JEJAK WARISAN KESULTANAN KOTA PINANG LABUHANBATU SELATAN:

MENGUNGKAP SENI, BUDAYA, SASTRA, DAN KULINER

Oleh : Ade Parlaungan Nasution

 

  1. Pendahuluan

 

A. Latar Belakang: Signifikansi Sejarah dan Budaya Kesultanan Kota Pinang

Kesultanan Kota Pinang, yang kini menjadi bagian integral dari Kabupaten Labuhanbatu Selatan, Sumatera Utara, merupakan sebuah entitas historis yang kaya akan warisan seni, budaya, sastra, dan kuliner. Keberadaannya, meskipun secara politis telah berakhir pada Revolusi Sosial tahun 1946, telah meninggalkan jejak peradaban Melayu yang mendalam di kawasan tersebut. Studi mengenai kesultanan ini tidak hanya penting untuk memahami sejarah lokal, tetapi juga untuk mengapresiasi kontribusi peradaban Melayu dalam lanskap budaya Indonesia. Warisan yang ditinggalkan mencakup berbagai aspek kehidupan masyarakat, mulai dari praktik sosial, ekspresi artistik, hingga tradisi kuliner yang mencerminkan adaptasi terhadap lingkungan dan interaksi dengan budaya lain.

B. Tujuan Penulisan: Mendokumentasikan dan Melestarikan Warisan Tak Benda

Laporan ini disusun dengan tujuan utama untuk menghimpun dan menganalisis secara komprehensif berbagai aspek warisan budaya Kesultanan Kota Pinang. Dengan mendokumentasikan seni, budaya, sastra, dan kuliner kesultanan, laporan ini diharapkan dapat menyediakan sumber referensi yang otoritatif bagi peneliti, akademisi, maupun masyarakat umum. Lebih jauh, upaya dokumentasi ini bertujuan untuk mendorong kesadaran akan pentingnya pelestarian warisan tak benda ini, mengingat tantangan yang dihadapi dalam menjaga kelangsungan tradisi di era modern.

C. Ruang Lingkup Pembahasan: Fokus pada Seni, Budaya, Sastra, dan Makanan

Pembahasan dalam laporan ini akan terfokus pada empat pilar utama warisan Kesultanan Kota Pinang: seni, budaya, sastra, dan makanan. Bagian seni akan mengulas seni pertunjukan dan seni rupa, termasuk kerajinan tangan yang berkembang di masa kesultanan. Aspek budaya akan mencakup struktur sosial, kehidupan sehari-hari, serta berbagai upacara dan adat istiadat penting. Sastra akan dibedah melalui tradisi lisan dan tulis yang menjadi cerminan kearifan lokal. Terakhir, bagian makanan akan mengeksplorasi bahan-bahan lokal, kuliner khas, dan filosofi di balik praktik memasak tradisional. Laporan ini berupaya menyajikan gambaran holistik tentang kehidupan budaya masyarakat Kesultanan Kota Pinang dalam rentang waktu kekuasaannya.

 

II. Sejarah dan Konteks Kesultanan Kota Pinang

A. Asal-usul dan Perkembangan Awal (Kerajaan Pinang Awan)

Kesultanan Kota Pinang, yang kemudian dikenal sebagai Kesultanan Kota Pinang, memiliki akar sejarah yang dalam sebagai Kerajaan Pinang Awan. Kerajaan ini diperkirakan berdiri sekitar tahun 1540  atau 1630 Masehi. Pendirinya adalah Sultan Batara Sinomba, yang juga dikenal dengan gelar Sultan Batara Guru Gorga Pinayungan. Beliau merupakan keturunan dari Kerajaan Pagaruyung di Minangkabau.

Salah satu peristiwa fundamental dalam pendirian kerajaan ini adalah kemampuan Sultan Batara Sinomba dalam menyelesaikan konflik. Sumber sejarah mencatat bahwa beliau berhasil mengidentifikasi dua suku besar yang pada masa itu sering bertikai di wilayah tersebut. Berkat kedatangannya, kedua suku besar tersebut berdamai dan kemudian mengangkat Batara Sinomba sebagai pemimpin mereka. Fakta ini menunjukkan bahwa fondasi kesultanan tidak hanya didasarkan pada kekuatan militer atau garis keturunan semata, melainkan juga pada kemampuan kepemimpinan mediatif yang mampu menciptakan stabilitas sosial dan konsensus di antara masyarakat yang beragam. Legitimasi awal yang diperoleh melalui resolusi konflik ini kemungkinan besar membentuk karakter awal budaya politik dan sosial kesultanan, yang menekankan harmoni dan kepemimpinan yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Hal ini dapat tercermin dalam berbagai aspek budaya lainnya, seperti adat istiadat dan sastra yang mungkin menekankan nilai-nilai persatuan atau penyelesaian perselisihan. Pusat awal kerajaan ini berlokasi di Hotang Mumuk/Pinang Awan Kampung Asamjawa, yang kini telah berkembang menjadi Desa Bunut, Kecamatan Torgamba, Kabupaten Labuhanbatu Selatan.

B. Wilayah Geografis dan Pusat Kekuasaan

Kesultanan Kota Pinang secara geografis terletak di wilayah yang saat ini menjadi Kabupaten Labuhanbatu Selatan, Sumatera Utara. Wilayah inti kesultanan berada di sekitar Sungai Barumun. Sungai ini memiliki peran vital sebagai jalur transportasi utama untuk perdagangan, memfasilitasi pergerakan barang dan orang di dalam dan di luar wilayah kesultanan.5 Saat ini, Kotapinang berfungsi sebagai ibu kota Kabupaten Labuhanbatu Selatan, menunjukkan kontinuitas signifikansi geografisnya.

Istana Bahran, sebuah istana yang megah dan menjadi simbol kemakmuran kesultanan, dibangun oleh Sultan Tengku Mustafa Makmur Perkasa Alamsyah. Namun, sejarah kesultanan ini juga ditandai dengan dinamika perpindahan pusat kekuasaan. Tercatat beberapa kali istana dipindahkan, antara lain ke Hutan Mumuk, Hadundung, dan Simarkaluang, sebelum akhirnya kembali ke Kota Pinang. Perpindahan istana ini, alih-alih menunjukkan ketidakstabilan, dapat diinterpretasikan sebagai strategi adaptasi terhadap berbagai kondisi. Faktor-faktor seperti perubahan lingkungan (misalnya, mencari lokasi yang lebih aman dari bencana alam atau ancaman eksternal), pergeseran sumber daya ekonomi, atau dinamika geopolitik, dapat mendorong keputusan ini. Fleksibilitas dalam menggeser pusat kekuasaan ini mencerminkan upaya kesultanan untuk mempertahankan pengaruh dan kekuasaannya. Dinamika geografis dan perpindahan pusat kekuasaan ini juga berpotensi memengaruhi penyebaran budaya dan seni. Setiap perpindahan dapat memicu akulturasi baru dengan masyarakat lokal di lokasi yang baru, atau sebaliknya, memperkuat identitas inti kesultanan di tengah perubahan lingkungan fisik dan sosial yang terus berlangsung.

C. Masa Kejayaan dan Dinamika Pemerintahan

Pada masa kejayaan Melayu di Sumatera Timur, Kesultanan Kotapinang diakui sebagai salah satu kesultanan terkaya. Kemakmuran ini dibuktikan dengan keberadaan Istana Kota Bahran yang cantik dan megah. Sultan Alamsyah, salah satu penguasa kesultanan, digambarkan sebagai sosok yang makmur dan perkasa, memberikan kontribusi penting bagi kesejahteraan masyarakatnya.

Sultan-sultan Kesultanan Kota Pinang dikenal karena kedermawanan mereka. Mereka sering memberikan bantuan kepada rakyatnya untuk menjamin ketersediaan pangan dan membantu mereka yang berpenghasilan rendah, misalnya dengan memberikan kupon untuk penjualan karet rakyat. Selain itu, sultan juga dikenal memperhatikan keinginan rakyatnya dengan mengadakan pesta besar dan hiburan, seperti pertunjukan tari, silat, dan ronggeng, terutama saat merayakan hari besar keagamaan. Sultan bahkan memiliki kebiasaan mengundang orang-orang berjiwa humor untuk menghibur istana dan memberikan hadiah sebagai bentuk dukungan.

Kesejahteraan yang relatif terjamin dan hiburan yang disediakan oleh istana ini menjadi pilar penting dalam legitimasi kekuasaan sultan dan kebijakan sosial kesultanan. Deskripsi mengenai kedermawanan sultan dan perhatiannya terhadap kesejahteraan rakyat, terutama dalam hal pangan dan bantuan ekonomi, menunjukkan bahwa kekayaan kesultanan tidak hanya terpusat pada elit, tetapi juga digunakan untuk menjaga stabilitas sosial dan mencegah kelaparan. Ini adalah bentuk kebijakan sosial yang kuat, yang kemungkinan besar menjadi salah satu faktor kunci dalam mempertahankan loyalitas rakyat. Model kepemimpinan yang dermawan ini menciptakan semacam “kontrak sosial” antara penguasa dan rakyat, memperkuat ikatan sosial dan legitimasi kekuasaan sultan, yang pada gilirannya memungkinkan budaya dan seni berkembang dalam lingkungan yang relatif stabil, setidaknya sebelum intervensi kolonial.

D. Pengaruh Eksternal: Interaksi dengan Islam dan Kolonial Belanda

Sejarah Kesultanan Kota Pinang tidak terlepas dari pengaruh dua kekuatan eksternal besar: Islam dan kolonialisme Belanda. Penyebaran Islam di wilayah Kesultanan Kota Pinang sangat berpengaruh terhadap sistem kepercayaan masyarakat. Proses Islamisasi ini diperintahkan oleh Sultan Tahir Indra Alam dari Kesultanan Bilah, yang memiliki hubungan leluhur dengan Pinang Awan. Hasilnya, mayoritas penduduk di wilayah Labuhanbatu menjadi pemeluk agama Islam, dan nilai-nilai Islam juga diintegrasikan ke dalam sistem pemerintahan kesultanan. Islam diterima dan diadaptasi sebagai bagian dari identitas dan struktur kesultanan, membentuk nilai-nilai budaya dan pemerintahan yang baru.

Namun, kedatangan Belanda pada tahun 1858 menandai awal kemunduran bagi Kesultanan Kota Pinang. Hal ini dimulai ketika Kerajaan Siak menandatangani kontrak politik dengan Belanda, yang menyatakan tunduknya Siak dan daerah jajahannya di Sumatera Timur kepada kekuasaan Belanda.5Pada tahun 1867, Belanda membentuk “afdeling” (divisi) di Sumatera Timur, termasuk Labuhanbatu, sebagai taktik untuk mengikat kerajaan tradisional melalui perjanjian seperti

Korte Verklaaring dan Lange Verklaaring. Kesultanan Kota Pinang terikat dalam kerja sama ini, berfungsi sebagai perantara bagi Belanda untuk mengumpulkan pajak dari perkebunan hasil bumi seperti rotan, damar, pinang, kopra, dan hasil laut yang melimpah di wilayah tersebut.

Keberhasilan Belanda dalam menguasai Labuhanbatu membawa dampak negatif yang signifikan bagi masyarakat Kota Pinang. Belanda mulai campur tangan dalam setiap urusan kerajaan, mengubah status sultan menjadi perantara yang mengeksploitasi kekayaan alam dan tenaga kerja rakyat untuk kepentingan kolonial, termasuk melalui kerja paksa dan perdagangan budak. Ini menciptakan dualisme yang kontradiktif: Islam sebagai penguat identitas budaya, dan kolonialisme sebagai kekuatan yang merusak kedaulatan dan memicu konflik internal. Keterlibatan sultan dalam eksploitasi ini merusak “kontrak sosial” yang telah dibangun dengan rakyat, menabur benih-benih ketidakpuasan yang pada akhirnya akan meledak dalam Revolusi Sosial. Ini adalah contoh klasik bagaimana kekuatan eksternal dapat memecah belah masyarakat dari dalam.

E. Akhir Kekuasaan: Revolusi Sosial 1946 dan Dampaknya

Kesultanan Kota Pinang mengalami kehancuran pada tahun 1946, tepat setelah Indonesia memperoleh kemerdekaannya, sebagai akibat dari Revolusi Sosial Sumatera Timur. Sultan terakhir, Tengku Musthafa, diculik pada malam hari dan kemudian ditemukan meninggal. Istana Bahran, simbol kemegahan kesultanan, juga dijarah dan dihancurkan hingga hanya menyisakan puing-puing.1

Revolusi ini merupakan klimaks dari ketidakadilan struktural dan pengkhianatan elit yang terakumulasi. Ketidakpuasan masyarakat telah lama tumbuh karena kaum bangsawan menguasai aktivitas masyarakat dan sistem peradilan, dengan hak atas tanah sepenuhnya dikuasai oleh Sultan. Rakyat biasa tidak memiliki fungsi dalam struktur birokrasi pemerintahan, menciptakan stratifikasi sosial yang mendalam. Meskipun sultan pada awalnya digambarkan sebagai dermawan yang memperhatikan rakyatnya , di bawah pengaruh Belanda, kekayaan kesultanan justru dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi bangsawan yang berkolaborasi dengan penjajah.

Pemicu langsung Revolusi Sosial adalah sikap dualistik penguasa kesultanan. Meskipun mereka mengibarkan bendera merah putih setelah proklamasi kemerdekaan, mereka juga menunjukkan harapan akan kembalinya kekuasaan Belanda, bahkan membentuk komite untuk menyambut kedatangan Belanda kembali. Sikap ini, ditambah dengan keengganan elit politik lokal untuk merangkul demokrasi dan terus mendukung Belanda, memicu kemarahan masyarakat lokal. Tragedi ini, yang melibatkan serangan, penjarahan harta kaum bangsawan, dan pembunuhan anggota keluarga kerajaan secara tidak manusiawi, menunjukkan ledakan akumulasi kemarahan rakyat terhadap sistem feodal yang korup dan berkolaborasi dengan penjajah. Kehancuran Kesultanan Kota Pinang pada Maret 1946 menjadi contoh tragis bagaimana kegagalan elit dalam berpihak pada rakyat dan mempertahankan kedaulatan dapat menyebabkan kehancuran total, tidak hanya secara politik tetapi juga fisik terhadap simbol-simbol kekuasaan lama seperti Istana Bahran.

Tabel 1: Garis Waktu Penting Kesultanan Kota Pinang

Tahun/Periode Peristiwa Kunci Sultan yang Berkuasa (jika relevan) Deskripsi Singkat Peristiwa
Sekitar 1540/1630 M Pendirian Kerajaan Pinang Awan (cikal bakal Kesultanan Kota Pinang) Sultan Batara Sinomba (juga dikenal sebagai Sultan Batara Guru Gorga Pinayungan) Kerajaan didirikan oleh Sultan Batara Sinomba yang berhasil mendamaikan dua suku bertikai; pusat awal di Hotang Mumuk/Pinang Awan Kampung Asamjawa.1
1858 Penandatanganan kontrak politik Kerajaan Siak dengan Belanda Kerajaan Siak dan daerah jajahannya di Sumatera Timur tunduk kepada Belanda, menandai awal kemunduran Kesultanan Kota Pinang.5
1867 Pembentukan “Afdeling” Labuhanbatu oleh Belanda Belanda membentuk divisi administratif untuk mengikat kerajaan tradisional melalui perjanjian, termasuk Kesultanan Kota Pinang.5
Tidak ditentukan Pembangunan Istana Bahran Sultan Tengku Mustafa Makmur Perkasa Alamsyah Istana megah dibangun sebagai bukti kemakmuran kesultanan.5
1903-1946 M Periode Dakwah Kesultanan Kota Pinang Sultan Makmur Perkasa Alamsyah Penelitian sejarah dakwah kesultanan, menyoroti peran Sultan Alamsyah dalam kontribusi kepada masyarakat.1
1946 Revolusi Sosial Sumatera Timur dan Kehancuran Kesultanan Sultan Tengku Musthafa Sultan terakhir diculik dan dibunuh; Istana Bahran dijarah dan dihancurkan. Revolusi dipicu ketidakpuasan rakyat terhadap bangsawan dan sikap pro-Belanda.1

 

III. Seni dalam Kehidupan Kesultanan Kota Pinang

A. Seni Pertunjukan Tradisional

Kehidupan di Kesultanan Kota Pinang diwarnai oleh beragam seni pertunjukan yang tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga sarana ekspresi budaya dan ritual. Sultan sendiri memiliki kebiasaan mengadakan pesta besar dan memberikan hiburan kepada rakyatnya, termasuk tarian, pertunjukan silat, dan ronggeng, terutama saat merayakan hari besar keagamaan. Bahkan, orang-orang dengan bakat humor diundang untuk menghibur istana dan diberi hadiah sebagai bentuk penghargaan. Hal ini menunjukkan bahwa seni pertunjukan memiliki tempat yang penting dalam kehidupan istana dan masyarakat.

Salah satu bentuk seni yang menonjol adalah Tari Endeng-endeng. Kesenian ini berasal dari Labuhan Batu Utara dan merupakan perpaduan harmonis antara Seni Berdah dari etnis Melayu dan Tor-tor Onang-onang dari Tapanuli Selatan. Perpaduan ini menciptakan identitas seni yang dinamis dan kaya, mencerminkan akulturasi budaya yang terjadi di wilayah tersebut. Fungsi utama Tari Endeng-endeng adalah sebagai tari hiburan dan sarana untuk mengungkapkan kegembiraan dalam pergaulan. Tari ini sering dipentaskan dalam berbagai acara penting seperti perkawinan, khitanan, dan aqiqah (mengayun anak). Iringan musiknya merupakan perpaduan alat musik etnis Melayu, yaitu gendang Pak Pung dan Rebana, dengan alat musik modern seperti keyboard, drum, dan gitar.

Selain itu, terdapat pula Tari Inai, sebuah tarian tradisional yang menjadi bagian integral dari upacara adat pernikahan masyarakat Melayu di Kuala Bangka, Labuhan Batu Utara. Tarian ini dilakukan setelah akad nikah dan selama prosesi tepung tawar. Secara tradisional, Tari Inai ditarikan oleh penari pria dalam jumlah genap, dengan gerakan yang menggabungkan unsur silat dan makna religius. Iringan musiknya menggunakan gendang Melayu dan kecrek. Tarian ini melambangkan penghormatan kepada pengantin, yang dianggap sebagai “raja dan ratu sehari”, serta berfungsi sebagai penolak bala dan pemberi berkah bagi pasangan yang baru menikah.

Kesenian lain yang signifikan adalah Kesenian Bordah, yang ditemukan di komunitas Melayu pesisir Labuhanbatu Utara. Bordah merupakan perpaduan syair, tari, ritual, dan musik, yang berakar dari qasidah Arab yang berisi puji-pujian dan shalawat kepada Nabi Muhammad. Kesenian ini biasanya dimainkan oleh 6 hingga 15 orang pria yang mengenakan pakaian adat Melayu yang sopan, seperti baju kurung cekak musang, sarung, dan kopyah. Fungsi Bordah sangat beragam: sebagai hiburan, pengiring tradisi, sarana komunikasi, ungkapan rasa syukur (terutama dalam pernikahan), dan media ekspresi diri. Kesenian ini juga mengandung pesan moral yang mendalam.

Kesenian-kesenian ini menunjukkan bahwa seni pertunjukan di Kesultanan Kota Pinang dan wilayah sekitarnya bukan sekadar bentuk murni, melainkan hasil dari akulturasi berbagai pengaruh, termasuk Melayu asli, Islam, dan Batak. Ini menciptakan identitas seni yang dinamis dan kaya. Lebih dari sekadar estetika, seni pertunjukan ini terintegrasi erat dengan kehidupan sosial dan keagamaan, berfungsi sebagai media untuk merayakan peristiwa penting, menyampaikan nilai-nilai moral, dan memperkuat ikatan komunitas. Kemampuan seni ini untuk menyerap dan memadukan elemen-elemen baru sambil mempertahankan inti tradisionalnya menunjukkan ketahanan budaya yang kuat, bahkan di tengah perubahan politik dan sosial yang drastis. Seni menjadi indikator vital dari interaksi dan adaptasi budaya dalam sejarah kesultanan.

B. Seni Rupa dan Kerajinan Tangan

Meskipun informasi spesifik mengenai seni rupa dan kerajinan tangan yang secara eksklusif berasal dari Kesultanan Kota Pinang terbatas, dapat diasumsikan adanya kesamaan dengan seni rupa Melayu Riau dan Sumatera Utara secara umum, mengingat kedekatan geografis dan budaya. Hal ini memungkinkan rekonstruksi gambaran umum mengenai praktik seni rupa di wilayah tersebut.

Seni Ukir Melayu Riau, yang kemungkinan besar memiliki kemiripan di Kota Pinang, sering menampilkan motif flora sebagai cerminan jiwa masyarakat Melayu. Selain itu, motif burung, kupu-kupu, dan serangga juga umum ditemukan. Ukiran-ukiran ini dapat dijumpai pada berbagai objek, seperti istana, perahu, masjid, pilar rumah, dan batu nisan. Penggunaan motif alam yang dominan dalam seni ukir menunjukkan hubungan erat masyarakat dengan lingkungannya dan nilai-nilai keselarasan dengan alam.

Aneka Anyaman juga merupakan kerajinan tangan yang telah dikenal sejak lama di Riau, termasuk anyaman pandan, bambu, dan rotan. Awalnya, anyaman ini digunakan untuk peralatan upacara adat, namun seiring waktu, berkembang menjadi komoditas ekonomi.

Tekat, sebuah kerajinan sulaman benang emas pada kain, juga merupakan bagian dari warisan seni rupa Melayu. Motif yang digunakan dalam tekat sangat beragam, meliputi bunga, kuntum, daun, buah, akar-akaran, hewan, dan elemen alam seperti awan dan gasing. Cara pembuatannya menyerupai teknik menyulam.

Arsitektur Istana Bahran merupakan bukti nyata kemegahan seni rupa dan arsitektur Kesultanan Kota Pinang.5 Namun, tragisnya, istana ini hancur total selama Revolusi Sosial 1946, menyisakan hanya puing-puing. Kehancuran ini merupakan kerugian besar bagi warisan seni rupa dan arsitektur kesultanan, menunjukkan bahwa simbol-simbol budaya material rentan terhadap gejolak sosial-politik.

Pengaruh Islam sangat mendalam dalam membentuk identitas budaya Melayu, termasuk dalam seni rupa. Hal ini terlihat pada arsitektur bangunan, di mana elemen-elemen seperti menara, kubah, dan kaligrafi menjadi ciri khas masjid dan bangunan lain. Selain itu, pengaruh Islam juga tampak pada kerajinan logam (seperti keris dan senjata), seni jahitan dan sulaman (termasuk songket dan batik), serta ukiran kayu dengan motif yang terinspirasi dari alam seperti bunga teratai dan bunga kacang. Integrasi elemen Islam ini menunjukkan bagaimana agama membentuk estetika dan identitas visual, bukan sekadar hiasan, melainkan manifestasi keyakinan dan cara pandang masyarakat. Seni rupa dan kerajinan tangan berfungsi sebagai medium non-verbal untuk menyampaikan identitas kolektif dan nilai-nilai spiritual, menjadikannya pilar penting dalam ekspresi budaya Kesultanan Kota Pinang.

 

IV. Budaya dan Adat Istiadat Masyarakat Kesultanan Kota Pinang

A. Struktur Sosial dan Kehidupan Sehari-hari

Masyarakat Kesultanan Kota Pinang diatur oleh sistem pemerintahan monarki yang menciptakan stratifikasi sosial yang jelas antara kaum bangsawan dan rakyat biasa. Dalam struktur birokrasi pemerintahan, rakyat biasa tampaknya tidak memiliki fungsi yang signifikan. Kaum bangsawan mengendalikan sebagian besar aktivitas masyarakat dan sistem peradilan, dengan hak atas tanah sepenuhnya dikuasai oleh Sultan.

Meskipun demikian, sebelum masuknya pengaruh Belanda, masyarakat Kesultanan Kota Pinang digambarkan hidup dalam keadaan aman, tertib, dan teratur.2 Sultan dikenal sebagai sosok yang dermawan, sering memberikan bantuan pangan dan hiburan kepada rakyatnya, termasuk pertunjukan tari, silat, dan ronggeng. Kedermawanan sultan ini mungkin merupakan strategi untuk menjaga stabilitas dan loyalitas rakyat dalam sistem feodal. Namun, di balik itu, terdapat ketidakadilan struktural yang mendasar, di mana kekuasaan dan sumber daya terkonsentrasi di tangan bangsawan. Kedermawanan ini mungkin hanya menutupi atau meredakan ketidakpuasan, bukan menghilangkan akar masalahnya. Akumulasi ketidakpuasan akibat ketidakadilan struktural inilah yang kemudian dieksploitasi oleh Belanda  dan menjadi pemicu utama Revolusi Sosial 1946. Ini menunjukkan bahwa meskipun ada upaya untuk menjaga harmoni sosial, fondasi masyarakat kesultanan memiliki kerentanan internal yang pada akhirnya menyebabkan keruntuhan.

Mata pencarian utama masyarakat Kesultanan Kota Pinang meliputi pertanian, dengan komoditas seperti padi, karet, kopi, dan kopra. Selain itu, Sungai Barumun yang melintasi wilayah ini menjadi sumber ikan dan udang yang melimpah, sehingga banyak masyarakat yang juga berprofesi sebagai nelayan. Perdagangan juga menjadi bagian penting dari kehidupan ekonomi masyarakat. Secara umum, masyarakat Melayu memandang hubungan sesama manusia sebagai hal yang mulia dan sangat menghargai tamu. Mereka cenderung tidak menyukai kerja kasar sebagai kuli, sebuah karakteristik yang mungkin memengaruhi interaksi mereka dengan pihak kolonial yang membutuhkan tenaga kerja paksa.

B. Upacara dan Tradisi Penting

Adat istiadat masyarakat Melayu di Kesultanan Kota Pinang secara fundamental bersendikan syariat Islam, yang tercermin dalam pemeo “adat Melayu bersendikan syaraq, syaraq bersendikan Qitabullah”. Ini berarti bahwa adat dan kebudayaan mereka berlandaskan pada ajaran Al-Quran dan nilai-nilai Islam. Frasa ini menunjukkan bahwa masyarakat Melayu secara aktif mengintegrasikan nilai-nilai Islam ke dalam struktur adat mereka, menciptakan identitas budaya yang unik. Ini bukan sekadar adopsi pasif, melainkan proses harmonisasi yang disengaja.

Salah satu tradisi penting adalah Upah-upah, yang berasal dari Rantau Prapat, Labuhan Batu. Tradisi ini merupakan hasil akulturasi budaya Batak dan Melayu, mencerminkan percampuran budaya yang terjadi akibat perluasan suku Melayu ke Provinsi Riau dan interaksi dengan suku Batak. Tujuan utama Upah-upah adalah mengembalikan ‘tondi’—kekuatan, tenaga, dan semangat jiwa—kepada individu atau kelompok yang diberikan upah-upah, guna menjaga ketegaran rohani dan jasmani. Upacara ini dilengkapi dengan jamuan, doa, dan ucapan syukur. Berdasarkan peran dan tujuannya, Upah-upah dibagi menjadi beberapa jenis: Upah-upah Hajat Tercapai, Upah-upah Sembuh Sakit, Upah-upah Selamat, dan Upah-upah Khusus (seperti khitanan, pernikahan, atau pelantikan).

Adat pernikahan Melayu di wilayah ini melibatkan berbagai tahapan dan ritual yang kaya makna. Salah satu ritual penting adalah Tari Inai, yang telah dibahas sebelumnya dalam bagian seni pertunjukan.10 Selain itu, penggunaan “pulut” (ketan) dalam upacara tepung tawar memiliki makna simbolis yang mendalam. Pulut, yang bersifat lengket, melambangkan “mengikat” atau persatuan, menunjukkan harapan akan ikatan yang kuat dan langgeng dalam pernikahan.

Peran ulama sangat sentral dalam kehidupan sosial-keagamaan masyarakat Kesultanan Kota Pinang. Ulama tidak hanya berperan dalam penyebaran Islam dan pengajaran agama (seperti tauhid, fikih, dan tarekat Naqsyabandiyah), tetapi juga sebagai pemimpin masyarakat non-formal yang disegani. Sultan sendiri sering mengundang Syekh Abdul Wahab Rokan, seorang ulama terkemuka, untuk berceramah di lingkungannya. Ulama juga berperan dalam membimbing masyarakat terkait adat istiadat, seperti dalam penentuan uang hantaran dalam pernikahan, yang meskipun merupakan adat turun-temurun, tetap memerlukan pandangan ulama agar tidak bertentangan dengan syariat.22 Harmonisasi antara adat dan syariat ini menghasilkan budaya yang tangguh dan adaptif, mampu mempertahankan inti tradisinya sambil menyerap dan mengadaptasi pengaruh baru. Ini menjelaskan mengapa banyak tradisi tetap bertahan meskipun kesultanan telah runtuh, menunjukkan bahwa budaya Melayu Kesultanan Kota Pinang adalah produk dari dialog berkelanjutan antara tradisi lokal dan ajaran Islam.

Tabel 2: Upacara dan Tradisi Khas Kesultanan Kota Pinang

Nama Upacara/Tradisi Deskripsi Singkat Fungsi/Makna (Sosial, Keagamaan, Simbolis) Keterkaitan dengan Kesultanan/Melayu Labusel
Upah-upah Upacara adat yang melibatkan jamuan, doa, dan ucapan syukur. Terbagi dalam jenis Hajat Tercapai, Sembuh Sakit, Selamat, dan Khusus (khitanan, pernikahan, pelantikan). Mengembalikan ‘tondi’ (semangat jiwa), bentuk syukur, memohon berkah, dan memperkuat ikatan sosial. Berasal dari Rantau Prapat, Labuhan Batu; hasil akulturasi budaya Batak dan Melayu.18
Tari Inai Tarian tradisional yang ditarikan oleh penari pria dalam upacara pernikahan, menggabungkan silat dan makna religius. Penghormatan kepada pengantin (raja/ratu sehari), penolak bala, pemberi berkah, dan simbol persatuan. Bagian dari adat pernikahan Melayu di Labuhan Batu Utara; diiringi gendang Melayu dan kecrek.10
Kesenian Bordah Perpaduan syair (qasidah Arab), tari, ritual, dan musik, dibawakan oleh kelompok pria dengan pakaian adat Melayu. Hiburan, pengiring tradisi, sarana komunikasi, ungkapan syukur, ekspresi diri, dan penyampaian pesan moral. Ditemukan di komunitas Melayu pesisir Labuhanbatu Utara, berakar dari puji-pujian Nabi Muhammad.11
Penggunaan Pulut (Ketan) dalam Pernikahan Nasi ketan yang disajikan dalam upacara adat pernikahan, khususnya tepung tawar. Melambangkan “mengikat” atau persatuan yang kuat dan langgeng bagi pasangan pengantin. Bagian dari adat pernikahan Melayu, menunjukkan filosofi di balik pemilihan bahan makanan dan pengolahannya dalam konteks ritual.19
Peran Ulama dalam Kehidupan Sosial Ulama sebagai pemimpin non-formal yang menyebarkan Islam, mengajarkan agama, dan membimbing masyarakat dalam adat istiadat. Menjaga harmoni antara adat dan syariat Islam, memberikan legitimasi religius pada praktik sosial, dan membimbing masyarakat. Ulama diundang oleh sultan untuk berceramah, berperan dalam penyebaran Islam di Kesultanan Kota Pinang dan sekitarnya.20

 

V.Sastra: Cerminan Jiwa dan Kearifan Lokal

A. Sastra Lisan: Warisan Naratif Turun-temurun

Masyarakat Labuhanbatu Selatan, termasuk wilayah bekas Kesultanan Kota Pinang, memiliki kekayaan sastra lisan yang diwariskan secara turun-temurun dalam dialek Melayu Bilah-Panai. Dialek ini memiliki ciri khas pengucapan huruf [r] secara sengau menjadi [gh]. Keunikan lain dari dialek ini adalah fungsinya sebagai

basantara (lingua franca) bagi masyarakat multietnis di Labuhanbatu, termasuk etnis Jawa, Batak (Toba dan Angkola-Mandailing), serta Minangkabau. Hal ini menunjukkan peran sastra lisan dalam memfasilitasi interaksi antar kelompok etnis dan memperkuat kohesi sosial.

Jenis-jenis sastra lisan yang ditemukan sangat beragam, meliputi cerita biasa (tales), mitos, legenda, epik, cerita tutur, ungkapan, nyanyian, peribahasa, teka-teki, puisi lisan, dan drama lisan. Sastra lisan ini tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga mengandung amanat, pesan moral, dan nilai-nilai yang sangat relevan dengan kehidupan masyarakat.

Beberapa contoh cerita rakyat yang populer dari wilayah ini mencakup:

  • Pilandok Takial-kial: Sebuah kisah tentang seorang pemuda miskin yang pemalu, jatuh cinta, dan usahanya dalam bertani digagalkan oleh seekor kancil. Cerita ini menggambarkan perjuangan hidup dan mungkin mengajarkan tentang ketekunan atau penerimaan takdir.
  • Aji Kahar: Narasi mengenai seorang haji yang memiliki kekuatan mistis dan seekor buaya penjaga. Kisah ini juga menyoroti pantangannya terhadap air kelapa dan kebiasaan hidup sehatnya. Cerita ini mungkin mengandung unsur kepercayaan lokal dan nilai-nilai spiritual.
  • Sikantan: Legenda tragis tentang seorang anak durhaka yang menjadi kaya raya namun tidak mengakui ibunya yang miskin, dan akhirnya kapalnya tenggelam menjadi Pulau Sikantan. Cerita ini berfungsi sebagai pengajaran moral yang kuat tentang pentingnya berbakti kepada orang tua.
  • Ikan Teghubok: Mengisahkan tentang ikan terubuk yang unik di Sungai Barumun, menyoroti pentingnya sungai ini sebagai sumber mata pencarian lokal. Cerita ini mencerminkan hubungan erat masyarakat dengan lingkungan alamnya.
  • Raja Sulung: Kisah seorang pangeran yang terikat oleh sistem kasta, jatuh cinta pada rakyat biasa, dan mengakhiri hidupnya tanpa menikah setelah membuang seruling ajaibnya karena putus asa. Cerita ini menyoroti konflik antara cinta dan tradisi sosial yang kaku.
  • Tengku Raden: Cerita tentang seorang panglima setia yang dikhianati oleh raja dan kekasihnya, serta asal usul larangan penggunaan tudung saji dalam konteks tertentu sebagai pengingat tragedi. Kisah ini mencerminkan dinamika kekuasaan, kesetiaan, dan akibat pengkhianatan.
  • Asal Muasal Labuhanbatu: Legenda yang menjelaskan asal nama Labuhanbatu dari “Pelabuhan Batu,” tempat pendaratan Belanda yang kemudian menjadi pusat aktivitas. Ini adalah contoh bagaimana cerita lisan menjelaskan toponimi dan sejarah lokal.
  • Asal Muasal Kotapinang: Menceritakan asal usul Kesultanan Kota Pinang dari Kerajaan Pinang Awan yang didirikan oleh Sultan Batara Sinomba.

Sastra lisan ini berfungsi sebagai ensiklopedia budaya dan penjaga memori kolektif. Dalam masyarakat yang belum memiliki sistem tulis yang dominan atau yang sangat bergantung pada tradisi oral, sastra lisan menjadi media utama untuk transmisi pengetahuan, sejarah, dan nilai-nilai. Cerita-cerita ini tidak hanya menghibur, tetapi juga mendidik, memperkuat norma sosial, menjelaskan fenomena alam, dan membentuk identitas kolektif. Kemampuannya sebagai lingua franca juga menunjukkan perannya dalam memfasilitasi interaksi antar kelompok etnis. Keberadaan dan kekayaan sastra lisan ini menunjukkan bahwa masyarakat Kesultanan Kota Pinang memiliki sistem pengetahuan dan kearifan lokal yang kompleks, yang diwariskan secara turun-temurun. Sastra lisan ini adalah “ensiklopedia hidup” yang menyimpan memori kolektif dan pandangan dunia masyarakat, menjadikannya kunci untuk memahami budaya mereka secara mendalam. Pelestariannya sangat krusial mengingat potensi hilangnya warisan tak benda ini.

B.Sastra Tulis: Perkembangan dan Pengaruh Islam

Pengaruh Islam sangat krusial dalam membentuk identitas budaya Melayu, termasuk dalam perkembangan sastra tulis. Dengan masuknya Islam, sastra tulis diislamkan dan digunakan secara efektif sebagai media dakwah. Transformasi ini mengubah fungsi sastra dari sekadar hiburan atau catatan sejarah menjadi alat yang kuat untuk menyebarkan ajaran agama.

Naskah-naskah keagamaan, hikayat, dan syair menjadi bentuk utama sastra tulis yang digunakan untuk menyampaikan ajaran Islam, petuah, nasihat, serta kisah-kisah para nabi dan auliya (orang-orang saleh). Ini menunjukkan bahwa agama tidak hanya mempengaruhi konten, tetapi juga tujuan dan penyebaran karya sastra. Aksara Jawi, yang merupakan adaptasi dari aksara Arab, digunakan secara luas dalam penulisan naskah-naskah ini. Selain untuk menyalin Al-Quran dan teks-teks agama, aksara Jawi juga digunakan untuk dokumen-dokumen resmi seperti korespondensi, notulen rapat, hibah tanah, akta kelahiran, dan perjanjian. Penggunaan aksara Jawi ini adalah bukti visual dari pengaruh Islam yang mendalam, tidak hanya dalam aspek keagamaan tetapi juga dalam administrasi dan kehidupan sehari-hari masyarakat.

Peran ganda sastra tulis sebagai media dakwah dan dokumentasi resmi menunjukkan tingkat literasi dan organisasi yang berkembang di bawah pengaruh Islam. Namun, ironisnya, banyak karya sastra Melayu lama, termasuk naskah buku dan surat, telah musnah ditelan zaman dan peperangan. Kehancuran fisik Istana Bahran dan penjarahan harta kerajaan selama Revolusi Sosial 1946  menyiratkan bahwa banyak naskah berharga mungkin juga telah hilang dalam peristiwa tersebut. Kondisi ini meninggalkan kesenjangan signifikan dalam pemahaman kita tentang sastra tulis Kesultanan Kota Pinang, dan menekankan urgensi upaya pelestarian yang lebih intensif terhadap sisa-sisa warisan ini.

 

VI. Makanan: Cita Rasa Warisan Kesultanan

A. Bahan Makanan Lokal dan Pemanfaatan Sumber Daya Alam

Wilayah Kesultanan Kota Pinang diberkahi dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, yang secara langsung memengaruhi keanekaragaman dan karakteristik kuliner khasnya. Sungai Barumun yang mengalir di wilayah ini merupakan sumber utama ikan dan udang, yang menjadi mata pencarian penting bagi sebagian penduduk. Selain itu, masyarakat juga aktif dalam sektor pertanian, menghasilkan komoditas seperti padi, karet, kopi, dan kopra. Sumber daya hutan dan perkebunan juga menyediakan bahan-bahan seperti rotan, damar, dan pinang, yang tidak hanya menjadi komoditas perdagangan tetapi juga bahan baku dalam kehidupan sehari-hari.

Pemanfaatan bahan-bahan lokal ini sangat kentara dalam kuliner khas Kesultanan Kota Pinang. Misalnya, pucuk rotan muda yang dikenal sebagai “pakkat” diolah menjadi lalapan atau hidangan “anyang”. Ikan terubuk, yang melimpah di Sungai Barumun, menjadi bahan utama dalam hidangan “anyang terubuk”.Kuliner Kesultanan Kota Pinang secara langsung mencerminkan kekayaan ekologis dan aktivitas ekonomi masyarakatnya. Ketergantungan pada hasil sungai dan hutan menunjukkan adaptasi yang cerdas terhadap lingkungan geografis. Hal ini mengindikasikan bahwa makanan bukan hanya kebutuhan dasar, tetapi juga ekspresi langsung dari hubungan masyarakat dengan alam dan mata pencarian mereka. Pemanfaatan sumber daya lokal dalam kuliner menunjukkan sistem pangan yang berkelanjutan dan kearifan lokal dalam mengolah apa yang tersedia. Namun, perlu dicatat bahwa beberapa sumber daya ini, seperti rotan dan kelapa sawit, kemudian menjadi target eksploitasi kolonial , yang mungkin mengubah pola konsumsi atau akses masyarakat terhadap bahan makanan tradisional tertentu seiring waktu.

B. Kuliner Khas Kesultanan Kota Pinang

Kuliner Kesultanan Kota Pinang menampilkan perpaduan cita rasa yang unik, mencerminkan kekayaan bahan lokal dan kearifan tradisional dalam pengolahannya. Beberapa hidangan khas yang menonjol antara lain:

  • Gulai Asam Ikan Baung: Hidangan ini merupakan kebanggaan masyarakat Labuhanbatu, Kota Pinang. Menggunakan ikan baung segar yang diolah dengan rempah alami, gulai ini dikenal memiliki cita rasa yang sangat menggugah selera. Keistimewaan ikan baung menjadikan hidangan ini menu istimewa yang mudah ditemukan di warung-warung lokal.
  • Holat: Masakan tradisional ini dulunya merupakan favorit para raja Tapanuli Selatan. Holat terbuat dari ikan mas bakar yang dicampur dengan berbagai rempah-rempah pilihan. Selain cita rasanya yang gurih dan sedap, Holat juga diyakini masyarakat memiliki khasiat untuk meningkatkan nafsu makan dan bahkan menyembuhkan berbagai penyakit seperti darah tinggi, asam urat, rematik, dan malaria.
  • Pakkat Lalapan Pahit: Hidangan ini memanfaatkan pucuk rotan muda (pakkat) yang memiliki tekstur lunak. Sebelum dikonsumsi, pakkat dibakar hingga kulit luarnya gosong, lalu dikupas dan dimakan sebagai lalapan pendamping makanan lain seperti sambal hijau. Pakkat memiliki rasa kelat dan sedikit pahit. Selain sebagai lalapan, pakkat juga diolah menjadi “anyang,” yaitu pakkat bakar yang dicampur dengan kelapa parut sangrai, santan, dan jantung pisang.
  • Kue Ulame: Kue manis ini memiliki kemiripan dengan dodol. Bahan dasarnya adalah perasan kelapa dan air (kata “ulame” sendiri berarti kelapa dalam bahasa Mandailing). Proses pembuatannya masih dilakukan secara tradisional dan membutuhkan waktu yang cukup lama, sekitar 5 jam.
  • Deram-deram: Kue tradisional berbentuk donat ini terbuat dari tepung beras dan gula merah, menghasilkan cita rasa manis dan legit. Deram-deram dikenal telah ada sejak zaman Kesultanan Melayu.
  • Tepung Gomak: Kue ini dibuat dari tepung kacang hijau dengan isian gula merah, santan, dan kelapa parut. Biasanya, camilan ini dihidangkan saat perayaan hari-hari penting atau sebagai teman minum teh.
  • Ikan Mas Bakar Madu dan Udang Goreng Madu: Hidangan-hidangan ini menunjukkan preferensi rasa manis dalam kuliner lokal. Ikan mas dan udang digoreng atau dibakar dengan bumbu manis, menjadi hidangan yang populer di Labuhanbatu Selatan.

Beberapa hidangan ini, seperti Holat yang disebut “makanan khas dari Raja Tapanuli Selatan dahulu” dan “menu makanan yang istimewa” , menunjukkan bahwa kuliner juga berfungsi sebagai penanda status sosial. Makanan tidak hanya memenuhi kebutuhan gizi, tetapi juga memiliki fungsi simbolis dalam perayaan, ritualistik, dan bahkan dipercaya memiliki khasiat obat. Ini menunjukkan bahwa kuliner di Kesultanan Kota Pinang adalah bagian integral dari sistem sosial dan kepercayaan masyarakat, di mana makanan menjadi medium untuk mengekspresikan status, merayakan peristiwa penting, dan memelihara kesehatan, mencerminkan pandangan holistik terhadap makanan yang melampaui sekadar kebutuhan fisik.

Tabel 3: Kuliner Khas Kesultanan Kota Pinang

Nama Hidangan Bahan Utama Metode Memasak Khas Ciri Rasa/Tekstur Signifikansi Budaya/Sosial
Gulai Asam Ikan Baung Ikan baung, rempah alami Gulai (direbus dengan santan dan rempah) Menggugah selera, asam, gurih Kebanggaan masyarakat Kota Pinang, menu istimewa.35
Holat Ikan mas bakar, rempah Dibakar, dicampur rempah Gurih, sedap, khas Makanan favorit raja-raja Tapanuli Selatan, diyakini berkhasiat obat.35
Pakkat Lalapan Pahit Pucuk rotan muda Dibakar, dikupas, dimakan mentah sebagai lalapan atau diolah menjadi anyang Kelat, sedikit pahit, empuk Pemanfaatan sumber daya alam lokal, bagian dari lalapan atau anyang.35
Kue Ulame Perasan kelapa, air Proses tradisional yang rumit dan memakan waktu Manis, legit, mirip dodol Kue tradisional, “ulame” berarti kelapa dalam bahasa Mandailing.36
Deram-deram Tepung beras, gula merah Digoreng (bentuk donat) Manis, legit Kue tradisional sejak zaman Kesultanan Melayu.39
Tepung Gomak Tepung kacang hijau, gula merah, santan, kelapa parut Dibuat kue, dihidangkan Manis, gurih Camilan untuk perayaan hari penting atau teman minum teh.39
Ikan Mas Bakar Madu Ikan mas, bumbu manis madu Dibakar Manis, gurih Menunjukkan preferensi rasa manis di kuliner lokal.36
Udang Goreng Madu Udang, bumbu manis madu Digoreng Manis, gurih Menunjukkan preferensi rasa manis di kuliner lokal.36

 

C. Metode Memasak Tradisional dan Filosofi Kuliner

Metode memasak tradisional di Kesultanan Kota Pinang tidak hanya didasarkan pada teknik kuliner semata, tetapi juga pada kearifan lokal, kepercayaan, dan simbolisme budaya. Penggunaan rempah alami merupakan ciri khas dalam banyak hidangan, seperti Gulai Asam Ikan Baung, yang mengandalkan perpaduan rempah untuk menciptakan cita rasa yang kaya. Teknik pembakaran juga umum digunakan, seperti pada Pakkat dan Ikan Mas Bakar Madu, yang memberikan karakteristik rasa dan tekstur yang khas.

Salah satu aspek yang paling menarik adalah pengolahan makanan yang didasarkan pada kepercayaan lokal. Contohnya adalah Anyang Terubuk, di mana ikan terubuk tidak dimasak dengan api karena adanya kepercayaan masyarakat bahwa ikan tersebut hanya mengonsumsi keladi, padi, dan buah sungai. Ini menunjukkan bahwa kuliner adalah ekspresi budaya yang kompleks, di mana setiap bahan dan proses dapat memiliki makna yang lebih dalam, terutama dalam konteks ritual atau perayaan.

Filosofi kuliner juga tercermin dalam penggunaan bahan-bahan tertentu dalam upacara adat. Misalnya, penggunaan “pulut” (ketan) dalam upacara tepung tawar pada pernikahan melambangkan “mengikat” atau persatuan. Sifat lengket pulut secara simbolis diartikan sebagai harapan agar ikatan pernikahan menjadi kuat dan langgeng. Filosofi ini mencerminkan pandangan dunia masyarakat Kesultanan Kota Pinang yang holistik, di mana makanan adalah bagian dari jalinan kehidupan yang lebih besar, terhubung dengan alam, spiritualitas, dan hubungan sosial.

Secara umum, masakan Melayu dicirikan oleh penggunaan rempah yang banyak, santan sebagai bahan utama, rasa pedas, daging yang direbus dengan kuah kental, serta ikan dan makanan laut yang dibumbui dengan kunyit. Ciri-ciri ini juga berlaku untuk kuliner di Kesultanan Kota Pinang, menunjukkan keselarasan dengan tradisi kuliner Melayu yang lebih luas. Tradisi kuliner ini adalah repositori kearifan lokal yang perlu didokumentasikan dan dilestarikan.

 

VII. Kesimpulan dan Rekomendasi Pelestarian

  1. Ringkasan Komprehensif Warisan Budaya Kesultanan Kota Pinang

Kesultanan Kota Pinang, dari asal-usulnya sebagai entitas pembawa perdamaian yang didirikan oleh Sultan Batara Sinomba hingga keruntuhannya yang tragis akibat Revolusi Sosial 1946, telah meninggalkan warisan budaya yang kaya dan kompleks.Sejarahnya menunjukkan fondasi yang kuat dalam mediasi konflik dan kepemimpinan yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat, meskipun kemudian terjadi pergeseran akibat intervensi kolonial.

Warisan seni kesultanan mencakup seni pertunjukan yang akulturatif, seperti Tari Endeng-endeng yang memadukan elemen Melayu dan Batak, serta Kesenian Bordah yang berakar pada tradisi Islam. Seni rupa dan kerajinan tangan, meskipun informasinya terbatas, menunjukkan pengaruh Islam yang mendalam pada arsitektur (seperti Istana Bahran yang kini tinggal puing) dan motif-motif alam dalam ukiran dan anyaman.

Adat istiadat masyarakatnya mencerminkan harmonisasi antara syariat Islam dan tradisi lokal, seperti terlihat dalam tradisi Upah-upah dan penggunaan pulut dalam pernikahan, dengan ulama memainkan peran sentral sebagai penjaga nilai-nilai. Sastra lisan, dengan beragam cerita rakyatnya, berfungsi sebagai ensiklopedia hidup yang menyimpan memori kolektif dan kearifan lokal, sementara sastra tulis menjadi pilar dakwah dan dokumentasi peradaban Islam-Melayu. Terakhir, kuliner kesultanan, dengan hidangan khas seperti Gulai Asam Ikan Baung dan Holat, tidak hanya mencerminkan ekologi dan ekonomi lokal, tetapi juga memiliki fungsi simbolis, ritualistik, dan bahkan dipercaya memiliki khasiat obat. Semua elemen ini secara kolektif membentuk identitas unik masyarakat Kesultanan Kota Pinang.

A. Tantangan Pelestarian di Era Modern

Meskipun kaya akan warisan, pelestarian budaya Kesultanan Kota Pinang menghadapi berbagai tantangan signifikan di era modern. Kehancuran fisik situs-situs penting seperti Istana Bahran selama Revolusi Sosial 1946 merupakan kerugian besar yang tidak dapat diperbaiki. Selain itu, terdapat potensi hilangnya naskah-naskah kuno yang mungkin musnah ditelan zaman dan peperangan, meninggalkan kesenjangan dalam pemahaman sastra tulis kesultanan.34

Perkembangan zaman dan modernisasi juga mengancam kelangsungan tradisi lisan dan seni pertunjukan. Kurangnya minat generasi muda dalam mempelajari dan mempraktikkan seni dan tradisi leluhur menjadi masalah serius. Jika tidak ada upaya sistematis, banyak dari warisan tak benda ini berisiko punah seiring berjalannya waktu.

B. Rekomendasi Strategi Pelestarian dan Promosi Budaya

Untuk memastikan warisan budaya Kesultanan Kota Pinang tetap hidup dan relevan bagi generasi mendatang, diperlukan strategi pelestarian dan promosi yang komprehensif dan terkoordinasi:

  • Dokumentasi dan Digitalisasi: Melakukan penelitian lebih lanjut secara mendalam untuk mendokumentasikan secara rinci seluruh aspek seni, budaya, sastra lisan dan tulis, serta kuliner yang belum terdata sepenuhnya. Upaya digitalisasi naskah-naskah kuno yang tersisa, rekaman tradisi lisan, dan video pertunjukan seni sangat krusial untuk mencegah kehilangan informasi.
  • Revitalisasi dan Edukasi: Mengadakan program revitalisasi yang melibatkan pelatihan dan lokakarya untuk seni pertunjukan dan kerajinan tangan tradisional. Penting juga untuk mengintegrasikan materi sejarah dan budaya Kesultanan Kota Pinang ke dalam kurikulum pendidikan lokal, mulai dari tingkat dasar hingga menengah, guna menumbuhkan kesadaran dan minat generasi muda.
  • Pariwisata Budaya Berkelanjutan: Mengembangkan potensi pariwisata berbasis sejarah dan budaya dengan fokus pada situs-situs yang tersisa, seperti Masjid Raya Kotapinang dan puing-puing Istana Bahran, sebagai destinasi edukasi. Promosi kuliner khas melalui festival makanan atau restoran tematik juga dapat menarik wisatawan dan mendukung ekonomi lokal.
  • Kolaborasi Komunitas: Mendorong partisipasi aktif masyarakat lokal, terutama generasi muda dan keturunan bangsawan, dalam upaya pelestarian. Pembentukan sanggar seni, kelompok studi sastra, dan komunitas kuliner dapat menjadi wadah untuk praktik, pembelajaran, dan transmisi pengetahuan tradisional.
  • Dukungan Kebijakan Pemerintah: Mendorong pemerintah daerah untuk mengeluarkan kebijakan yang mendukung pelestarian cagar budaya dan warisan tak benda. Ini mencakup alokasi dana yang memadai untuk program-program pelestarian, perlindungan hukum terhadap situs-situs bersejarah, dan pengakuan resmi terhadap para pelaku seni dan budayawan tradisional.

Melalui upaya kolektif dan berkelanjutan, warisan Kesultanan Kota Pinang dapat terus hidup, menjadi sumber inspirasi, dan berkontribusi pada kekayaan budaya nasional.

Karya yang dikutip

  1. Sejarah Dakwah Kesultanan Kota Pinang – Innovative: Journal Of Social Science Research, diakses Juni 15, 2025, https://j-innovative.org/index.php/Innovative/article/download/2744/2149
  2. Revolusi Sosial Sumatera Timur Di Kesultanan Kota Pinang Tahun 1946 – Innovative: Journal Of Social Science Research, diakses Juni 15, 2025, https://j-innovative.org/index.php/Innovative/article/download/10848/8407/20604
  3. Sejarah Kesultanan Bilah pada Masa Kolonial Belanda, 1865-1942, diakses Juni 15, 2025, https://mahesainstitute.web.id/ojs2/index.php/warisan/article/download/1215/712
  4. sejarah – Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu Selatan, diakses Juni 15, 2025, https://www.labuhanbatuselatankab.go.id/sejarah
  5. BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Pada masa kejayaan melayu di Sumatra Timur, Kesultanan Kotapinang merupakan suatu diantara, diakses Juni 15, 2025, https://digilib.unimed.ac.id/id/eprint/19993/8/8.%20NIM.%203123321019_BAB%20I.pdf
  6. Kota Pinang, Labuhanbatu Selatan – m.kodepos.nomor.net, diakses Juni 15, 2025, https://m.nomor.net/_kodepos.php?_i=republik-indonesia&id=41893
  7. Kabupaten Labuhanbatu Selatan – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, diakses Juni 15, 2025, https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Labuhanbatu_Selatan
  8. (PDF) Sejarah Kesultanan Bilah pada Masa Kolonial Belanda, 1865 …, diakses Juni 15, 2025, https://www.researchgate.net/publication/362610103_Sejarah_Kesultanan_Bilah_pada_Masa_Kolonial_Belanda_1865-1942
  9. TARI ENDENG-ENDENG PADA MASYARAKAT LABUHAN BATU …, diakses Juni 15, 2025, http://download.garuda.kemdikbud.go.id/article.php?article=2724968&val=24778&title=TARI%20ENDENG-ENDENG%20PADA%20MASYARAKAT%20LABUHAN%20BATU%20UTARA%20Efriani%20Sahriana%20Rambe
  10. tradisi tari inai dalam upacara adat pernikahan masyarakat melayu …, diakses Juni 15, 2025, http://repository.uinsu.ac.id/12111/1/RIAH%20HASIBUAN-dikonversi.pdf
  11. BORDAH ART AS LOCAL WISDOM IN COASTAL MALAY COMMUNITIES IN LABUHAN BATU REGENCY Kesenian Bordah Sebagai Kearifan Lokal pada Masy, diakses Juni 15, 2025, https://www.conference.unja.ac.id/ICMI/article/download/103/88/203
  12. MAKALAH Budaya Melayu Seni Rupa Dan Seni Sastra | PDF | Kajian Bahasa Asing – Scribd, diakses Juni 15, 2025, https://id.scribd.com/document/512224565/MAKALAH-Budaya-melayu-Seni-rupa-dan-seni-sastra
  13. Pengurusan Kesenian Islam Di Dalam Kebudayaan Melayu | PDF, diakses Juni 15, 2025, https://id.scribd.com/doc/185384443/Pengurusan-Kesenian-Islam-di-dalam-Kebudayaan-Melayu
  14. Kerajinan Melayu Riau | PDF – Scribd, diakses Juni 15, 2025, https://id.scribd.com/document/576590913/KERAJINAN-MELAYU-RIAU
  15. Sejarah Dan Pengaruh Senibina-Libre | PDF | Seni – Scribd, diakses Juni 15, 2025, https://id.scribd.com/doc/227596201/Sejarah-Dan-Pengaruh-Senibina-libre
  16. BUNGA RAMPAI CERITA RAKYAT LABUHANBATU – Repositori …, diakses Juni 15, 2025, https://repositori.kemendikdasmen.go.id/16126/1/BUNGA-RAMPAI-CERITA-RAKYAT-LABUHANBATU-DALAM-TIGA-BAHASA.pdf
  17. sistem pengendalian sosial tradisional masyarakat melayu 01 sumatera utara – Repositori Kemdikbud, diakses Juni 15, 2025, https://repositori.kemdikbud.go.id/12392/1/Sistem%20Pengendalian%20Sosial%20Tradisional%20Masyarakat%20Melayu%20di%20Sumatra%20Utara.pdf
  18. Mengenal Tradisi Upah-Upah, Bentuk Ucapan Syukur Masyarakat …, diakses Juni 15, 2025, https://www.merdeka.com/sumut/mengenal-upah-upah-tradisi-untuk-bersyukur-asal-sumatra-utara-16066-mvk.html
  19. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian 1. Sejarah Singkat Labuhan Bilik merupakan salah satu kelurahan y – Repository UIN Sumatera Utara, diakses Juni 15, 2025, http://repository.uinsu.ac.id/24169/5/BAB_4%20%282%29.pdf
  20. (PDF) MAKALAH SEJARAH PERADABAN ISLAM Tentang ULAMA-ULAMA DI RIAU, diakses Juni 15, 2025, https://www.researchgate.net/publication/338066676_MAKALAH_SEJARAH_PERADABAN_ISLAM_Tentang_ULAMA-ULAMA_DI_RIAU
  21. PERANAN ULAMA DALAM PERKEMBANGAN ISLAM DI OGAN ILIR | Padila – Jurnal Raden Fatah, diakses Juni 15, 2025, https://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/tamaddun/article/download/155/140/300
  22. penentuan uang hantaran berdasarkan status boru (anak – Jurnal Universitas Islam Malang, diakses Juni 15, 2025, https://riset.unisma.ac.id/index.php/JAS/article/download/23594/16956/75875
  23. Bahasa Melayu Labuhanbatu – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, diakses Juni 15, 2025, https://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Melayu_Labuhanbatu
  24. Tradisi Lisan Sumur Tua Daerah Labuhan Batu Utara Fina Mardiana Nasution1, Rosmawaty Harahap2, Elly Prihasti Wuriyani3, diakses Juni 15, 2025, https://www.jurnal.medanresourcecenter.org/index.php/PED/article/download/354/282
  25. BUNGA RAMPAI CERITA RAKYAT LABUHANBATU – Repositori Kemdikbud, diakses Juni 15, 2025, https://repositori.kemdikbud.go.id/16126/1/BUNGA-RAMPAI-CERITA-RAKYAT-LABUHANBATU-DALAM-TIGA-BAHASA.pdf
  26. Legenda Asal Usul Pulau Sikantan di Sumatra Utara, Hukuman Anak yang Durhaka kepada Orang Tua – Good News From Indonesia, diakses Juni 15, 2025, https://www.goodnewsfromindonesia.id/2024/11/15/legenda-asal-usul-pulau-sikantan-di-sumatra-utara-hukuman-anak-yang-durhaka-kepada-orang-tua
  27. diakses Januari 1, 1970, https://repositori.kemendikbud.go.id/16126/1/BUNGA-RAMPAI-CERITA-RAKYAT-LABUHANBATU-DALAM-TIGA-BAHASA.pdf
  28. THE HISTORY OF SULTANATE BILAH AT LABUHANBATU REGENCY SUMATERA UTARA PROVINCE YEAR 1630-1945 – Neliti, diakses Juni 15, 2025, https://media.neliti.com/media/publications/186327-ID-sejarah-kesultanan-bilah-kabupaten-labuh.pdf
  29. Sejarah Kerajaan Kampung Raja di Desa Tanjung Medan, Kecamatan Kampung Rakyat, Kabupaten Labuhanbatu Selatan – Briliant: Jurnal Riset dan Konseptual, diakses Juni 15, 2025, https://jurnal.unublitar.ac.id/index.php/briliant/article/view/1630/pdf
  30. ragam hias sebagai identitas budaya kabupaten labuhanbatu – ResearchGate, diakses Juni 15, 2025, https://www.researchgate.net/publication/371218794_RAGAM_HIAS_SEBAGAI_IDENTITAS_BUDAYA_KABUPATEN_LABUHANBATU
  31. JAS MERAH (Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah), diakses Juni 15, 2025, http://repo.uinsyahada.ac.id/549/1/SUMBER%20BELAJAR%20PKN%20SD%20MI%20JAS%20mERAH.pdf
  32. Cikal Bakal Lahirnya Kabupaten Labuhanbatu, Ini Sejarah Kesultanan Bilah – Merdeka.com, diakses Juni 15, 2025, https://www.merdeka.com/sumut/sejarah-kesultanan-bilah-cikal-bakal-lahirnya-kabupaten-labuhanbatu.html
  33. Cerita Legenda Pencari Emas dan Langsat Yang Hilang Secara Misterius di Torpis Labuhan Batu – Realita Rakyat, diakses Juni 15, 2025, https://realitarakyat.com/2021/11/cerita-legenda-pencari-emas-dan-langsat-yang-hilang-secara-misterius-di-torpis-labuhan-batu/
  34. Sastera Malaysia – Wikipedia Bahasa Melayu, ensiklopedia bebas, diakses Juni 15, 2025, https://ms.wikipedia.org/wiki/Sastera_Malaysia
  35. Kuliner Khas Dari Kota Pinang | LancangKuning, diakses Juni 15, 2025, https://lancangkuning.com/post/6664/kuliner-khas-dari-kota-pinang.html
  36. 7 Jenis Makanan Khas Favorit Labuhanbatu Selatan | IDN Times Sumut, diakses Juni 15, 2025, https://sumut.idntimes.com/food/dining-guide/7-jenis-makanan-khas-favorit-labuhanbatu-selatan-yang-wajib-dicoba-00-jb8x5-153k9m
  37. Kuliner Khas Labuhanbatu – IDN Times, diakses Juni 15, 2025, https://www.idntimes.com/food/diet/kuliner-khas-labuhanbatu-c1c2-01-5ltmv-pq5zrl
  38. Holat di Rantau Prapat – Travel Kompas, diakses Juni 15, 2025, https://travel.kompas.com/read/2017/05/08/101600627/holat.di.rantau.prapat?page=all
  39. 6 Makanan Khas Tanjung Pinang yang Punya Cita Rasa Unik | kumparan.com, diakses Juni 15, 2025, https://m.kumparan.com/jendela-dunia/6-makanan-khas-tanjung-pinang-yang-punya-cita-rasa-unik-218orieRD9T
  40. 10 Ide Oleh-Oleh khas Tanjung Pinang Mulai dari Kerajinan hingga Makanan – Traveloka, diakses Juni 15, 2025, https://www.traveloka.com/id-id/explore/destination/ide-oleh-oleh-khas-tanjung-pinang-acc/480025
  41. Hidangan Melayu – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, diakses Juni 15, 2025, https://id.wikipedia.org/wiki/Hidangan_Melayu
  42. Malay cuisine – Wikipedia, diakses Juni 15, 2025, https://en.wikipedia.org/wiki/Malay_cuisine

Malaysian cuisine – Wikipedia, diakses Juni 15, 2025, https://en.wikipedia.org/wiki/Malaysian_cuisine

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

CAPTCHA ImageChange Image

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.