Mantan Presiden Soeharto yang sakit keras telah mendapatkan perawatan dengan kelas super-terbaik di negeri ini. Tapi, perawatan kesehatan itu ternyata tidak didapatkan mantan Presiden Soekarno dan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Berdasarkan informasi yang diperoleh okezone dari berbagai sumber, catatan sejarah menulis bahwa fasilitas kesehatan yang diterima dua mantan Presiden RI itu, tidak semewah dan bukan fasilitas yang layak bagi seorang mantan Presiden.
Sejarah menulis, Presiden RI pertama, Bung Karno tercatat memperoleh perawatan kesehatan yang amat tidak layak. Pada 4 Agustus 1965, Bung Karno sempat pingsan dan mengalami Transient Ischaemic Attack (TIA) atau stroke ringan akibat penyempitan sesaat (spasme) pada pembuluh darah otak. Informasi yang beredar, kondisi kesehatan Bung Karno ini menjadi inspirasi timbulnya Gerakan 30 September.
Tidak hanya itu, Bung Karno sempat mengalami ganguan ginjal. Atas saran Prof Dr K Fellinger di Wina, Austria pada periode 1961 – 1964, mestinya ginjal kiri itu diangkat. Tapi Bung Karno menolak. Alasannya, tugas negara banyak yang menumpuk dan segera dituntaskan. Nyatanya, gangguan ginjal inilah yang menjadi penyebab utama Sang Proklamator itu meninggal 10 tahun kemudian.
Terungkap, pada tahun 1969 Bung Karno sakit keras. Ayah kandung mantan Presiden Megawati Soekarnoputri ini hidup dalam pengasingan pada era kepemimpinan Presiden Soeharto. Bung Karno hidup terlunta-lunta di Wisma Yaso, Jakarta. Founding Father itu juga diasingkan di Istana Batutulis, Bogor.
Bung Karno ternyata memperoleh pelayanan yang jauh dari kebutuhan yang seharusnya diterima oleh pasien gangguan ginjal. Apalagi, pasien ini adalah seorang mantan Presiden.
Obat-obatan yang diberikan pada Bung Karno itu, sesuai catatan perawat di Wisma Yaso, adalah Vitamin B12, Vitamin B Kompleks, Duvadillan, dan Royal Jelly. Duvadillan merupakan obat untuk penyempitan pembuluh darah periferi. Bila Bung Karno sakit kepala maka perawat tinggal memberikan Novalgin. Kalau Bung Karno bila sulit tidur sesekali diberi Valium. Ketika tekanan darah meningkat di kisaran 170/100, Bung Karno tidak diberikan obat untuk menurunkannya.
Kacaunya lagi, tidak diberikannya obat untuk melancarkan kencing, pada saat Bung Karno mengalami pembengkakan pada kedua pipi, sebagai gejala seorang penderita gangguan ginjal.
Intinya, mantan Presiden RI sekaligus pendiri bangsa ini, yang jasanya juga tak kalah banyaknya dengan mantan Presiden Soeharto itu, ternyata ditelantarkan. Pada saat Bung Karno sakit, sebenarnya obat-obat yang baik serta mesin pencuci darah itu sudah tersedia. Tapi, semua fasilitas itu tidak diberikan. Kesehatannya terus memburuk. Akhirnya, pada hari Minggu, 21 Juni 1970 Bung Karno meninggal dunia di RSPAD.
Beda lagi dengan mantan Presiden Abdurrahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur. Presiden RI ke-4 ini kerap melakukan cuci darah di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat. Sebanyak tiga kali dalam satu minggu, Gus Dur melakukan cuci darah. Seharusnya, biaya berobat plus cuci darah itu ditanggung negara. Tapi, putri Gus Dur, Yenny Zannuba Wahid mengaku kesulitan menagih biaya tersebut kepada negara.
Ironisnya lagi, Gus Dur menunggak biaya pengobatan dan cuci darah di RSCM. Akhirnya, keluarga pun yang melakukan pembayaran atas biaya pengobatan dan cuci darah itu. Padahal, biaya cuci darah di RSCM itu hanya Rp600 ribu saja. Untuk pasien sekaliber mantan Presiden, ternyata negara juga tidak mampu membiayai pengobatan Gus Dur.
Nah, berbeda ternyata perlakuan buruk itu tidak diterima sama sekali oleh mantan Presiden Soeharto. Sebelum sakit yang terakhir ini, Pak Harto sudah mendapatkan fasilitas kesehatan VVIP di RS Pusat Pertamina. Lantai lima tempat Pak Harto dirawat pun disterilkan. Satu lantai dalam ruang perawatan itu disulap menjadi fasilitas untuk keluarga yang menunggui Pak Harto. Belum lagi fasilitas kesehatan yang diberikan. Sampai-sampai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menginstruksikan agar Pak Harto diberikan pelayanan yang sangat baik.
Sejarah menorehkan, Bung Karno, Gus Dur, dan Pak Harto telah hidup di beda zaman, beda perlakuan, dan beda fasilitas. Jasa yang diberikan kepada negara ternyata sangat berbeda dengan timbal balik yang diberikan sang mantan kepala negara. (ism)
Source : https://news.okezone.com