Abolisi adalah hak prerogatif yang dimiliki oleh kepala negara untuk menghapuskan hak tuntutan pidana dan menghentikan proses hukum jika telah dijalankan. Lebih lanjut, abolisi juga merujuk pada hak untuk menghapuskan seluruh akibat dari penjatuhan putusan pengadilan atau meniadakan tuntutan pidana kepada seorang terpidana. Apabila putusan tersebut telah dijalankan, abolisi dapat menghentikan pelaksanaannya. Secara umum, abolisi diartikan sebagai penghapusan proses hukum seseorang yang sedang berjalan atau baru akan berlangsung. Dengan demikian, tujuan utama pemberian abolisi adalah meniadakan penuntutan terhadap tersangka atau terdakwa.

Abolisi, sebagai tindakan eksekutif, secara fundamental mengintervensi proses yudisial pada tahap awal atau saat proses hukum sedang berjalan. Berbeda dengan pengampunan hukuman setelah putusan pengadilan, abolisi berfungsi untuk menghapuskan potensi atau proses hukum itu sendiri. Hal ini menempatkan abolisi sebagai instrumen yang secara inheren memiliki dimensi politik yang kuat. Penggunaan abolisi dapat berfungsi sebagai alat rekonsiliasi atau stabilisasi politik, terutama dalam situasi yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Penerapan abolisi dalam kasus-kasus historis seperti pemberontakan atau disiden politik, seperti yang terjadi pada Daud Bereuh atau Republik Maluku Selatan, menunjukkan bahwa kepentingan nasional, seperti persatuan atau rekonsiliasi, dapat diprioritaskan di atas penuntutan hukum yang ketat.

Tujuan dan Ruang Lingkup Laporan

Tulisan  ini bertujuan untuk memberikan ulasan komprehensif mengenai abolisi di Indonesia. Pembahasan akan mencakup dasar hukum yang melandasi pemberian abolisi, prosedur formal yang harus dilalui, perbandingan abolisi dengan hak prerogatif presiden lainnya seperti amnesti, grasi, dan rehabilitasi, serta studi kasus historis dan kontemporer. Laporan ini juga akan menganalisis bagaimana abolisi telah digunakan sebagai instrumen hukum dan politik dalam berbagai konteks di Indonesia, serta implikasinya terhadap sistem peradilan dan stabilitas politik.

Kerangka Hukum Abolisi di Indonesia

Dasar Konstitusional (UUD 1945)

Dasar konstitusional pemberian abolisi di Indonesia diatur secara eksplisit dalam Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal ini menyatakan bahwa Presiden memberikan amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Sebelum amandemen UUD 1945, kekuasaan Presiden dalam hal grasi, rehabilitasi, amnesti, dan abolisi dimuat dalam satu pasal, yaitu Pasal 14. Pada masa itu, konsultasi utama Presiden untuk semua hak prerogatif ini adalah kepada Mahkamah Agung (MA). Namun, setelah amandemen UUD 1945, kewenangan tersebut diturunkan menjadi dua ayat, yang secara spesifik memisahkan lembaga yang dimintai pertimbangan. Mahkamah Agung dimintai pertimbangan untuk grasi dan rehabilitasi, sementara DPR dimintai pertimbangan untuk amnesti dan abolisi.

Perubahan dalam UUD 1945 pasca-amandemen yang secara eksplisit melibatkan DPR dalam pemberian abolisi dan amnesti menandai pergeseran signifikan dalam sistem checks and balances. Perubahan ini mengurangi sifat “absolut” dari hak prerogatif presiden, yang sebelumnya memiliki kekuasaan lebih luas dan kurang terkontrol. Dengan adanya kebutuhan akan pertimbangan DPR, akuntabilitas politik dalam penggunaan kekuasaan ini menjadi lebih terdorong. Ini merupakan cerminan dari semangat reformasi yang bertujuan untuk membatasi potensi penyalahgunaan kekuasaan eksekutif dan memastikan bahwa keputusan penting, terutama yang memiliki dampak politik, tunduk pada pengawasan parlemen dan representasi publik.

Dasar Undang-Undang (UU Darurat No. 11 Tahun 1954 dan relevansi UU lainnya)

Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi merupakan dasar hukum utama yang mengatur pemberian abolisi di Indonesia. Pasal 1 UU Darurat 11/1954 menjelaskan bahwa Presiden, atas kepentingan negara, dapat memberikan amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang telah melakukan tindak pidana. Pemberian ini dilakukan setelah Presiden mendapatkan nasihat tertulis dari Mahkamah Agung, yang disampaikan atas permintaan Menteri Kehakiman. Lebih lanjut, Pasal 4 UU Darurat 11/1954 secara tegas menyatakan bahwa dengan pemberian abolisi, penuntutan terhadap orang-orang yang dimaksud ditiadakan.

Adanya kesenjangan antara Undang-Undang Darurat 11 Tahun 1954 (yang masih menyebutkan konsultasi dengan Mahkamah Agung) dan Undang-Undang Dasar 1945 pasca-amandemen (yang mengamanatkan pertimbangan DPR) menciptakan ambiguitas hukum dan potensi ketidakselarasan dalam praktik. Undang-undang darurat tahun 1954 diberlakukan dalam konteks konstitusional yang berbeda, di mana kekuasaan presiden lebih terpusat. Namun, amandemen UUD 1945 secara eksplisit mengalihkan badan penasihat untuk abolisi dari MA ke DPR. Konflik normatif ini menimbulkan pertanyaan tentang lembaga mana yang pertimbangannya secara hukum mengikat. Kelanjutan berlakunya undang-undang yang usang untuk kekuasaan presiden yang krusial ini mengindikasikan kelambanan legislatif atau pilihan untuk mempertahankan fleksibilitas, namun secara inheren melemahkan kepastian hukum dan berpotensi menjadi sumber tantangan hukum atau pertentangan politik di masa depan. Oleh karena itu, pembaharuan undang-undang yang mengatur hak prerogatif presiden sangat dibutuhkan agar selaras dengan konstitusi yang telah diamandemen, demi kepastian hukum dan konsistensi sistematis.

Prosedur Pemberian Abolisi

Mekanisme Formal

Prosedur pemberian abolisi di Indonesia mengikuti mekanisme formal yang melibatkan beberapa tahapan. Proses ini dimulai dengan pengajuan permohonan kepada Presiden melalui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham). Setelah permohonan diajukan, tim pengkaji dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia akan melakukan kajian dan analisis mendalam terhadap kasus tersebut. Hasil kajian ini kemudian disampaikan kepada Presiden untuk pertimbangan lebih lanjut.

Langkah krusial berikutnya adalah ketika Presiden meminta pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pertimbangan DPR ini memiliki bobot konstitusional yang signifikan; tanpa persetujuan dari DPR, pemberian abolisi tidak sah secara konstitusional. Setelah mendapatkan persetujuan dari DPR, Presiden kemudian mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) yang menyatakan pemberian abolisi.

Meskipun prosedur formal ini melibatkan beberapa lembaga, sifat “kepentingan negara” sebagai dasar pemberian abolisi memberikan diskresi yang luas kepada Presiden. Fleksibilitas yang melekat ini, ditambah dengan sifat politik abolisi, berarti bahwa definisi “kepentingan negara” oleh Presiden dapat dipengaruhi oleh pertimbangan politik. Hal ini dapat memunculkan perdebatan tentang objektivitas dan potensi politisasi dalam penggunaan hak prerogatif ini, terutama dalam kasus-kasus kontroversial yang melibatkan tokoh politik atau isu-isu sensitif. Kasus Tom Lembong baru-baru ini, misalnya, memicu perdebatan mengenai intervensi kekuasaan dalam proses peradilan dan potensi penyalahgunaan hak prerogatif untuk melindungi elit politik.

Abolisi vs. Hak Prerogatif Lainnya: Amnesti, Grasi, dan Rehabilitasi

Perbandingan Konseptual dan Implikasi Hukum

Dalam sistem hukum Indonesia, selain abolisi, Presiden memiliki hak prerogatif lain yang seringkali disalahpahami. Memahami perbedaan antara abolisi, amnesti, grasi, dan rehabilitasi sangat penting untuk mengidentifikasi implikasi hukum yang tepat dari setiap tindakan.

  • Abolisi: Abolisi adalah penghapusan proses hukum seseorang yang sedang berjalan atau baru akan berlangsung. Akibat hukum dari pemberian abolisi adalah meniadakan penuntutan terhadap orang tersebut. Abolisi umumnya diberikan kepada terpidana perorangan.
  • Amnesti: Amnesti adalah pengampunan atau penghapusan hukuman yang diberikan kepala negara kepada seseorang atau sekelompok orang yang telah melakukan tindak pidana tertentu. Dengan amnesti, semua akibat hukum pidana terhadap orang yang menerimanya dihapuskan. Amnesti bersifat kolektif dan dapat diberikan tanpa pengajuan permohonan terlebih dahulu. Pemberian amnesti seringkali memiliki tujuan politik, seperti rekonsiliasi nasional.
  • Grasi: Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang telah dijatuhi putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap Grasi diatur secara spesifik dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi. Pemberian grasi dilakukan oleh Presiden dengan memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung.
  • Rehabilitasi: Rehabilitasi adalah pemulihan hak seseorang dalam kemampuan, kedudukan, harkat, dan martabatnya yang diberikan karena ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan yang sah. Dalam pengertian KUHAP, rehabilitasi merupakan hak seorang untuk mendapat pemulihan haknya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan, atau peradilan.

Perbedaan krusial antara abolisi dan amnesti, khususnya mengenai tahapan proses hukum yang diintervensi (sebelum/selama penuntutan versus setelah putusan/penghapusan akibat hukum), seringkali disalahpahami oleh publik dan media. Abolisi mencegah atau menghentikan proses hukum, yang berarti diterapkan pada tahap pra-vonis atau saat persidangan sedang berlangsung. Sebaliknya, amnesti menghapus konsekuensi hukum dari suatu perbuatan, seringkali setelah adanya putusan pengadilan. Grasi mengubah hukuman yang sudah ada , dan rehabilitasi memulihkan reputasi. Kesalahan terminologi dapat mengaburkan pemahaman publik tentang implikasi hukum yang berbeda dari masing-masing hak prerogatif. Misalnya, menyebut amnesti untuk seseorang yang sudah divonis sebagai “abolisi” akan keliru dalam menggambarkan tahapan hukum di mana kekuasaan eksekutif diterapkan. Oleh karena itu, penjelasan yang akurat sangat penting untuk menghindari kebingungan dan memastikan pemahaman yang benar tentang implikasi hukum yang berbeda dari masing-masing hak prerogatif, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi persepsi keadilan dan akuntabilitas.

Tabel Perbandingan Hak Prerogatif Presiden

Untuk memperjelas perbedaan antara hak-hak prerogatif Presiden, tabel berikut menyajikan perbandingan berdasarkan aspek-aspek kunci:

Hak Prerogatif Definisi Singkat Waktu Pemberian Sifat Akibat Hukum Lembaga yang Dimintai Pertimbangan Dasar Hukum Utama
Abolisi Penghapusan proses hukum yang sedang berjalan/baru akan berlangsung Sebelum/selama proses hukum, sebelum putusan Individual Penuntutan ditiadakan DPR UUD 1945, UU Darurat 11/1954
Amnesti Pengampunan/penghapusan hukuman bagi pelaku tindak pidana tertentu Sebelum, selama, atau setelah proses hukum, termasuk setelah putusan berkekuatan hukum tetap Kolektif (dapat juga individual) Semua akibat hukum pidana dihapuskan DPR UUD 1945, UU Darurat 11/1954
Grasi Perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana Setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap Individual Hukuman diringankan/diubah/dihapus Mahkamah Agung (MA) UUD 1945, UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi
Rehabilitasi Pemulihan hak, kedudukan, harkat, dan martabat Pada tingkat penyidikan, penuntutan, atau peradilan Individual Nama baik dipulihkan Mahkamah Agung (MA) UUD 1945, KUHAP

Studi Kasus Historis Pemberian Abolisi di Indonesia

Penerapan abolisi di Indonesia telah mencerminkan dinamika politik dan hukum yang berkembang sepanjang sejarah bangsa. Berikut adalah beberapa studi kasus penting yang menggambarkan penggunaan hak prerogatif ini:

Pemberontakan Daud Bereuh (Aceh, 1961)

Pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Aceh, yang dipimpin oleh Teungku Muhammad Daud Beureueh sejak tahun 1953, berakar dari kekecewaan masyarakat Aceh terhadap kebijakan pemerintah pusat. Kekecewaan ini terutama dipicu oleh peleburan Aceh ke dalam Provinsi Sumatera Utara pada tahun 1950 dan penolakan Presiden Sukarno terhadap penerapan syariat Islam secara penuh di Aceh. Konflik bersenjata ini menimbulkan kerugian besar bagi pemerintah dan masyarakat Aceh.

Sebagai upaya meredam konflik dan mencapai rekonsiliasi, Presiden Soekarno memberikan amnesti dan abolisi kepada mereka yang terlibat dalam pemberontakan Daud Bereuh di Aceh melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 449 Tahun 1961. Pemberian ini berlaku bagi mereka yang melaporkan diri dan menyatakan kesetiaan kepada Republik Indonesia selambat-lambatnya tanggal 5 Oktober 1961.

Pemberian abolisi dalam kasus Daud Bereuh merupakan bagian dari strategi penyelesaian konflik melalui jalur diplomasi. Langkah ini diiringi dengan pengakuan status otonomi khusus bagi Aceh, yang kemudian dikenal sebagai Daerah Istimewa Aceh, dengan kebebasan untuk menjalankan unsur-unsur syariat Islam. Meskipun Daud Beureueh sendiri menerima amnesti pada tahun 1962, ia tetap kritis terhadap pemerintah dan kemudian ditahan lagi pada tahun 1978 setelah munculnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Penggunaan hak prerogatif ini pada masa itu adalah instrumen politik yang kuat untuk meredam konflik bersenjata dan mencapai rekonsiliasi nasional, menunjukkan bagaimana abolisi dapat digunakan untuk tujuan stabilitas politik dan persatuan bangsa.

Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS, 1964)

Gerakan separatis Republik Maluku Selatan (RMS) diproklamasikan pada 25 April 1950 oleh Soumokil, dengan tujuan melepaskan wilayah Maluku dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Konflik bersenjata yang berlangsung lama ini menjadi ancaman serius bagi integritas teritorial Indonesia.

Untuk mengatasi ancaman disintegrasi ini, Presiden Soekarno memberikan abolisi kepada pihak-pihak yang terlibat dalam pemberontakan RMS melalui Keppres Nomor 2 Tahun 1964. Tujuan utama pemberian abolisi ini adalah demi kepentingan negara dan kesatuan bangsa, serta untuk merespons kesadaran mereka yang belum menyerah dan kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Ini merupakan langkah politik yang diambil untuk mengakhiri konflik yang berkepanjangan.

Kasus abolisi terhadap RMS menunjukkan pola penggunaan hak prerogatif yang konsisten dengan kasus Aceh, yaitu untuk mengakhiri pemberontakan dan memperkuat kesatuan bangsa. Tindakan ini menekankan aspek politik dan keamanan negara sebagai dasar utama pemberian abolisi, menegaskan peran abolisi sebagai alat eksekutif untuk mencapai stabilitas nasional di tengah ancaman internal.

Kasus Muchtar Pakpahan dan Sri Bintang Pamungkas (1998)

Muchtar Pakpahan, seorang aktivis serikat buruh, dan Sri Bintang Pamungkas, seorang politikus oposisi, adalah kritikus vokal rezim Orde Baru. Keduanya dipenjara dengan tuduhan subversif. Sri Bintang ditahan karena dianggap melanggar Undang-Undang Anti Subversif dengan membentuk Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI) pada Mei 1996, sementara Muchtar dipenjara karena menulis buku berjudul “Potret Negara Indonesia”.

Setelah jatuhnya rezim Orde Baru, Presiden B.J. Habibie memberikan abolisi (bersamaan dengan amnesti) kepada Muchtar Pakpahan dan Sri Bintang Pamungkas melalui Keppres Nomor 80 Tahun 1998 pada 25 Mei 1998. Pembebasan mereka merupakan bagian integral dari upaya rekonsiliasi politik dan reformasi di awal era Reformasi, menandakan perubahan rezim dan komitmen terhadap hak asasi manusia serta kebebasan berpendapat. Pemberian abolisi ini juga disebut sebagai “peringatan bagi lembaga peradilan untuk lebih tepercaya dalam membuat keputusan” , menunjukkan adanya dimensi korektif terhadap praktik peradilan di masa lalu.

Kasus ini merefleksikan pergeseran penggunaan hak prerogatif dari penumpasan pemberontakan bersenjata ke pemulihan keadilan bagi korban represi politik. Ini menandai dimulainya era di mana abolisi digunakan sebagai alat untuk mengoreksi ketidakadilan politik masa lalu dan memfasilitasi transisi demokrasi, dengan penekanan pada aspek hak asasi manusia dan kebebasan sipil dalam konteks “kepentingan negara”.

Abolisi bagi Aktivis Politik Lainnya (Keppres 123/1998)

Dalam upaya mewujudkan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih menjamin kelancaran penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan nasional, memperkokoh hak asasi manusia, serta persatuan dan kesatuan bangsa, pemerintah memandang perlu adanya langkah hukum untuk membebaskan beberapa terpidana dan tersangka yang terlibat tindak pidana tertentu.

Sejalan dengan semangat reformasi, Presiden B.J. Habibie juga memberikan amnesti dan abolisi kepada sejumlah terpidana dan tersangka dan abolisi kepada 7 tersangka.

Dengan pemberian abolisi ini, semua penuntutan terhadap 7 tersangka yang tercantum dalam Keppres ditiadakan. Langkah ini merupakan bagian dari upaya rekonsiliasi dan pemulihan hak asasi manusia pasca-Orde Baru. Keppres 123/1998 menunjukkan penggunaan abolisi secara lebih sistematis dan luas untuk membersihkan “dosa-dosa” politik masa lalu, tidak hanya terbatas pada tokoh-tokoh besar tetapi juga mencakup aktivis lainnya. Hal ini memperkuat narasi rekonsiliasi nasional dan transisi menuju demokrasi yang lebih terbuka, dengan abolisi sebagai alat untuk memperbaiki ketidakadilan struktural yang terjadi sebelumnya.

Abolisi bagi Kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM, 2005)

Konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia berlangsung sejak tahun 1976 hingga 2005, menyebabkan banyak korban jiwa, kerugian besar bagi masyarakat sipil, dan berbagai pelanggaran HAM. Untuk mengakhiri konflik yang berkepanjangan ini, pemberian abolisi menjadi bagian integral dari kesepakatan damai Helsinki yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005. Kesepakatan ini bertujuan untuk mewujudkan rekonsiliasi nasional dan mengakhiri konflik secara permanen.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan amnesti umum untuk 1.200 orang dan abolisi untuk kelompok yang terlibat dalam GAM melalui Keppres Nomor 22 Tahun 2005 pada 30 Agustus 2005. Pemberian ini mencakup mereka yang belum atau telah menyerahkan diri, sedang atau telah selesai menjalani pembinaan, sedang diperiksa atau ditahan, telah dijatuhi pidana, atau sedang/telah selesai menjalani pidana di lembaga pemasyarakatan.

Dengan pemberian amnesti umum, semua akibat hukum pidana dihapuskan, dan dengan pemberian abolisi, penuntutan ditiadakan bagi mereka yang terlibat GAM. Selain itu, hak sosial, politik, ekonomi, serta hak lainnya dipulihkan bagi para penerima abolisi dan amnesti. Mantan anggota GAM juga diberikan hak untuk memperoleh kembali kewarganegaraan Indonesia. Keppres ini menjadi “titik balik” bagi perwujudan perdamaian di Aceh. Kasus GAM adalah contoh paling komprehensif dari penggunaan abolisi (dan amnesti) sebagai instrumen perdamaian pasca-konflik bersenjata skala besar. Ini menunjukkan bahwa abolisi tidak hanya tentang menghentikan proses hukum, tetapi juga tentang membangun kembali masyarakat, memulihkan hak-hak sipil, dan mengintegrasikan kembali kelompok yang sebelumnya memberontak ke dalam kerangka negara, sebagai bagian dari strategi pembangunan perdamaian yang lebih luas.

Kasus Jauhari Mys (Azhari), Fauji Ibrahim (Monier), Kleemens Rom Sarvir, Leseren Dampari Karma (2000)

Pada awal era Reformasi, di bawah kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), abolisi juga diberikan kepada beberapa individu. Meskipun rincian latar belakang spesifik tidak dijelaskan secara ekstensif, mereka adalah tersangka yang penuntutannya ditiadakan.

Presiden Gus Dur memberikan abolisi kepada Jauhari Mys (Azhari), Fauji Ibrahim (Monier), Kleemens Rom Sarvir, dan Leseren Dampari Karma melalui Keppres Nomor 91 Tahun 2000. Akibat dari pemberian abolisi ini, penuntutan yang dilakukan kepada mereka sebagai tersangka ditiadakan. Kasus ini, bersamaan dengan kasus R. Sawito Kartowibowo, menunjukkan kelanjutan penggunaan abolisi di era Reformasi untuk individu-individu yang mungkin terlibat dalam tindakan yang dianggap mengganggu stabilitas politik, namun tidak secara eksplisit terkait dengan pemberontakan besar atau aktivisme massal. Ini menunjukkan fleksibilitas abolisi dalam menangani berbagai spektrum “tindak pidana politik” atau kasus-kasus yang memiliki dimensi politik.

Kasus R. Sawito Kartowibowo (2000)

Sawito Kartowibowo adalah seorang pegawai Departemen Pertanian di Bogor yang dikenal karena pernah menyampaikan “wangsit” bahwa politik negara Indonesia harus dibenahi. Atas tindakannya ini, ia dituduh bertindak subversif dan dijatuhi hukuman delapan tahun penjara.

Presiden Gus Dur memberikan abolisi kepada R. Sawito Kartowibowo melalui Keppres Nomor 93 Tahun 2000. Meskipun Sawito sudah berstatus narapidana, pemberian abolisi ini menyebabkan penuntutan terhadapnya ditiadakan. Ini berarti ia dibebaskan dari penuntutan. Kasus Sawito menyoroti penggunaan abolisi untuk individu yang dipenjara karena ekspresi pandangan politik yang dianggap subversif oleh rezim sebelumnya. Fakta bahwa ia sudah berstatus narapidana namun penuntutannya ditiadakan menunjukkan kekuatan abolisi dalam meniadakan proses hukum, bahkan jika putusan telah dijatuhkan. Dengan demikian, abolisi berfungsi sebagai alat rekonsiliasi dan penegakan kebebasan berpendapat di era Reformasi.

Kasus Thomas Lembong (2025)

Thomas Lembong, mantan Menteri Perdagangan, ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi importasi gula periode 2015-2016. Ia didakwa memperkaya orang lain dan menyebabkan kerugian negara senilai Rp515,4 miliar. Tuduhan terhadapnya meliputi pemberian izin impor gula kristal putih saat stok gula di Indonesia surplus, penunjukan pihak swasta sebagai importir tanpa melalui prosedur yang seharusnya, serta kegagalan mengendalikan distribusi gula melalui BUMN. Ia divonis 4,5 tahun penjara dan denda Rp750 juta, dan pada saat pemberian abolisi, ia sedang dalam proses banding.

Tom Lembong menerima abolisi dari Presiden Prabowo Subianto pada 31 Juli 2025. Menteri Hukum dan HAM, Supratman Andi Agtas, menegaskan bahwa dengan abolisi ini, seluruh proses hukum terhadap Tom Lembong akan dihentikan. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyetujui usulan abolisi ini.

Dampak langsung dari pemberian abolisi ini adalah penghentian penuntutan dalam kasus dugaan korupsi impor gula, meskipun proses banding masih berjalan. Keputusan ini menuai sorotan tajam dan kritik dari berbagai pihak atas potensi intervensi kekuasaan dalam kasus pidana korupsi. Beberapa pihak juga menganggap pemberian ini sebagai “peringatan bagi lembaga peradilan untuk lebih tepercaya dalam membuat keputusan”. Kasus Thomas Lembong menandai evolusi signifikan dalam penerapan abolisi di Indonesia, dari isu-isu politik dan keamanan negara menjadi kasus yang melibatkan dugaan korupsi. Ini memicu perdebatan serius tentang batas-batas hak prerogatif presiden dan potensi intervensi politik dalam penegakan hukum pidana, khususnya korupsi. Implikasi jangka panjangnya adalah potensi erosi kepercayaan publik terhadap independensi peradilan dan prinsip equality before the law jika abolisi digunakan untuk kasus-kasus non-politik.

Catatan Penting: Kasus Amnesti, Bukan Abolisi

Penting untuk dicatat bahwa beberapa kasus yang sering disebut dalam konteks hak prerogatif presiden, seperti kasus Budiman Sudjatmiko dan Hasto Kristiyanto, sebenarnya adalah pemberian amnesti, bukan abolisi. Kesalahan terminologi ini dapat mengaburkan pemahaman publik tentang implikasi hukum yang berbeda dari masing-masing hak prerogatif.

  • Budiman Sudjatmiko (1999): Budiman Sudjatmiko menerima amnesti dari Presiden Abdurrahman Wahid pada Desember 1999. Ia divonis 13 tahun penjara atas tuduhan subversif terkait peristiwa Kudatuli 1996, namun hanya menjalani hukuman sekitar 3,5 tahun karena amnesti tersebut.
  • Hasto Kristiyanto (2025): Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto juga menerima amnesti dari Presiden Prabowo Subianto, bukan abolisi. Ia terlibat dalam kasus suap terkait pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR dan perintangan penyidikan. Amnesti yang diberikan ini menghapus semua akibat hukum pidananya.

Penjelasan yang akurat sangat penting untuk menghindari kebingungan dan memastikan pemahaman yang benar tentang implikasi hukum yang berbeda dari masing-masing hak prerogatif. Kasus-kasus ini juga menekankan bahwa amnesti, seperti abolisi, seringkali digunakan dalam konteks politik untuk tujuan rekonsiliasi atau penyelesaian masalah yang memiliki dimensi politik, namun pada tahapan hukum yang berbeda.

Tabel Ringkasan Kasus Abolisi di Indonesia

Tahun Pemberian Penerima (Singkat) Dasar Hukum (Keppres/UU) Latar Belakang Singkat Dampak Singkat Jenis Hak Prerogatif
1961 Daud Bereuh (Aceh) Keppres No. 449 Tahun 1961 Pemberontakan DI/TII Aceh karena kekecewaan terhadap pemerintah pusat dan penolakan syariat Islam Penuntutan ditiadakan, bagian dari penyelesaian konflik dan otonomi khusus Aceh Abolisi & Amnesti
1964 Republik Maluku Selatan (RMS) Keppres No. 2 Tahun 1964 Gerakan separatis RMS bertujuan memisahkan Maluku dari NKRI Penuntutan ditiadakan demi kepentingan negara dan kesatuan bangsa Abolisi
1998 Muchtar Pakpahan, Sri Bintang Pamungkas Keppres No. 80 Tahun 1998 Kritikus vokal rezim Orde Baru, dipenjara atas tuduhan subversif Penuntutan ditiadakan, bagian dari rekonsiliasi politik dan reformasi Abolisi & Amnesti
1998 Aktivis Politik Lainnya Keppres No. 123 Tahun 1998 Upaya membebaskan terpidana/tersangka terkait tindak pidana tertentu pasca-Orde Baru Penuntutan ditiadakan bagi tersangka, bagian dari rekonsiliasi dan pemulihan HAM Abolisi & Amnesti
2000 Jauhari Mys dkk. Keppres No. 91 Tahun 2000 Tersangka yang penuntutannya ditiadakan (rincian spesifik tidak dijelaskan) Penuntutan ditiadakan Abolisi
2000 R. Sawito Kartowibowo Keppres No. 93 Tahun 2000 Pegawai yang dituduh subversif karena pandangan politiknya, divonis 8 tahun penjara Penuntutan ditiadakan, meskipun sudah berstatus narapidana Abolisi
2005 Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Keppres No. 22 Tahun 2005 Konflik bersenjata berkepanjangan, bagian dari kesepakatan damai Helsinki Penuntutan ditiadakan, akibat hukum pidana dihapuskan, hak sosial/politik/ekonomi dipulihkan Abolisi & Amnesti
2025 Thomas Lembong Keppres Nomor 24 Tahun 2019 (sebelumnya Keppres No. 24 Tahun 2019) Dugaan korupsi importasi gula, divonis 4,5 tahun penjara, sedang banding Penuntutan dihentikan meskipun proses banding berjalan, memicu kritik intervensi Abolisi
1999 Budiman Sudjatmiko Keppres No. 159 Tahun 1999 Aktivis PRD, divonis 13 tahun penjara atas tuduhan subversif terkait Kudatuli Akibat hukum pidana dihapuskan, menjalani 3,5 tahun dari 13 tahun vonis Amnesti
2025 Hasto Kristiyanto Keppres Nomor 24 Tahun 2019 (sebelumnya Keppres No. 24 Tahun 2019) Kasus suap terkait PAW anggota DPR dan perintangan penyidikan Semua akibat hukum pidana dihapuskan Amnesti

Analisis dan Implikasi

Tren dan Pola Pemberian Abolisi

Pola historis pemberian abolisi di Indonesia menunjukkan evolusi yang menarik. Pada awalnya, abolisi dominan digunakan sebagai alat untuk meredam pemberontakan bersenjata dan menjaga stabilitas nasional, seperti yang terlihat dalam kasus Daud Bereuh di Aceh dan Republik Maluku Selatan (RMS). Fungsi utamanya adalah untuk menghentikan konflik internal yang mengancam keutuhan negara.

Kemudian, pada era Reformasi, penggunaan abolisi bergeser ke arah rekonsiliasi politik dan pemulihan hak-hak aktivis yang menjadi korban represi politik di masa Orde Baru. Contohnya adalah pemberian abolisi kepada Muchtar Pakpahan dan Sri Bintang Pamungkas, serta aktivis politik lainnya melalui Keppres 123/1998, dan kasus Jauhari Mys serta R. Sawito Kartowibowo. Dalam konteks ini, abolisi berfungsi sebagai mekanisme untuk mengoreksi ketidakadilan masa lalu dan memfasilitasi transisi menuju demokrasi yang lebih terbuka. Kasus GAM pada tahun 2005 merupakan kombinasi dari rekonsiliasi pasca-konflik bersenjata dan pemulihan hak asasi manusia, menandai penggunaan abolisi sebagai bagian dari strategi pembangunan perdamaian yang komprehensif.

Tren terbaru yang paling signifikan adalah penerapan abolisi pada kasus Thomas Lembong pada tahun 2025. Kasus ini melibatkan dugaan korupsi, bukan murni tindak pidana politik atau pemberontakan. Penerapan ini menandai pergeseran yang memicu perdebatan serius tentang batas kewenangan Presiden dan potensi politisasi hukum pidana, khususnya dalam konteks pemberantasan korupsi. Pergeseran tren ini menunjukkan adaptasi hak prerogatif presiden terhadap tantangan politik dan hukum yang berbeda sepanjang sejarah Indonesia. Namun, penerapan pada kasus korupsi, yang secara tradisional dianggap sebagai kejahatan murni tanpa dimensi politik langsung, menimbulkan pertanyaan serius tentang prinsip kesetaraan di hadapan hukum dan independensi penegakan hukum. Hal ini berpotensi mengaburkan batasan antara kejahatan politik dan kejahatan umum, serta dapat melemahkan upaya anti-korupsi yang telah dibangun.

Dampak Abolisi terhadap Sistem Peradilan dan Stabilitas Politik

Abolisi memiliki dampak ganda terhadap sistem peradilan dan stabilitas politik. Dari sisi positif, abolisi dapat menjadi alat yang sangat efektif untuk rekonsiliasi nasional, meredam konflik, dan mempercepat pemulihan stabilitas politik, terutama dalam konteks transisi politik atau pasca-konflik bersenjata. Dengan menghentikan proses hukum, negara dapat “melangkah maju” dari masa lalu yang penuh gejolak, memfokuskan energi pada pembangunan dan persatuan.

Namun, penggunaan abolisi juga berpotensi menimbulkan dampak negatif dan kritik. Salah satu kekhawatiran utama adalah potensi intervensi kekuasaan eksekutif dalam proses peradilan. Hal ini dapat memicu kekhawatiran tentang “korupsi yudisial” atau “perlindungan terhadap elit politik,” seperti yang disuarakan dalam kasus Tom Lembong. Selain itu, pemberian abolisi kepada satu pihak dapat menimbulkan ketidakadilan jika pelaku lain dalam kasus yang sama tetap diproses atau bahkan dihukum. Meskipun abolisi dapat menjadi katalis perdamaian dan rekonsiliasi, penggunaannya yang tidak transparan atau terkesan politis dapat merusak integritas sistem peradilan dan mengikis kepercayaan publik terhadap penegakan hukum yang imparsial. Ini menciptakan dilema antara tujuan politik yang lebih besar, seperti stabilitas, dan prinsip supremasi hukum serta keadilan restoratif. Jika abolisi dipersepsikan sebagai alat impunitas daripada mekanisme sah untuk resolusi politik, hal itu akan merusak fondasi negara hukum demokratis.

Tantangan dan Rekomendasi untuk Masa Depan

Melihat tren dan implikasi yang muncul, terdapat beberapa tantangan signifikan dalam penerapan abolisi di Indonesia, yang memerlukan perhatian serius dan langkah-langkah perbaikan. Tantangan utama terletak pada menyeimbangkan kebutuhan akan fleksibilitas politik dalam situasi krisis dengan prinsip-prinsip negara hukum dan keadilan.

  1. Harmonisasi Peraturan: Sangat penting untuk merevisi Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 agar selaras dengan Undang-Undang Dasar 1945 pasca-amandemen dan prinsip-prinsip negara hukum demokratis. Revisi ini akan menghilangkan ambiguitas mengenai peran Mahkamah Agung dan Dewan Perwakilan Rakyat dalam pemberian abolisi, memastikan konsistensi dan kepastian hukum.
  2. Kriteria yang Jelas: Perlu adanya kriteria yang lebih jelas dan objektif mengenai definisi “kepentingan negara” sebagai dasar pemberian abolisi. Kriteria ini harus dirumuskan secara cermat untuk menghindari diskresi yang berlebihan dan potensi penyalahgunaan kekuasaan. Penting juga untuk secara tegas membedakan antara tindak pidana politik dan tindak pidana umum, agar abolisi tidak diterapkan pada kasus-kasus yang seharusnya diselesaikan melalui jalur peradilan pidana biasa.
  3. Transparansi dan Akuntabilitas: Proses pemberian abolisi harus lebih transparan dan akuntabel. Hal ini dapat dicapai dengan melibatkan partisipasi publik dan pengawasan yang kuat dari DPR, serta publikasi alasan yang komprehensif di balik setiap keputusan abolisi. Transparansi akan membantu membangun kepercayaan publik dan mengurangi spekulasi mengenai motif di balik pemberian abolisi.
  4. Pemisahan Kekuasaan: Memperkuat independensi lembaga peradilan adalah krusial agar tidak mudah diintervensi oleh kekuasaan eksekutif dalam kasus-kasus pidana, terutama yang melibatkan korupsi. Batasan yang jelas antara cabang kekuasaan eksekutif dan yudikatif harus ditegakkan untuk menjaga integritas proses hukum.

Rekomendasi ini bertujuan untuk memperkuat kerangka hukum dan kelembagaan agar abolisi dapat berfungsi sebagai alat yang sah untuk kepentingan nasional tanpa mengorbankan integritas sistem peradilan atau prinsip kesetaraan di hadapan hukum.

Kesimpulan

Abolisi adalah hak prerogatif Presiden yang unik dalam sistem hukum Indonesia, berfungsi untuk meniadakan penuntutan pidana demi kepentingan negara. Sejak awal kemerdekaan, penerapannya telah berevolusi secara signifikan, dari penanganan pemberontakan bersenjata dan ancaman disintegrasi bangsa menjadi instrumen rekonsiliasi politik dan pemulihan keadilan bagi aktivis di era transisi demokrasi.

Namun, tren terbaru, terutama dalam kasus Thomas Lembong, menandai tantangan baru ketika abolisi diterapkan pada kasus yang melibatkan dugaan korupsi. Perkembangan ini memicu perdebatan serius tentang batas kewenangan Presiden dan potensi politisasi hukum pidana, yang dapat mengancam prinsip kesetaraan di hadapan hukum dan independensi peradilan.

Untuk memastikan bahwa abolisi digunakan secara adil dan konstitusional di masa depan, menjaga keseimbangan esensial antara stabilitas politik dan supremasi hukum, harmonisasi regulasi yang ada dengan konstitusi pasca-amandemen sangat diperlukan. Selain itu, penetapan kriteria yang jelas dan objektif untuk “kepentingan negara,” serta peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam setiap proses pemberian abolisi, akan menjadi kunci. Langkah-langkah ini krusial untuk mempertahankan kepercayaan publik terhadap sistem hukum dan memastikan bahwa hak prerogatif ini benar-benar melayani kepentingan nasional yang lebih luas, bukan kepentingan sesaat atau golongan tertentu.

 

Daftar Pustaka :

  1. Ini Pengertian Abolisi & Amnesti, Sejarah Penerimanya: Ada Tom Lembong, diakses Agustus 6, 2025, https://www.cnbcindonesia.com/research/20250801102349-128-654166/ini-pengertian-abolisi-amnesti-sejarah-penerimanya-ada-tom-lembong
  2. Apa Perbedaan Amnesti, Abolisi, Grasi, dan Remisi? Simak Penjelasannya – detikNews, diakses Agustus 6, 2025, https://news.detik.com/berita/d-7456667/apa-perbedaan-amnesti-abolisi-grasi-dan-remisi-simak-penjelasannya
  3. Mengenal Grasi, Amnesti dan Abolisi, diakses Agustus 6, 2025, https://bpmbkm.uma.ac.id/2022/06/15/mengenal-grasi-amnesti-dan-abolisi/
  4. DRAFT NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG GRASI, AMNESTI, ABOLISI DAN REHABILITASI BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL K, diakses Agustus 6, 2025, https://bphn.go.id/data/documents/draf_na_ruu_gaar_2021.pdf
  5. Mengenal Apa itu Abolisi dan Amnesti dalam Hukum Pidana – SIP Law Firm, diakses Agustus 6, 2025, https://siplawfirm.id/apa-itu-abolisi/?lang=id
  6. Abolisi dan Amnesti: Pengertian, fungsi, dan dasar hukum yang perlu diketahui, diakses Agustus 6, 2025, https://mataram.antaranews.com/berita/475729/abolisi-dan-amnesti-pengertian-fungsi-dan-dasar-hukum-yang-perlu-diketahui?utm_source=antaranews&utm_medium=mobile&utm_campaign=also_read
  7. Kebijakan Pemberian Amnesti Bagi Pelaku Tindak Pidana Non Politik Di Era Presiden Joko Widodo, diakses Agustus 6, 2025, https://prosiding.semnaskum.nusaputra.ac.id/index.php/prosiding/article/download/4/2/8
  8. Pengamat: Pemberian abolisi-amnesti cermin keberanian politik Presiden, diakses Agustus 6, 2025, https://www.antaranews.com/berita/5015217/pengamat-pemberian-abolisi-amnesti-cermin-keberanian-politik-presiden
  9. ditjen ahu perubahan perundang undangan di bidang grasi amnesti abolisi dan rehabilitasi, diakses Agustus 6, 2025, https://portal.ahu.go.id/id/detail/75-berita-lainnya/2587-ditjen-ahu-perubahan-perundang-undangan-di-bidang-grasi-amnesti-abolisi-dan-rehabilitasi
  10. Apa Itu Amnesti dan Abolisi? Ini Bedanya dengan Grasi dan Remisi – detikcom, diakses Agustus 6, 2025, https://www.detik.com/jatim/berita/d-8040699/apa-itu-amnesti-dan-abolisi-ini-perbedaannya-dengan-grasi-dan-remisi
  11. PURIFIKASI PEMBERIAN AMNESTI DAN ABOLISI: SUATU IKHTIAR PENYEMPURNAAN UNDANG UNDANG DASAR 1945 Lisnawaty W. Badu, diakses Agustus 6, 2025, https://jurnal.utu.ac.id/jcivile/article/download/2547/2501
  12. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Grasi, Amnesti, Abolisi dan Rehabilitasi Badan Pembinaan Hukum, diakses Agustus 6, 2025, https://bphn.go.id/data/documents/na_ruu_gaar_ttd.pdf
  13. UUDrt No. 11 Tahun 1954 – Peraturan BPK, diakses Agustus 6, 2025, https://peraturan.bpk.go.id/Details/52947/uudrt-no-11-tahun-1954
  14. KEWENANGAN PRESIDEN DALAM PEMBERIAN AMNESTI KEPADA BAIQ NURIL MAKNUN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG DARURAT NOMOR 11 TAHUN 1954 TEN, diakses Agustus 6, 2025, http://repository.uin-suska.ac.id/62383/2/SKRIPSI%20GABUNG.pdf
  15. Amnesti dan Abolisi, Tunduknya Hukum pada Politik? – KOMPAS.com, diakses Agustus 6, 2025, https://nasional.kompas.com/read/2025/08/06/06000051/amnesti-dan-abolisi-tunduknya-hukum-pada-politik?page=all
  16. Inilah Pengertian dari Abolisi yang Baru Saja Diterima oleh Tom Lembong, diakses Agustus 6, 2025, https://www.tintahijau.com/megapolitan/inilah-pengertian-dari-abolisi-yang-baru-saja-diterima-oleh-tom-lembong/
  17. Jelaskan Dampak Abolisi, Menkum: Proses Hukum Dihentikan – TVRI News, diakses Agustus 6, 2025, https://nasional.tvrinews.com/berita/toq01ws-jelaskan-dampak-abolisi-menkum-proses-hukum-dihentikan
  18. Presiden Beri Abolisi kepada Tom Lembong: Sinyal Rekonsiliasi Politik dan Tantangan bagi Peradilan – UMY, diakses Agustus 6, 2025, https://www.umy.ac.id/presiden-beri-abolisi-kepada-tom-lembong-sinyal-rekonsiliasi-politik-dan-tantangan-bagi-peradilan/
  19. Abolisi dan amnesti bagi Tom dan Hasto dari sisi yuridis-sosial, diakses Agustus 6, 2025, https://www.antaranews.com/berita/5010897/abolisi-dan-amnesti-bagi-tom-dan-hasto-dari-sisi-yuridis-sosial
  20. KEPPRES NOMOR 22 TAHUN 2005@PEMBERIAN AMNESTI UMUM DAN ABOLISI KEPADA SETIAP ORANG YANG TERLIBAT DALAM GERAKAN ACEH MERDEKA.pdf, diakses Agustus 6, 2025, https://jdih.bkn.go.id/common/dokumen/KEPPRES%20NOMOR%2022%20TAHUN%202005@PEMBERIAN%20AMNESTI%20UMUM%20DAN%20ABOLISI%20KEPADA%20SETIAP%20ORANG%20YANG%20TERLIBAT%20DALAM%20GERAKAN%20ACEH%20MERDEKA.pdf
  21. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 22 TAHUN 2002 (22/2002) TENTANG GRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN RE, diakses Agustus 6, 2025, https://klinikhukum.gorontalokota.go.id/uploads/pdf/UNDANG-UNDANG%20NOMOR%2022%20TAHUN%202002.pdf
  22. Definisi Rehabilitasi – JDIH Kemenkeu – Kementerian Keuangan, diakses Agustus 6, 2025, https://jdih.kemenkeu.go.id/kamus-hukum/rehabilitasi?id=0b0834d22e1e91c78ea7e6df8183b0ec
  23. Teungku Muhammad Daud Beureueh Bapak Darul Islam dan Bapak Orang-orang Aceh, diakses Agustus 6, 2025, https://luk.staff.ugm.ac.id/kmi/islam/gapai/Beureueh.html
  24. PEMBERONTAKAN DAUD BEUREUEH (DI/TII ACEH) TAHUN 1953-1962, diakses Agustus 6, 2025, https://repository.unej.ac.id/handle/123456789/26483
  25. BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Negara Republik Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum. Undang-Undang Dasar 19, diakses Agustus 6, 2025, https://repo.undiksha.ac.id/16906/3/1914101142-BAB%201%20PENDAHULUAN.pdf
  26. Republik Maluku Selatan (RMS): Latar Belakang dan Upaya Penumpasannya, diakses Agustus 6, 2025, https://www.kompas.com/stori/read/2021/04/27/190919879/republik-maluku-selatan-rms-latar-belakang-dan-upaya-penumpasannya
  27. Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 Tentang Pemberian Amnesti Dan Abolisi Kepada Mereka Yang Tersangkut Pemberontakan Republik Maluku Selatan – HeyLaw Indonesia | Your Trusted Legal Edutech Platform, diakses Agustus 6, 2025, https://heylaw.id/peraturan/keputusan-presiden-nomor-2-tahun-1964-tentang-pemberian-amnesti-dan-abolisi-kepada-mereka-yang-tersangkut-pemberontakan-republik-maluku-selatan?search=merek
  28. Tinjuan Yuridis-Sosial terhadap Abolisi dan Amnesti dalam Kasus Lembong dan Hasto, diakses Agustus 6, 2025, https://www.atnews.id/portal/news/26115/
  29. Amnesti: Hak Prerogatif Presiden dalam Perspektif Fiqh Siyasah – Pusat Jurnal UIN Ar-Raniry, diakses Agustus 6, 2025, https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/legitimasi/article/download/15218/8097
  30. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi adalah hak-hak asasi yang fundamental – RAMA Universitas Malikussaleh, diakses Agustus 6, 2025, https://rama.unimal.ac.id/id/eprint/2584/4/Zulkifli_217410101045_Bab%20I.pdf
  31. SIGNIFIKANSI SURAT KABAR KOMPAS DALAM PEMBERITAAN PERISTIWA REFORMASI 98 – E-Journal Unesa, diakses Agustus 6, 2025, https://ejournal.unesa.ac.id/index.php/avatara/article/view/16842/15304
  32. Apa Itu Abolisi yang Diterima Tom Lembong? Ini Sejarah dan Deretan Penerimanya, diakses Agustus 6, 2025, https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-8039675/apa-itu-abolisi-yang-diterima-tom-lembong-ini-sejarah-dan-deretan-penerimanya
  33. (PDF) PURIFIKASI PEMBERIAN AMNESTI DAN ABOLISI: SUATU IKHTIAR PENYEMPURNAAN UNDANG UNDANG DASAR 1945 – ResearchGate, diakses Agustus 6, 2025, https://www.researchgate.net/publication/367701299_PURIFIKASI_PEMBERIAN_AMNESTI_DAN_ABOLISI_SUATU_IKHTIAR_PENYEMPURNAAN_UNDANG_UNDANG_DASAR_1945
  34. Aktivis 98 nilai tak ada yang dikalahkan di balik abolisi dan amnesti – Antara News jatim, diakses Agustus 6, 2025, https://jatim.antaranews.com/berita/956393/aktivis-98-nilai-tak-ada-yang-dikalahkan-di-balik-abolisi-dan-amnesti
  35. KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 123 TAHUN 1998 TENTANG PEMBERIAN AMNESTI DAN ABOLISI KEPADA BEBERAPA TERPIDANA YAN, diakses Agustus 6, 2025, https://bphn.go.id/data/documents/98kp123.pdf
  36. KEPPRES No. 123 Tahun 1998 – Peraturan BPK, diakses Agustus 6, 2025, https://peraturan.bpk.go.id/Details/59313/keppres-no-123-tahun-1998
  37. Gerakan Aceh Merdeka: Penyebab, Kronologi Konflik, dan Kesepakatan Helsinki, diakses Agustus 6, 2025, https://regional.kompas.com/read/2022/03/15/141817678/gerakan-aceh-merdeka-penyebab-kronologi-konflik-dan-kesepakatan-helsinki?page=all
  38. Pemerintah Terbitkan Keppres Amnesti & Abolisi Bagi GAM – detikNews, diakses Agustus 6, 2025, https://news.detik.com/berita/d-432357/pemerintah-terbitkan-keppres-amnesti-abolisi-bagi-gam
  39. AMNESTI BAGI KELOMPOK PEMBERONTAK DIN MINIMI – DPR RI, diakses Agustus 6, 2025, https://berkas.dpr.go.id/pusaka/files/info_singkat/Info%20Singkat-VIII-1-I-P3DI-Januari-2016-72.pdf
  40. Deretan Tokoh yang Pernah Dapat Amnesti dan Abolisi, Tak Hanya Tom Lembong dan Hasto – Kompas.com, diakses Agustus 6, 2025, https://www.kompas.com/tren/read/2025/08/03/100000465/deretan-tokoh-yang-pernah-dapat-amnesti-dan-abolisi-tak-hanya-tom-lembong?page=all
  41. Apa Itu Abolisi yang Diberikan Presiden kepada Tom Lembong? – Medcom.id, diakses Agustus 6, 2025, https://www.medcom.id/pendidikan/news-pendidikan/DkqePWVk-apa-itu-abolisi-yang-diberikan-presiden-kepada-tom-lembong
  42. Dugaan Kasus Tindak Pidana Korupsi Impor Gula: Analisis Celah Pelanggaran Wewenang Menteri Perdagangan – LK2 FHUI, diakses Agustus 6, 2025, https://lk2fhui.law.ui.ac.id/portfolio/dugaan-kasus-tindak-pidana-korupsi-impor-gula-analisis-celah-pelanggaran-wewenang-menteri-perdagangan/
  43. Arti Abolisi & Bagaimana Peluang Tom Lembong Bebas? – Tirto.id, diakses Agustus 6, 2025, https://tirto.id/arti-abolisi-bagaimana-peluang-tom-lembong-bebas-hfc1
  44. Tom Lembong terima abolisi dan urus administrasi sebelum keluar rutan, diakses Agustus 6, 2025, https://www.antaranews.com/berita/5007165/tom-lembong-terima-abolisi-dan-urus-administrasi-sebelum-keluar-rutan
  45. Budiman Sudjatmiko dan Kisah di Balik Vonis 13 Tahun Penjara… – KOMPAS.com, diakses Agustus 6, 2025, https://nasional.kompas.com/read/2023/07/21/05150021/budiman-sudjatmiko-dan-kisah-di-balik-vonis-13-tahun-penjara-?page=all
  46. Rektor Unissula Dorong Pemerintah Transparan dalam Memberikan Amnesti-Abolisi, diakses Agustus 6, 2025, https://www.detik.com/jateng/berita/d-8046626/rektor-unissula-dorong-pemerintah-transparan-dalam-memberikan-amnesti-abolisi
  47. Polemik Amnesti Hasto Kristiyanto, Pakar UMY Khawatirkan Normalisasi Korupsi, diakses Agustus 6, 2025, https://www.umy.ac.id/polemik-amnesti-hasto-kristiyanto-pakar-umy-khawatirkan-normalisasi-korupsi/
  48. Abolition And Amnesty To Relax Conflict – VOI, diakses Agustus 6, 2025, https://voi.id/en/tulisan-seri/502407
  49. Profil Hasto Kristiyanto, Sekjen PDIP yang Diduga Tersandung Kasus Dugaan Suap, diakses Agustus 6, 2025, https://www.liputan6.com/hot/read/5870398/profil-hasto-kristiyanto-sekjen-pdip-yang-diduga-tersandung-kasus-dugaan-suap
  50. POLITIK HUKUM PEMBERIAN GRASI,AMNESTI DAN ABOLISISEBAGAI KONSEKUENSI LOGIS HAK PREROGATIF – UI Scholars Hub, diakses Agustus 6, 2025, https://scholarhub.ui.ac.id/cgi/viewcontent.cgi?article=1064&context=jhp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

CAPTCHA ImageChange Image

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.