Sektor informal telah lama menjadi pilar fundamental dalam struktur perekonomian Indonesia. Analisis ini menunjukkan bahwa keberadaannya tidak dapat dilepaskan dari sejarah pembangunan nasional, yang ditandai oleh transformasi struktural yang tidak sepenuhnya ideal. Sektor ini berfungsi sebagai “katup pengaman” yang efektif, menyerap jutaan tenaga kerja yang tidak dapat diakomodasi oleh sektor formal, terutama di tengah ketidakstabilan ekonomi. Berdasarkan data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2024, jumlah pekerja informal mencapai 83,83 juta orang, merepresentasikan 57,95% dari total angkatan kerja yang ada.
Namun, peran vital ini hadir dengan serangkaian tantangan dan kerentanan yang signifikan. Meskipun memberikan peluang kerja, sektor informal seringkali gagal menyediakan pekerjaan yang layak dengan penghasilan stabil, perlindungan sosial, dan jaminan hukum yang memadai . Analisis ini mengidentifikasi beberapa faktor pendorong utama, termasuk fenomena deindustrialisasi dini yang menyebabkan krisis lapangan kerja formal, serta karakteristik individual pekerja seperti tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah.
Tantangan kebijakan menjadi semakin kompleks, di mana legislasi seperti Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja dinilai belum secara memadai memberikan perlindungan hukum bagi pekerja informal, bahkan menciptakan kekosongan regulasi. Partisipasi dalam program jaminan sosial, seperti BPJS, masih sangat rendah akibat kendala pemahaman, biaya, dan implementasi yang belum optimal.
Melihat kompleksitas ini, laporan ini merumuskan rekomendasi strategis multidimensi. Tujuannya adalah untuk tidak hanya memberdayakan sektor informal agar lebih produktif, tetapi juga untuk secara bertahap memfasilitasi transisi menuju pekerjaan yang lebih formal dan terlindungi. Rekomendasi meliputi reformasi regulasi yang inklusif, peningkatan akses terhadap jaminan sosial yang terjangkau, investasi dalam peningkatan keterampilan dan literasi digital, serta penguatan peran Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) sebagai tulang punggung ekonomi.
Latar Belakang dan Sejarah Perkembangan Sektor Informal di Indonesia
Sektor informal di Indonesia bukanlah fenomena baru, melainkan telah terbentuk sejak awal pembangunan nasional. Keberadaannya berakar dari ketidakidealan dalam transformasi struktural ekonomi, di mana sektor formal tidak mampu menyerap seluruh surplus tenaga kerja yang tersedia. Sejak era Orde Baru, pembangunan ekonomi yang berfokus pada sektor formal tidak sepenuhnya berhasil menyediakan lapangan kerja yang memadai bagi seluruh populasi, mendorong sebagian besar angkatan kerja untuk menciptakan pekerjaan mereka sendiri di luar regulasi pemerintah.
Sektor ini secara historis telah memainkan peran penting sebagai “katup pengaman” ekonomi. Dalam situasi ekonomi yang tidak stabil atau saat terjadi krisis, seperti ledakan pengangguran pasca-krisis 1998, keberpihakan pemerintah terhadap sektor informal menjadi strategi yang ampuh untuk meredam gelombang pencari kerja yang membludak. Fenomena ini menegaskan bahwa sektor informal adalah respons alami dan krusial terhadap dinamika ekonomi makro dan fluktuasi pasar tenaga kerja.
Definisi Sektor Informal: Perbandingan dan Nuansa dalam Pengukuran
Definisi sektor informal bervariasi antara satu lembaga dengan lembaga lainnya, menciptakan tantangan dalam pengukuran dan perumusan kebijakan yang akurat. Badan Pusat Statistik (BPS) mengategorikan pekerja informal sebagai mereka yang bekerja pada kegiatan informal, yang mencakup individu yang bekerja sendiri, pekerja keluarga tak dibayar, pekerja bebas (freelancer), dan pekerja lepas. Definisi ini menjadi dasar bagi statistik ketenagakerjaan resmi di Indonesia.
Namun, terdapat perbedaan signifikan dalam estimasi proporsi pekerja informal antara BPS dan lembaga internasional seperti Bank Dunia dan Organisasi Buruh Internasional (ILO). Sebagai contoh, BPS mengestimasi proporsi pekerja informal berada di angka 57-60% dalam beberapa tahun terakhir, sementara estimasi Bank Dunia berdasarkan data Sakernas 2019 menunjukkan bahwa pekerja informal mencakup hampir 75% dari total lapangan kerja. Perbedaan angka ini bukan semata-mata inkonsistensi data, melainkan mencerminkan perbedaan metodologi dan cakupan. Lembaga internasional sering menggunakan definisi yang lebih luas, yang mungkin mencakup pekerja non-upah atau pekerja non-kontrak di perusahaan formal, yang sulit dilacak oleh survei standar. Kerumitan ini menunjukkan bahwa pemahaman mengenai sektor informal harus melampaui statistik tunggal dan mengakui bahwa populasi pekerja informal sangat beragam dan sulit untuk diukur secara homogen. Unit-unit produksi informal, misalnya, sering kali sulit dilokalisasi, memiliki perputaran (turnover) tinggi, dan aset keuangannya sulit dipisahkan dari aset rumah tangga pemiliknya.
Gambaran Makro: Proporsi, Ukuran, dan Perkembangan Terkini
Sektor informal terus mendominasi pasar kerja Indonesia. Berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Agustus 2024, jumlah penduduk yang bekerja di kegiatan informal mencapai 83,83 juta orang, atau setara dengan 57,95% dari total penduduk bekerja. Angka ini menunjukkan tren penurunan proporsi dibandingkan dengan periode sebelumnya, seperti Februari 2024 (59,17%) dan Agustus 2023.
Secara simultan, proporsi pekerja formal mengalami peningkatan. Pada Agustus 2024, pekerja formal mencapai 60,81 juta orang atau 42,05%, meningkat dari 40,83% pada Februari 2024. Peningkatan ini didorong oleh naiknya jumlah pekerja dengan status buruh/karyawan/pegawai, mengindikasikan adanya pergeseran struktural yang perlahan menuju lapangan kerja formal, meskipun sektor informal masih memegang kendali dominan.
Profil Pekerja Informal: Karakteristik Berdasarkan Demografi
Karakteristik pekerja informal di Indonesia sangat beragam dan bervariasi, tidak dapat digeneralisasi dalam satu profil tunggal. Data demografi menunjukkan bahwa pekerja informal didominasi oleh laki-laki, dengan proporsi mencapai 56,87% dari total pekerja informal.
Studi yang membandingkan karakteristik kepala rumah tangga laki-laki (KRTL) dan perempuan (KRTP) dalam sektor informal menemukan perbedaan yang mencolok. KRTL cenderung berstatus menikah, bekerja di sektor pertanian, memiliki jam kerja penuh (≥35 jam per minggu), dan berada di kelompok usia produktif relatif muda (30-49 tahun). Profil pendidikan mereka umumnya tamat sekolah dasar atau lebih rendah, dan memiliki pendapatan yang rendah.
Sebaliknya, KRTP memiliki profil yang berbeda secara signifikan. Mereka didominasi oleh pekerja dengan status cerai atau janda/duda, beroperasi di bidang perdagangan, dan memiliki jam kerja yang lebih sedikit (<35 jam per minggu). Profil pendidikan KRTP juga lebih rendah, dengan banyak yang tidak menyelesaikan sekolah dasar. Selain itu, mereka umumnya berada di kelompok usia yang lebih tua, yaitu 50-64 tahun.
Perbedaan karakteristik ini memberikan pemahaman yang lebih dalam mengenai motivasi dan kebutuhan pekerja informal. Bagi KRTP, pekerjaan informal mungkin merupakan pilihan yang muncul di fase hidup yang berbeda (misalnya, setelah perceraian atau kehilangan pasangan), yang memungkinkan fleksibilitas untuk menyeimbangkan tanggung jawab domestik dan kebutuhan ekonomi. Sementara itu, bagi KRTL, pekerjaan informal sering kali merupakan satu-satunya pilihan yang tersedia dalam menghadapi keterbatasan peluang di sektor formal. Perbedaan ini menggarisbawahi perlunya perumusan kebijakan yang tersegmentasi dan sensitif gender, alih-alih pendekatan “satu ukuran untuk semua” yang kurang efektif.
Selain itu, sektor informal juga menyerap populasi yang paling rentan, termasuk pekerja anak. Persentase pekerja anak yang bekerja di sektor informal selalu berada di atas 70%. Karakteristik pekerja anak ini ditandai dengan tingkat pendidikan yang rendah dan mayoritas masih bersekolah di tingkat pendidikan formal. Fenomena ini menyoroti bahwa sektor informal tidak hanya menjadi “katup pengaman” bagi orang dewasa, tetapi juga menjadi jebakan bagi anak-anak di mana tuntutan ekonomi keluarga mengalahkan hak mereka untuk mendapatkan pendidikan penuh dan perlindungan.
Distribusi Sektoral dan Geografis
Sektor informal mendominasi beberapa bidang usaha kunci dalam perekonomian Indonesia. Berdasarkan data Agustus 2024, sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan merupakan kontributor utama penyerapan tenaga kerja, menyumbang 28,18% dari total penduduk bekerja. Selain itu, sektor non-pertanian yang memiliki kontribusi signifikan terhadap sektor informal adalah perdagangan grosir dan eceran, serta sektor jasa, termasuk hotel dan restoran.
Terdapat pula pola geografis yang berbeda antara pekerja informal di perkotaan dan perdesaan. Pekerja anak informal di wilayah perkotaan umumnya bekerja di sektor jasa, sementara di daerah perdesaan mereka cenderung bekerja di sektor pertanian. Demikian pula, data menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja informal (52,49%) tinggal di pedesaan, mencerminkan tingginya ketergantungan ekonomi pedesaan pada sektor-sektor non-formal, seperti pertanian.
Peran Vital Sektor Informal dalam Perekonomian Nasional
Sektor Informal sebagai Penyangga Ketenagakerjaan
Peran paling menonjol dari sektor informal adalah kemampuannya untuk menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, terutama bagi mereka yang tidak dapat diakomodasi oleh sektor formal. Bagi banyak pencari kerja, baik di perkotaan maupun pedesaan, sektor informal telah menjadi “alternatif pekerjaan utama” yang menawarkan kesempatan kerja yang melimpah. Tanpa keberadaan sektor ini, tingkat pengangguran di Indonesia akan melonjak tajam, menciptakan ketidakstabilan sosial dan ekonomi yang lebih parah.
Kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan Keterkaitan dengan UMKM
Meskipun sering dianggap sebagai ekonomi bayangan, sektor informal memberikan kontribusi yang sangat substansial terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. ADB mengestimasi bahwa kontribusi sektor informal terhadap PDB mencapai sekitar 38%. Angka serupa juga ditemukan oleh Bank Dunia, yang mencatat bahwa ekonomi informal menyumbang rata-rata 36% dari PDB antara tahun 2011 dan 2019. Sektor ini juga menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi, menyumbang 55% konsumsi dan 60% lapangan kerja .
Keterkaitan yang erat antara sektor informal dan UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) adalah kunci untuk memahami kontribusi ekonomi ini. Terdapat tumpang tindih yang besar antara kedua sektor, di mana lebih dari 90% perusahaan informal di Indonesia adalah usaha mikro atau kecil. UMKM sendiri memainkan peran yang sangat strategis, menyerap 97% dari total perusahaan kerja di Indonesia dan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap PDB, dengan estimasi mencapai 61,07% pada tahun 2022.
Keterkaitan ini menunjukkan bahwa sebagian besar kontribusi ekonomi dari sektor informal mengalir melalui ekosistem UMKM. Oleh karena itu, kebijakan yang bertujuan untuk memperkuat UMKM, misalnya melalui akses digital dan permodalan, secara langsung akan memberikan dampak positif yang besar terhadap kesejahteraan pekerja informal. Pendekatan ini mengubah narasi dari “sektor informal sebagai masalah” menjadi “UMKM sebagai solusi”, sebuah perspektif yang lebih konstruktif dan strategis dalam pembangunan ekonomi.
Sektor Informal sebagai “Katup Pengaman” di Tengah Krisis Ekonomi
Sejarah telah membuktikan bahwa sektor informal berfungsi sebagai penahan guncangan ekonomi. Di masa krisis, ketika banyak pekerjaan formal hilang dan gelombang pengangguran meningkat, sektor informal menjadi tempat perlindungan bagi para pencari kerja. Fleksibilitas operasionalnya memungkinkan individu untuk beradaptasi dengan cepat dan menciptakan sumber pendapatan, yang seringkali merupakan satu-satunya pilihan untuk kelangsungan hidup. Namun, meskipun berperan sebagai penyangga, ketahanan ini sering kali mengorbankan kualitas hidup, menempatkan pekerja dalam kondisi yang rentan terhadap fluktuasi pasar dan kekurangan perlindungan sosial.
Faktor Pendorong dan Dinamika Pertumbuhan Sektor Informal
Transformasi Struktural yang Tidak Ideal dan Keterbatasan Sektor Formal
Pertumbuhan sektor informal adalah gejala dari kegagalan sektor formal untuk menyediakan lapangan kerja yang memadai bagi seluruh angkatan kerja yang terus bertumbuh. Pembangunan ekonomi yang terjadi tidak selalu diikuti dengan penciptaan lapangan kerja formal yang berkualitas dan berkesinambungan, menyebabkan sebagian besar tenaga kerja terpaksa beralih ke sektor informal untuk bertahan hidup.
Fenomena Deindustrialisasi Dini dan Korelasinya dengan Peningkatan Pekerja Informal
Salah satu faktor struktural yang paling signifikan dalam mendorong pertumbuhan sektor informal adalah fenomena deindustrialisasi dini. Kondisi ini merujuk pada menurunnya kontribusi sektor industri manufaktur terhadap perekonomian, yang dapat dilihat dari data yang menunjukkan penurunan kontribusi sektor ini terhadap PDB dari 21,08% pada 2014 menjadi 18,98% pada 2024.
Sektor manufaktur secara tradisional dikenal sebagai sektor padat karya yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar dan menyediakan pekerjaan formal. Ketika kontribusi dan daya serap sektor ini menurun, terjadi krisis lapangan kerja yang layak. Akibatnya, angkatan kerja yang seharusnya terserap di sektor formal, kini harus mencari pekerjaan di sektor lain yang didominasi oleh kegiatan informal. Fenomena ini menjelaskan mengapa, meskipun ekonomi tumbuh, banyak pekerjaan yang tercipta bukan merupakan pekerjaan “layak” atau pekerjaan formal. Hal ini menciptakan hubungan kausal yang jelas: deindustrialisasi dini secara langsung berkontribusi pada peningkatan jumlah pekerja informal dan membuat mereka terjebak dalam kondisi kerentanan.
Analisis Faktor Individual: Migrasi, Pendidikan Rendah, dan Keterampilan Terbatas
Selain faktor makro, keterlibatan individu dalam sektor informal juga dipengaruhi oleh serangkaian faktor mikroekonomi. Studi menunjukkan bahwa gender, usia, status perkawinan, tingkat pendidikan, dan status migrasi memiliki pengaruh yang signifikan. Tingkat pendidikan yang rendah (tingkat SMA atau lebih rendah) adalah salah satu faktor paling dominan yang mendorong individu untuk bekerja di sektor informal. Keterbatasan ini membuat mereka tidak memiliki keterampilan yang dibutuhkan oleh pasar kerja modern, sehingga opsi yang tersedia sangat terbatas.
Migrasi, khususnya dari perdesaan ke perkotaan, juga mempercepat dinamika ini. Migran, terutama yang memiliki tingkat pendidikan rendah, cenderung lebih mungkin untuk bekerja di sektor informal di perkotaan, menambah tekanan pada ketersediaan lapangan kerja yang sudah terbatas.
Kerentanan dan Implikasi Sosial Tenaga Kerja Informal
Kondisi Pekerjaan Tidak Layak
Pekerjaan informal, meskipun menyediakan pendapatan, seringkali tidak memenuhi kriteria pekerjaan yang layak (decent work). Kondisi ini tercermin dari berbagai aspek:
- Pendapatan Rendah: Pekerja informal secara rata-rata memperoleh upah 30% lebih rendah dibandingkan pekerja formal, bahkan setelah faktor demografi dan pendidikan dikontrol. Hal ini membuat banyak pekerja informal, terutama kepala rumah tangga miskin, terjebak dalam lingkaran kemiskinan.
- Ketiadaan Jaminan Sosial: Partisipasi dalam program jaminan sosial, seperti jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan, masih sangat rendah. Pada tahun 2017, hanya 43% pekerja informal yang terdaftar dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Data Susenas 2018 menunjukkan bahwa 41,7% pekerja informal masih belum memiliki jaminan kesehatan.
- Jam Kerja Tidak Pasti: Meskipun sebagian besar pekerja informal bekerja penuh (>35 jam per minggu), tingkat “setengah pengangguran” (bekerja kurang dari 35 jam namun ingin menambah jam kerja) juga signifikan. Kondisi ini mencerminkan pendapatan yang tidak stabil dan ketidakamanan kerja.
Studi Kasus Mendalam
Pekerja Ojek Online
Fenomena gig economy melalui platform digital, seperti ojek online, sering dianggap sebagai pekerjaan modern yang menawarkan fleksibilitas. Namun, analisis mendalam menunjukkan bahwa pekerjaan ini memiliki karakteristik yang sangat mirip dengan pekerjaan informal tradisional. Jumlah pengemudi ojek online meningkat signifikan dari 3,62 juta pada 2019 menjadi 4,22 juta pada 2024. Namun, pendapatan rata-rata harian mereka mengalami penurunan drastis, dari Rp309.000 pada 2018-2019 menjadi hanya Rp175.000 pada 2022-2023. Kerentanan ini diperparah dengan minimnya perlindungan sosial; hanya 12% dari 4,6 juta pengemudi ojek online yang terdaftar dengan BPJS Ketenagakerjaan. Studi kasus ini menunjukkan bahwa inovasi digital tidak serta merta menyelesaikan masalah sektor informal, melainkan hanya mengubah bentuknya, di mana fleksibilitas datang dengan biaya kerentanan yang tinggi.
Pedagang Kaki Lima
Pedagang kaki lima (PKL) adalah salah satu representasi paling menonjol dari sektor informal. Mereka menghadapi tantangan unik, termasuk kerentanan terhadap penertiban dan perampasan barang dagangan. Studi menunjukkan bahwa pendapatan mereka sangat dipengaruhi oleh modal dan jam kerja. Kondisi kerja mereka seringkali tidak dilindungi oleh regulasi, dan mereka tidak memiliki perwakilan yang efektif, seperti serikat pekerja formal, untuk memperjuangkan hak-hak mereka.
Keterkaitan Sektor Informal dengan Isu Kemiskinan
Sektor informal memiliki hubungan yang kuat dengan tingkat kemiskinan di Indonesia. Data menunjukkan bahwa pekerjaan informal adalah ciri khas utama dari rumah tangga miskin. Sebanyak 82% kepala rumah tangga yang dikategorikan miskin bekerja di sektor informal. Keterlibatan dalam sektor ini sering kali menjadi strategi bertahan hidup, namun pada saat yang sama, kondisi pekerjaan yang tidak layak, pendapatan yang rendah, dan ketiadaan perlindungan sosial membuat mereka sulit untuk keluar dari jebakan kemiskinan .
Tantangan Kebijakan dan Arah Perlindungan Hukum
Kesenjangan Perlindungan Hukum
Salah satu tantangan terbesar adalah ketiadaan perlindungan hukum yang memadai bagi pekerja informal. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, yang merupakan revisi dari UU Cipta Kerja sebelumnya, dikritik karena tidak secara eksplisit mengatur pekerja informal, menciptakan “kekosongan hukum” yang signifikan.
Tujuan dari UU Cipta Kerja adalah untuk menyederhanakan regulasi dan meningkatkan ekosistem investasi. Namun, dalam pelaksanaannya, regulasi ini dituduh melonggarkan aturan kontrak kerja formal, yang secara tidak langsung justru meningkatkan fleksibilitas kerja dan mendorong pekerja ke dalam kondisi informal yang lebih rentan. Ini menciptakan paradoks di mana kebijakan yang dirancang untuk menciptakan lapangan kerja formal justru berpotensi melemahkan perlindungan pekerja dan meningkatkan informalitas.
Keterbatasan Program Pemberdayaan dan Jaminan Sosial
Upaya pemerintah dalam memberdayakan sektor informal telah dilakukan melalui berbagai program, seperti Program Pemberdayaan Fakir Miskin (P2FM) dan Kelompok Usaha Bersama (KUBE). Secara konseptual, skema ini dianggap tepat untuk mengurangi kemiskinan karena sifatnya yang realistis dan mudah diakses oleh masyarakat miskin. Namun, implementasinya seringkali kurang efektif.
Keterbatasan utama terletak pada kurangnya sosialisasi, penargetan yang kurang tepat, dan kendala dalam distribusi program. Selain itu, tantangan mendasar lainnya adalah partisipasi pekerja informal dalam jaminan sosial yang masih sangat rendah. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
- Kurangnya Pemahaman: Tingkat pendidikan yang rendah pada mayoritas pekerja informal berkaitan dengan kurangnya kesadaran dan pengetahuan tentang pentingnya asuransi kesehatan.
- Persepsi Biaya Tinggi: Sebagian besar pekerja informal memiliki pendapatan rendah, sehingga iuran jaminan sosial non-subsidi dirasa memberatkan.
- Kelompok “Serba Tanggung”: Ada kelompok pekerja yang tidak cukup miskin untuk menerima subsidi pemerintah (PBI), tetapi juga tidak memiliki dana yang cukup untuk membayar iuran mandiri.
Kesimpulan
Sektor informal di Indonesia adalah entitas ekonomi yang kompleks dan multidimensi. Sektor ini berfungsi sebagai tulang punggung penyerapan tenaga kerja dan kontributor signifikan terhadap PDB, namun pada saat yang sama menjadi sumber utama kerentanan dan ketidaksetaraan. Akar permasalahan terletak pada fenomena struktural seperti deindustrialisasi dini, yang membatasi kapasitas sektor formal, serta faktor individual seperti pendidikan yang rendah. Kondisi kerja yang tidak layak, minimnya perlindungan sosial, dan kesenjangan regulasi semakin memperparah kerentanan pekerja di sektor ini.
Meningkatnya fenomena gig economy menunjukkan bahwa tantangan sektor informal tidak hilang, melainkan hanya berevolusi, di mana inovasi teknologi belum diimbangi dengan perlindungan yang memadai. Oleh karena itu, pendekatan kebijakan yang komprehensif diperlukan untuk mengatasi masalah ini secara sistemik, bukan hanya sekadar solusi tambal sulam.
Rekomendasi Kebijakan Multidimensi
Berdasarkan analisis yang mendalam, berikut adalah rekomendasi strategis yang dapat dipertimbangkan untuk memperkuat dan melindungi sektor informal di Indonesia:
- Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia dan Pelatihan Keterampilan:
- Mengembangkan program pendidikan dan pelatihan keterampilan yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja saat ini. Program ini harus disesuaikan dengan karakteristik demografi yang beragam, misalnya pelatihan ulang untuk pekerja lansia atau pendidikan literasi digital untuk seluruh lapisan masyarakat.
- Reformasi Regulasi dan Penegakan Hukum yang Melindungi:
- Menciptakan legislasi khusus yang secara eksplisit mengakui dan memberikan perlindungan hukum bagi pekerja informal, termasuk hak-hak dasar dan skema kontrak kerja yang adil.
- Memperkuat pengawasan dan penegakan hukum untuk memastikan bahwa hak-hak dasar pekerja, terutama yang bekerja di perusahaan formal dengan skema informal, terpenuhi.
- Peningkatan Akses Jaminan Sosial yang Inklusif:
- Merancang skema pembiayaan jaminan sosial yang lebih terjangkau bagi pekerja informal.
- Melakukan sosialisasi dan edukasi secara komprehensif dan bertahap mengenai pentingnya jaminan sosial dan prosedur pendaftarannya.
- Mengevaluasi dan mereformasi program bantuan pemerintah untuk memastikan penargetan yang lebih efektif dan tidak menciptakan permasalahan sosial baru.
- Pemberdayaan UMKM dan Digitalisasi:
- Menyadari bahwa sebagian besar pekerja informal terkait dengan UMKM, maka kebijakan harus berfokus pada penguatan sektor ini.
- Mempermudah akses modal usaha, termasuk melalui bantuan permodalan dan pendampingan keuangan.
- Mendorong digitalisasi UMKM untuk meningkatkan daya saing, memperluas pasar, dan meningkatkan ketahanan ekonomi, seperti yang terbukti efektif di masa pandemi.
Dengan pendekatan yang terintegrasi dan kolaboratif, yang melibatkan pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat, Indonesia dapat mengubah tantangan sektor informal menjadi peluang nyata untuk menciptakan pekerjaan yang lebih layak, mengurangi kemiskinan, dan mencapai kesejahteraan yang lebih merata.
Daftar Pustaka
- Abdullah, J. (2018). Bentuk-Bentuk Jaminan Sosial Dan Manfaatnya Bagi Tenaga Kerja Dalam Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. YUDISIA: Jurnal Pemikiran Hukum Dan Hukum Islam,
- Aftitah & Hasanah. (2025). Pelatihan Dan Pendampingan Pemasaran Digital Bagi Umkm Di Kelurahan Cibaduyut Wetan Bandung
- Ardianingsih, F., Asmawati, M., & Sari, W. L. (2021). Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Sektor Informal di Indonesia: Tantangan dan Harapan. Jurnal Hukum, 1(1), 1-10.
- Badan Pusat Statistik (BPS). (2024, Agustus). Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia Agustus 2024.
- Badan Pusat Statistik (BPS). (2024, Mei). Mayoritas Penduduk Indonesia Masih Bekerja di Sektor Informal.
- Bank Dunia. (2023). Indonesia Economic Prospects: Navigating Global Headwinds.
- Cicih, L. H. M., Hayati, A. F., & Ardh, M. R. E. (2021). Kepesertaan Pekerja Informal Dalam Jaminan Sosial. Sosioinforma, 7(1),
- Hapsari, Y. A., et al. (2024). Revolusi Digital dalam Meningkatkan Daya Saing UMKM di Desa Wonosunyo, Pasuruan Jawa Timur.
- Indonesia for Global Justice (IGJ). (2021). UU Cipta Kerja Membuat Pekerja Semakin Rentan, Negara Telah Gagal Melindungi Buruh.
- Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. (2022). Perkembangan UMKM Tahun 2022.
- Prasetyo, A. (2016). DEINDUSTRIALISASI SEBUAH ANCAMAN KEGAGALAN TRIPLE TRACK STRATEGY PEMBANGUNAN DI INDONESIA.
- Satriawan, D. (2021). KARAKTERISTIK KEPALA RUMAH TANGGA PEREMPUAN DALAM PEKERJAAN SEKTOR INFORMAL. Sosioinforma, 7(1), 46-52.
- Syafitri, Prestianawati, & Naldi. (2022). Factors Influencing Individuals to Be Involved in Informal Economic Sectors in Indonesia.
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023. Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang
- Widodo, H. (2019). Analisis Pendapatan Pedagang Kaki Lima di Pasar 45 Kota Manado.
- Wihardja, M., & Cunningham, T. (2021). The Rise of the Gig Economy in Indonesia.
- Yusuf, A. A. (2015). Peran Sektor Informal dalam Penyerapan Tenaga Kerja dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia.
- Zusmelia, F., & Ansofino. (2019). Pengaruh Jumlah Penduduk, Pendidikan dan Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Kemiskinan di Kabupaten Lebak.