Secara internasional, kedaulatan atas ruang udara merupakan hak mutlak suatu negara, ditegaskan dalam Konvensi Chicago 1944. Pengambilalihan FIR ini juga berfungsi untuk menegaskan kembali status Indonesia sebagai negara kepulauan, sesuai dengan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982. Di tingkat domestik, amanat untuk mengelola ruang udara Indonesia secara mandiri telah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Undang-Undang ini secara eksplisit menargetkan pengambilalihan Flight Information Region (FIR) paling lambat 15 tahun sejak UU tersebut berlaku.
Upaya intensif untuk mengakhiri status quo pengelolaan ruang udara di atas Kepulauan Riau dan Natuna yang telah berlangsung sejak 1946 dimulai kembali secara serius pada tahun 2015, di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Proses ini melibatkan diplomasi yang kompleks, baik di lingkup bilateral dengan Singapura, maupun multilateral dengan negara anggota ICAO. Kerangka Negosiasi FIR ditandatangani pada 12 September 2019, dan pertemuan tim teknis intensif dilakukan pada 7 Oktober 2019. Puncaknya terjadi pada 25 Januari 2022 di Bintan, ketika Menteri Perhubungan Indonesia dan Menteri Transportasi Singapura menandatangani kesepakatan penyesuaian batas FIR Jakarta dan FIR Singapura, yang kemudian disahkan melalui Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2022.
Hasil kuantitatif dari kesepakatan ini adalah pengukuhan internasional atas kedudukan Indonesia sebagai negara kepulauan, dengan ruang udara di dalam FIR Jakarta bertambah seluas 249.575 km²
Meskipun Indonesia kini diakui memiliki kedaulatan teritorial penuh atas ruang udara di Kepulauan Riau dan Natuna, perjanjian tersebut mengatur adanya skema pendelegasian pelayanan jasa penerbangan yang bersifat terbatas. Untuk alasan keselamatan penerbangan dan optimalisasi lalu lintas udara yang padat di sekitar Bandara Changi, Indonesia masih mendelegasikan layanan di ketinggian 0 hingga 37.000 kaki, yang mencakup sekitar 29% dari area tersebut, kepada otoritas navigasi penerbangan Singapura. Sebaliknya, Indonesia mengambil alih kendali penuh untuk ruang udara di atas ketinggian 37.000 kaki ke atas.
Diferensiasi antara pengakuan kedaulatan teritorial penuh dan hak pengelolaan operasional yang didelegasikan sebagian ini menciptakan tantangan fiskal yang kompleks. Pendelegasian ini mensyaratkan Indonesia untuk memastikan kerangka kerja sama sipil-militer (Civil-Military Aviation Cooperation) serta penempatan personel di Singapore ATC Centre. Lebih penting lagi, pendelegasian ini tidak menghilangkan hak pungutan negara. Perjanjian tersebut mengatur bahwa Indonesia akan memiliki hak atas pungutan pelayanan navigasi (route charge) yang dilakukan oleh Singapura di wilayah delegasi tersebut, yang harus disetorkan kepada Indonesia.
ni menunjukkan adanya pergeseran fokus. Pendelegasian historis yang berlangsung sejak 1947 didasarkan pada mandat ICAO karena ketidaksiapan infrastruktur Indonesia pasca-kemerdekaan. Kerugian yang timbul bukan hanya pada aspek keamanan, tetapi juga aspek ekonomi. Oleh karena itu, pengambilalihan ini menuntut Indonesia untuk membuktikan kapabilitas finansial untuk berinvestasi, dan Kemenkeu berperan mengatasi akar masalah historis ini dengan memastikan investasi didanai secepat mungkin.
Penyesuaian batas Flight Information Region (FIR) di wilayah Kepulauan Riau (Kepri) dan Natuna merupakan tonggak sejarah bagi Indonesia, mengakhiri status quo yang berlangsung selama puluhan tahun. Realisasi kedaulatan operasional ini secara efektif dimulai pada Maret 2024. Peristiwa ini menandai pengakuan internasional terhadap kemampuan Indonesia untuk mengelola ruang udara strategisnya sendiri, sekaligus menambah luasan area pelayanan navigasi udara yang berada di bawah kendali penuh nasional. Laporan ini bertujuan untuk menganalisis struktur FIR Indonesia pasca-penyesuaian, mengukur kapabilitas operasional Perum LPPNPI (AirNav Indonesia), mengevaluasi kepatuhan terhadap standar ICAO (International Civil Aviation Organization), dan menguraikan implikasi finansial serta strategis jangka panjang dari pengambilalihan kedaulatan operasional ini.
Definisi FIR dalam Kerangka ICAO dan Hukum Udara
Dalam kerangka Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO), FIR didefinisikan sebagai “ruang udara dengan dimensi tertentu di mana layanan informasi penerbangan (Flight Information Service/FIS) dan layanan peringatan (Alerting Service) disediakan”. Definisi ini bersumber dari ICAO Annex 2 – Rules of the Air. Secara operasional, FIR adalah area tiga dimensi di mana pesawat berada di bawah kendali suatu otoritas tunggal.
Meskipun Konvensi Chicago mengakui kedaulatan absolut negara atas ruang udara di atas wilayah teritorialnya , ICAO Annex 11 memungkinkan delegasi pelayanan navigasi udara (Air Navigation Services / ANS) di wilayah udara tersebut kepada negara lain, jika negara yang berdaulat secara teknis belum mampu menyediakannya, seperti yang terjadi pada kasus Natuna/Kepri pada tahun 1973. Penting untuk dipahami bahwa, dalam skenario delegasi, tanggung jawab keselamatan tetap berada pada negara yang mendelegasikan (Indonesia), kecuali diatur secara spesifik. Namun, negara yang menyediakan layanan (seperti Singapura sebelumnya) bertanggung jawab atas elemen keselamatan teknis yang disyaratkan ICAO. Selain FIR, terdapat juga Upper Information Region (UIR), yang merupakan bagian atas dari FIR yang dibelah secara vertikal, berfungsi untuk menyediakan kontrol lalu lintas pada ketinggian jelajah.
Struktur Geografis FIR Indonesia Pasca-2024
Struktur ruang udara Indonesia yang berada di bawah tanggung jawab AirNav Indonesia dibagi menjadi dua Flight Information Region (FIR) utama, yang secara efektif beroperasi dengan batas baru sejak 22 Maret 2024.
- Jakarta FIR: Melayani wilayah udara Indonesia bagian barat, termasuk wilayah Kepri dan Natuna yang baru disesuaikan.
- Ujung Pandang FIR: Melayani wilayah udara Indonesia bagian timur, termasuk koridor penerbangan menuju Pasifik dan Australia.
Penyesuaian batas FIR Jakarta menambah luasan area pelayanan sebesar 249.575 kilometer persegi. Dengan penambahan ini, total luasan Jakarta FIR kini mencapai 2.842.725 kilometer persegi. Secara keseluruhan, total wilayah udara Indonesia (Indonesia Airspace) yang dicakup oleh kedua FIR ini mencapai 7.789.268 kilometer persegi.
Analisis terhadap luas cakupan menunjukkan adanya tantangan operasional ganda yang dihadapi oleh AirNav Indonesia. Jakarta FIR berhadapan dengan kepadatan lalu lintas udara internasional yang tinggi di koridor Asia-Pasifik, menuntut sistem manajemen lalu lintas udara (Air Traffic Management/ATM) yang canggih dan responsif. Sementara itu, Ujung Pandang FIR memiliki area cakupan yang jauh lebih besar, yaitu 4.946.543 kilometer persegi. Proporsi ini mensyaratkan strategi investasi sistem Komunikasi, Navigasi, dan Pengawasan (CNS/ATM) yang berbeda, dengan fokus pada konektivitas dan jangkauan surveillance yang terdistribusi secara luas untuk menjamin keselamatan di wilayah timur yang terdispersi.
Struktur geografis FIR Indonesia yang berlaku efektif mulai tahun 2024 dapat diringkas sebagai berikut:
Struktur Geografis dan Area Cakupan FIR Indonesia (Efektif 2024)
Flight Information Region (FIR) | Area Cakupan (Km²) | Fungsi Geografis Utama | Tanggal Efektif Struktur Baru |
Jakarta FIR | 2.842.725 | Melayani wilayah barat (termasuk koridor internasional Kepri/Natuna) | 22 Maret 2024 |
Ujung Pandang FIR | 4.946.543 | Melayani wilayah timur Indonesia dan koridor Samudra Pasifik/Australia | N/A (Dasar Operasi Berlanjut) |
Total Airspace Indonesia | 7.789.268 | Pelayanan Navigasi Penerbangan (ANS) Nasional | N/A |
Analisis Historis dan Pengembalian Kedaulatan FIR Kepri-Natuna
Asal Mula Status Quo dan Pendelegasian (1973)
Pengaturan sebagian ruang udara Indonesia di atas Kepulauan Riau dan Natuna oleh negara lain telah berlangsung sejak sebelum kemerdekaan dan kemudian dilanjutkan oleh Singapura. Secara formal, pendelegasian yurisdiksi layanan navigasi di wilayah tersebut diputuskan pada 1st Regional Air Navigation (RAN) Meeting ICAO untuk kawasan Asia-Pasifik di Honolulu pada tahun 1973. Wilayah udara ini dikenal sebagai sektor A, B, dan C. Status quo ini menimbulkan anomali kedaulatan, di mana pesawat Indonesia yang terbang di wilayah tersebut di atas teritori nasional harus meminta izin kepada Air Traffic Control (ATC) Singapura.
Jejak Diplomasi, Negosiasi, dan Kesiapan Teknis (2015-2024)
Upaya pengembalian pengelolaan FIR ke pangkuan Indonesia secara intensif dimulai pada tahun 2015 di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, melibatkan diplomasi di tingkat multilateral, regional, dan bilateral. Perjuangan ini memerlukan lebih dari sekadar klaim politik; Indonesia harus membuktikan kepada komunitas internasional, terutama ICAO, bahwa negara memiliki kapabilitas teknis yang memadai untuk menjamin standar keselamatan penerbangan global.
Langkah-langkah persiapan kunci yang diambil oleh Pemerintah Indonesia mencakup: (1) peningkatan infrastruktur radar, (2) peningkatan standar kualitas dan pelatihan Sumber Daya Manusia (SDM) ATC, dan (3) pembangunan pangkalan udara di sekitar Kepulauan Riau untuk menunjang fasilitas operasional. Demonstrasi kapabilitas teknis ini menjadi leverage diplomatik utama. Keberhasilan negosiasi yang berujung pada penyesuaian batas FIR bukanlah semata-mata kemenangan politik, tetapi pengakuan teknis dari ICAO bahwa Indonesia mampu mengakhiri status quo historis yang didasarkan pada ketidakmampuan teknis di masa lalu.
Negosiasi mencapai puncaknya dengan ditandatanganinya Perjanjian Penyesuaian Batas FIR antara Indonesia dan Singapura pada Januari 2022. Tindak lanjut domestik yang krusial adalah penandatanganan Peraturan Presiden (Perpres) No. 109 Tahun 2022 pada September 2022, yang mengesahkan perjanjian bilateral tersebut.
Konfirmasi ICAO dan Realisasi Kedaulatan
Proses penyesuaian batas FIR baru secara internasional diselesaikan ketika ICAO Council memberikan persetujuan resmi pada 15 Desember 2023. Persetujuan ini mengukuhkan kedudukan Indonesia dan secara definitif menambah luasan Jakarta FIR sebesar 249.575 Km².
Realitas kedaulatan operasional ini memberikan manfaat keamanan yang signifikan. Pengendalian FIR secara mandiri memungkinkan dukungan operasional dan keamanan yang lebih maksimal bagi pesawat udara negara (TNI, Polri, KKP, Bea Cukai). Selain itu, hal ini memfasilitasi peningkatan kerja sama sipil-militer (Civil-Military Aviation Cooperation) yang lebih terstruktur antara Indonesia dan Singapura, termasuk penempatan personel di Singapore ATC Centre untuk koordinasi.
Kronologi Kunci Penyesuaian Batas FIR Jakarta dan Singapura
Tanggal/Periode | Peristiwa Kunci | Signifikansi Strategis | Sumber Legal/Regulasi |
1973 | Pendelegasian yurisdiksi layanan navigasi di atas Kepri-Natuna ke Singapura. | Pembentukan Status Quo berdasarkan keputusan ICAO RAN Meeting pertama. | ICAO RAN Meeting 1st |
2015-2022 | Negosiasi intensif dan peningkatan kesiapan teknis (radar, SDM ATC). | Peningkatan leverage diplomatik RI melalui demonstrasi kapabilitas. | Kemenhan/Kemenhub |
Jan 2022 | Kesepakatan bilateral RI-Singapura tentang Penyesuaian FIR. | Momen diplomatik kunci pengakhiran status quo. | Perjanjian FIR RI-Singapura |
Sep 2022 | Pengesahan Perjanjian FIR oleh Presiden RI. | Ratifikasi domestik (dasar hukum implementasi). | Perpres No. 109 Tahun 2022 |
Des 2023 | Persetujuan resmi penyesuaian batas FIR oleh ICAO. | Pengakuan global terhadap yurisdiksi layanan ANS Indonesia. | ICAO Council |
Mar 2024 | Implementasi efektif layanan navigasi oleh AirNav Indonesia. | Realisasi kedaulatan operasional. | AirNav Indonesia |
Kapabilitas Operasional dan Teknologi AirNav Indonesia
Mandat dan Jasa Utama AirNav Indonesia
Perusahaan Umum Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (Perum LPPNPI), dikenal sebagai AirNav Indonesia, adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) nirlaba yang didirikan pada tahun 2014, bertanggung jawab untuk menyediakan seluruh layanan Air Traffic Control Services (ATCS) di seluruh Flight Information Region (FIR) Indonesia.
Salah satu layanan krusial yang disediakan di FIR adalah Layanan Peringatan (Alerting Service). Layanan ini bertujuan untuk menyampaikan berita kepada organisasi yang bertanggung jawab atas pencarian dan pertolongan (Search and Rescue/SAR) mengenai pesawat udara yang memerlukan bantuan, serta membantu organisasi tersebut bila diperlukan. Dalam pelaksanaannya, AirNav Indonesia wajib berkoordinasi erat dengan Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (BASARNAS) untuk layanan SAR. AirNav secara rutin melaksanakan simulasi dan menetapkan prosedur operasional yang ketat, termasuk logistik dan pengisian ATS Operational Logbook, untuk memastikan kesiapan respons layanan peringatan.
Modernisasi CNS/ATM dan Kinerja Keselamatan
AirNav Indonesia terus melaksanakan modernisasi sistem Komunikasi, Navigasi, dan Pengawasan/Manajemen Lalu Lintas Udara (CNS/ATM) yang selaras dengan ICAO Asia-Pacific ANS Seamless Plan. Program modernisasi ini bertujuan untuk memastikan bahwa kapabilitas navigasi penerbangan nasional setara dengan negara-negara tetangga, khususnya dalam menghadapi peningkatan lalu lintas udara.
Dalam kerangka modernisasi ini, AirNav telah menyelesaikan Resilience Assessment komprehensif terhadap sistem CNS/ATM dan layanan ATC-nya. Hasil penilaian ini memberikan wawasan penting untuk peningkatan dan perluasan infrastruktur penerbangan kritis, termasuk sistem radar, yang merupakan komponen vital dalam sistem navigasi modern.
Peningkatan operasional tercermin dalam capaian kinerja keselamatan. Pada tahun 2024, pencapaian Performance Achievement of Regulation Standards (PARS) mencapai 83%, melampaui target 79%. Selain itu, Performance Achievement of Service Level (PASL) mencapai 79%, meningkat dari 69% pada tahun sebelumnya dan melampaui target 78%. Peningkatan berkelanjutan dalam kinerja ini menegaskan komitmen AirNav terhadap standar keselamatan internasional.
Implementasi Navigasi Berbasis Kinerja (PBN) dan ADS-B
AirNav Indonesia memprioritaskan implementasi teknologi yang meningkatkan efisiensi dan keamanan. Salah satu teknologi inti adalah Performance-Based Navigation (PBN). PBN memungkinkan perancangan rute penerbangan yang lebih presisi, optimal, dan berkelanjutan. Implementasi PBN pada rute domestik dilaporkan mampu mengurangi emisi sebesar 407.606 ton selama tahun 2023. Angka reduksi emisi yang signifikan ini menunjukkan bahwa modernisasi operasional tidak hanya berfokus pada keselamatan teknis (sesuai ICAO Annex 11) tetapi juga berkontribusi pada tujuan lingkungan global. Ini adalah aset strategis yang dapat memperkuat posisi Indonesia di ICAO, misalnya melalui program Global Aviation Safety Plan (GASeP).
Selain PBN, teknologi Automatic Dependent Surveillance-Broadcast (ADS-B) juga diimplementasikan. ADS-B adalah teknologi pengawasan berbasis satelit yang fundamental untuk optimalisasi kinerja dan distribusi data pengawasan, yang sangat penting untuk manajemen lalu lintas udara di wilayah FIR Indonesia yang sangat luas. ADS-B mendukung prinsip pelayanan “first come first serve” dan memastikan AirNav dapat memonitor dan mengontrol pesawat udara secara lebih efektif.
Kepatuhan Regulasi dan Kesejajaran dengan Standar ICAO
Audit Pengawasan Keselamatan (USOAP)
Untuk memperoleh pengakuan internasional, pengelolaan FIR harus mematuhi Standards and Recommended Practices (SARPs) ICAO. ICAO memonitor kepatuhan ini melalui Universal Safety Oversight Audit Programme (USOAP). USOAP menilai kemampuan suatu negara dalam menyediakan pengawasan keselamatan dengan mengevaluasi implementasi elemen-elemen kritis dari sistem pengawasan keselamatan (Effective Implementation / EI).
Keberhasilan Indonesia dalam menyesuaikan batas FIR secara langsung terkait dengan skor EI yang memadai di bawah USOAP, khususnya dalam kategori Air Navigation Services (ANS). Mempertahankan skor USOAP yang tinggi adalah prasyarat untuk mempertahankan kepercayaan internasional dan pengakuan atas yurisdiksi layanan ANS yang baru diperoleh.
Diplomasi dan Pengakuan Global
Indonesia memiliki target strategis untuk meningkatkan pengakuan global di sektor penerbangan. Salah satunya adalah upaya meraih ICAO Council President Certificate (CPC) pada tahun 2025. Proses ini memerlukan hasil audit USOAP yang terverifikasi dan kuat, serta komunikasi formal kepada ICAO mengenai kesiapan dan kontribusi Indonesia terhadap program ICAO yang lebih luas, seperti No Country Left Behind.
Di samping aspek sipil, pengendalian penuh FIR juga menimbulkan isu yurisdiksi keamanan. Terdapat perdebatan berkelanjutan mengenai apakah pesawat militer asing yang beroperasi di FIR internasional wajib mematuhi prosedur FIR yang ditetapkan oleh negara pantai. Mengingat sensitivitas Laut Natuna, pengambilalihan FIR menempatkan Indonesia pada posisi yang mengharuskan adanya kerangka hukum domestik dan koordinasi sipil-militer yang sangat kuat. Hal ini penting untuk memastikan bahwa kontrol operasional navigasi penerbangan didukung oleh otoritas hukum yang tak terbantahkan ketika menangani penerbangan negara (militer) di wilayah udara yang baru dikendalikan.
Implikasi Strategis dan Keuntungan Ekonomi Jangka Panjang
Peningkatan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP)
Keuntungan paling nyata dari penyesuaian FIR adalah dampak finansial. Pengambilalihan wilayah udara seluas 249.575 Km² memberikan Indonesia hak untuk memungut biaya pelayanan jasa navigasi penerbangan (overflight charges) yang melintasi area tambahan Jakarta FIR tersebut. Pungutan ini menjadi sumber Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang signifikan, berkontribusi langsung pada peningkatan pendapatan negara.
Mekanisme penetapan biaya layanan navigasi penerbangan diatur oleh Peraturan Menteri Perhubungan, yang memastikan formulasi biaya tersebut profesional dan transparan. Pemerintah telah menjanjikan bahwa tarif yang ditetapkan akan kompetitif. Strategi penetapan biaya yang kompetitif ini sangat penting untuk mencegah maskapai internasional melakukan pengalihan rute (re-routing) ke luar FIR Indonesia, yang akan mengurangi volume lalu lintas dan merugikan pendapatan.
Keuntungan PNBP ini, bagaimanapun, menciptakan kewajiban untuk reinvestasi berkelanjutan. Pendapatan yang diperoleh dari overflight charges harus dialokasikan kembali untuk modernisasi CNS/ATM dan pelatihan SDM ATC. Siklus keberlanjutan finansial-operasional ini memastikan AirNav dapat terus mempertahankan dan meningkatkan kualitas layanannya hingga mencapai standar internasional tertinggi, sehingga volume lalu lintas dan pendapatan jangka panjang tetap optimal.
Efisiensi Rute dan Dampak Maskapai
Pengelolaan FIR oleh Indonesia membawa efisiensi operasional yang nyata bagi industri penerbangan. Sebelum penyesuaian, penerbangan domestik (misalnya Jakarta ke Natuna) dan rute internasional yang melintasi Kepulauan Riau (misalnya Hong Kong ke Jakarta) harus melakukan kontak navigasi penerbangan dengan otoritas Singapura sebelum beralih ke AirNav Indonesia.
Pasca-realignment, pesawat yang terbang di wilayah yang diatur ulang kini menerima layanan navigasi penerbangan langsung dari AirNav Indonesia. Penyederhanaan prosedur ini menghilangkan redundansi dalam koordinasi antar-otoritas, yang pada gilirannya mengurangi kompleksitas beban kerja ATC dan meningkatkan efisiensi waktu serta biaya operasional bagi maskapai yang melintas.
Tantangan dan Proyeksi Masa Depan
Tantangan Kualitatif dan Kuantitatif
Tantangan utama yang dihadapi AirNav Indonesia pasca-pengambilalihan FIR adalah menjaga kualitas layanan dan sustainabilitas kapabilitas teknis. Meskipun AirNav telah menunjukkan peningkatan kinerja dan melaksanakan modernisasi CNS/ATM , menjaga agar kapabilitas teknis (seperti PBN dan ADS-B) tetap beroperasi secara optimal di seluruh wilayah FIR yang luas, termasuk area yang baru diintegrasikan, membutuhkan investasi modal (Capital Expenditure) yang masif dan berkelanjutan. Selain itu, menjamin bahwa SDM ATC Indonesia memiliki kualifikasi yang selalu selaras dengan standar internasional ICAO yang terus berkembang merupakan tantangan kualitatif yang konstan.
Proyeksi Posisi Indonesia di Kawasan
Keberhasilan dalam negosiasi dan implementasi FIR realignment ini secara tegas menempatkan Indonesia sebagai pemain kunci dan pemimpin layanan navigasi udara di kawasan Asia-Pasifik. Indonesia kini memiliki peran yang lebih kuat dan aktif dalam forum Regional Air Navigation (RAN) ICAO. Di samping itu, pengendalian penuh atas ruang udara yang sensitif, seperti di sekitar Natuna, secara signifikan memperkuat postur pertahanan dan keamanan nasional, yang merupakan faktor penting dalam menjaga stabilitas regional di jalur pelayaran dan penerbangan strategis.
Kesimpulan
Pengambilalihan Flight Information Region Kepri-Natuna adalah manifestasi nyata dari kedaulatan negara yang didukung oleh kemampuan teknis dan diplomasi yang efektif. Realisasi kedaulatan operasional yang disahkan oleh ICAO pada akhir 2023 dan diimplementasikan pada Maret 2024 ini membawa keuntungan ekonomi melalui PNBP dan efisiensi operasional.
Untuk memaksimalkan manfaat strategis dan memastikan keberlanjutan operasional, laporan ini merekomendasikan langkah-langkah kebijakan lanjutan berikut:
- Re-investasi PNBP yang Terstruktur: Pemerintah perlu memformalkan kebijakan yang menjamin bahwa persentase signifikan dari pendapatan PNBP yang bersumber dari overflight charges di wilayah FIR yang baru diambil alih dialokasikan kembali secara spesifik untuk modal investasi (CAPEX) AirNav Indonesia dalam modernisasi CNS/ATM, pelatihan, dan pemeliharaan infrastruktur keselamatan.
- Transparansi dan Audit Keselamatan: AirNav Indonesia disarankan untuk meningkatkan transparansi data keselamatan operasional dan hasil audit ICAO (USOAP) kepada publik dan industri penerbangan global. Hal ini penting untuk membangun dan mempertahankan kepercayaan penerbangan internasional terhadap kualitas layanan ANS Indonesia.
- Sinergi Kelembagaan dan Kesiapsiagaan SAR: Di wilayah FIR yang baru diakuisisi, sangat penting untuk memperkuat koordinasi operasional dan sinergi kelembagaan antara AirNav Indonesia, TNI, dan BASARNAS. Ini harus diwujudkan melalui latihan dan simulasi Alerting Service/SAR gabungan yang terencana secara rutin untuk memastikan respons cepat dan efektif terhadap potensi insiden penerbangan.