Dalam tataran politik global kontemporer, kebangkitan kembali ultranasionalisme telah muncul sebagai fenomena yang signifikan, melampaui batas-batas sejarahnya yang sering dikaitkan dengan era Perang Dunia. Meskipun ultranasionalisme secara historis menjadi fondasi bagi rezim fasis seperti Fasisme Italia dan Nazi Jerman, manifestasinya di abad ke-21 telah beradaptasi dan menunjukkan ciri-ciri baru. Tren ini tidak hanya terbatas pada satu benua atau satu sistem politik, melainkan telah menyebar, memanfaatkan ketidakstabilan sosial, ekonomi, dan geopolitik global. Ultranasionalisme kontemporer menjadi kekuatan reaksioner yang berupaya memulihkan apa yang dianggapnya sebagai “kegemilangan yang hilang” di tengah-tengah tantangan globalisasi, ketidaksetaraan, dan krisis kepercayaan publik.

Laporan ini disusun dengan tujuan untuk membedah ultranasionalisme modern, menganalisis faktor-faktor pendorongnya, menyoroti manifestasi globalnya, dan memproyeksikan konsekuensi multi-dimensi yang ditimbulkannya. Secara spesifik, laporan ini bertujuan untuk:

  • Pertama, memberikan definisi yang presisi dan kerangka pemahaman teoritis tentang ultranasionalisme, membedakannya secara jelas dari bentuk nasionalisme lainnya.
  • Kedua, mengidentifikasi dan menganalisis secara mendalam akar penyebab kebangkitan ultranasionalisme di era kontemporer, termasuk peran krusial krisis ekonomi dan disrupsi globalisasi.
  • Ketiga, menyajikan studi kasus komparatif dari berbagai benua—Eropa, Eurasia, dan Asia—untuk menunjukkan manifestasi yang beragam dari tren ini.
  • Keempat, mengevaluasi konsekuensi politik, sosial, dan internasional dari ultranasionalisme. Melalui pendekatan multi-dimensi ini, laporan ini berupaya memberikan pemahaman yang komprehensif tentang ultranasionalisme sebagai kekuatan politik dan ideologis yang dinamis dan berbahaya di panggung dunia.

Definisi, Konsepsi, dan Akar Ultranasionalisme

Membedah Ultranasionalisme: Perbedaan dengan Nasionalisme dan Chauvinisme

Ultranasionalisme adalah bentuk nasionalisme ekstrem yang menempatkan kepentingan dan supremasi suatu bangsa atau negara di atas segalanya. Definisi ini melampaui sekadar cinta tanah air dan patriotisme, melainkan didasarkan pada keyakinan yang kuat akan superioritas bangsa sendiri atas bangsa lain. Ideologi ini seringkali dikaitkan dengan penegasan hegemoni, supremasi, atau bentuk kendali lain yang merugikan terhadap negara lain, bahkan melalui paksaan atau kekerasan. Dalam kasus-kasus ekstrem, ultranasionalisme dapat termanifestasi dalam kekerasan politik bahkan selama masa damai, seperti yang ditunjukkan oleh beberapa entitas ultranasionalis.

Penting untuk membedakan ultranasionalisme dari konsep serupa, yaitu nasionalisme dan chauvinisme. Nasionalisme pada dasarnya adalah ideologi yang menekankan loyalitas dan pengabdian terhadap bangsa, sering kali berakar pada solidaritas dan identitas bersama. Paham ini mendorong persatuan dalam sebuah entitas bangsa namun tidak harus didasarkan pada perasaan superioritas atau permusuhan terhadap bangsa lain. Sementara itu, chauvinisme adalah istilah yang mengacu pada kecintaan yang sangat berlebihan terhadap tanah air atau keyakinan yang tidak berdasar akan superioritas kelompok sendiri. Istilah ini dapat mengakibatkan penjajahan dari satu bangsa ke bangsa lain.

Ultranasionalisme dapat dipandang sebagai bentuk chauvinisme yang dilembagakan secara politik dan dicirikan oleh pandangan yang sangat xenofobia, yaitu kebencian atau ketakutan terhadap orang asing. Ini adalah bentuk ekstrem yang berupaya memaksakan kepentingan satu bangsa di atas segalanya. Ketiga konsep ini berada dalam sebuah spektrum, di mana ultranasionalisme menempati ujung paling ekstrem dengan penekanan pada hegemoni dan ekspansionisme.

Konsep Ciri-Ciri Utama Sikap terhadap Bangsa Lain Faktor Pendorong Konsekuensi
Nasionalisme Cinta terhadap bangsa, persatuan, dan kesetaraan Respek dan pengakuan keberadaan bangsa lain Solidaritas, identitas bersama, dan perjuangan kemerdekaan Persatuan bangsa, kedaulatan, dan kemandirian
Chauvinisme Cinta tanah air berlebihan, keyakinan buta akan superioritas kelompok Memandang rendah dan meremehkan bangsa lain Keyakinan buta terhadap superioritas tanpa dasar Penjajahan atau eksploitasi terhadap bangsa lain
Ultranasionalisme Supremasi bangsa, hegemoni, dan ambisi totaliter Mengancam, mendominasi, dan memaksakan kendali melalui kekerasan Narasi mitologis kelahiran kembali, xenofobia, dan populisme Konflik bersenjata, erosi demokrasi, dan ketegangan internasional

Perspektif Teoritis: Ultranasionalisme Palingenetik Roger Griffin dan Hubungannya dengan Fasisme

Untuk memahami ultranasionalisme secara lebih mendalam, pendekatan teoretis yang dikembangkan oleh politolog Roger Griffin sangat relevan. Griffin mengidentifikasi ultranasionalisme sebagai elemen sentral dari fasisme, yang ia sebut sebagai “Ultranationalisme Palingenetik”. Konsep palingenesis, atau “kelahiran kembali nasional,” adalah gagasan inti yang membedakan fasisme dari ideologi otoriter lainnya. Pandangan ini berakar pada keyakinan bahwa negara-bangsa modern adalah entitas hidup yang dapat mengalami kemunduran, pembusukan, dan kematian. Oleh karena itu, ultranasionalis meyakini bahwa bangsa mereka saat ini sedang berada dalam periode “dekadensi” atau “kemerosotan” yang parah dan hanya dapat “lahir kembali” atau mengalami “kelahiran kembali nasional” melalui sebuah revolusi yang dipimpin oleh seorang pemimpin karismatik.

Narasi mitologis ini sangat krusial karena ia melampaui retorika politik konvensional. Ia menyediakan sebuah kerangka analitis yang menjelaskan mengapa gerakan ultranasionalis memiliki daya tarik yang kuat bagi massa yang merasa frustrasi, tidak berdaya, atau terpinggirkan oleh politik tradisional. Dengan menjanjikan masa depan yang gemilang setelah kehancuran atau pembersihan dari elemen-elemen yang dianggap merusak, ideologi ini berhasil memobilisasi dukungan besar. Kekuatan narasi ini terletak pada kemampuannya untuk mengidentifikasi musuh internal dan eksternal, yang disalahkan atas kemerosotan bangsa, dan menawarkan sebuah visi utopis di mana bangsa akan bangkit dari kehancuran seperti burung phoenix dari abunya. Inilah yang menjadikan ultranasionalisme sebagai fondasi penting dari fasisme historis, seperti yang terjadi di Jerman Nazi, yang mendasarkan rezimnya pada rencana “pembaruan nasional” yang luas.

Dimensi Ideologis: Ultranasionalisme sebagai Ideologi Tertutup yang Menolak Pluralisme

Secara fundamental, ultranasionalisme dapat dianalisis sebagai sebuah “ideologi tertutup”. Ideologi ini menuntut kesetiaan mutlak dan tidak memberikan toleransi terhadap perbedaan pendapat atau kritik. Penganutnya meyakini bahwa hanya ada satu kebenaran—yaitu yang diajarkan oleh ideologi tersebut—dan setiap pandangan yang berbeda dianggap sebagai ancaman yang harus dihilangkan. Penolakan total terhadap pluralisme, baik dalam hal pemikiran, budaya, maupun identitas, merupakan ciri inti dari ultranasionalisme. Hal ini berbeda dengan ideologi terbuka yang mampu beradaptasi dengan perubahan dan menerima keragaman pemikiran dalam masyarakat.

Keterkaitan ultranasionalisme dengan ideologi tertutup menjelaskan mengapa ideologi ini secara inheren mengarah pada penindasan dan pelanggaran hak asasi manusia. Ketika sebuah sistem politik menolak pluralisme, ia akan secara alami menciptakan landasan untuk pelanggaran hak-hak dasar seperti kebebasan berekspresi, kebebasan beragama, dan partisipasi politik. Untuk mempertahankan kekuasaannya, rezim ultranasionalis cenderung melakukan kontrol ketat terhadap informasi dan pendidikan, yang bertujuan untuk membentuk pola pikir masyarakat sesuai dengan ideologi yang dianut. Pada akhirnya, ketegangan dan konflik sosial dapat timbul akibat penekanan terhadap perbedaan pendapat, yang berpotensi memicu kekerasan dalam masyarakat.

Anatomi Kebangkitan Ultranasionalisme Kontemporer

Katalisator Ekonomi: Stagnasi, Ketimpangan, dan Respon Terhadap Krisis

Faktor ekonomi memainkan peran krusial sebagai katalisator historis dan kontemporer bagi kebangkitan ultranasionalisme. Secara historis, krisis ekonomi pasca-Perang Dunia I mendorong negara-negara seperti Jerman, Italia, dan Jepang untuk beralih ke rezim diktator yang menganut paham ultranasionalisme. Dalam kondisi ekonomi yang terpuruk, ideologi yang menjanjikan “kelahiran kembali nasional” melalui ekspansi dan pembangunan militer menjadi sangat menarik bagi masyarakat.

Pola serupa terlihat di era kontemporer. Krisis ekonomi pasca-COVID-19 dan dampak geopolitik dari perang Rusia-Ukraina telah memperburuk kondisi ekonomi di banyak negara. Di Jerman, misalnya, melemahnya kondisi ekonomi telah membangkitkan semangat ultranasionalisme sayap kanan. Sebuah analisis menunjukkan bahwa ketika masyarakat merasa dirugikan dan mengalami kesenjangan sosial yang berkepanjangan, mereka menjadi rentan terhadap narasi yang mengidentifikasi “pihak lain”—seperti imigran atau elit global—sebagai penyebab masalah. Ultranasionalisme menawarkan solusi yang sederhana namun radikal: menyalahkan musuh-musuh ini dan mengklaim dominasi nasional untuk memulihkan kemakmuran.

Disrupsi Globalisasi dan Reaksi Balik Identitas

Globalisasi, dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, telah melenyapkan batas-batas geografis dan mendorong terbentuknya “desa global” atau “warga dunia”. Namun, proses ini juga menciptakan disrupsi mendalam terhadap identitas nasional tradisional. Keterbukaan dan arus budaya, ekonomi, dan politik yang tak terbatas sering kali dilihat oleh sebagian populasi sebagai ancaman terhadap keunikan budaya dan warisan bangsa.

Dalam konteks ini, ultranasionalisme muncul sebagai sebuah reaksi balasan. Ultranasionalis mengadvokasi pelestarian budaya dan warisan bangsa mereka terhadap ancaman yang dirasakan dari imigrasi massal atau globalisasi yang cenderung menyeragamkan. Sentimen ini diperburuk oleh hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap elit politik yang dianggap korup dan tidak mampu memperjuangkan nasib bangsanya di tengah persaingan global. Oleh karena itu, ultranasionalisme bukan hanya sebuah ideologi, melainkan sebuah respons emosional dan politik terhadap ketidakamanan identitas yang dirasakan di era global.

Populisme sebagai Gerakan Anti-Elit dan Saluran Ultranasionalisme

Populisme merupakan sebuah gerakan politik yang berakar pada pertentangan antara “rakyat” dan “kelas penguasa” atau “elit yang korup”. Populisme berfungsi sebagai kendaraan yang efektif untuk menyalurkan sentimen ultranasionalis. Meskipun populisme dan ultranasionalisme bukanlah satu hal yang sama, mereka memiliki hubungan sinergis. Populisme menyediakan mekanisme mobilisasi massa yang diperlukan dengan mengidentifikasi musuh bersama—termasuk elit politik, ekonomi, dan budaya—yang disalahkan karena mengkhianati kehendak rakyat.

Ultranasionalisme, pada gilirannya, menyediakan konten ideologis yang spesifik bagi kendaraan populis ini. Ideologi ini mengisi narasi anti-elit dengan pesan-pesan yang menempatkan bangsa di atas segalanya, yang diiringi oleh xenofobia dan sentimen anti-imigrasi. Aliansi antara populisme sayap kanan dan ultranasionalisme ini memungkinkan para politisi untuk meniupkan politik identitas, di mana permasalahan kompleks direduksi menjadi pertentangan antara “kita” (rakyat yang murni dan terkhianati) dan “mereka” (elit, imigran, atau bangsa asing). Dengan cara ini, populisme menjadi saluran yang ampuh untuk menyebarkan paham ultranasionalisme di tengah masyarakat yang merasa tidak berdaya dan tidak terwakili.

Manifestasi Global: Studi Kasus Komparatif

Ultranasionalisme termanifestasi secara berbeda di setiap wilayah, mencerminkan konteks politik dan sejarahnya masing-masing.

Eropa: Kebangkitan Populisme Sayap Kanan dan Gerakan Anti-Imigran

Eropa menjadi panggung utama kebangkitan ultranasionalisme kontemporer, yang sering kali termanifestasi dalam bentuk populisme sayap kanan.

  • Jerman: Alternatif untuk Jerman (AfD). AfD dicirikan sebagai partai sayap kanan ekstrem yang memanfaatkan sentimen anti-imigran dan ketidakpuasan terhadap respons pemerintah terhadap krisis. Kebijakan utamanya meliputi pengawasan ketat terhadap imigrasi dan deportasi warga asing yang dianggap tidak layak. Kenaikan popularitas AfD dapat dikaitkan dengan kegagalan birokrasi dan ketidakpastian publik selama pandemi COVID-19, yang semakin menguatkan narasi anti-elit dan anti-imigran mereka.
  • Prancis: Rassemblement National (RN). Sebelumnya dikenal sebagai National Front, partai ini telah bertransformasi dari sebuah gerakan neo-fasis marginal menjadi kekuatan politik arus utama di bawah kepemimpinan Marine Le Pen. RN telah berupaya “de-demonise” citranya untuk menarik pemilih konservatif. Ideologi intinya adalah ultranasionalisme yang ditopang oleh kebijakan anti-imigrasi, perlindunganisme ekonomi, dan euroskeptisisme, yang bertujuan untuk menolak supranasionalisme Uni Eropa.
  • Italia: Lega dan Fratelli d’Italia (FdI). Partai-partai ini, terutama FdI yang memiliki akar dari gerakan neofasis , berhasil menjadi kekuatan politik dominan dengan ideologi nasionalis yang kuat. Mereka berfokus pada nilai-nilai konservatif, kontrol imigrasi yang ketat, dan kritik terhadap Uni Eropa. Aliansi mereka menunjukkan bagaimana ultranasionalisme dapat berintegrasi ke dalam pemerintahan koalisi di negara-negara Eropa.

Eurasia: Putinisme Rusia sebagai Manifestasi Ultranasionalisme dan Neo-Imperialisme

Di Rusia, ultranasionalisme termanifestasi dalam ideologi “Putinisme,” yang digambarkan sebagai “varian tidak stabil dari fasisme-lite” atau ultranasionalisme “All-Russian”. Berbeda dengan model ultranasionalisme historis yang mengandalkan mobilisasi massa, Putinisme adalah ideologi yang diterapkan secara top-down oleh negara yang kuat. Elemen-elemen intinya mencakup nostalgia terhadap masa kejayaan Soviet, ambisi neo-imperialis, dan perlawanan konservatif terhadap apa yang dianggap sebagai “dekadensi” Barat. Paham ini menolak nilai-nilai liberal seperti pluralisme dan imigrasi massal.

Agresi terhadap Ukraina, yang dimulai dengan aneksasi Krimea dan dukungan terhadap separatis di Donbas, merupakan konsekuensi paling ekstrem dari ideologi neo-imperialis ini. Invasi ini didasarkan pada keinginan untuk mendapatkan kembali dominasi geopolitik dan menyatukan “rakyat Rusia” di bawah satu panji. Ini menunjukkan bagaimana ultranasionalisme, ketika diresmikan oleh sebuah negara, dapat menjadi pemicu langsung konflik bersenjata dan ketidakstabilan global.

Asia: Dinamika Kebangkitan Nasionalis Ekstrem di Jepang

Jepang memiliki manifestasi ultranasionalisme yang unik, yang sebagian besar beroperasi di pinggiran politik tetapi memiliki pengaruh signifikan. Meskipun kecenderungan ultranasionalis dapat ditemukan dalam faksi-faksi di dalam Partai Demokrat Liberal (LDP), yang merupakan partai arus utama, gerakan ini paling terlihat pada kelompok-kelompok ekstremis.

Sebuah contoh utama adalah Zaitokukai, sebuah organisasi ultra-kanan yang dicirikan oleh xenofobia ekstrem anti-Korea. Zaitokukai melakukan kampanye ujaran kebencian dan demonstrasi publik yang memprotes hak-hak khusus bagi warga Korea Zainichi, bahkan sampai melayangkan ancaman dan serangan verbal yang rasis. Meskipun kelompok ini mungkin dianggap marginal, aktivitas mereka memiliki dampak nyata pada kohesi sosial dan meningkatkan rasisme di masyarakat Jepang. Hal ini menunjukkan bahwa ultranasionalisme tidak selalu harus berkuasa untuk menimbulkan dampak yang merusak, tetapi dapat beroperasi dari pinggiran, mengikis norma-norma sosial dan pluralisme melalui provokasi yang konstan.

Tabel berikut memberikan perbandingan komparatif dari gerakan-gerakan ultranasionalis kontemporer di berbagai belahan dunia:

Negara/Wilayah Aktor Utama Ideologi Inti Kebijakan Kunci Modus Operandi
Jerman Alternative für Deutschland (AfD) Anti-imigrasi, euroskeptisisme, konservatisme nasional Pengawasan imigrasi, kebijakan deportasi, kritik terhadap kebijakan Eropa Populisme sayap kanan yang memanfaatkan ketidakpuasan publik
Prancis Rassemblement National (RN) Nasionalisme, euroskeptisisme, proteksionisme ekonomi Kontrol imigrasi ketat, penarikan diri dari Schengen, proteksiisme Transformasi citra dari neo-fasisme menjadi politik arus utama
Italia Fratelli d’Italia (FdI), Lega Nasionalisme, konservatisme, euroskeptisisme, anti-imigrasi Kontrol imigrasi ketat, penegakan hukum yang keras Konsolidasi kekuatan politik dari akar neofasis menjadi partai dominan
Rusia Putinisme Ultranasionalisme “All-Russian”, neo-imperialisme, anti-Barat Ekspansionisme teritorial, militerisme, diplomasi energi Otoritarianisme top-down yang didukung oleh kekuatan negara yang kuat
Jepang Liberal Democratic Party (LDP), Zaitokukai Nasionalisme etnis, xenofobia, konservatisme Penghapusan hak istimewa bagi minoritas, penolakan hak pilih non-warga negara Ideologi yang terintegrasi di partai arus utama dan aktivisme pinggiran yang ekstrem

Konsekuensi Multidimensional Ultranasionalisme

Dampak Politik Domestik: Erosi Demokrasi dan Polarisasi

Ketika ultranasionalisme berakar dalam sebuah sistem politik, konsekuensi pertamanya adalah erosi progresif terhadap fondasi demokrasi liberal. Sifatnya sebagai “ideologi tertutup” secara fundamental tidak sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi seperti pluralisme, kebebasan berekspresi, dan perlindungan minoritas. Keberhasilan ultranasionalisme seringkali bergantung pada penindasan perbedaan pendapat dan penghancuran institusi-institusi liberal yang dianggap “korup” atau “tidak mewakili rakyat”.

Hal ini dapat diamati pada kasus pemerintahan Viktor Orbán di Hungaria, di mana pemerintahannya telah menarik perhatian internasional karena mengembangkan hubungan dekat dengan Rusia. Pemerintahannya telah dituduh melakukan kemunduran demokrasi (democratic backsliding) dengan melakukan “serangan langsung terhadap demokrasi” melalui taktik otokratis. Tindakan-tindakan ini termasuk meloloskan undang-undang yang membatasi hak-hak dasar dan mengambil alih institusi yang seharusnya independen. Ultranasionalisme secara efektif memolarisasi masyarakat menjadi “kita” dan “mereka,” melemahkan dialog politik yang konstruktif dan menciptakan ketegangan yang dapat memecah belah bangsa.

Dampak Sosial: Peningkatan Xenofobia dan Kekerasan

Dampak sosial ultranasionalisme sangat merusak, yang paling utama adalah peningkatan xenofobia dan rasisme. Dengan narasi yang memandang rendah bangsa lain dan menyalahkan imigran atau minoritas atas masalah dalam negeri, ultranasionalisme menciptakan lingkungan di mana diskriminasi dan kekerasan dapat berkembang. Analisis menunjukkan bahwa ultranasionalisme secara langsung merusak kohesi sosial, karena penolakannya terhadap pluralisme melemahkan rasa persatuan di antara kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat.

Terdapat bukti yang terdokumentasi tentang peningkatan kekerasan xenofobia di Eropa. Di Inggris, misalnya, kerusuhan anti-imigran yang dipicu oleh teori konspirasi telah meletus menjadi kekerasan di beberapa kota. Laporan-laporan juga mencatat adanya lonjakan kejahatan anti-Muslim di Jerman dan Spanyol, serta diskriminasi yang meningkat terhadap minoritas Muslim, Roma, Yahudi, dan imigran di seluruh Uni Eropa. Kelompok ultranasionalis di Jepang, seperti Zaitokukai, secara rutin menggunakan ujaran kebencian, demonstrasi, dan serangan verbal terhadap warga Korea di Jepang. Fenomena ini menunjukkan bahwa ultranasionalisme, bahkan dalam bentuknya yang tidak menguasai pemerintahan, dapat merusak tatanan sosial dengan memecah belah masyarakat dan memicu konflik.

Dampak Hubungan Internasional: Konflik dan Perang Dagang

Di panggung global, ultranasionalisme memicu lingkungan ketidakpercayaan dan ketakutan di antara negara-negara. Sebuah negara yang termotivasi oleh ideologi ini cenderung memprioritaskan kepentingan nasionalnya di atas kerja sama internasional, yang dapat mengarah pada militerisme dan perlombaan senjata. Konsekuensi paling ekstrem dari ultranasionalisme neo-imperialis terlihat pada invasi Rusia ke Ukraina. Konflik ini berakar pada ketegangan etnis dan linguistik di Ukraina, serta keinginan Rusia untuk mengamankan wilayah yang memiliki ikatan sejarah dan etnis dengan mereka, seperti Krimea dan Donbas. Hal ini merupakan manifestasi dari ambisi ekspansionis yang didorong oleh ideologi yang mengutamakan supremasi nasional.

Selain konflik militer, ultranasionalisme juga memicu konflik ekonomi, yang paling jelas terlihat dalam perang dagang. Sebagai contoh, perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok dipicu oleh kebijakan yang mengutamakan kepentingan nasional di atas perdagangan bebas global. Perang tarif ini tidak hanya merugikan kedua negara, tetapi juga menciptakan efek domino yang mengganggu rantai pasokan global, termasuk di negara-negara seperti Indonesia. Ultranasionalisme dalam hal ini menjadi pendorong utama di balik kebijakan luar negeri yang agresif, baik melalui militerisme maupun proteksionisme ekonomi, yang pada akhirnya mengancam stabilitas global.

Kesimpulan

Berdasarkan analisis komprehensif, dapat disimpulkan bahwa ultranasionalisme bukan hanya sebuah artefak sejarah, melainkan tren kontemporer yang berbahaya dan dinamis. Paham ini adalah ideologi ekstrem yang secara fundamental menolak pluralisme, menuntut kesetiaan mutlak, dan mendasarkan kekuatannya pada narasi mitologis tentang “kelahiran kembali nasional.” Analisis menunjukkan bahwa kebangkitan ultranasionalisme kontemporer didorong oleh kombinasi faktor-faktor, termasuk stagnasi dan ketimpangan ekonomi, disrupsi identitas akibat globalisasi, serta memanfaatkan saluran yang disediakan oleh populisme sayap kanan.

Pola manifestasi ultranasionalisme bervariasi dari satu wilayah ke wilayah lain—mulai dari populisme anti-imigran di Eropa, otoritarianisme neo-imperialis di Rusia, hingga aktivisme pinggiran yang bersifat xenofobia di Jepang. Meskipun bentuknya berbeda, konsekuensinya tetap sama: erosi demokrasi, peningkatan polarisasi sosial, dan potensi konflik internasional.

Melihat akar penyebabnya, dapat diproyeksikan bahwa ultranasionalisme akan terus menjadi ancaman signifikan selama isu-isu mendasar seperti ketidaksetaraan ekonomi, krisis kepercayaan publik terhadap elit, dan ketidakamanan identitas terus ada. Tantangan ini diperparah dengan kemampuan kelompok ultranasionalis untuk menyebarkan propaganda dan ujaran kebencian melalui media sosial, yang dapat meningkatkan polarisasi dan radikalisasi.

Untuk menghadapi tren yang mengkhawatirkan ini, diperlukan strategi multidimensional. Kebijakan yang mengurangi ketimpangan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara merata merupakan langkah penting untuk mengurangi kerentanan populasi terhadap narasi ultranasionalis. Membangun kembali kepercayaan publik terhadap institusi politik melalui transparansi, akuntabilitas, dan tata kelola pemerintahan yang baik juga sangat krusial. Selain itu, diperlukan upaya untuk melawan polarisasi sosial dengan mempromosikan dialog, pluralisme, dan pendidikan yang menekankan toleransi. Lembaga-lembaga seperti Southern Poverty Law Center (SPLC) secara aktif memantau kelompok-kelompok ekstremis dan menyebarkan kesadaran tentang bahaya yang mereka timbulkan. Secara global, kolaborasi internasional sangat penting untuk menghadapi ancaman transnasional ini, baik dalam bentuk konflik bersenjata maupun perang dagang, untuk menciptakan tatanan dunia yang lebih stabil dan kooperatif.

 

Daftar Pustaka :

  1. Fasisme Adalah Aliran Nasionalis Ekstrem, Simak Sejarah dan Ciri-cirinya – Liputan6.com, accessed September 11, 2025, https://www.liputan6.com/hot/read/5165003/fasisme-adalah-aliran-nasionalis-ekstrem-simak-sejarah-dan-ciri-cirinya
  2. Ultranasionalisme – iSideWith, accessed September 11, 2025, https://uk.isidewith.com/ms/ideologies/ultranationalism
  3. Ultranasionalisme – VOTA.com, accessed September 11, 2025, https://pakistan.vota.com/in/ideologies/ultranationalism
  4. mpr.go.id, accessed September 11, 2025, https://mpr.go.id/img/jurnal/file/210421_PROSIDING%20NASIONALISME%20BANJARMASIN.pdf
  5. Nasionalisme dan Chauvinisme, Apa Itu Chauvinisme? | tempo.co, accessed September 11, 2025, https://www.tempo.co/politik/nasionalisme-dan-chauvinisme-apa-itu-chauvinisme–421696
  6. Pengertian Sukuisme, Chauvinisme, Primordialisme, dan Ekstremisme – detikcom, accessed September 11, 2025, https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5641700/pengertian-sukuisme-chauvinisme-primordialisme-dan-ekstremisme
  7. Paham yang Bertentangan dengan Nasionalisme – Smartcpns, accessed September 11, 2025, https://www.smartcpns.id/blog/Paham-yang-Bertentangan-dengan-Nasionalisme
  8. Populisme | Parlement.com, accessed September 11, 2025, https://www.parlement.com/populisme
  9. Ciri Ideologi Tertutup: Pengertian, Karakteristik, dan Perbedaannya dengan Ideologi Terbuka – Feeds Liputan6.com, accessed September 11, 2025, https://www.liputan6.com/feeds/read/5838041/ciri-ideologi-tertutup-pengertian-karakteristik-dan-perbedaannya-dengan-ideologi-terbuka
  10. Perang Dunia II: Munculnya Negara Fasis – Kompas.com, accessed September 11, 2025, https://www.kompas.com/skola/read/2020/07/13/173723169/perang-dunia-ii-munculnya-negara-fasis
  11. Ultranasionalisme – iSideWith, accessed September 11, 2025, https://india.isidewith.com/in/ideologies/ultranationalism
  12. Chauvinisme: Kondisi Ekonomi, Kebangkitan Ultra-Nasionalis Eropa – Suara Nusantara, accessed September 11, 2025, https://www.suaranusantara.co/chauvinisme-kondisi-ekonomi-dan-kebangkitan-ultra-nasionalis-eropa/
  13. POPULISME, KRISIS DEMOKRASI, DAN ANTAGONISME POPULISM, THE CRISIS OF DEMOCRACY, AND ANTAGONISM – JURNAL LEDALERO, accessed September 11, 2025, https://ejurnal.iftkledalero.ac.id/index.php/JLe/article/download/129/108
  14. Pengaruh Globalisasi Terhadap Nilai Nasionalisme Generasi Muda | IURIS STUDIA – E-Journal Bunda Media Grup, accessed September 11, 2025, https://jurnal.bundamediagrup.co.id/index.php/iuris/article/download/75/70
  15. Populisme, Nederland en verkiezingen – Universiteit van Amsterdam, accessed September 11, 2025, https://www.uva.nl/shared-content/faculteiten/nl/faculteit-der-maatschappij-en-gedragswetenschappen/nieuws/2021/02/verkiezingen-populisme-nederland-en-verkiezingen.html
  16. Presiden Jerman Telaah Dampak Lockdown COVID-19 Usai 5 Tahun Berlalu – detikNews, accessed September 11, 2025, https://news.detik.com/dw/d-7839962/presiden-jerman-telaah-dampak-lockdown-covid-19-usai-5-tahun-berlalu
  17. Cloaking the Front National: Marine Le Pen, Femininity, and the Evolution of a ‘New’ European Far-Right – Scholarship @ Claremont, accessed September 11, 2025, https://scholarship.claremont.edu/urceu/vol2024/iss1/4/
  18. What distinguishes the Brothers of Italy from other (populist or far) right-wing parties in Italy?, accessed September 11, 2025, https://politics.stackexchange.com/questions/75628/what-distinguishes-the-brothers-of-italy-from-other-populist-or-far-right-wing
  19. Fratelli d’Italia: Italy’s Conservative Movement, accessed September 11, 2025, https://www.understandingitaly.com/fratelli-ditalia.html
  20. ANALISIS UPAYA PENYELESAIAN KONFLIK RUSIA-UKRAINA TAHUN 2022 – UPN Veteran Yogyakarta, accessed September 11, 2025, https://jurnal.upnyk.ac.id/index.php/jpw/article/download/7226/4588/21014
  21. Rise of Hate Speech in Japan* | ヒューライツ大阪, accessed September 11, 2025, https://www.hurights.or.jp/archives/focus/section2/2013/12/rise-of-hate-speech-in-japan.html
  22. Understanding the Alternative for Germany (AfD) – AGI – American-German Institute, accessed September 11, 2025, https://americangerman.institute/project/understanding-the-alternative-for-germany-afd/
  23. POPULISME, POLITIK IDENTITAS DAN EROSI DEMOKRASI DI ABAD KE 21 – Bibliothek der Friedrich-Ebert-Stiftung, accessed September 11, 2025, https://library.fes.de/pdf-files/bueros/indonesien/15937.pdf
  24. Hungary: Viktor Orbán’s Government and European reaction – House of Commons Library, accessed September 11, 2025, https://commonslibrary.parliament.uk/research-briefings/cbp-9516/
  25. Viktor Orban’s Hungary: A Democracy Backsliding – Democratic Erosion Consortium, accessed September 11, 2025, https://democratic-erosion.org/2022/04/20/viktor-orbans-hungary-a-democracy-backsliding/
  26. POLARISASI POLITIK DI MEDIA SOSIAL : TELAAH FILSAFAT PERSATUAN INDONESIA DI ERA DIGITAL – WARUNAYAMA, accessed September 11, 2025, https://ejournal.warunayama.org/index.php/triwikrama/article/download/7730/7084/23492
  27. Jerman geram atas gelombang kerusuhan xenofobia di Inggris – ANTARA News Sulteng, accessed September 11, 2025, https://sulteng.antaranews.com/berita/321051/jerman-geram-atas-gelombang-kerusuhan-xenofobia-di-inggris
  28. Rasisme anti Muslim Telah Terlembagakan di Eropa – European Islamophobia Report, accessed September 11, 2025, https://islamophobiareport.com/en/index.php/2022/10/18/rasisme-anti-muslim-telah-terlembagakan-di-eropa/
  29. Diskriminasi Minoritas di Uni Eropa Meningkat – Universitas Gadjah Mada, accessed September 11, 2025, https://ugm.ac.id/id/berita/8901-diskriminasi-minoritas-di-uni-eropa-meningkat/
  30. DIPLOMASI DAN POWER: SEBUAH KAJIAN ANALISIS After the 1961 of Wina convention, diplomacy became one of the containers for the ac – Journal UIR – Universitas Islam Riau, accessed September 11, 2025, https://journal.uir.ac.id/index.php/jdis/article/download/4429/2184/11635
  31. Menyelami Konflik Internasional: Sebab, Dampak, dan Upaya – Hukum UMA, accessed September 11, 2025, https://hukum.uma.ac.id/2024/05/26/menyelami-konflik-internasional-sebab-dampak-dan-upaya-penyelesaiannya/
  32. PERANG DAGANG ERA DONALD TRUMP SEBAGAI KEBIJAKAN LUAR NEGERI ADAPTIF CONVULSIVE AMERIKA SERIKAT | Indonesian Journal of International Relations, accessed September 11, 2025, https://journal.aihii.or.id/index.php/ijir/article/view/222
  33. Perang Dagang AS–Tiongkok: Dampak, Peluang, Tantangan dan solusi strategis bagi Indonesia – Kementerian Pertahanan, accessed September 11, 2025, https://www.kemhan.go.id/balitbang/2025/04/16/perang-dagang-as-tiongkok-dampak-peluang-tantangan-dan-solusi-strategis-bagi-indonesia.html
  34. Perang Dagang Amerika dan China di ASEAN – Universitas Airlangga Official Website, accessed September 11, 2025, https://unair.ac.id/perang-dagang-amerika-dan-china-di-asean/
  35. Perang Dagang AS VS China: Dampaknya terhadap Barang Konsumen di Indonesia, accessed September 11, 2025, https://rewangrencang.com/perang-dagang-as-vs-china-dampaknya-terhadap-barang-konsumen-di-indonesia-ketegangan-perdagangan-antara-amerika-serikat-dan-tiongkok-kembali-memuncak-presiden-donald-trump-dalam-pernyataan-terbaru/
  36. Jurnal Penelitian Psikologi, accessed September 11, 2025, https://jurnalfpk.uinsa.ac.id/index.php/JPP/article/download/433/253/1892
  37. SPLC | Apathy Is Not An Option, accessed September 11, 2025, https://www.splcenter.org/
  38. Hate Map – Southern Poverty Law Center, accessed September 11, 2025, https://www.splcenter.org/hate-map/

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

CAPTCHA ImageChange Image

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.