Aku:
Bung Pram, aku datang padamu bukan membawa bunga,
tapi membawa kegelisahan yang tak kunjung reda.
Negeri ini—masihkah kau kenali dari balik abu sejarah?
Atau telah jadi negeri yang lupa
pada luka-luka yang dulu kau abadikan dalam kata?

Pramoedya:
Anak muda,
luka yang tidak ditulis akan membusuk dalam diam.
Dan negeri yang menolak mengingat
akan mengulang kehancuran dengan wajah baru.
Aku menulis bukan karena ingin,
tapi karena harus.
Karena jika aku diam,
aku pun akan menjadi batu nisan yang terlalu cepat.

Aku:
Tapi Bung,
hari ini penjara tidak lagi bertembok,
tapi berbentuk ponsel, algoritma,
dan suara-suara bising tanpa makna.
Apakah masih perlu menulis
di tengah kebisingan yang menenggelamkan kebenaran?

Pramoedya:
Justru karena itu kau harus menulis.
Karena di tengah bising,
satu suara jernih bisa menjadi suluh.
Menulislah bukan untuk didengar—
tapi untuk mengingatkan.
Aku pun pernah menulis dalam gelap,
di tanah Buru, di antara lumpur dan peluh,
karena aku tahu,
sekalipun tubuh dibungkam,
pikiran tak bisa dirantai.

Aku:
Kami membaca Bumi Manusia, Bung,
tapi kami hidup di tanah air
yang masih belum memanusiakan bangsanya.
Yang berpendidikan dijauhkan dari kekuasaan,
dan yang berkuasa lupa bagaimana caranya berpikir.

Pramoedya:
Aku tulis Minke
bukan untuk mengagungkan masa lalu,
tapi untuk menunjukkan:
bahwa menjadi manusia
adalah menjadi sadar akan martabatnya.
Kau boleh kalah dalam pertempuran politik,
tapi jangan menyerah pada kebodohan.
Karena saat itulah kekalahan sejati dimulai.

Aku:
Bung, mereka bilang kau radikal.
Terlalu ideologis, terlalu kiri.
Apa kau tak takut dicap, ditolak, dibuang?

Pramoedya:
Aku tidak menulis untuk diterima.
Aku menulis untuk jujur.
Dan kejujuran, Nak,
seringkali tampak radikal bagi mereka
yang terbiasa hidup dalam dusta.
Apa gunanya diterima,
jika itu berarti harus memalsukan hati sendiri?

Aku:
Bung, bagaimana caranya hidup
dengan kejujuran dan luka sekaligus?
Bagaimana caranya menulis
ketika setiap kata bisa menjadi peluru?

Pramoedya:
Terimalah luka itu,
dan jadikan ia tinta.
Menulis bukan untuk aman,
tapi untuk memberi makna.
Jika kata-kata bisa membuat penguasa takut,
itu artinya kau sedang menyentuh inti dari kuasa itu sendiri.

Aku:
Kami hidup di zaman
di mana viral lebih penting dari bernalar,
dan kemanusiaan dihitung dalam jumlah pengikut.
Apakah generasi kami masih punya harapan?

Pramoedya:
Setiap zaman punya racunnya sendiri.
Tapi juga punya obatnya.
Selama masih ada yang membaca,
selama masih ada yang bertanya,
selama masih ada yang berani berdiri—
harapan tidak pernah mati.
Ingatlah:
tiap generasi punya tugasnya,
dan tugasmu bukanlah meniru aku,
melainkan melampaui.

Aku:
Bung, aku takut.
Takut gagal. Takut dilupakan.
Takut sendirian.

Pramoedya:
Mereka yang melawan selalu kesepian di awal.
Tapi yang kesepian hari ini,
adalah yang dikenang esok hari.
Aku ditinggalkan, dicaci, dipenjarakan.
Tapi kata-kataku hidup lebih lama dari para algojo.
Jangan takut dilupakan,
takutlah jika kau hidup tanpa makna.

Aku:
Bung Pram,
di antara buku-bukumu yang lelah dibaca waktu,
aku duduk—mencari kata untuk melawan diam.
Masihkah cerita punya daya mengubah dunia?

Pramoedya:
Cerita selalu punya daya,
asal ia jujur kepada luka.
Aku menulis bukan karena bebas,
justru karena aku dikurung.
Dalam sunyi penjara,
aku menyulam kata demi kata,
karena itulah satu-satunya cara
untuk tetap menjadi manusia.

Aku:
Tapi Bung, zaman ini gaduh—
orang bicara tanpa membaca,
berdebat tanpa makna,
dan kebenaran dibeli dengan sponsor.
Apakah tulisan masih cukup?

Pramoedya:
Tulisan tak pernah cukup,
tapi ia adalah awal.
Ia adalah batu pertama
untuk membangun kesadaran.
Dan ingat, Nak,
bangsa yang besar
adalah bangsa yang bisa membaca
penderitaannya sendiri.

Aku:
Bung, mereka bilang
kau terlalu marah pada sejarah.
Terlalu keras.
Terlalu getir.

Pramoedya:
Apakah seharusnya aku tertawa
melihat bangsaku dipenjara
oleh kebodohan dan kekuasaan?
Aku tidak marah,
aku hanya tidak ingin lupa.
Karena lupa adalah awal dari pengkhianatan.

Aku:
Bung, di luar sana
orang-orang lebih suka cerita cinta dan komedi.
Lelah dengan luka.
Jenuh dengan perjuangan.

Pramoedya:
Kalau begitu, ceritakan cinta yang melawan.
Cinta yang membela,
bukan hanya menginginkan.
Perjuangan adalah bentuk cinta tertinggi—
dan bila rakyat lelah berjuang,
itulah saat penguasa menari.

Aku:
Bung, bolehkah kami menulis ulang negeri ini
dengan pena yang baru,
tapi dengan nyawa sekeras milikmu?

Pramoedya:
Tentu boleh.
Asal jangan kau tulis untuk dipuji,
tulislah untuk menyala.
Karena menulis adalah pekerjaan keabadian,
dan keberanianmu
adalah bagian dari sejarah yang belum selesai.

Aku:
Bung Pram,
terima kasih karena masih bicara dari balik sunyi.
Kami akan terus menulis.
Bukan karena kami kuat,
tapi karena kami tahu:
diam adalah bentuk pengkhianatan paling halus.

Pramoedya:
Dan kau telah memilih untuk tidak diam.
Itulah langkah pertamamu menjadi manusia.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

CAPTCHA ImageChange Image

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.