Fenomena kudeta militer secara global, mengkaji tren historis, akar masalah, konsekuensi, dan implikasi geopolitiknya di era modern. Kudeta didefinisikan sebagai upaya ilegal oleh elit militer atau pemerintahan untuk menggulingkan kepemimpinan yang berkuasa. Fenomena ini tidak hanya mencakup kudeta militer murni, tetapi juga kudeta sipil dan bahkan self-coup di mana seorang pemimpin berupaya mempertahankan kekuasaannya secara tidak sah.
Analisis menunjukkan bahwa kudeta dipicu oleh kombinasi faktor internal dan eksternal. Secara internal, kondisi ekonomi yang memburuk, seperti inflasi dan pengangguran tinggi, serta krisis politik dan korupsi, sering dijadikan dalih oleh militer untuk melakukan intervensi. Namun, penelitian lebih lanjut mengungkapkan bahwa motivasi utama sering kali bersifat internal dan terkait dengan kepentingan spesifik militer, seperti keinginan untuk mempertahankan dominasi politik, konglomerasi bisnis, dan menolak supremasi sipil yang menguat.
Meskipun data historis dari tahun 1945 hingga 2024 menunjukkan adanya tren penurunan kudeta secara global sejak tahun 1960-an, terdapat lonjakan mencolok yang terjadi antara tahun 2020 dan 2023, terutama terkonsentrasi di wilayah Afrika Sub-Sahara. Hal ini menunjukkan bahwa kudeta bukanlah peninggalan masa lalu, melainkan ancaman yang terus berkembang, dipicu oleh kombinasi faktor klasik dan tantangan baru.
Studi kasus komparatif dari kudeta Cile 1973 dan upaya kudeta Turki 2016 memberikan pemahaman yang bernuansa tentang faktor penentu keberhasilan dan kegagalan. Kudeta Cile berhasil berkat dukungan eksternal dan perpecahan internal sipil, sementara upaya kudeta di Turki gagal karena penolakan publik yang masif dan penggunaan teknologi komunikasi modern oleh pemerintah untuk memobilisasi perlawanan.
Secara keseluruhan, kudeta memiliki konsekuensi yang merusak, mulai dari kemunduran demokrasi, pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), hingga keruntuhan ekonomi dan krisis kemanusiaan. Respons komunitas internasional sering kali terhambat oleh prinsip non-intervensi dan perbedaan kepentingan geopolitik, seperti yang terlihat dalam kasus PBB dan ASEAN. Laporan ini menyimpulkan bahwa untuk mencegah kudeta di masa depan, diperlukan penguatan supremasi sipil, pemisahan militer dari politik, dan reformasi kerangka hukum internasional untuk menanggapi krisis yang melibatkan pelanggaran HAM.
Definisi dan Bentuk Kudeta
Kudeta adalah fenomena politik yang telah terjadi di banyak negara dan berpotensi untuk selalu muncul selama ada sistem kekuasaan. Definisi formal dari kudeta, atau coup d’état, adalah upaya yang biasanya ilegal dan terbuka oleh suatu organisasi militer atau elit pemerintahan lainnya untuk menggulingkan seorang pemimpin atau kepemimpinan yang sedang menjabat. Kudeta memiliki beberapa bentuk yang berbeda, tidak selalu melibatkan pihak militer. Kudeta militer, misalnya, dilakukan oleh kelompok bersenjata yang tidak puas dengan kebijakan pemerintah sipil yang berkuasa. Contoh paling relevan dari jenis ini adalah peristiwa kudeta di Myanmar pada tahun 2021, di mana militer mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan sipil yang sah.
Sementara itu, kudeta sipil terjadi ketika individu atau kelompok yang bukan bagian dari militer atau aparat keamanan mengambil alih pemerintahan karena ketidakpuasan terhadap kinerja yang berkuasa. Kelompok ini dapat melibatkan partai politik, kelompok ekstrem, atau individu yang memiliki kekuatan politik signifikan. Peristiwa kudeta di Mesir pada tahun 2011 yang menggulingkan Presiden Hosni Mubarak merupakan contoh dari kudeta sipil. Selain itu, ada pula kudeta yang terjadi di tingkat regional atau lokal, di mana kelompok tertentu berupaya mengambil kendali atas suatu wilayah atau kota, seperti yang dilakukan oleh Gerakan Nasional untuk Pembebasan Azawad di utara Mali. Terakhir, konsep self-coup muncul ketika seorang pemimpin yang berkuasa melalui jalur legal berupaya untuk mempertahankan kekuasaannya melalui cara-cara ilegal.
Tipologi Kudeta Berdasarkan Motivasi
Untuk memahami kudeta secara lebih mendalam, para pakar mengklasifikasikannya berdasarkan motivasi dan tujuan di balik upaya pengambilalihan kekuasaan tersebut. Tipologi ini memberikan pemahaman yang lebih kaya dibandingkan sekadar membedakan antara aktor sipil dan militer. Terdapat tiga jenis kudeta utama:
- Kudeta Terobosan (Breakthrough Coup): Dalam jenis kudeta ini, kelompok oposisi, baik dari kalangan sipil maupun militer, menggulingkan pemerintah yang berkuasa dan menempatkan diri mereka sebagai pemimpin baru. Kudeta ini sering kali bertujuan untuk mengubah secara fundamental struktur kekuasaan atau ideologi negara.
- Kudeta Wali (Guardian Coup): Kudeta jenis ini dilakukan oleh militer yang mengklaim diri sebagai “penjaga” atau “wali” negara. Tujuannya adalah untuk mengintervensi pemerintahan sipil yang dianggap korup, tidak efektif, atau tidak stabil. Para pelaku kudeta ini seringkali menjanjikan akan mengembalikan kekuasaan kepada pemerintahan sipil setelah “ketertiban” atau “stabilitas” tercapai.
- Kudeta Veto (Veto Coup): Jenis kudeta ini terjadi ketika militer menganggap bahwa kebijakan atau tindakan pemerintah sipil yang sah mengancam kepentingan atau hak istimewa militer. Dengan kata lain, kudeta ini berfungsi sebagai “veto” terhadap keputusan sipil yang tidak disetujui oleh militer.
Landasan Teoritis Kudeta
Fenomena kudeta tidak hanya dapat dijelaskan dari sisi sejarah, tetapi juga melalui kerangka teoritis yang memberikan landasan analitis yang kuat. Salah satu kerangka yang banyak digunakan adalah teori Harold Crouch mengenai intervensi militer, yang mengemukakan dua faktor utama di balik kudeta: faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi orientasi dan kepentingan militer itu sendiri, sementara faktor eksternal berkaitan dengan kondisi sosial-ekonomi, situasi politik, dan faktor-faktor internasional.
Sementara itu, Edward Luttwak, seorang pakar strategi, memberikan pandangan yang lebih berorientasi pada mekanisme operasional kudeta. Dalam bukunya, ia mendefinisikan kudeta sebagai peristiwa yang terjadi dari infiltrasi ke dalam segmen kecil namun menentukan dari aparatus negara, yang kemudian digunakan untuk mengambil alih pemerintah dari kendali unsur-unsur lainnya. Luttwak membedakan kudeta dari revolusi. Berbeda dengan revolusi yang melibatkan massa dan bertujuan merusak sistem negara, kudeta adalah pengambilalihan kekuasaan yang cepat, fleksibel, dan terorganisir, dengan tujuan menetralkan pasukan lawan dan merebut institusi kunci seperti pusat komunikasi. Pandangan Luttwak berfokus pada eksekusi praktis, yang melengkapi kerangka Crouch yang berfokus pada motivasi.
Akar Masalah Kudeta: Analisis Multidimensi
Pemicu Internal dari Kegagalan Sipil
Sebuah kudeta sering kali tidak muncul dari ruang hampa. Kondisi internal suatu negara, terutama yang berkaitan dengan kegagalan pemerintahan sipil, menjadi lahan subur bagi intervensi militer. Berbagai penelitian dan kasus historis menunjukkan bahwa situasi negara yang memburuk, baik dari sisi ekonomi maupun politik, menjadi dalih yang paling sering digunakan oleh para pelaku kudeta. Contohnya termasuk korupsi oleh pejabat negara, kenaikan tingkat inflasi, dan meningkatnya pengangguran. Ketidakstabilan politik dan kinerja pemerintah yang buruk dapat menyebabkan ketidakpercayaan publik yang meluas, memberikan militer sebuah legitimasi—meskipun sering kali semu—untuk campur tangan. Di Fiji, misalnya, kudeta militer pada tahun 2006 dipicu oleh kinerja pemerintah yang dianggap tidak memuaskan, yang pada gilirannya menyebabkan ketidakstabilan di negara tersebut.4 Selain itu, ketegangan rasial antara etnis pribumi Fiji dan etnis Indo-Fiji juga menjadi latar belakang pemicu kudeta sebelumnya. Data dari IMF juga mendukung temuan ini, dengan menunjukkan bahwa destabilisasi ekonomi—seperti pertumbuhan yang lebih lemah, posisi eksternal yang rapuh, dan inflasi tinggi—serta ketidakstabilan politik, menciptakan lingkungan yang sangat rentan terhadap kudeta.
Kepentingan dan Orientasi Militer
Meskipun kudeta sering diklaim sebagai tindakan untuk “menyelamatkan” negara dari krisis sipil, analisis mendalam mengungkapkan bahwa motif di balik intervensi militer tidak hanya berakar pada kegagalan pemerintah sipil, melainkan juga pada kepentingan dan orientasi internal militer itu sendiri. Berdasarkan kerangka teoritis Harold Crouch, militer dapat merasa memiliki kewajiban untuk campur tangan ketika pemerintahan sipil gagal menjaga stabilitas dan keamanan. Namun, alasan ini seringkali menutupi motivasi yang lebih pragmatis dan berorientasi pada institusi.
Kasus Myanmar merupakan studi kasus yang krusial untuk memahami dinamika ini. Militer Myanmar, yang dikenal sebagai Tatmadaw, memiliki orientasi yang kuat bahwa mereka adalah satu-satunya institusi yang dapat menjaga keutuhan negara. Lebih dari itu, supremasi sipil yang menguat setelah pemilihan umum tahun 2020—di mana partai oposisi Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) menang telak—dianggap sebagai ancaman langsung terhadap konglomerasi bisnis yang dijalankan oleh Tatmadaw. Dengan demikian, kudeta yang terjadi tidak hanya didorong oleh klaim kecurangan pemilu, tetapi juga oleh kepentingan militer untuk melindungi dominasi politik dan ekonomi mereka. Ini menunjukkan adanya rantai kausalitas yang kompleks: krisis sosial-ekonomi menciptakan celah, yang dimanfaatkan oleh militer yang sudah memiliki orientasi untuk berkuasa dan melindungi kepentingan pribadi mereka.
Dinamika Geopolitik dan Peran Aktor Eksternal
Kudeta juga tidak terlepas dari pengaruh geopolitik dan intervensi aktor eksternal. Sejak era Perang Dingin (1947-1991), hukum internasional tidak bersikap tegas terhadap kudeta karena sering kali didukung oleh blok Barat maupun blok Timur untuk kepentingan masing-masing. Peristiwa kudeta Cile pada tahun 1973 menjadi contoh klasik di mana intervensi asing memainkan peran kunci. Kasus ini timbul dari Perang Dingin, di mana Amerika Serikat berupaya menggulingkan Salvador Allende yang dianggap condong ke Uni Soviet dan Kuba. Investigasi Senat AS menemukan bahwa CIA mengalirkan dana jutaan dolar untuk mendukung media oposisi, kelompok ekstremis, dan menyebarkan propaganda anti-pemerintah, yang secara signifikan berkontribusi pada destabilisasi yang mendahului kudeta. Peran aktor eksternal ini menunjukkan bahwa kudeta dapat menjadi alat dalam persaingan geopolitik, di mana negara-negara besar memanipulasi situasi internal negara lain untuk mencapai tujuan strategis mereka.
Tren Historis dan Sebaran Global
Gelombang dan Periode Kudeta: Pasang Surut Sejarah
Analisis data historis menunjukkan pola yang menarik dalam frekuensi kudeta global. Berdasarkan data dari Jonathan Powell dan Clayton Thyne, antara tahun 1950 hingga 2010 terjadi 457 upaya kudeta, dengan 227 di antaranya berhasil dan 230 lainnya gagal. Sementara itu, data yang lebih komprehensif dari Proyek Coup d’État Cline Center, yang mencakup tahun 1945 hingga 2024, mendokumentasikan 1094 peristiwa kudeta, terdiri dari 458 kudeta yang berhasil, 374 upaya kudeta, dan 262 konspirasi.
Tren jangka panjang menunjukkan penurunan frekuensi kudeta sejak tahun 1960-an, sebuah periode yang juga bertepatan dengan berakhirnya Perang Dingin. Penurunan ini dapat dihubungkan dengan kebangkitan norma-norma internasional yang menjunjung tinggi demokrasi elektoral sebagai satu-satunya bentuk pemerintahan yang sah, yang menciptakan stigma yang lebih besar terhadap kudeta.
Namun, tren ini terputus secara dramatis oleh lonjakan kudeta yang mencolok antara tahun 2020 dan 2023. Lonjakan ini sebagian besar terkonsentrasi di wilayah Afrika Sub-Sahara, khususnya di wilayah Sahel (Chad, Republik Afrika Tengah, Mali, Burkina Faso, Niger, Guinea, dan Sudan). Lonjakan ini mengundang pertanyaan: apakah ini hanya anomali regional atau pertanda gelombang kudeta global yang baru? Peningkatan kudeta ini tampaknya didorong oleh kombinasi pemicu klasik seperti kondisi ekonomi yang memburuk (inflasi tinggi dan pertumbuhan rendah), instabilitas politik, serta konflik internal. Hal ini menunjukkan bahwa kudeta masih merupakan mekanisme umum untuk transfer kekuasaan yang tidak teratur, terutama di negara-negara yang rapuh dan menghadapi berbagai tekanan yang tumpang tindih.
Sebaran Geografis dan Karakteristik Regional
Data historis juga mengungkapkan adanya konsentrasi geografis dari upaya kudeta. Dari tahun 1950 hingga 2010, sebagian besar upaya kudeta terjadi di benua Afrika (36,5%) dan Amerika (31%). Pola ini mencerminkan sejarah politik yang unik di masing-masing wilayah.
Beberapa negara memiliki sejarah kudeta yang berulang dan menjadi bagian integral dari lanskap politik mereka. Myanmar, misalnya, telah mengalami beberapa kali pergantian kekuasaan militer sejak merdeka dari Inggris pada tahun 1948. Militer telah mendominasi pemerintahan Myanmar selama puluhan tahun, dengan kudeta yang tercatat pada tahun 1962, 1988, dan terakhir pada tahun 2021. Selain itu, Thailand juga memiliki sejarah kudeta yang panjang, dengan peristiwa kudeta pada tahun 2006 yang dipelopori oleh Angkatan Darat Kerajaan Thailand untuk mencegah terpilihnya kembali perdana menteri tertentu. Pola-pola ini menyoroti bagaimana kudeta dapat menjadi bagian dari budaya politik suatu negara, di mana militer secara tradisional memiliki kekuatan veto atau bahkan peran sebagai penguasa (rulers).
Studi Kasus Komparatif: Kudeta Sukses dan Gagal
Kudeta Cile 1973: Sebuah Studi Kasus Kudeta Veto yang Sukses
Kudeta di Cile pada 11 September 1973 yang menggulingkan Presiden Salvador Allende merupakan studi kasus yang mendalam tentang kudeta yang berhasil. Kudeta ini terjadi di tengah kondisi politik yang sangat terpolarisasi dan krisis ekonomi yang parah di bawah pemerintahan Allende. Meskipun Cile telah lama dianggap sebagai simbol demokrasi dan stabilitas di Amerika Selatan , legitimasi pemerintahan Allende terkikis akibat kekerasan domestik, fragmentasi politik, dan kondisi ekonomi yang memburuk, termasuk meningkatnya pinjaman luar negeri.
Kudeta yang dipimpin oleh Jenderal Augusto Pinochet ini berhasil karena beberapa faktor kunci. Pertama, militer Cile, yang sebelumnya apolitis, merasa terancam oleh kebijakan Allende. Kedua, kudeta ini mendapat dukungan dari sebagian besar masyarakat dan oposisi politik, yang merasa pemerintahan Allende telah melanggar konstitusi. Ketiga, peran eksternal dari Amerika Serikat sangat krusial, dengan dokumen yang telah dideklasifikasi menunjukkan bahwa AS, di bawah pemerintahan Nixon, menyadari rencana militer untuk menggulingkan Allende dan telah mendukung kelompok anti-pemerintah sebelumnya.
Meskipun kudeta ini berhasil dan melahirkan rezim otoriter yang brutal, dengan pelanggaran HAM yang meluas dan penekanan terhadap kebebasan, kudeta ini juga secara paradoks meletakkan dasar bagi reformasi ekonomi pasar yang kemudian diadopsi oleh pemerintah demokratis penerusnya. Cile menjadi contoh langka di mana kudeta, meskipun merusak demokrasi, secara tidak langsung menciptakan fondasi bagi pertumbuhan ekonomi di masa depan.
Upaya Kudeta Turki 2016: Anatomi Kegagalan
Sebaliknya, upaya kudeta di Turki pada Juli 2016 menawarkan pelajaran berharga tentang mengapa kudeta modern dapat gagal. Upaya yang dipimpin oleh faksi Gulenis dalam militer ini gagal menguasai dua komponen vital dari kriteria kudeta yang berhasil: soliditas aktor keamanan nasional dan dukungan masyarakat.
Pertama, para pelaku kudeta tidak berhasil menangkap tokoh-tokoh kunci pemerintahan, termasuk Presiden Recep Tayyip Erdogan dan Perdana Menteri Binali Yildirim. Kegagalan ini memungkinkan kedua tokoh tersebut untuk memobilisasi perlawanan. Kedua, militer Turki sendiri tidak sepenuhnya solid; terjadi konflik internal di antara berbagai lapisannya. Yang paling menentukan, kudeta ini menghadapi penolakan publik yang masif. Atas seruan Erdogan, ribuan warga turun ke jalan untuk menentang kudeta, bahkan ketika militer menembaki mereka di Jembatan Bosporus.
Aspek krusial dari kegagalan ini adalah peran teknologi komunikasi. Meskipun para pelaku kudeta berhasil menguasai televisi nasional, mereka tidak mampu mengendalikan aliran informasi di media sosial. Erdogan menggunakan media sosial seperti Facebook, Twitter, dan WhatsApp untuk menyerukan kepada rakyat untuk menolak kudeta, sebuah langkah yang segera disambut. Peristiwa ini menunjukkan pergeseran fundamental dalam dinamika kudeta: keberhasilan tidak lagi hanya bergantung pada penguasaan aset-aset fisik, tetapi juga pada kemampuan untuk memenangkan “perang informasi” dan narasi digital secara real-time. Di era modern, kudeta harus berhasil mengendalikan tidak hanya infrastruktur fisik negara, tetapi juga ruang digital.
Konsekuensi dan Dampak Multidimensional
Dampak terhadap Tata Kelola dan Demokrasi
Kudeta secara inheren merupakan tindakan yang inkonstitusional dan sering kali bersifat brutal, yang berdampak fundamental terhadap tata kelola dan demokrasi suatu negara. Kudeta menggeser sistem pemerintahan dari demokrasi—di mana kekuasaan berada di tangan rakyat—menjadi sistem yang militeristik, di mana junta militer mengambil alih kendali penuh atas negara. Di Myanmar, misalnya, transisi demokrasi yang telah berjalan selama satu dekade terhenti secara tiba-tiba, mengembalikan negara ke pemerintahan militer.
Rezim yang lahir dari kudeta cenderung menekan lawan politiknya, melarang kegiatan politik, membatalkan konstitusi, dan menyensor media. Hal ini seringkali diikuti oleh pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang meluas, termasuk penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, dan pembunuhan. Kasus Myanmar pada tahun 2021, yang memicu krisis kemanusiaan, penindasan yang represif terhadap rakyat, dan dugaan genosida, menjadi contoh yang tragis dari dampak politik dan HAM dari kudeta.
Dampak Ekonomi dan Sosial
Kudeta juga memiliki dampak ekonomi dan sosial yang sangat merusak. Secara ekonomi, pengambilalihan kekuasaan secara paksa menciptakan ketidakpastian yang signifikan, yang sering kali menyebabkan perekonomian anjlok. Pasca-kudeta di Myanmar pada Februari 2021, perekonomian negara tersebut menurun drastis, dengan Produk Domestik Bruto (PDB) anjlok hingga -16.03%. Industri menjadi lesu, aktivitas pabrik terhenti, dan produksi menurun drastis. Kondisi ini menyebabkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal, meningkatkan pengangguran dan kemiskinan, serta memicu inflasi.
Secara sosial dan kemanusiaan, kudeta sering memicu gelombang protes publik yang dapat berubah menjadi konflik sipil bersenjata. Di Myanmar, militer merespons protes anti-kudeta dengan tindakan keras, yang pada akhirnya mendorong puluhan ribu warga sipil mengangkat senjata dan membentuk Pasukan Pertahanan Rakyat. Konsekuensi dari kekacauan ini adalah krisis kemanusiaan yang mendalam dan peningkatan jumlah pengungsi ke negara-negara tetangga seperti Thailand. Hal ini menunjukkan bahwa kudeta, alih-alih menyelesaikan masalah internal seperti yang sering diklaim oleh pelakunya, justru menciptakan dan memperburuk krisis yang sudah ada.
Respons Internasional: Dilema Kedaulatan vs. Intervensi
Reaksi Institusi Internasional dan Keterbatasan
Komunitas internasional sering kali berada dalam posisi yang dilematis dalam menanggapi kudeta. Organisasi-organisasi besar seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sering kali gagal mengambil tindakan tegas karena kurangnya konsensus di antara para anggotanya. Dalam kasus kudeta Myanmar 2021, Dewan Keamanan PBB gagal menyepakati pernyataan bersama yang mengutuk dan mengancam sanksi, terutama karena penentangan dari negara-negara seperti Tiongkok dan Rusia.
Organisasi regional menunjukkan respons yang bervariasi. Uni Afrika dan Komunitas Ekonomi Negara-negara Afrika Barat (ECOWAS) memiliki respons yang relatif lebih tegas dengan menangguhkan keanggotaan negara yang mengalami kudeta, seperti Mali dan Burkina Faso, hingga tatanan konstitusional dipulihkan. Namun, Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) menghadapi tantangan yang lebih besar. Meskipun mengeluarkan Five-Point Consensus untuk menyelesaikan krisis di Myanmar, implementasinya terhambat oleh prinsip non-intervensi yang tercantum dalam piagam mereka. Pendekatan ini dianggap kurang efektif mengingat krisis kemanusiaan yang terjadi dan dampaknya terhadap stabilitas regional, termasuk peningkatan jumlah pengungsi.
Kerangka Hukum Internasional dan Prinsip Non-Intervensi
Dilema yang dihadapi komunitas internasional berakar pada kerangka hukum internasional itu sendiri. Prinsip non-intervensi, yang tertuang dalam Piagam PBB Pasal 2 ayat (7) dan Piagam ASEAN Pasal 2 ayat 2 huruf e dan f, secara eksplisit melarang campur tangan dalam urusan dalam negeri suatu negara. Prinsip ini didasarkan pada konsep kedaulatan negara, di mana setiap negara memiliki kekuasaan tertinggi dan tidak tunduk pada negara lain.
Meskipun kudeta militer seringkali melanggar hak-hak dasar dan memicu krisis kemanusiaan, hukum internasional tidak secara jelas mengatur apakah kudeta merupakan bentuk pelanggaran hukum internasional. Sejak berakhirnya Perang Dingin, terdapat pergeseran pandangan yang menilai legitimasi suatu pemerintahan harus melalui proses demokrasi. Namun, dalam praktiknya, PBB tidak menilai legalitas kudeta itu sendiri, melainkan dampak yang ditimbulkannya terhadap perdamaian dan keamanan internasional. Akibatnya, respons terhadap kudeta seringkali terbatas pada instrumen politik, seperti sanksi , daripada tindakan hukum yang tegas. Prinsip non-intervensi, yang dirancang untuk melindungi kedaulatan, secara tidak sengaja dapat melindungi rezim yang melanggar hak-hak warganya sendiri, menciptakan kesenjangan antara norma internasional dan realitas politik.
Kudeta di Abad ke-21: Transformasi dan Tantangan Baru
Peran Teknologi dan Perang Informasi
Di era digital, teknologi telah mengubah dinamika kudeta secara fundamental. Teknologi dapat berfungsi sebagai alat untuk mengonsolidasikan kekuasaan, tetapi juga sebagai alat untuk memobilisasi perlawanan. Di satu sisi, militer dapat memanfaatkan teknologi untuk mengendalikan narasi dan menekan oposisi. Dalam kasus kudeta Myanmar, langkah pertama junta militer adalah memblokir akses ke media sosial dan data seluler, serta berupaya mengendalikan telekomunikasi dan meminta perusahaan internet untuk menyimpan data pengguna dalam jangka waktu yang lama. Mereka juga diketahui menggunakan spyware untuk memata-matai komunikasi warga sebelum kudeta.
Di sisi lain, teknologi juga telah memberdayakan masyarakat sipil untuk melawan. Kasus kudeta Turki 2016 menjadi bukti nyata bagaimana media sosial menjadi alat vital untuk menggalang perlawanan publik. Kemampuan para pemimpin yang sah untuk menggunakan platform seperti Facebook dan Twitter untuk berkomunikasi langsung dengan rakyat, meskipun stasiun TV dikuasai oleh militer, menjadi faktor kunci dalam membalikkan keadaan. Kudeta di era modern bukan lagi hanya tentang penguasaan stasiun televisi atau barak militer, tetapi tentang penguasaan narasi di seluruh ekosistem digital. Pertarungan narasi ini dapat terjadi secara real-time dan menjadi penentu hasil kudeta.
Fenomena Populisme dan Polaritas Politik
Tantangan baru lainnya yang menciptakan lingkungan yang rentan terhadap kudeta adalah fenomena populisme dan polarisasi politik. Populisme seringkali melemahkan institusi demokrasi dengan memecah belah masyarakat melalui narasi kebencian dan politik identitas. Ketika lembaga-lembaga demokrasi menjadi tidak efektif dan terfragmentasi, kepercayaan publik terhadap pemerintahan sipil dapat terkikis. Dalam situasi seperti ini, militer dapat memanfaatkan narasi “mengembalikan ketertiban” atau “menjaga persatuan” yang sering kali resonan dengan sebagian besar masyarakat yang lelah dengan kekacauan politik. Meskipun populisme bukanlah penyebab langsung kudeta, kehadirannya menciptakan lingkungan di mana kudeta menjadi lebih mungkin terjadi dan dapat memperoleh legitimasi dari sebagian massa yang kecewa.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Mengapa Kudeta Tetap Relevan
Meskipun sejarah mencatat tren penurunan kudeta, fenomena ini tidak dapat dianggap sebagai peninggalan masa lalu. Kudeta tetap menjadi isu geopolitik yang relevan, terutama dengan kemunculan gelombang baru di Afrika dan transformasi digital yang mengubah dinamikanya. Kudeta adalah gejala dari kegagalan tata kelola sipil yang mendalam, yang diperburuk oleh ambisi institusional dan kepentingan ekonomi internal militer. Motif yang diutarakan untuk “menyelamatkan” negara dari korupsi atau ketidakstabilan seringkali hanya menutupi niat sebenarnya untuk mempertahankan kekuasaan politik, dominasi ekonomi, atau hak istimewa militer.
Rekomendasi
Berdasarkan analisis yang komprehensif, beberapa rekomendasi strategis dapat diusulkan untuk mencegah dan menanggapi kudeta di masa depan:
- Bagi Komunitas Internasional: Diperlukan reformasi kerangka hukum internasional. Prinsip non-intervensi, meskipun penting untuk kedaulatan, perlu direformulasi untuk kasus-kasus khusus yang melibatkan pelanggaran HAM massal yang merupakan akibat langsung dari kudeta. Organisasi seperti ASEAN dan PBB perlu meningkatkan kerja sama dan mengembangkan mekanisme penegakan yang lebih kuat untuk menghadapi krisis multidimensi seperti yang terjadi di Myanmar. Pemberian sanksi diplomatik dan ekonomi yang terkoordinasi dapat menjadi alat yang efektif untuk membatasi ruang gerak junta militer.
- Bagi Negara: Penguatan supremasi sipil adalah hal yang fundamental. Hal ini harus diwujudkan melalui kebijakan yang secara tegas memisahkan militer dari ranah politik dan bisnis. Pembentukan lembaga demokrasi yang inklusif, transparan, dan akuntabel dapat mengurangi ketidakpuasan publik dan erosi legitimasi yang sering menjadi dalih untuk kudeta. Selain itu, negara harus berinvestasi dalam stabilitas ekonomi dan mengatasi masalah sosial seperti korupsi dan ketidaksetaraan untuk mengurangi kerentanan terhadap destabilisasi.
- Bagi Masyarakat Sipil: Di era digital, masyarakat sipil memegang peran yang sangat penting. Membangun kesadaran digital dan literasi media menjadi krusial untuk melawan disinformasi dan propaganda yang dilancarkan oleh para pelaku kudeta. Masyarakat sipil juga harus secara aktif menuntut akuntabilitas dari para pemimpin mereka dan berpartisipasi dalam proses demokrasi untuk membangun institusi yang kuat dan tahan banting.
Daftar Pustaka :
- Apa Itu Kudeta? Ketahui Pengertian, Jenis, dan Contohnya | kumparan.com, diakses September 9, 2025, https://m.kumparan.com/pengertian-dan-istilah/apa-itu-kudeta-ketahui-pengertian-jenis-dan-contohnya-242fO9pL12I
- KUDETA MILITER MYANMAR DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL – Ejournal FISIP Unjani, diakses September 9, 2025, https://ejournal.fisip.unjani.ac.id/index.php/jurnal-dialektika-hukum/article/download/541/254/
- Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Kudeta Militer Terhadap Perdana Menteri Laisenia Qarase Di Negara Republik Fiji, diakses September 9, 2025, https://repository.unej.ac.id/handle/123456789/58727
- Political Fragility: Coups d’État and Their Drivers in: IMF Working …, diakses September 9, 2025, https://www.elibrary.imf.org/view/journals/001/2024/034/article-A001-en.xml
- Faktor-Faktor Penyebab Kudeta Militer di Myanmar Tahun … – lib@ui, diakses September 9, 2025, https://lib.ui.ac.id/abstrakpdf?id=20526013&lokasi=lokal
- Coup d’État Project | Cline Center, diakses September 9, 2025, https://clinecenter.illinois.edu/project/research-themes/democracy-and-development/coup-detat-project
- Dua Faktor yang Membuat Kudeta Turki Gagal – BeritaSatu.com, diakses September 9, 2025, https://www.beritasatu.com/news/374930/dua-faktor-yang-membuat-kudeta-turki-gagal
- Penyebab Kegagalan Kudeta Militer di Turki Tahun 2016 Causes of the Failed of the Military Coup in Turkey in 2016 – Neliti, diakses September 9, 2025, https://media.neliti.com/media/publications/521431-causes-of-the-failed-of-the-military-cou-57669526.pdf
- Dampak Ekonomi Kudeta Myanmar: Industri Lesu, PHK Merajalela! – CNBC Indonesia, diakses September 9, 2025, https://www.cnbcindonesia.com/news/20210301103647-4-226830/dampak-ekonomi-kudeta-myanmar-industri-lesu-phk-merajalela
- LEGITIMASI PEMERINTAHAN MYANMAR SEBAGAI ANGGOTA …, diakses September 9, 2025, https://ojs.rewangrencang.com/index.php/JHLG/article/download/595/362/2617
- 1 KUDETA MILITER MYANMAR MAKALAH Diajukan Untuk …, diakses September 9, 2025, https://digilib.uinsgd.ac.id/52557/1/Rahmi_1193030081_UAS%20LLI.pdf
- KUDETA DALAM PERSPEKTIF HADIS (Studi Ma’ani al-Ḥadīṡ) – Digilib UIN Suka, diakses September 9, 2025, https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/55079/1/18105050076_BAB-I_IV-atau-V_DAFTAR-PUSTAKA.pdf
- Retorika – Kolibi, diakses September 9, 2025, https://jurnal.kolibi.org/index.php/retorika/article/download/1341/1286/5279
- Apa Maksud dari Kudeta Militer? – Internasional – Kompas.com, diakses September 9, 2025, https://internasional.kompas.com/read/2021/11/05/122727370/apa-maksud-dari-kudeta-militer?page=all
- FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA KUDETA MILITER TERHADAP PERDANA MENTERI LAISENIA QARASE DI NEGARA REPUBLIK FIJI, diakses September 9, 2025, https://repository.unej.ac.id/handle/123456789/7306
- KETERLIBATAN AMERIKA SERIKAT DALAM KUDETA MILITER DI CHILE TAHUN 1971-1973 | Syamsu Dluha | SWADESI: Jurnal Pendidikan dan Ilmu Sejarah, diakses September 9, 2025, https://jurnal.untan.ac.id/index.php/swadesi/article/view/49248
- AKTUAL JUSTICE – OJS UNR, diakses September 9, 2025, https://ojs.unr.ac.id/index.php/aktualjustice/article/download/1156/1142/
- Myanmar: Perang untuk kekuasaan, sumber daya alam, dan untuk China – TRT Global, diakses September 9, 2025, https://trt.global/bahasa-indonesia/article/058a92242526
- Penting Kamu Ketahui, Kudeta Paling Mencekam Sepanjang Sejarah – SINDOnews.com, diakses September 9, 2025, https://international.sindonews.com/berita/1261624/45/penting-kamu-ketahui-kudeta-paling-mencekam-sepanjang-sejarah
- Gulingkan Pemerintahan, Ini 5 Kudeta Militer Paling Berbahaya dalam Sejarah, diakses September 9, 2025, https://nationalgeographic.grid.id/read/131733528/gulingkan-pemerintahan-ini-5-kudeta-militer-paling-berbahaya-dalam-sejarah?page=all
- Kudeta Myanmar dan Tipologi Militer Gandrung Politik – beritajatim.com, diakses September 9, 2025, https://beritajatim.com/kudeta-myanmar-dan-tipologi-militer-gandrung-politik
- What Pinochet Did for Chile | Hoover Institution What Pinochet Did …, diakses September 9, 2025, https://www.hoover.org/research/what-pinochet-did-chile
- Hasil Pencarian – Perpustakaan Universitas Indonesia, diakses September 9, 2025, https://lib.ui.ac.id/hasilcari?query=650:%22Gulenis%20Faction%22
- Eks Taruna Militer Ungkap Cerita di Balik Kudeta Militer di Turki pada 2016 | kumparan.com, diakses September 9, 2025, https://kumparan.com/kumparannews/eks-taruna-militer-ungkap-cerita-di-balik-kudeta-militer-di-turki-pada-2016-1yUB7oQW3Pc
- Perebutan Kekuasaan: Dampak Kudeta Militer pada Kehidupan Sehari-hari di Myanmar, diakses September 9, 2025, https://m.kumparan.com/rizka-andriana-santoso/perebutan-kekuasaan-dampak-kudeta-militer-pada-kehidupan-sehari-hari-di-myanmar-22m5TMeZUSm
- DK PBB Gagal Sepakati Pernyataan Bersama Kecam Kudeta Myanmar, diakses September 9, 2025, https://narotama.ac.id/berita/detail/30017-dk-pbb-gagal-sepakati-pernyataan-bersama-kecam-kudeta-myanmar
- Uni Afrika Tangguhkan Aktivitas Burkina Faso Pasca-kudeta – Tempo.co, diakses September 9, 2025, https://www.tempo.co/internasional/uni-afrika-tangguhkan-aktivitas-burkina-faso-pasca-kudeta-430056
- Uni Afrika tangguhkan keanggotaan Mali setelah kudeta militer – ANTARA News, diakses September 9, 2025, https://www.antaranews.com/berita/2187346/uni-afrika-tangguhkan-keanggotaan-mali-setelah-kudeta-militer
- AS Berlakukan Sanksi kepada Dua Jenderal Myanmar karena Kudeta – VOA Indonesia, diakses September 9, 2025, https://www.voaindonesia.com/a/as-berlakukan-sanksi-kepada-dua-jenderal-myanmar-karena-kudeta-/5789166.html
- Militer Myanmar Pasang Spyware untuk Sadap Komunikasi Warga Sebelum Kudeta, diakses September 9, 2025, https://www.tempo.co/internasional/militer-myanmar-pasang-spyware-untuk-sadap-komunikasi-warga-sebelum-kudeta-511932
- REPRESENTASI IDEOLOGI POPULISME DALAM PEMBERITAAN TEMPO.CO – E-Journal UNDIP, diakses September 9, 2025, https://ejournal.undip.ac.id/index.php/interaksi/article/download/29370/20560