengaruhi oleh standar dan kolaborasi internasional. Evolusi ini mencerminkan peningkatan kesadaran nasional dan global akan nilai tak tergantikan dari situs-situs bersejarah ini, mendorong pengelolaan yang lebih bertanggung jawab.
Tantangan Pelestarian
Meskipun upaya pelestarian telah berkembang, berbagai tantangan masih harus dihadapi:
- Bencana Alam: Candi-candi, terutama di Jawa, rentan terhadap bencana alam seperti gempa bumi (Candi Prambanan pada 2006) dan erupsi gunung berapi (Gunung Merapi dan Kelud berdampak pada Borobudur, yang berdekatan dengan wilayah candi Hindu). Untuk menghadapi ancaman ini, prosedur operasional standar (SOP) mitigasi bencana telah disusun dan simulasi kesiapsiagaan bencana rutin dilakukan.
- Pariwisata Massal dan Komersialisasi: Terdapat kekhawatiran bahwa kebijakan yang terlalu berpihak pada pemanfaatan pariwisata dapat mengurangi fungsi konservasi. Manajemen pengunjung yang kurang optimal, pembangunan komersial di zona inti, dan kurangnya pemberdayaan masyarakat lokal dapat mengancam kelestarian situs. Ini menyoroti sebuah dilema kritis: popularitas yang membawa manfaat ekonomi dan pengakuan global bagi situs-situs ini juga menimbulkan ancaman signifikan terhadap pelestarian jangka panjangnya. Ketegangan antara eksploitasi ekonomi (pariwisata massal, komersialisasi) dan keharusan konservasi menciptakan tantangan pengelolaan yang kompleks. Tanpa kebijakan yang kuat yang mengutamakan konservasi dan keterlibatan komunitas lokal yang adil, keuntungan jangka pendek dari pariwisata dapat menyebabkan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki dan ketidaksetaraan sosial, yang pada akhirnya merusak warisan yang sedang dipromosikan.
Signifikansi Budaya dan Pariwisata Kontemporer
Candi sebagai Destinasi Wisata Sejarah dan Religi
Candi Hindu, seperti Prambanan, adalah destinasi wisata sejarah utama di Indonesia, menarik jutaan pengunjung domestik dan internasional setiap tahun. Pemerintah Indonesia telah mencanangkan Candi Prambanan sebagai pusat wisata religi Hindu dunia, dengan harapan dapat meningkatkan kontribusi devisa bagi negara dan memungkinkan wisatawan menyaksikan kegiatan peribadatan umat Hindu dan Buddha secara langsung.
Peran dalam Kehidupan Masyarakat Lokal dan Festival Budaya
Candi-candi tidak hanya berfungsi sebagai situs sejarah statis, tetapi juga tetap aktif digunakan oleh umat Hindu setempat untuk sembahyang dan upacara keagamaan. Contohnya, di Prambanan dan Cetho, umat Hindu berkumpul setiap tahun untuk upacara pada hari-hari suci seperti Galungan, Tawur Kesanga, dan Nyepi. Candi Sukuh juga sering dijadikan tempat ritual keagamaan Hindu, termasuk upacara Yadnya.
Keberadaan candi terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat lokal, seperti di Candi Klero yang terletak di tengah kebun warga dan masih menjadi tempat acara-acara lokal. Berbagai festival budaya diselenggarakan di sekitar candi, seperti Pertunjukan Balet Ramayana di Prambanan yang diadakan secara rutin di panggung terbuka dengan latar belakang candi yang megah. Festival Candi Sojiwan juga menampilkan kesenian tari dan Jathilan atau kuda lumping. Selain itu, festival Galungan dan Kuningan di Bali merupakan perayaan Hindu penting yang juga dapat disaksikan oleh wisatawan. Ini menunjukkan konsep “warisan hidup,” di mana situs-situs bersejarah terus memainkan peran dinamis dalam kehidupan budaya dan keagamaan kontemporer. Keterlibatan aktif komunitas dalam ritual dan festival mengubah struktur kuno ini menjadi ruang budaya yang hidup, memastikan relevansinya dan menumbuhkan rasa kepemilikan serta kesinambungan di kalangan penduduk lokal. Penggunaan aktif ini juga dapat berkontribusi pada pelestarian dengan mempertahankan nilai sakralnya dan mencegahnya menjadi sekadar daya tarik turis.
Dampak Pariwisata terhadap Pelestarian dan Ekonomi Lokal
Meskipun pariwisata membawa manfaat ekonomi yang signifikan, terdapat kekhawatiran bahwa kebijakan yang terlalu fokus pada pariwisata dapat mengurangi fungsi konservasi dan menimbulkan masalah seperti kerusakan situs dan manajemen pengunjung yang kurang optimal. Selain itu, peluang kerja bagi masyarakat lokal di sektor pariwisata seringkali terbatas karena kurangnya kualifikasi yang dibutuhkan, menyebabkan mereka harus mencari pekerjaan di kota. Hal ini menunjukkan perlunya pemberdayaan masyarakat lokal yang lebih serius agar manfaat pariwisata dapat terdistribusi secara lebih adil dan berkelanjutan.
Kesimpulan
Candi Hindu di Indonesia merupakan warisan peradaban yang monumental, tersebar luas terutama di Pulau Jawa, dengan Candi Prambanan sebagai puncaknya, dan juga ditemukan di Sumatra, Kalimantan, serta Bali. Arsitektur candi mencerminkan akulturasi mendalam antara tradisi India, khususnya prinsip Vastu Shastra dan kosmologi Meru, dengan kearifan lokal berupa punden berundak. Evolusi gaya arsitektur dari Jawa Tengah ke Jawa Timur juga menunjukkan dinamika budaya dan politik yang terus berkembang.
Fungsi candi sangat beragam, meliputi pemujaan dewa-dewi utama Hindu, peringatan raja (fungsi mortuari), pusat pendidikan agama, dan tempat ritual khusus seperti ruwatan dan upacara kesuburan. Keberadaan candi-candi ini menunjukkan peran sentralnya dalam kehidupan masyarakat kuno, tidak hanya sebagai tempat ibadah tetapi juga sebagai pusat kekuasaan, pengetahuan, dan legitimasi.
Upaya konservasi telah berkembang dari penemuan awal yang seringkali kacau balau menjadi pendekatan yang lebih sistematis dan ilmiah, didukung oleh lembaga nasional seperti Balai Pelestarian Kebudayaan dan pengakuan internasional seperti UNESCO. Meskipun demikian, pelestarian menghadapi tantangan signifikan dari bencana alam dan tekanan pariwisata massal yang berpotensi merusak integritas situs.
Di era kontemporer, candi-candi ini tidak hanya menjadi daya tarik wisata sejarah dan religi yang menarik jutaan pengunjung, tetapi juga tetap menjadi pusat spiritual yang hidup bagi umat Hindu. Melalui berbagai festival dan ritual keagamaan yang terus dilakukan, candi-candi ini berfungsi sebagai wadah pelestarian seni dan budaya, mengintegrasikan warisan masa lalu ke dalam kehidupan modern.
Warisan Abadi Candi Hindu bagi Indonesia
Keberadaan candi Hindu di Indonesia adalah bukti nyata kejayaan peradaban masa lalu dan fondasi identitas budaya bangsa yang kaya. Mereka adalah jendela menuju pemahaman yang lebih dalam tentang sistem kepercayaan, struktur sosial, perkembangan teknologi, dan interaksi budaya di Nusantara. Sebagai warisan abadi, candi-candi ini terus menginspirasi dan memberikan pelajaran berharga tentang sejarah, toleransi, dan adaptasi budaya.
Daftar Pustaka :
- Pelacakan Lokasi Tinggalan Hindu – Buddha Berdasarkan ROD 1914 Dan Pendekatan SIG di Wilayah Magelang – Berkala Arkeologi, accessed August 16, 2025, https://berkalaarkeologi.kemdikbud.go.id/index.php/berkalaarkeologi/article/download/508/528/2759
- Fungsi Bangunan Candi, Peninggalan Bersejarah yang Sarat Makna – Feeds Liputan6.com, accessed August 16, 2025, https://www.liputan6.com/feeds/read/5847883/fungsi-bangunan-candi-peninggalan-bersejarah-yang-sarat-makna
- Menelusuri Jejak Kerajaan Hindu Pertama di Indonesia – Metro TV, accessed August 16, 2025, https://www.metrotvnews.com/play/bmRCEDyL-menelusuri-jejak-kerajaan-hindu-pertama-di-indonesia
- Candi Prambanan – Kapanewon Prambanan Kabupaten Sleman, accessed August 16, 2025, https://prambanan.slemankab.go.id/candi-prambanan/
- Candi Penataran Blitar, Destinasi Wisata Sejarah yang Wajib …, accessed August 16, 2025, https://www.detik.com/jatim/budaya/d-7561100/candi-penataran-blitar-destinasi-wisata-sejarah-yang-wajib-dikunjungi
- Asal Usul Penemuan Candi Sukuh Peninggalan Kerajaan …, accessed August 16, 2025, https://www.liputan6.com/regional/read/5752269/asal-usul-penemuan-candi-sukuh-peninggalan-kerajaan-majapahit
- Candi Cetho: Sejarah Singkat, Lokasi, dan Informasi Tiket, accessed August 16, 2025, https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20230824113103-275-989884/candi-cetho-sejarah-singkat-lokasi-dan-informasi-tiket
- Kehidupan Religi Masyarakat Sekitar Candi Cetho Sebagai Sumber …, accessed August 16, 2025, https://jurnal.uns.ac.id/candi/article/download/72326/40030
- MAGELANG: Prasasti Canggal Candi Gunung Wukir, Tonggak Peninggalan Sejarah Indonesia – Wisata, accessed August 16, 2025, https://wisata.viva.co.id/wisata/15502-magelang-prasasti-canggal-candi-gunung-wukir-tonggak-peninggalan-sejarah-indonesia
- Menelusuri Jejak Sejarah Candi Dieng, Candi Megah di Atas Awan – Labiru Tour, accessed August 16, 2025, https://labirutour.com/blog/candi-dieng
- Kompleks Bangunan – Kompas.com, accessed August 16, 2025, https://www.kompas.com/stori/read/2021/12/28/110000279/candi-gedong-songo–sejarah-fungsi-dan-kompleks-bangunan
- SEJARAH NASIONAL! Prodi PPKn Fild Trip ke Candi Penataran …, accessed August 16, 2025, https://fkip.unisbablitar.ac.id/sejarah-nasional-prodi-ppkn-fild-trip-ke-candi-penataran/
- Candi Klero, Wisata Sejarah yang Jarang Terjamah – Travel Detik, accessed August 16, 2025, https://travel.detik.com/cerita-perjalanan/d-5929977/candi-klero-wisata-sejarah-yang-jarang-terjamah
- Fungsi Dan Keistimewaan Makna Candi Prambanan Bagi Umat Hindu Di Indonesia, accessed August 16, 2025, https://jayapanguspress.penerbit.org/index.php/JPAH/article/view/1224
- KEARIFAN LOKAL DARI SITUS CANDI NUSANTARA – Jurnal, accessed August 16, 2025, https://e-journal.nalanda.ac.id/index.php/dv/article/download/8/7
- Arsitektur Hindu Budha | PDF – Scribd, accessed August 16, 2025, https://id.scribd.com/document/411766565/arsitektur-hindu-budha
- Mengenal Keunikan Gaya Arsitektur Bangunan Candi Prambanan – Regional Liputan6.com, accessed August 16, 2025, https://www.liputan6.com/regional/read/5374891/mengenal-keunikan-gaya-arsitektur-bangunan-candi-prambanan
- Dampak Keberadaan Objek Wisata Candi Sukuh Terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat di Desa Berjo Kabupaten Karanganyar, accessed August 16, 2025, http://jurnalistiqomah.org/index.php/arima/article/view/1138/955
- Refleksi 26 Tahun Kompleks Candi Borobudur Sebagai Warisan Dunia UNESCO, accessed August 16, 2025, https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bkborobudur/refleksi-26-tahun-kompleks-candi-borobudur-sebagai-warisan-dunia-unesco/
- Konservasi vs Pariwisata Massal: Konflik Kebijakan dan TantanganBorobudur sebagai Warisan Budaya Dunia UNESCO, accessed August 16, 2025, https://scholarhub.ui.ac.id/cgi/viewcontent.cgi?article=1175&context=jvi
- Balai Pelestarian Cagar Budaya – Direktorat Jenderal Kebudayaan, accessed August 16, 2025, https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcb/
- Bincang Publik “Upaya Pelestarian Candi Borobudur melalui Konservasi”, accessed August 16, 2025, https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bkborobudur/bincang-publik-upaya-pelestarian-candi-borobudur-melalui-konservasi/
- Candi Prambanan sebagai Pusat Wisata Religi Hindu Dunia – Craddha, accessed August 16, 2025, https://craddha.com/candi-prambanan-sebagai-pusat-wisata-religi-hindu-dunia/
- Pemerintah Canangkan Candi Prambanan dan Borobudur Sebagai Tempat Ibadah Umat Hindu-Budha Sedunia | Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, accessed August 16, 2025, https://www.kemenkopmk.go.id/pemerintah-canangkan-candi-prambanan-dan-borobudur-sebagai-tempat-ibadah-umat-hindu-budha-sedunia
- FESTIVAL CANDI SOJIWAN – Kecamatan Prambanan, accessed August 16, 2025, https://prambanan.klaten.go.id/FESTIVAL-CANDI-SOJIWAN