Analisis Konteks Politik dan Kebijakan HAM Indonesia 2025: Gejala “Arus Balik”
Tahun 2025 dalam lanskap Hak Asasi Manusia (HAM) Indonesia ditandai oleh pergeseran orientasi kebijakan yang signifikan, terutama setelah transisi pemerintahan baru. Pergeseran ini, yang secara kritis disebut oleh organisasi masyarakat sipil sebagai “Arus Balik” HAM , mencerminkan kembalinya prioritas negara pada stabilitas keamanan dan pembangunan berbasis infrastruktur yang seringkali mengorbankan perlindungan hak-hak fundamental warga negara.
Orientasi Kebijakan Pemerintah Baru dan Dampaknya pada Komitmen HAM
Periode 2025, terutama 100 hari pertama pemerintahan baru, telah dinilai secara buruk oleh Amnesty International Indonesia, yang mengidentifikasi adanya kemunduran komprehensif dalam perlindungan HAM, termasuk penyangkalan terang-terangan terhadap pelanggaran berat HAM masa lalu, peningkatan kekerasan oleh aparat, dan intimidasi terhadap kebebasan berekspresi. Kecenderungan ini mengindikasikan adanya pembalikan cepat dari upaya-upaya reformasi yang telah dilakukan sebelumnya.
Aspek simbolis dan historis memainkan peran krusial dalam memperburuk situasi HAM. Keputusan politik pada tahun 2025 untuk menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto dipandang sebagai tindakan yang secara substansial merusak fondasi keadilan transisional Indonesia. Keputusan ini, yang secara eksplisit mengasosiasikan figur otoritarianisme dan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme dengan kepahlawanan, berfungsi sebagai intervensi politik tingkat tinggi yang secara aktif merusak upaya pencarian kebenaran dan keadilan bagi para korban pelanggaran berat. Ketika negara secara resmi mengakui pelaku sejarah sebagai pahlawan, negara secara implisit menolak klaim keadilan dari para korban, yang pada gilirannya menginstitusionalisasi impunitas dan memberikan justifikasi historis bagi pola represi yang mungkin terjadi di masa kini. Selain itu, tindakan ini diperparah dengan munculnya diskursus publik mengenai penulisan ulang sejarah nasional yang cenderung mengabaikan berbagai insiden pelanggaran HAM berat dan mengesampingkan penderitaan korban.
Meskipun demikian, terdapat upaya administratif di tingkat Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) untuk memperkuat kerangka kerja HAM, seperti terlihat dalam Permenham No. 14 Tahun 2025. Peraturan ini mengindikasikan adanya upaya penguatan implementasi produk hukum baru seperti Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), yang memberikan definisi dan sanksi lebih jelas. Namun, meskipun kerangka hukum membaik, tantangan mendasar tetap pada implementasi dan pelayanan korban di lapangan. Permenham ini juga menyoroti dilema mendasar dalam era digital, yaitu perlunya menciptakan kerangka kerja komprehensif untuk menyeimbangkan keamanan digital dan perlindungan kebebasan berekspresi, khususnya terkait penggunaan alat analisis media sosial dan praktik pembatasan internet seperti throttling.
Penilaian Kinerja Penegakan Hukum: Kegagalan Reformasi Institusional
Kinerja aparat penegak hukum pada tahun 2025 menjadi barometer yang sangat mengkhawatirkan bagi kondisi Hak Sipil dan Politik (Sipol). Lembaga Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) secara konsisten muncul sebagai institusi yang paling banyak diadukan ke Komnas HAM sepanjang tahun. KontraS lebih lanjut memperkuat temuan ini, mendokumentasikan bahwa Polri adalah pelaku dominan dalam insiden penyiksaan, dengan 36 kasus tercatat, diikuti oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan 23 insiden.
Dominasi Polri dan TNI sebagai lembaga terlapor menunjukkan bahwa mekanisme pengawasan internal yang ada, seperti Propam, gagal secara sistemik untuk mencegah pelanggaran, terutama penyiksaan. Tingginya angka keluhan tidak hanya merefleksikan kesalahan individu, tetapi juga budaya kelembagaan (institutional culture) yang mentoleransi kekerasan. Hal ini menegaskan kembali urgensi reformasi struktural. Analisis SETARA Institute menggarisbawahi kebutuhan mendasar untuk memastikan tata kelola kepolisian yang lebih profesional dan tunduk pada kontrol demokratis.
Tinjauan akademis telah mengusulkan langkah-langkah perbaikan struktural, termasuk pembatasan tegas dan proporsional terhadap pelibatan TNI dalam konteks sipil, yang hanya boleh dilakukan dalam extraordinary circumstances seperti ancaman terorganisir atau terorisme. Selain itu, disarankan pembentukan Unit Evaluasi Independen di Kejaksaan, bersama dengan perlindungan khusus terhadap whistleblower internal, untuk memastikan adanya mekanisme akuntabilitas yang robust di dalam sistem penegakan hukum.
Regresi Hak Sipil dan Politik (Sipol): Digitalisasi Represi dan Kekerasan Negara
Tahun 2025 memperlihatkan pengetatan tajam terhadap ruang sipil, di mana represi tidak hanya terjadi dalam bentuk fisik tetapi juga telah beradaptasi ke ranah digital dan hukum.
Penindasan Kebebasan Berekspresi dan Berserikat: Ancaman terhadap Ruang Demokratis
Ruang sipil mengalami penyempitan yang parah. Penangkapan dua aktivis pro-demokrasi yang dikaitkan dengan unjuk rasa pada akhir Agustus dan awal September 2025 adalah indikasi nyata dari kemunduran perlindungan HAM dan ancaman serius terhadap ruang sipil di Indonesia. KontraS, melalui Program Manager Abdul Waidl, menyatakan bahwa penangkapan ini merupakan bukti konkret dari pola represi sistematis yang juga didokumentasikan dalam Country Focus Report Indonesia 2025 INFID.
Laporan Amnesty International Indonesia mendokumentasikan 104 serangan terhadap Pembela HAM (Human Rights Defenders/HRD) hanya dalam paruh pertama tahun 2025. Bentuk-bentuk persekusi yang teridentifikasi mencakup pelaporan polisi, penangkapan, kriminalisasi, intimidasi, kekerasan fisik, dan serangan terhadap institusi HAM. Peningkatan kekerasan ini dikaitkan dengan bangkitnya praktik dan kebijakan otoriter, serta militerisasi ruang sipil.
Lebih lanjut, kekerasan terhadap jurnalis menunjukkan peralihan mekanisme represi yang signifikan. Meskipun kekerasan fisik seperti pemukulan dan penghalangan peliputan masih dominan, Dewan Pers mencatat bahwa tren kekerasan mulai bergeser ke ranah digital sejak 2017. Bentuk kekerasan digital mencakup peretasan, doxing, dan penyebaran informasi palsu. Peralihan ini memiliki dampak yang luas, menciptakan chilling effect yang lebih sulit dilacak dan dipertanggungjawabkan dibandingkan kekerasan fisik. Ini menunjukkan adaptasi aparat negara dalam mengendalikan narasi melalui legal harassment (penggunaan UU ITE) dan digital surveillance.
Kekerasan Negara dan Budaya Impunitas Aparat
Hak untuk tidak disiksa (non-derogable right) terus dilanggar secara terang-terangan, menunjukkan kegagalan negara total dalam mematuhi jaminan konstitusi (Pasal 28I UUD 1945) maupun perjanjian internasional (Konvensi Menentang Penyiksaan dan ICCPR).
KontraS Annual Torture Report 2025 mencatat peningkatan jumlah insiden penyiksaan dan korban dibandingkan tahun sebelumnya. Pemantauan dari Juni 2024 hingga Mei 2025 mencatat 66 insiden penyiksaan yang mengakibatkan 139 korban, dengan 23 korban meninggal dunia dan 116 lainnya terluka. Fakta yang meresahkan adalah bahwa mayoritas korban, yaitu 144 orang, adalah warga sipil non-kriminal (biasa), menunjukkan bahwa penyiksaan tidak hanya terjadi dalam konteks penegakan hukum berat tetapi juga digunakan untuk intimidasi atau interogasi rutin terhadap masyarakat umum.
Data Rekapitulasi Insiden Penyiksaan oleh Aparat (Juni 2024 – Mei 2025)
| Institusi Pelaku Dominan | Jumlah Kasus | Jumlah Korban (Total) | Korban Meninggal |
| Polri (Kepolisian Negara RI) | 36 | 139 | 23 |
| TNI (Tentara Nasional Indonesia) | 23 | N/A | N/A |
| Petugas Fasilitas Pemasyarakatan | 7 | N/A | N/A |
| Total Insiden | 66 | 139 | 23 |
Sumber: KontraS Annual Torture Report 2025.
Selain penyiksaan, penggunaan kekuatan yang berlebihan dan mematikan dalam konteks penanganan protes sipil juga menjadi masalah serius. Setidaknya delapan orang tewas menyusul penumpasan kekerasan terhadap protes nasional menentang upah rendah dan kenaikan pajak yang dimulai pada 25 Agustus 2025. Amnesty International mencatat bahwa polisi di beberapa kota menggunakan kekuatan yang tidak perlu dan berlebihan, termasuk penggunaan gas air mata secara tidak tepat dan tembakan peluru karet yang tidak sesuai standar. Penggunaan kekuatan berlebihan ini, yang menyebabkan kematian, mengindikasikan bahwa aparat keamanan sering beroperasi di bawah mentalitas perang atau keadaan darurat, bahkan dalam situasi sipil biasa. Pelanggaran berat yang berulang ini secara langsung menunjukkan ketidakpatuhan terhadap hukum di tingkat operasional, bertentangan dengan komitmen internasional Indonesia.
Ancaman Legislatif terhadap Hak Digital dan Due Process (RKUHAP 2025)
Pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) pada akhir tahun 2025 menjadi momen krusial yang dipandang oleh Koalisi Masyarakat Sipil sebagai “ancaman nyata terhadap HAM”. Meskipun RKUHAP baru diklaim bertujuan untuk meningkatkan transparansi proses peradilan dan mengurangi praktik diskriminatif , substansi yang disahkan memicu kekhawatiran serius mengenai potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penegak hukum.
Dampak paling signifikan dari RKUHAP terletak pada ranah hak digital dan privasi. Analisis menunjukkan bahwa tanpa kontrol yang ketat, KUHAP baru ini berpotensi besar melanggar hak privasi pengguna, memberikan celah bagi aparat untuk mengakses data digital sensitif—seperti foto, dokumen pribadi, dan percakapan—yang mungkin tidak relevan dengan kasus yang diselidiki. Dengan demikian, kekuasaan yang sebelumnya dijalankan melalui interpretasi pasal karet (misalnya dalam UU ITE) kini mendapatkan legitimasi dalam hukum acara pidana yang fundamental.
Selain RKUHAP, masalah kontrol negara atas informasi digital diperburuk oleh perkembangan teknologi pembatasan internet. Pemerintah dan penyedia layanan internet semakin canggih dalam menggunakan alat untuk memblokir akses internet, memperlambat koneksi (throttling), dan memfilter konten tertentu, seringkali dengan alasan mengendalikan situasi keamanan. Implementasi teknologi pembatasan internet yang tidak proporsional ini secara langsung menghambat akses masyarakat terhadap informasi, yang merupakan hak fundamental di era digital. Hal ini menciptakan information asymmetry yang merugikan hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam diskusi publik dan memperoleh informasi yang akurat dan beragam. Pengesahan RKUHAP yang kontroversial di tengah kritik keras menegaskan bahwa upaya legislatif di tahun 2025 lebih memihak pada penguatan kekuasaan negara dibandingkan perlindungan hak sipil.
Kebuntuan Keadilan Transisional dan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
Tahun 2025 memperlihatkan konsistensi negara dalam mempertahankan kebuntuan, baik secara pasif maupun aktif, dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Evaluasi Prioritas Pemerintah dan Kegagalan Keadilan
Upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu secara eksplisit bukan merupakan prioritas pemerintah baru di tahun 2025. Hal ini tercermin dalam berbagai kasus yang tak kunjung tuntas, menunjukkan resistensi politik yang mendasar terhadap akuntabilitas yudisial.
Salah satu contoh paling mencolok dari kegagalan yudisial adalah nasib kasus pelanggaran HAM berat Paniai. Hampir tiga tahun setelah memori kasasi diajukan ke Mahkamah Agung, persidangan kasus ini belum dilanjutkan karena Pengadilan Agung masih kekurangan hakim ad hoc HAM. Kegagalan yang tampaknya bersifat teknis-administratif ini adalah bentuk impunitas pasif yang disengaja oleh negara. Pengangkatan hakim ad hoc adalah keputusan administratif yang dapat diselesaikan dengan cepat jika terdapat kemauan politik yang serius. Kegagalan melakukannya menunjukkan bahwa negara menggunakan alasan birokrasi untuk menutupi pengabaian keadilan, meninggalkan keluarga korban Paniai dalam ketidakpastian.
Pendekatan pemerintah cenderung berfokus pada simbolisasi tanpa diikuti akuntabilitas yudisial. Peresmian Rumoh Geudong Memorial Living Park di Aceh pada Juli 2025, meskipun dipromosikan sebagai upaya penyelesaian masa lalu, justru dikritik karena mengabaikan usaha pencarian kebenaran dan keadilan. Penemuan jenazah yang sangat diyakini sebagai korban pembunuhan Rumoh Geudong dan Pos Sattis (1989-1998) pada Maret 2024 dibiarkan memudar dalam memorialisasi simbolis, tanpa ada upaya serius negara untuk mencari kebenaran atau mencapai keadilan.
Resistensi Struktural terhadap Keadilan Transisional
Kebuntuan ini diperkuat oleh resistensi struktural terhadap upaya penyelesaian yang komprehensif. Upaya menuntut pertanggungjawaban melalui pengadilan HAM ad hoc tidak berjalan, dan demikian pula jalur politik melalui pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsilasi (KKR) menemui kegagalan. Undang-Undang KKR yang sempat dibuat tidak dapat diimplementasikan, karena anggota KKR tidak kunjung diangkat oleh Presiden, dan kemudian Undang-Undang tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Gagalnya jalur hukum dan politik ini menunjukkan bahwa negara telah gagal menyelesaikan berbagai bentuk pelanggaran HAM berat yang terjadi sejak kemerdekaan. Meskipun demikian, desakan publik tetap kuat. Aksi solidaritas pada Hari HAM Sedunia 12 Desember 2025 di berbagai wilayah menunjukkan bahwa publik terus menuntut agar negara mengusut tuntas dan menyelesaikan pelanggaran HAM berat yang hingga kini belum terselesaikan.
Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Ekosob): Konflik, Diskriminasi, dan Kerentanan
Pelanggaran Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Ekosob) di tahun 2025 meningkat, didorong oleh kebijakan pembangunan yang berorientasi pada investasi ekstraktif tanpa mempertimbangkan hak-hak masyarakat lokal dan adat.
Pelanggaran HAM dalam Sektor Sumber Daya Alam dan Investasi (Bisnis dan HAM)
Model pembangunan yang didorong oleh investasi ekstraksi (berburu investasi, menuai bencana ) menjadi penyebab langsung eskalasi konflik Ekosob. Environmental Outlook 2025 WALHI menunjukkan adanya peningkatan konflik agraria yang lahir dari kebijakan yang abai pada rakyat, didukung oleh lemahnya tata kelola agraria yang membuka ruang bagi mafia tanah. Proyek-proyek strategis nasional, seperti Food Estate dan dampak implementasi Undang-Undang Minerba, memicu pelanggaran HAM dalam perjuangan masyarakat untuk mempertahankan hak-hak mereka.
Konflik ini secara sistemik merugikan Masyarakat Adat. Perayaan Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara (HKMAN) 2025 menjadi refleksi dan titik tolak perlawanan terhadap berbagai kebijakan yang mengancam keberadaan Masyarakat Adat dan wilayah kelola mereka. Kerentanan mereka diperburuk oleh kegagalan legislatif; meskipun ada desakan kuat dari Gerakan Rakyat Kawal Masyarakat Adat (GERAK MASA), Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat tetap tidak disahkan. Pengakuan parsial dalam undang-undang sektoral, seperti UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE) , tidak memadai untuk menjamin hak-hak kolektif Masyarakat Adat.
Selain itu, sektor bisnis dan HAM (BHR) menunjukkan kerentanan yang tinggi. Riset mengenai Responsible Mining di Sulawesi Tenggara (Desember 2025) menyoroti urgensi penguatan prinsip penghormatan HAM dan lingkungan dalam skema industri nikel. Ketika hak atas tanah masyarakat adat tidak diakui melalui UU yang kuat, mereka dipaksa melawan perampasan lahan. Perlawanan ini kemudian direspons dengan kriminalisasi, menciptakan lingkaran setan di mana Hak Sipil dan Politik (Sipol) digunakan untuk memfasilitasi pelanggaran Ekosob.
Isu Diskriminasi dan Intoleransi Terhadap Kelompok Minoritas Rentan
Tindakan diskriminasi dan intoleransi terhadap minoritas beragama, berkeyakinan, dan perempuan terus menjadi masalah dominan di Indonesia. Komnas Perempuan mengecam terulangnya peristiwa intoleransi, seperti kasus di Padang pada Agustus 2025 , yang juga berdampak serius pada perempuan. Kegagalan negara dalam menindak tegas aktor intoleran secara efektif mendelegasikan otoritas moral dan sosial kepada kelompok-kelompok non-negara, yang kemudian menggunakan kekerasan atau tekanan untuk membatasi hak-hak konstitusional kelompok rentan, terutama perempuan minoritas. Kasus intoleransi seringkali bersifat interseksional, di mana diskriminasi berbasis agama diperparah oleh diskriminasi berbasis gender.
Meskipun terdapat kemajuan dalam kerangka hukum perlindungan perempuan, khususnya dengan adanya UU TPKS , Komnas Perempuan mencatat bahwa tantangan utama adalah pada implementasi dan pelayanan korban. Banyak penyintas kekerasan seksual masih menghadapi hambatan dalam mengakses keadilan dan pemulihan, yang membutuhkan penanganan serius dan berkelanjutan dari negara.
Di sektor perburuhan, pada Hari Buruh 2025, muncul desakan dari nelayan dan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) agar pemerintah segera meratifikasi Konvensi ILO K-188. Konvensi ini sangat penting untuk perlindungan awak kapal perikanan dan menunjukkan bahwa hak-hak buruh maritim masih rentan dihadapkan dengan kebijakan yang belum sepenuhnya menjamin keselamatan dan standar kerja internasional.
Proyeksi Strategis dan Tantangan Kritis HAM Indonesia Tahun 2026
Tahun 2026 akan menjadi periode yang sangat menantang, ditandai dengan implementasi kebijakan regresif yang disahkan pada tahun 2025 dan pengawasan internasional yang semakin ketat.
Tinjauan UPR PBB 2026: Mengukur Komitmen Internasional Indonesia
Indonesia akan terus berada di bawah sorotan mekanisme Universal Periodic Review (UPR) Dewan HAM PBB. Pemerintah Indonesia telah menunjukkan dukungan terhadap 76% rekomendasi Dewan HAM PBB. Kerangka kerja sama strategis, seperti Indonesia-United Nations Draft Cooperation Framework 2026-2030 , akan menjadi dokumen penting yang dapat digunakan untuk mengukur integrasi standar HAM ke dalam agenda pembangunan nasional.
Namun, fokus advokasi di tahun 2026 harus ganda: (1) mendorong pertanggungjawaban atas 76% rekomendasi yang diterima, dan (2) secara kritis mengamati rekomendasi yang ditolak (sekitar 24%), yang biasanya mencakup isu-isu yang paling sensitif dan struktural, seperti akuntabilitas militer, situasi di Papua, dan kebebasan berekspresi tanpa pembatasan.
Perbandingan Komitmen HAM Indonesia (UPR 2026) dan Realitas 2025
| Area Komitmen UPR | Dukungan Pemerintah (76%) | Realitas dan Kemunduran HAM 2025 | Proyeksi Tantangan 2026 |
| Keadilan Transisional | Diperkirakan ditolak/diterima parsial. | Kebuntuan kasus HAM Berat (Paniai), Simbolisasi tanpa Keadilan (Rumoh Geudong), Legitimasi Otoritarianisme (Soeharto). | Mempertahankan tekanan internasional terhadap impunitas historis. |
| Kebebasan Sipil | Diterima dengan caveat (pengecualian). | Kriminalisasi HRD, RKUHAP disahkan, Represi Digital (Throttling, ITE Law). | Uji Materi RKUHAP, mempertahankan ruang sipil yang menyempit. |
| Akuntabilitas Aparat | Diterima dengan komitmen reformasi. | Dominasi Polri/TNI dalam kasus Penyiksaan/Kekerasan , 8 kematian dalam protes. | Mendesak pembentukan Unit Evaluasi Independen dan reformasi struktural. |
| Hak Ekosob & Adat | Diterima (terutama terkait SDGs). | Konflik Agraria meningkat, Kegagalan UU Masyarakat Adat, Isu BHR di sektor nikel. | Mendorong implementasi BHR dan ratifikasi UU Adat. |
Prediksi Hotspot HAM 2026
Berdasarkan tren regresi yang terjadi pada tahun 2025, beberapa area diprediksi menjadi hotspot atau titik konflik HAM paling kritis pada tahun 2026:
- Uji Materi RKUHAP dan Batas Hak Digital: Penerapan KUHAP baru pada tahun 2026 akan memicu gelombang uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK). Konteks hukum ini akan menjadi konflik yudisial yang menentukan batas-batas hak sipil, khususnya terkait privasi digital, wewenang penyadapan, dan proses penangkapan/penahanan. Upaya advokasi akan sangat bergantung pada jalur yudisial untuk mencegah penguatan kekuasaan represif yang dilegitimasi oleh undang-undang fundamental.
- Eskalasi Konflik Agraria dan Kriminalisasi Pembela HAM Lingkungan: Didorong oleh agenda investasi dan model pembangunan berbasis ekstraksi , konflik di wilayah adat dan sekitar Proyek Strategis Nasional (PSN)—terutama di sektor pertambangan dan perkebunan (misalnya, industri nikel di Sulawesi Tenggara )—diprediksi akan meningkat. Hal ini akan disertai dengan gelombang kriminalisasi baru terhadap Pembela HAM Lingkungan yang menentang perampasan lahan.
- Intoleransi yang Terinstitusionalisasi: Ketidakmampuan atau keengganan negara mengatasi intoleransi yang berulang secara efektif menunjukkan bahwa kasus-kasus diskriminasi berbasis agama, etnis, dan gender akan terus terjadi dan bahkan mungkin semakin termiliterisasi atau terorganisir di tingkat lokal, menciptakan ancaman permanen terhadap keragaman dan kohesi sosial.
Rekomendasi Kritis dan Prioritas Aksi 2026-2027
Untuk membalikkan gejala “Arus Balik” HAM yang teridentifikasi pada tahun 2025, diperlukan tindakan strategis yang berfokus pada reformasi struktural, akuntabilitas, dan keadilan transisional.
Rekomendasi Legislatif dan Kebijakan
- Tindakan Hukum terhadap RKUHAP: Masyarakat sipil harus segera mengajukan dan mendukung Uji Materi (Judicial Review) terhadap pasal-pasal regresif dalam RKUHAP di Mahkamah Konstitusi, terutama yang berkaitan dengan perluasan wewenang penegak hukum dan potensi pelanggaran privasi digital dan kebebasan berekspresi.
- Pengesahan UU Masyarakat Adat: Mendesak lembaga legislatif dan eksekutif untuk segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat sebagai prioritas utama. Undang-undang ini sangat krusial untuk memberikan pengakuan hukum yang kuat atas hak-hak teritorial dan kultural masyarakat adat, yang merupakan prasyarat untuk meredam konflik agraria yang berkepanjangan.
- Menciptakan Kerangka Transparansi Digital: Pemerintah, melalui Kementerian HAM, harus memimpin dialog multi-stakeholder untuk menciptakan standar transparansi dan akuntabilitas yang robust terkait penggunaan alat analisis media sosial dan praktik pembatasan internet (throttling dan pemblokiran) oleh negara. Regulasi ini harus menjamin prinsip proporsionalitas dan legalitas untuk mencegah penggunaan teknologi ini menghambat hak masyarakat untuk mendapat informasi.
Rekomendasi Penegakan Hukum dan Akuntabilitas
- Memutus Impunitas Aparat: Pemerintah dan DPR harus merespons temuan serius mengenai dominasi Polri dan TNI dalam kasus penyiksaan dengan membentuk Unit Evaluasi Independen yang efektif dan memiliki wewenang investigasi serta sanksi terhadap pelanggaran HAM serius oleh kedua institusi tersebut. Reformasi ini harus mencakup penguatan perlindungan bagi whistleblower internal.
- Akuntabilitas Kekerasan Demonstrasi: Mendesak dilakukannya investigasi independen dan imparsial terhadap delapan kematian yang terjadi selama protes Agustus 2025, sesuai dengan standar internasional. Investigasi ini harus memastikan pertanggungjawaban komandan dan pelaku di lapangan untuk mencegah terulangnya penggunaan kekuatan yang tidak perlu dan berlebihan.
- Keadilan Yudisial Segera: Mahkamah Agung harus segera mengatasi hambatan administratif terkait ketiadaan hakim ad hoc HAM untuk memastikan proses peradilan kasus pelanggaran HAM berat (Paniai) dapat dilanjutkan tanpa penundaan.
Rekomendasi Keadilan Transisional
- Mengintegrasikan Narasi Korban: Secara tegas meninjau dan menarik kembali gelar pahlawan yang diberikan kepada figur-figur yang terkait dengan otoritarianisme, dan mengambil langkah konkret untuk mengintegrasikan narasi korban pelanggaran HAM berat ke dalam kurikulum pendidikan dan ruang publik, sebagai langkah melawan upaya penulisan ulang sejarah yang mengabaikan penderitaan.
- Aksi Lanjut Komitmen Internasional: Memanfaatkan Kerangka Kerjasama PBB 2026-2030 dan komitmen UPR untuk mengikat Pemerintah pada indikator HAM yang jelas terkait pencarian kebenaran dan keadilan bagi pelanggaran masa lalu, serta memastikan bahwa memorialisasi (seperti Rumoh Geudong) diikuti dengan upaya pencarian keadilan yang substansial, bukan hanya simbolis.