Pernyataan Krisis Struktural Agraria Indonesia
Kondisi konflik agraria di Indonesia sepanjang tahun 2025 menunjukkan bahwa permasalahan pertanahan di tanah air bukan sekadar kumpulan sengketa kasuistik atau insidental. Sebaliknya, konflik tersebut merupakan manifestasi struktural dari ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah yang mendalam (Structural Agrarian Manifest Conflicts). Krisis ini diperparah oleh kerangka regulasi yang memprioritaskan percepatan investasi dan Proyek Strategis Nasional (PSN) di atas perlindungan hak-hak dasar masyarakat.
Evaluasi kritis menunjukkan bahwa kerangka hukum yang longgar pasca-implementasi Undang-Undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) dan strategi pembangunan yang sangat pro-ekstraktif telah mempercepat perampasan lahan, memicu ledakan konflik , dan menghasilkan gelombang kriminalisasi terhadap petani, masyarakat adat, dan pembela hak asasi manusia agraria. Dalam konteks politik, pemerintahan yang baru menjabat di tahun 2025 mengintensifkan proyek-proyek ini dengan dukungan suprastruktur birokrasi dan pengerahan aparatur keamanan negara. Hal ini menandakan adanya kesenjangan serius antara komitmen negara terhadap keadilan agraria dan realitas di lapangan yang didominasi oleh kepentingan modal dan aset BUMN.
Metodologi Analisis Konflik Agraria Struktural
Laporan ini mengadopsi kerangka analisis yang bersifat kritis dan mendalam, menggunakan pendekatan normatif-empiris. Pendekatan ini bertujuan mengevaluasi kesenjangan antara tujuan hukum dan kebijakan yang termaktub (misalnya, tujuan Reforma Agraria) dengan realitas implementasi, yang ditandai dengan eskalasi konflik dan kriminalisasi.
Fokus utama analisis diletakkan pada tegangan antara Keadilan Prosedural—seperti percepatan sertifikasi aset melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang ditekankan oleh Kementerian ATR/BPN —dan Keadilan Substantif—yaitu pengakuan hak ulayat, redistribusi tanah yang adil, dan penguatan ekonomi kerakyatan. Proyeksi untuk tahun 2026 secara khusus menganalisis risiko konflik baru yang didorong oleh paradoks hijau, di mana agenda Ekonomi Hijau dan Transisi Energi global berpotensi menjadi dalih baru bagi perampasan lahan.
Refleksi Konflik Agraria Tahun 2025: Krisis Yang Terus Berulang
Peta Konflik Sektoral: Dominasi Korporasi dan Bencana Ekologis
Profil konflik agraria tahun 2025 menegaskan kembali dominasi sektor ekstraktif dan perkebunan sebagai pemicu utama. Berdasarkan data Catatan Akhir Tahun Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) 2024—yang menjadi basis dinamika 2025—terjadi sedikitnya 3.234 letusan konflik agraria dalam sepuluh tahun terakhir, mencakup wilayah seluas 7,4 juta hektar dan berdampak pada 1,8 juta keluarga. Lebih dari setengah dari total kasus tersebut (1.733 kasus) disebabkan oleh operasi perusahaan. Rinciannya menunjukkan dominasi sektor perkebunan (1.242 kasus), konsesi tambang (253 kasus), dan Hutan Tanaman Industri (HTI) (238 kasus). Konflik-konflik berkepanjangan, seperti antara petani Tebo melawan Sinar Mas, terus berlanjut tanpa resolusi yang berarti pada tahun 2025.
Konflik agraria tahun 2025 menunjukkan hubungan yang semakin terintegrasi dengan krisis iklim dan bencana ekologis. KPA, per 3 Desember 2025, secara eksplisit menyatakan bahwa tingginya praktik bagi-bagi izin dan konsesi untuk perkebunan, pertambangan, dan kehutanan di kawasan hulu telah memicu “darurat agraria dan ekologis”. Wilayah Sumatera Utara dan Sumatera Barat, dua dari tiga provinsi yang mengalami banjir parah menjelang akhir 2025, merupakan contoh nyata. Di kawasan tersebut, hutan alam dan wilayah adat yang seharusnya berfungsi sebagai ‘spons’ penyerap air dirampas dan diubah menjadi tanaman monokultur berakar dangkal oleh segelintir korporasi. Kegagalan struktural dalam menyelesaikan sengketa lahan di hulu ini secara langsung meningkatkan kerentanan nasional terhadap bencana alam, di mana air yang tidak terserap menghantam pemukiman penduduk di hilir sungai.
Implementasi Kebijakan Ekspansif: UU Cipta Kerja dan PSN
Peningkatan konflik sepanjang 2025 didorong oleh kebijakan percepatan investasi, di mana UU Cipta Kerja memberikan landasan hukum yang memungkinkan peningkatan konflik agraria sebesar 21%, menurut KPA. Undang-undang ini menciptakan hyper regulation yang cenderung mengorbankan hak-hak konstituen agraria—seperti petani, buruh, dan masyarakat adat—demi pembangunan nasional yang sentralistik.
Proyek Strategis Nasional (PSN) menjadi pemicu konflik paling intensif. Penolakan dan perlawanan terhadap PSN bergema, terutama di Merauke, Papua Selatan, di mana Proyek Lumbung Pangan Nasional (Food Estate)—yang melibatkan cetak sawah dan kebun tebu—dilanjutkan oleh Presiden Prabowo Subianto sebagai warisan pemerintahan sebelumnya. Korban terdampak di Merauke mengeluhkan PSN ini telah merusak sumber penghidupan mereka, memaksa masyarakat untuk membeli bahan pangan yang sebelumnya dapat diperoleh dari alam (sagu, ikan, sayuran hutan).
Laporan mengenai 100 hari pertama pemerintahan Prabowo mencatat adanya pengintensifan PSN, didukung oleh menteri berlatar belakang militer dan pengerahan aparatur keamanan negara (TNI dan POLRI) untuk melancarkan pembebasan lahan dan pengamanan proyek. Pendekatan ini menunjukkan bahwa kerangka hukum yang diperlonggar oleh UU Cipta Kerja (legalitas prosedural) diperkuat dengan pendekatan keamanan negara (militerisasi pelaksanaan). Hal ini menggeser sifat konflik agraria menjadi konflik negara-korporasi versus rakyat yang dilegitimasi secara hukum dan diamankan secara militeristik, yang merupakan kemunduran serius dalam perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) agraria.
Manifestasi Kekerasan dan Kriminalisasi Agraria 2025
Tahun 2025 ditandai dengan penggunaan kekerasan dan instrumentalitas hukum untuk membungkam perlawanan masyarakat. Kekerasan fisik terlihat dalam bentrokan di wilayah sengketa Sukahaji, Bandung, pada Desember 2025, di mana sekelompok ormas menyerang warga dengan pemukulan dan senjata tajam. Peristiwa ini terjadi di tengah peringatan Hari HAM Internasional, menyoroti minimnya sistem proteksi dan respons cepat negara terhadap warga. Kerentanan kelompok marginal diperparah; data Komnas Perempuan 2024 menunjukkan peningkatan kekerasan terhadap perempuan sebesar 9,77 persen, menegaskan bahwa kelompok rentan menanggung risiko di ruang yang tidak terlindungi.
Kriminalisasi terhadap pembela lingkungan dan agraria juga mencapai titik kritis. Auriga mencatat setidaknya 115 kasus kriminalisasi dan gugatan hukum yang menargetkan pembela lingkungan antara 2014 hingga 2025. Kasus Kepala Adat Dayak Kualan, Tarsisius Fendy Sesupi, pada Desember 2025 menjadi contoh nyata. Tindakan adatnya menjatuhkan sanksi (batang adat) kepada PT Mayawana Persada yang merugikan warga justru berujung pada dugaan tindak pidana pemerasan, sebuah tindakan yang dikecam sebagai strategi hukum untuk melemahkan partisipasi publik.
Penggunaan hukum sebagai alat perlindungan korporasi, yang disebut sebagai Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP), diperkuat oleh fakta bahwa kriminalisasi seringkali dilakukan oleh aparatur bersenjata (TNI/POLRI) bekerja sama dengan pihak perusahaan. Upaya pemidanaan ini secara implisit menolak legal pluralism dan gagal menjalankan mandat perlindungan hukum yang seharusnya diberikan negara sesuai Peraturan Menteri LHK No. 10 Tahun 2024.
Tabel 1: Ringkasan Dinamika Utama Konflik Agraria dan Implikasi Kebijakan 2025
Ringkasan Dinamika Utama Konflik Agraria dan Implikasi Kebijakan 2025
| Kategori Isu | Bukti Data/Kasus Kunci 2025 | Implikasi Struktural |
| Sektor Pemicu Utama | Dominasi Perkebunan, Pertambangan, HTI (1.733 dari 3.234 kasus). | Konflik bersifat sistemik. Ketimpangan penguasaan lahan kian akut, tercermin dari konflik Petani Tebo vs Sinar Mas yang tak kunjung usai. |
| Kebijakan Pendorong | UU Cipta Kerja memperburuk konflik (naik 21%). PSN (Food Estate, Merauke) memicu penolakan. | Peningkatan ketidakpastian hukum, percepatan perampasan lahan atas nama kepentingan nasional, didukung pengerahan aparatur keamanan. |
| Kriminalisasi & Kekerasan | Kriminalisasi pembela agraria (115 kasus 2014-2025). Kekerasan di Sukahaji oleh Ormas. Pemidanaan sanksi adat Dayak Kualan. | Hukum digunakan sebagai alat SLAPP. Penolakan implisit terhadap legal pluralism dan gagalnya perlindungan HAM agraria. |
| Dampak Ekologis | Konsesi di kawasan hulu memicu Darurat Agraria/Ekologis dan Banjir di Sumatera. | Kegagalan resolusi konflik berimplikasi langsung pada kerentanan bencana dan krisis iklim. Tanah alih fungsi hutan menjadi monokultur. |
Evaluasi Dan Hambatan Pelaksanaan Reforma Agraria (Ra) 2025
Kinerja Kelembagaan dalam Resolusi Konflik (ATR/BPN)
Pada tahun 2025, Kementerian ATR/BPN, di bawah kepemimpinan Menteri Nusron Wahid, mengklaim capaian signifikan dalam penyelesaian konflik pertanahan. Menteri Nusron melaporkan penyelesaian 3.019 kasus pertanahan dalam setahun (hingga Oktober 2025), yang diklaim mencegah kerugian hingga Rp 96,7 triliun. Visi yang dicanangkan adalah menjadikan tanah sebagai sumber keadilan dan kesejahteraan, bukan sengketa.
Kinerja kelembagaan berfokus pada legalisasi aset dan kepastian hukum. Program percepatan seperti Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) diakui penting dalam mempercepat legalisasi aset tanah. Menjelang 2026, kementerian menargetkan bidang tanah terdaftar lebih merata dan membantah isu bahwa tanah tak bersertifikat akan diambil negara pada tahun 2026, melainkan menjadikannya momentum bagi masyarakat untuk mendapatkan kepastian hukum. Kantor Staf Presiden (KSP) juga menunjukkan perhatian terhadap penanganan konflik agraria melalui sistem evaluasi E-Monev.
Namun, jumlah kasus yang diklaim selesai oleh ATR/BPN perlu dianalisis secara kualitatif. Meskipun ada klaim kuantitas yang tinggi, kritik dari CSOs menunjukkan adanya “ledakan konflik agraria” yang berkelanjutan. Hal ini menunjukkan bahwa resolusi yang diklaim mungkin lebih banyak melibatkan kasus-kasus teknis administrasi dan legalisasi aset tanpa sengketa struktural yang parah. Dengan kata lain, implementasi Reforma Agraria (RA) masih cenderung terfokus pada keadilan prosedural (sertifikasi cepat), tetapi belum berhasil mewujudkan keadilan substantif (redistribusi tanah struktural) yang dapat meredam konflik berkepanjangan.
Tantangan Struktural: Deadlock Aset BUMN dan Bank Tanah
Hambatan struktural paling signifikan dalam pelaksanaan Reforma Agraria di tahun 2025 adalah kemacetan penyelesaian konflik agraria yang melibatkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), khususnya Perum Perhutani dan Inhutani. KPA menegaskan bahwa konflik yang macet selama puluhan tahun ini disebabkan oleh birokrasi yang panjang, di mana para pendamping masyarakat dipingpong antara berbagai tingkatan pemerintahan.
Resolusi konflik ini berada di luar kapasitas Kementerian Kehutanan atau ATR/BPN semata. Akar masalahnya bersifat politik-fiskal, di mana tanah BUMN dianggap sebagai aset negara yang harus dipertahankan secara finansial. Untuk menyelesaikannya, dibutuhkan kepemimpinan Presiden untuk memastikan Badan Pengelola BUMN dan Menteri Keuangan bekerja sama dalam kerangka RA, dengan cara melepaskan klaim aset BUMN di atas tanah-tanah masyarakat. Kegagalan melepaskan aset ini menjadi kegagalan politik tingkat tinggi dalam menundukkan kepentingan ekonomi negara di bawah tuntutan keadilan agraria bagi rakyat.
Selain itu, instrumen kebijakan yang seharusnya mendukung RA, seperti Bank Tanah, mendapat kritik keras. Sekretaris Jenderal KPA, Dewi Kartika, menilai Bank Tanah sebagai “sinyal kemunduran komitmen pemerintah untuk menjalankan reforma agraria”. Institusi ini dikhawatirkan akan berfungsi sebagai fasilitator investasi dan penyedia tanah bagi korporasi besar, alih-alih sebagai mekanisme redistribusi tanah kepada petani gurem dan komunitas lokal.
Tabel 2: Evaluasi Kinerja Kelembagaan dalam Resolusi Konflik Struktural 2025
Evaluasi Kinerja Kelembagaan dalam Resolusi Konflik Struktural 2025
| Aspek Evaluasi | Kinerja Pemerintah (ATR/BPN, KSP) | Kritik/Hambatan Struktural |
| Capaian Kuantitatif | Klaim penyelesaian 3019 kasus (hingga Okt 2025). Fokus legalisasi aset (PTSL) dan target bidang terdaftar lebih merata 2026. | Kritik CSOs mengenai ‘ledakan konflik agraria’ yang terus terjadi. RA terperangkap pada keadilan prosedural. |
| Konflik Aset BUMN | Upaya sinergi penyelesaian masalah aset BUMN/Masyarakat melalui workshop. | KPA menagih intervensi Presiden untuk melepaskan klaim aset BUMN (Perhutani/Inhutani). Birokrasi memakan waktu ekstrem, membutuhkan 13 tahun per kasus. |
| Inovasi Kebijakan | KSP menggunakan sistem E-Monev untuk evaluasi. Visi tata kelola menuju Indonesia Emas 2045. | Bank Tanah dianggap sinyal kemunduran RA dan penguatan sentralisasi kekuasaan tanah. |
Proyeksi Dinamika Konflik Agraria Tahun 2026: Ancaman Dari Agenda Ekonomi Hijau
Proyeksi dinamika konflik agraria di tahun 2026 menunjukkan peningkatan eskalasi konflik lama, terutama di sektor ekstraktif, yang diperparah oleh munculnya pola konflik baru di bawah payung Ekonomi Hijau dan kebijakan investasi pemerintah yang baru.
Arah Strategis dan Dampak Kebijakan Fiskal 2026
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026 mengindikasikan arah kebijakan yang berpotensi memobilisasi konflik baru. Anggaran ketahanan pangan direncanakan sebesar Rp 164,4 triliun, yang diarahkan untuk ekstensifikasi dan intensifikasi lahan pertanian.
Arah kebijakan yang mengutamakan ekstensifikasi lahan ini secara langsung meningkatkan risiko konflik karena akan memperluas cakupan Proyek Strategis Nasional (PSN) Lumbung Pangan. Proyek-proyek ini terbukti bermasalah di tahun 2025 (misalnya di Merauke ) karena membutuhkan percepatan akses lahan yang sering mengabaikan hak-hak masyarakat adat yang tidak memiliki sertifikat formal. Dengan adanya dukungan fiskal yang besar untuk ekstensifikasi , prediksi konflik adalah peningkatan perampasan lahan, terutama di wilayah-wilayah luar Jawa yang menjadi sasaran proyek pangan skala besar.
Di sisi lain, terdapat upaya untuk menyinergikan strategi fiskal dengan keadilan agraria. Ikhsan Lubis menyoroti pentingnya APBN 2026 untuk memperkuat ekonomi kerakyatan, misalnya melalui pengembangan koperasi desa (dengan target 80.000 koperasi) sebagai pilar ekonomi inklusif. Pendekatan ini diharapkan dapat mengurangi konflik yang berakar pada ketimpangan ekonomi.
Pergeseran Pola Konflik: Paradoks Transisi Energi dan Hilirisasi
Konflik agraria di tahun 2026 diproyeksikan akan didominasi oleh paradoks hijau (Green Paradox), di mana dorongan global untuk transisi energi dan hilirisasi mineral (khususnya nikel) menjadi dalih baru untuk ekspansi penguasaan lahan.
Hilirisasi Mineral: Dukungan besar dari Kementerian Investasi/BKPM untuk hilirisasi menuju SE2026 dan alokasi anggaran energi hijau dalam APBN 2026 akan memicu demam nikel yang lebih intensif. Sulawesi, khususnya Morowali dan Konawe Selatan, diproyeksikan menjadi pusat konflik agraria baru. WALHI mencatat bahwa hilirisasi mineral di Morowali telah berujung pada kerugian dan kriminalisasi warga. Konflik ini merupakan pertempuran antara narasi kepentingan nasional untuk industrialisasi mineral (yang mendukung rantai pasok energi global) dan hak-hak komunitas yang menderita pencemaran dan penggusuran.
Proyek Energi Terbarukan: Meskipun APBN 2026 memprioritaskan program energi hijau (Transisi Energi dalam RUPTL dan Pengembangan Biodiesel) , proyek-proyek seperti Geothermal atau Biofuel mengancam pejuang lingkungan dan mengabaikan hak Masyarakat Adat. Kritik akademis dan aktivis menegaskan bahwa proyek energi bersih seringkali gagal mengintegrasikan prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC). FPIC merupakan norma wajib (peremptory norms) yang harus dipatuhi di atas hukum domestik. Pengabaian ini mengubah proyek yang berlabel ‘bersih’ menjadi sumber konflik yang merampas wilayah adat, memperparah ketidakadilan agraria di bawah citra baru.
Risiko Konflik Karbon dan Ruang Hidup (Land Grabbing Baru)
Selain hilirisasi, potensi konflik di tahun 2026 juga akan bergeser ke ranah jasa lingkungan dan perdagangan karbon. Serikat Petani Indonesia (SPI) telah mengidentifikasi bahwa green economy, atas nama konservasi alam dan perdagangan karbon, dapat menjadi “jalan baru perampasan tanah” (land grabbing).
Lahan dan teritori masyarakat adat digunakan oleh negara atau swasta untuk menjual karbon. Masyarakat lokal yang secara tradisional telah menjaga kawasan tersebut berisiko digusur atas nama konservasi atau mitigasi iklim, menciptakan bentuk konflik berlapis (ekonomi, ekologi, dan hak adat). Di tengah krisis iklim dan proyeksi perubahan tutupan lahan yang masif (seperti yang terlihat dalam studi di Bogor untuk 2026 ), persaingan klaim atas kawasan hutan yang strategis untuk Nature-Based Solutions atau perdagangan karbon akan semakin sengit. Kegagalan untuk memastikan bahwa pembangunan ekonomi hijau berbasis pada komunitas lokal (agroforestry) , dan alih-alih bergantung pada proyek skala besar yang sentralistik, akan memperkuat prediksi peningkatan konflik agraria yang meluas di tahun 2026.
Tabel 3: Proyeksi Risiko Konflik Agraria di Bawah Payung Ekonomi Hijau 2026
Proyeksi Risiko Konflik Agraria di Bawah Payung Ekonomi Hijau 2026
| Sektor Pendorong 2026 | Fokus Kebijakan APBN/Pemerintah Baru | Risiko Konflik Utama | Lokasi Potensial |
| Ekstensifikasi Pangan | Intensifikasi lahan, PSN Ketahanan Pangan (Rp 164,4 T). | Perampasan lahan yang dipercepat, eksploitasi di lahan basah/adat. Duplikasi konflik Food Estate. | Merauke, Kalimantan, Sumatera. |
| Hilirisasi Mineral (Nikel) | Investasi intensif, prioritas energi/infrastruktur. | Penggusuran, pencemaran lingkungan, kriminalisasi PPLH akibat kecepatan investasi. | Morowali, Konawe Selatan, Maluku Utara. |
| Energi Terbarukan | Proyek Geothermal, Biofuel, Transisi Energi. | Pengabaian FPIC. Konflik di wilayah konservasi/adat atas nama ‘energi bersih’. | Jawa (Geothermal), Kalimantan/Sumatera (Biofuel). |
| Ekonomi Karbon | Konservasi, Jasa Lingkungan. | Land Grabbing atas nama mitigasi iklim, pengusiran masyarakat dari wilayah kelola (Green Grabbing). | Kawasan hutan yang strategis untuk REDD+ atau Nature-Based Solutions. |
Rekomendasi Kebijakan Menuju Keadilan Agraria Berkelanjutan
Berdasarkan analisis refleksi konflik tahun 2025 dan proyeksi eskalasi pada tahun 2026 yang didorong oleh kebijakan investasi dan agenda ekonomi hijau, laporan ini mengajukan rekomendasi kebijakan yang komprehensif untuk mengatasi akar masalah struktural.
Reformasi Kerangka Hukum dan Perlindungan Hak Dasar
- Tinjauan Ulang Substantif UU Cipta Kerja:Mendesak peninjauan kembali pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja yang telah terbukti memperburuk ketidakpastian hukum dan memicu kenaikan konflik. Reformasi hukum harus memastikan harmonisasi regulasi dengan prinsip keadilan ekologis dan agraria, berpihak pada keadilan substantif, bukan hanya efisiensi birokrasi perizinan.
- Penguatan Perlindungan Pembela Lingkungan dan Agraria:Pemerintah harus menjamin implementasi efektif Peraturan Menteri LHK No. 10 Tahun 2024 tentang Perlindungan Hukum. Negara wajib memastikan bahwa tidak ada lagi pembela lingkungan yang dikriminalisasi, seperti yang dialami Tarsisius Fendy Sesupi. Aparatur keamanan harus diinstruksikan untuk tidak terlibat dalam pengamanan atau penggusuran paksa atas nama korporasi.
- Implementasi Legal Pluralismyang Tegas: Mendorong rekognisi hukum yang substansial terhadap sistem hukum lokal dan adat. Penguatan ini, yang menjamin keberlanjutan budaya dan ekologis, penting untuk menjembatani keadilan prosedural dan substantif, sekaligus mengurangi konflik horizontal yang berakar pada perbedaan norma dan kepentingan.
Strategi Komprehensif Resolusi Konflik Struktural
- Penyelesaian Tanah BUMN dengan Intervensi Politik Puncak:Mengatasi hambatan struktural terkait aset BUMN (Perhutani/Inhutani) membutuhkan kepemimpinan politik Presiden. Perlu adanya mandat tegas untuk melepaskan klaim aset BUMN di atas tanah-tanah masyarakat, dan menjadikannya objek reforma agraria sebagai jalan pemulihan hak. Penyelesaian harus melalui terobosan politik komprehensif, bukan melalui proses birokrasi kasus per kasus yang memakan waktu belasan tahun.
- Reformulasi dan Pengawasan Bank Tanah:Bank Tanah harus diarahkan secara eksplisit sebagai instrumen redistribusi tanah untuk petani gurem dan masyarakat korban konflik, sesuai tujuan Reforma Agraria. Pemerintah harus meninjau ulang mandat dan operasional Bank Tanah agar tidak menjadi mekanisme yang justru memfasilitasi dan melegitimasi penguasaan lahan oleh korporasi.
- Percepatan Pengakuan Hak Ulayat dan Wilayah Adat:Pembentukan badan independen dengan sistem digital yang transparan untuk verifikasi hak ulayat diusulkan sebagai langkah maju. Percepatan pengakuan hak ulayat dan wilayah adat sangat krusial sebagai prasyarat dalam proyek transisi energi dan PSN di tahun 2026.
Memastikan Keadilan Agraria sebagai Fondasi Ekonomi Hijau 2026
- Integrasi FPIC sebagai Syarat Mutlak Transisi Energi:Prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) harus dijadikan syarat mutlak dan norma dasar (peremptory norms) yang terintegrasi secara hukum dalam setiap proyek transisi energi (Nikel, Geothermal, Biofuel). Hal ini wajib dilakukan untuk mencegah konflik agraria dan pengabaian hak masyarakat adat.
- Pengendalian dan Pengalihan Investasi Ekstraktif:Mendorong pembatasan produksi di sektor mineral dan perkebunan, terutama di kawasan hulu, untuk memitigasi risiko degradasi lingkungan dan bencana ekologis yang terbukti meningkat pada 2025.
- Mendorong Model Ekonomi Hijau Berbasis Komunitas:Anggaran APBN 2026 untuk ketahanan pangan dan energi harus diprioritaskan pada pengembangan model pembangunan ekonomi yang berbasis komunitas lokal, seperti agroforestry, dan jasa lingkungan yang dikelola oleh masyarakat sendiri. Pendekatan ini, yang sejalan dengan penguatan koperasi desa , akan menjembatani potensi konflik kepentingan dan mencegah land grabbing baru atas nama konservasi atau proyek PSN skala besar.