Mengenai tiga komunitas iman minoritas yang signifikan di Timur Tengah—Samaria, Baha’i, dan Yazidi—yang masing-masing menghadapi tantangan eksistensial yang unik dalam lanskap geopolitik modern. Tradisi-tradisi ini penting karena mereka tidak hanya mewakili warisan monoteistik atau sinkretis kuno yang bertahan, tetapi juga karena nasib mereka berfungsi sebagai barometer kesehatan hak-hak minoritas di kawasan tersebut.
Penting untuk membedakan sifat fundamental teologi mereka. Agama Baha’i bersifat universal dan berorientasi global, didasarkan pada prinsip kesatuan umat manusia dan wahyu progresif. Sebaliknya, tradisi Samaria dan Yazidi bersifat etnis/teritorial dan sangat terlokalisasi, dengan ikatan yang kuat terhadap tanah suci tunggal. Perbedaan mendasar dalam cakupan teologi dan geografi ini secara langsung menentukan kerentanan dan strategi ketahanan (resilience) komunitas mereka di tengah konflik.
Kerangka Teoretis untuk Memahami Keberlanjutan Iman di Tengah Konflik
Untuk memahami dinamika ketahanan (resilience) minoritas ini, tulisan ini menggunakan konsep Ancaman Eksistensial yang ditinjau dari lensa geopolitik dan demografi. Komunitas iman yang universal, seperti Baha’i, yang telah membangun struktur kepemimpinan kolektif global (seperti Balai Keadilan Sedunia) dan memiliki populasi yang tersebar secara luas (diaspora yang suportif), jauh lebih terlindungi dari kehancuran total di satu wilayah.
Sebaliknya, komunitas yang terikat pada tempat suci tunggal—seperti Samaria pada Gunung Gerizim, atau Yazidi pada Kuil Lalish—menghadapi risiko bencana demografi atau genosida yang jauh lebih tinggi ketika wilayah inti mereka menjadi zona konflik. Ketahanan suatu iman minoritas kontemporer terlihat sangat bergantung pada kemampuan mereka untuk melepaskan diri dari keterikatan pada satu geografi politik saja, yang merupakan studi kasus yang kuat mengenai bagaimana arsitektur teologis memengaruhi kelangsungan hidup fisik.
Agama Samaria: Konservasi Identitas Israel Kuno
Akar Sejarah Konflik dengan Yudaisme
Hubungan antara orang Yahudi dan orang Samaria dicirikan oleh konflik historis yang kompleks, yang dipengaruhi oleh faktor etnis, politik, teologis, dan sosial. Ketegangan ini berakar sejak perpecahan Kerajaan Israel kuno dan diperparah oleh kebijakan kerajaan asing yang silih berganti, seperti Asyur dan Babel, yang mengubah struktur demografi dan keagamaan di wilayah tersebut.
Pemisahan etnis dan teologis mencapai puncaknya setelah periode Pembuangan Babel, yang mengakibatkan segregasi sosial yang bertahan hingga periode Romawi. Konflik utama berpusat pada dua klaim legitimasi: tempat ibadah yang sah dan kanon kitab suci. Orang Samaria mengakui Gunung Gerizim sebagai tempat ibadah sejati, berlawanan dengan Yerusalem, dan hanya menerima Taurat Samaria (Lima Kitab Musa) sebagai kitab suci kanonik. Persistensi konflik selama ribuan tahun ini bukan sekadar perbedaan ritual, tetapi merupakan klaim atas siapa pewaris sah tradisi Israel kuno. Identitas Samaria dipertahankan sebagai penolakan terhadap bentuk Yudaisme Rabinik yang berkembang pasca-Bait Kedua, yang menciptakan permusuhan fundamental yang sulit diatasi.
Prinsip Teologis Samaria dan Relevansi Modern
Pilar utama iman Samaria mencakup keyakinan pada satu Tuhan, pengakuan atas Musa sebagai nabi terakhir, dan kesucian abadi Gunung Gerizim. Meskipun konflik historis berlangsung lama, ajaran moralitas universal tertentu telah memberikan peluang rekonsiliasi.
Misalnya, narasi Perjanjian Baru dalam Alkitab Kristen menggunakan sosok Samaria, yang secara faktual “dibenci dan dimusuhi oleh orang Yahudi,” sebagai contoh belas kasihan universal dalam Perumpamaan Orang Samaria yang Baik Hati. Kisah ini berfungsi untuk membangun kesadaran di kalangan orang-orang Yahudi pada masa itu bahwa kepedulian terhadap sesama sama pentingnya dengan praktik agama. Analisis sejarah menunjukkan bahwa ajaran Yesus Kristus menekankan nilai inklusivitas dan kasih, yang secara teologis membuka jalan bagi dialog dan rekonsiliasi historis antara kedua kelompok tersebut.
Krisis Demografi Modern dan Strategi Kelangsungan Hidup
Komunitas Samaria saat ini menghadapi ancaman kepunahan biologis. Pada tahun 2018, populasi mereka diklaim hanya sekitar 800 jiwa, menjadikannya salah satu komunitas keagamaan terkecil di dunia. Situasi demografi yang kritis ini menyebabkan tantangan besar dalam menjaga eksistensi mereka.
Untuk mempertahankan identitas leluhur mereka, Samaria secara tradisional mempraktikkan perkawinan sedarah yang ketat, namun praktik ini sering kali melahirkan anak-anak yang mengalami kecacatan serius. Hal ini menciptakan paradoks konservasi identitas yang mendalam: untuk melanggengkan garis keturunan purba, mereka berisiko menghadapi kepunahan genetik.
Untuk mengatasi krisis demografi ini, komunitas Samaria telah mengadopsi strategi kelangsungan hidup inovatif. Dalam beberapa tahun terakhir, selain memperistri wanita Yahudi, para pria Samaria diizinkan memperistri wanita dari luar komunitas, seperti dari Ukraina dan Azerbaijan. Wanita-wanita ini diboyong ke Gunung Gerizim dan harus memeluk agama Samaria. Strategi ini secara radikal mengubah definisi siapa itu Samaria, dari sebuah entitas etnis yang murni menjadi komunitas iman yang terbuka (walaupun terbatas) untuk konversi. Kelangsungan hidup mereka kini bergantung pada kesediaan mereka untuk mencairkan batas-batas etnis puristis demi kelangsungan hidup biologis dan demografis mereka.
Posisi Geopolitik Samaria
Meskipun komunitas Samaria berukuran sangat terbatas dan menjadi minoritas ekstrem, mereka berhasil bertahan dan melanggengkan agama, tradisi, dan budaya warisan leluhur mereka. Mereka mayoritas tinggal di kawasan konflik antara Israel dan Palestina, khususnya di Gunung Gerizim dan Holon.
Karena lokasi geopolitik mereka yang rentan, mereka harus tetap netral dalam menghadapi politik Palestina dan Israel. Netralitas wajib ini merupakan mekanisme pertahanan yang krusial, memastikan bahwa mereka tidak menjadi target atau sandera dalam konflik regional yang lebih besar.
Agama Baha’i: Universalitas dan Panggilan Menuju Kesatuan Dunia
Sejarah Asal-Usul dan Suksesi Kepemimpinan
Agama Baha’i berawal dari Persia (kini Iran) pada abad ke-19. Ini dimulai dengan Sang Báb (1819-1850), yang merupakan pertanda (Herald) dari wahyu yang akan datang. Kemudian, Baháʼu’lláh (1817-1892), yang namanya berarti “Kemuliaan Tuhan,” menyatakan dirinya sebagai Pendidik Ilahi yang diutus oleh Tuhan untuk membawa wahyu baru bagi umat manusia.
Masa hidup Baháʼu’lláh ditandai oleh penganiayaan dan pengasingan. Beliau mengalami pengasingan ke berbagai wilayah, termasuk Baghdad dan Pegunungan Kurdistan, sebelum akhirnya mengumumkan misinya melalui Loh Kepada Para Pemimpin Dunia. Setelah wafatnya Baháʼu’lláh, suksesi kepemimpinan ditangani secara terstruktur melalui sistem yang dikenal sebagai Perjanjian Baháʼu’lláh. Kepemimpinan ini dilanjutkan oleh putra pertama beliau, Abdu’l-Bahá (1844-1921), yang bertindak sebagai Juru Tafsir Tunggal dan Teladan yang sempurna. Selanjutnya, cucu beliau, Shoghi Effendi (1897-1957), ditunjuk sebagai Wali Agama.
Struktur kepemimpinan ini berpuncak pada Balai Keadilan Sedunia (Universal House of Justice/UHJ), sebuah lembaga kepemimpinan internasional kolektif yang didirikan pada tahun 1963. Pembentukan sistem suksesi yang tegas ini, terutama Balai Keadilan Sedunia yang dipilih, merupakan solusi teologis terhadap masalah fragmentasi yang sering melanda agama baru (seperti yang sempat dialami oleh pengikut Sang Báb sebelum intervensi Baháʼu’lláh). Struktur ini dirancang untuk mencegah skisma dan mempertahankan sifat mendasar Baha’i, yaitu kesatuan, yang merupakan perintah langsung dari Baháʼu’lláh. Hal ini menunjukkan model agama abad ke-20 yang memastikan stabilitas global dan adaptabilitas tanpa bergantung pada otoritas individu yang dogmatis.
Pilar Teologis Utama: Keesaan Tuhan dan Kesatuan Dunia
Ajaran Baháʼu’lláh meletakkan fondasi bagi perdamaian dunia melalui konsepsi “kesatuan dalam keanekaragaman,” yang didasarkan pada tiga pilar teologis utama :
- Keesaan Tuhan (Unity of God): Prinsip fundamental ini menegaskan bahwa hanya ada satu Tuhan Yang Maha Agung, yang telah mengutus para Utusan Ilahi untuk membimbing manusia. Oleh karena itu, semua agama yang bersumber dari Tuhan yang satu ini harus menunjukkan rasa saling menghormati dan cinta. Baháʼu’lláh menyatakan bahwa tujuan diturunkannya Utusan dan Kitab Suci adalah untuk meningkatkan pengetahuan tentang Tuhan dan menegakkan persatuan serta persahabatan di antara manusia.
- Kesatuan Sumber Surgawi Semua Agama (Progressive Revelation): Prinsip ini menjelaskan bahwa meskipun hakikat Tuhan tidak dapat dipahami sepenuhnya oleh manusia, Tuhan memilih untuk memperkenalkan Diri-Nya melalui para Utusan, termasuk Ibrahim, Musa, Krishna, Zoroaster, Budha, Isa, Muhammad, Sang Báb, dan Baháʼu’lláh. Para Utusan suci ini digambarkan sebagai cermin yang memantulkan sifat-sifat Tuhan yang sama. Baháʼu’lláh menegaskan, “Asas-asas dan hukum-hukum semua agama, sistem-sistem-Nya yang teguh dan agung, berasal dari satu sumber dan merupakan sinar-sinar dari satu cahaya.” Lebih lanjut, Utusan-utusan ini “semuanya berdiam dalam kemah yang sama”. Konsep Wahyu Progresif ini memposisikan kedatangan Baháʼu’lláh sebagai langkah menuju era kedewasaan umat manusia, yang memungkinkan manusia memandang seluruh bumi dan rakyatnya yang beragam dari satu perspektif tunggal.
- Kesatuan Umat Manusia (Unity of Mankind): Baháʼu’lláh mengajarkan bahwa semua manusia adalah satu dan setara di hadapan Tuhan, membentuk satu keluarga manusia yang tunggal, yang justru diperkaya oleh kebhinekaannya. Prinsip ini menuntut perlakuan yang baik, penghargaan, dan penghormatan terhadap semua orang. Kesatuan ini adalah landasan teologis untuk upaya menciptakan perdamaian global.
Struktur Administratif Global dan Etika Sosial Baha’i
Prinsip-prinsip Baha’i secara eksplisit mempromosikan reformasi sosial yang luas, termasuk pendidikan universal, kesetaraan gender, dan penghapusan prasangka. Ajaran-ajaran ini menyediakan kerangka kerja yang diperlukan untuk mengatasi tahap “suku dan bangsa” menuju “persatuan yang lebih tinggi,” yang sejalan dengan pandangan bahwa Baha’i mewakili kedewasaan spiritual dan sosial manusia. Kewajiban untuk bergaul dengan semua kaum dan bangsa dengan perasaan gembira dan hati yang cemerlang ditekankan sebagai sarana untuk memajukan persatuan dan kerukunan, yang pada gilirannya memelihara ketenteraman di dunia.
Agama Yazidi: Kepercayaan Malaikat Merak di Tengah Pusaran Konflik Irak
Kosmologi Yazidi: Melek Taus dan Enam Malaikat Agung
Yazidisme (atau Yezidi) adalah agama sinkretis kuno yang berakar di Mesopotamia. Kosmologi Yazidi bersifat non-dual. Mereka percaya pada Tuhan Tertinggi (Khuda) yang menciptakan kosmos, tetapi Tuhan kemudian menarik diri, mempercayakan pengelolaan dunia kepada tujuh malaikat agung (Heptad).
Sosok paling sentral dalam keyakinan mereka adalah Tawûsî Melek (Malaikat Merak), yang diyakini sebagai Pemimpin Heptad dan “Lord of this World”. Simbol-simbol yang terkait dengan Malaikat Merak adalah Merak, Cahaya, dan Pelangi. Keyakinan esoteris ini sering disalahpahami secara historis. Dalam narasi teologis Yazidi, Tawûsî Melek diyakini pernah melakukan kesalahan tetapi kemudian diampuni dan dipulihkan. Namun, tradisi monoteistik di luar sering menafsirkan pemujaan terhadap figur ini sebagai pemujaan terhadap figur yang setara dengan Iblis atau Setan.
Kekhasan teologi mengenai Tawûsî Melek sangat rentan terhadap stigmatisasi. Kesalahpahaman teologis ini secara historis memberikan legitimasi bagi musuh luar (terutama kelompok ekstremis Sunni) untuk melabeli mereka sebagai bid’ah atau penyembah setan. Akibatnya, kurangnya transparansi atau pemahaman publik mengenai kepercayaan inti mereka telah meningkatkan risiko eksistensial dan kekerasan ekstrem terhadap komunitas Yazidi selama berabad-abad.
Sejarah Persekusi dan Konteks Geografis
Yazidi berpusat secara tradisional di Kurdistan, khususnya di wilayah Sinjar, Irak. Komunitas ini memiliki sejarah persekusi yang panjang, yang mereka sebut sebagai ferman. Persekusi ini telah terjadi sejak Zaman Ottoman dan diperburuk oleh ketidakstabilan pasca-Invasi Irak tahun 2003. Stigmatisasi historis ini seringkali merupakan faktor pendorong di balik kekerasan massal terhadap mereka.
Krisis Kemanusiaan 2014: Genosida oleh ISIL (NIIS)
Ancaman eksistensial Yazidi mencapai puncaknya pada Agustus 2014 ketika mereka menjadi sasaran genosida yang dilakukan oleh Islamic State of Iraq and the Levant (ISIL atau NIIS) di Sinjar, Irak, dan Suriah. Tindakan ISIL menentang penduduk suku Yazidi menyebabkan sekitar 5.000 pengungsi tewas dibunuh dan diculik. Kekejaman ini meliputi pembunuhan massal dan perbudakan seksual yang dilembagakan terhadap wanita Yazidi.
Respons internasional terhadap krisis ini menjadi uji kasus bagi konsep Responsibility to Protect (R2P). Amerika Serikat (AS) melakukan intervensi militer untuk menanggapi genosida tersebut. Intervensi ini, yang dilakukan atas persetujuan pemerintah Irak, sejalan dengan prosedur yang ditetapkan oleh International Commission on Intervention and State Sovereignty (ICISS) di bawah kerangka kerja R2P. Kasus Yazidi menyoroti kerentanan ekstrem kelompok minoritas yang terperangkap dalam konflik internal negara yang gagal, di mana hukum internasional (R2P) berfungsi sebagai garis pertahanan terakhir mereka, meskipun trauma kolektif dan pengungsian tetap masif. Intervensi AS juga dapat dilihat sebagai bentuk pertahanan diri kolektif Irak atau intervensi berdasarkan persetujuan.
Sintesis, Implikasi Komparatif, dan Tradisi Minoritas Lain
Analisis Komparatif: Teologi dan Ketahanan Komunitas
Perbandingan antara ketiga tradisi iman ini menunjukkan bahwa arsitektur teologis sangat menentukan ketahanan suatu komunitas minoritas. Baha’i, dengan penekanan pada universalitas dan struktur global yang terpusat di Balai Keadilan Sedunia, mampu mengelola persekusi struktural (seperti yang dialami di Iran) melalui dukungan diaspora yang luas dan jaringan internasional. Sebaliknya, Samaria dan Yazidi, dengan ikatan teritorial yang ketat, menghadapi risiko yang jauh lebih terfokus—baik berupa kepunahan biologis (Samaria) maupun genosida massal (Yazidi).
Tabel berikut menyajikan perbandingan prinsip-prinsip teologis dasar, menyoroti perbedaan utama dalam kanon dan tokoh sentral yang seringkali menjadi sumber kesalahpahaman.
Tabel 1: Perbandingan Prinsip Teologis Dasar
| Aspek Teologis | Baha’i | Samaria (Samaritanisme) | Yazidi (Yazidisme) |
| Sumber Ilahi | Satu Tuhan (Tak Terhingga), Wahyu Progresif | Satu Tuhan (Elokim), Musa sebagai Nabi Terakhir | Satu Tuhan (Khuda), Tujuh Malaikat Agung |
| Kanon Utama | Kitab-i-Aqdas, Kitab-i-Íqán | Taurat Samaria (Hanya Lima Kitab Musa) | Mushaf Rash (Kitab Hitam), Kitab Jilwe (Kitab Wahyu) |
| Tokoh Kunci | Baháʼu’lláh, Sang Báb | Musa, Imam Kuno | Tawûsî Melek (Malaikat Merak), Syekh Adi |
| Tempat Ibadah Suci | Mashriqu’l-Adhkár (Rumah Ibadat) | Gunung Gerizim | Kuil Lalish (Lalish Nûranî) |
Status Populasi dan Tantangan Eksistensial Kontemporer
Perbandingan status demografi dan tantangan yang dihadapi setiap kelompok memperjelas sifat ancaman eksistensial yang berbeda. Data menunjukkan bahwa Samaria menghadapi ancaman kepunahan biologis yang ekstrem, sementara Yazidi menghadapi tantangan trauma kolektif dan rekonstruksi pasca-genosida, dan Baha’i menghadapi persekusi sistematis yang dilembagakan di negara asal mereka.
Tabel 2: Status Populasi dan Tantangan Eksistensial
| Kelompok Agama | Estimasi Populasi | Distribusi Geografis Utama | Tantangan Utama |
| Baha’i | Global (Jutaan) | India, Amerika Serikat, Iran (asal) | Persekusi sistematis di negara asal (Iran), Pelarangan pendidikan tinggi. |
| Samaria | Sangat Kecil (±800 jiwa) 4 | Gunung Gerizim (Tepi Barat), Holon (Israel) | Krisis demografi, ancaman kepunahan genetik, mempertahankan netralitas di zona konflik. |
| Yazidi | Global (Ratus Ribuan) | Irak Utara (Sinjar), Diaspora Eropa/Global | Trauma kolektif, Pengungsian Internal (IDPs), Rekonstruksi komunitas pasca-genosida (2014). |
Kasus Khusus: Tinjauan Singkat tentang Minoritas Lain (“dan lain-lain”)
Lanskap agama Timur Tengah juga diisi oleh sejumlah tradisi minoritas esoteris dan purba lainnya yang menghadapi tekanan serupa:
- Mandaeans (Mandaeisme): Sebuah agama Gnostik dan monoteistik yang sangat kuno, yang pengikutnya sebagian besar terpusat di Irak dan Iran selatan. Mandaeisme sangat menekankan pada pembaptisan dan dikenal karena perannya dalam pelestarian tradisi linguistik Aramaik tertentu. Mereka menghadapi ancaman eksistensial dan pengungsian yang serupa dengan Yazidi karena konflik regional di Irak.
- Druze (Druzeisme): Komunitas esoteris yang berasal dari Islam Ismailiyah, berpusat di Levant (Suriah, Lebanon, Israel). Druzeisme memiliki keyakinan tertutup (esoterik) dan dikenal karena struktur sosial yang kohesif serta memainkan peran penting dalam dinamika politik regional di Lebanon dan Suriah.
- Zoroastrianisme: Dianggap sebagai salah satu agama monoteistik tertua di dunia, dengan pengaruh signifikan terhadap Yudaisme, Kristen, dan Islam. Saat ini, komunitas ini sebagian besar tersebar di Iran dan India (sebagai Parsi). Mereka merupakan studi kasus tentang pelestarian identitas melalui diaspora global dan penahanan demografi yang ketat.
Kesimpulan
Analisis komparatif menunjukkan bahwa tantangan eksistensial yang dihadapi oleh komunitas iman minoritas di Timur Tengah bersifat multi-dimensi. Baha’i telah membangun ketahanan struktural melalui teologi universal dan kepemimpinan global kolektif. Yazidi mengalami kerentanan ekstrem karena ikatan teritorial yang ketat dan salah tafsir teologis, yang berpuncak pada genosida brutal pada tahun 2014. Sementara itu, Samaria menghadapi tantangan yang paling mendesak dan spesifik: risiko kepunahan biologis akibat populasi yang sangat kecil, memaksa mereka untuk mengorbankan purisme etnis demi kelangsungan hidup.
Berdasarkan tingkat ancaman yang berbeda, rekomendasi kebijakan harus disesuaikan:
- Dukungan untuk Samaria: Diperlukan dukungan internasional yang ditargetkan untuk konservasi genetik dan budaya komunitas Samaria. Meskipun strategi perkawinan eksternal telah diterapkan, pelestarian bahasa dan tradisi kuno mereka memerlukan dukungan akademik dan demografi yang berkelanjutan untuk mengatasi krisis populasi.
- Keadilan dan Rekonstruksi Yazidi: Komunitas global harus terus mendukung upaya penegakan keadilan bagi penyintas genosida Yazidi melalui mekanisme peradilan internasional. Selain itu, dukungan psikososial dan dana rekonstruksi komunitas sangat penting untuk membantu Pengungsi Internal (IDPs) Yazidi kembali ke Sinjar dan membangun kembali kehidupan mereka pasca-trauma kolektif.
- Advokasi Hak Baha’i: Komunitas internasional harus meningkatkan tekanan diplomatik terhadap negara-negara yang melakukan persekusi sistematis (terutama Iran) untuk memastikan hak pendidikan tinggi dan kebebasan beragama bagi umat Baha’i.
- Dialog Antaragama: Prinsip Baha’i tentang Keesaan Sumber Surgawi dan Kesatuan Umat Manusia dapat berfungsi sebagai model teoretis yang kuat untuk mempromosikan dialog antaragama global yang non-sektarian, membantu mengurangi kesalahpahaman mendalam yang memicu persekusi terhadap kelompok-kelompok seperti Yazidi.
Daftar Pustaka :
- Sejarah Agama Baha’i – Agama Baháʼí Indonesia, diakses September 27, 2025, https://bahai.id/sejarah-agama-bahai/
- (PDF) Hubungan Yahudi dengan Orang Samaria: Sejarah, Konflik …, diakses September 27, 2025, https://www.researchgate.net/publication/390546732_Hubungan_Yahudi_dengan_Orang_Samaria_Sejarah_Konflik_dan_RekonsiliasiHubungan_Yahudi_dengan_Orang_Samaria_Sejarah_Konflik_dan_Rekonsiliasi
- Deskripsi Sejarah Konflik Horizontal Orang Yahudi dan Samaria – ResearchGate, diakses September 27, 2025, https://www.researchgate.net/publication/341739179_Deskripsi_Sejarah_Konflik_Horizontal_Orang_Yahudi_dan_Samaria
- Asal usul, budaya dan kepercayaan orang samaria – YouTube, diakses September 27, 2025, https://www.youtube.com/watch?v=wGzbe1T2c9c
- Sejarah Bahá’u’lláh – Agama Baháʼí Indonesia, diakses September 27, 2025, https://bahai.id/sejarah-bahaullah/
- Yezidis Faith ديانتنا, diakses September 27, 2025, http://www.yezidisinternational.org/abouttheyezidipeople/religion/
- Tawûsî Melek – Wikipedia, diakses September 27, 2025, https://en.wikipedia.org/wiki/Taw%C3%BBs%C3%AE_Melek
- Genosida Yazidi – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, diakses September 27, 2025, https://id.wikipedia.org/wiki/Genosida_Yazidi
- Responsibility to Protect dalam Kasus Genosida oleh ISIL terhadap Yazidi-Irak melalui Intervensi Militer Amerika Serikat, diakses September 27, 2025, http://download.garuda.kemdikbud.go.id/article.php?article=1732780&val=14524&title=Responsibility%20to%20Protect%20dalam%20Kasus%20Genosida%20oleh%20ISIL%20terhadap%20Yazidi-Irak%20melalui%20Intervensi%20Militer%20Amerika%20Serikat